Ngeloni Anak Menjadi Media Pendidikan Jiwa Anak Menuju Pribadi yang Matang

Dalam konsep yang ditawarkan oleh Abraham Maslow yakni “phyramida of need” disebutkan bahwa manusia sejatinya harus tercukupi aspek kebutuhan yaitu:

  1. fisiologis (physiological need), 
  2. kebutuhan rasa aman (safety need), 
  3. kebutuhan rasacinta dan memiliki (love and belonging need), 
  4. kebutuhan harga diri (esteem need)dan 
  5. kebutuhan aktualisasi diri (actualization need).

Kelima kebutuhan dasar tersebut idealnya harus dimiliki dan dicukupi bagi manusia, sejak anak masih dalam kandungan, terlebih setelah anak lahir dan mengalami pertumbuhan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis.

Berdasarkan phyramida of need tersebut terlihat bahwa seorang anak tidak hanya membutuhkan kebutuhan fisik saja, tetapi lebih dari itu, membutuhkan rasa aman, cinta, kasih sayang, dan saling memiliki yang ending-nya adalah kebutuhan aktualisasi diri. 

Semua itu menjadi hal yang sifatnya berkelanjutan, bukan berkesudahan. Artinya, banyak orang tua yang gagal paham.

Mereka sudah memberikan anak dengan fasilitas sopir menuju sekolah, anak sudah diberikan fasilitas barang mewah seperti laptop harga tinggi, hand phone canggih, atau anak sudah difasilitasi dengan uang berlimpah.

Tetapi terputus hanya aspek fisik semata, sedangkan aspek kasih sayang, pengertian, persahabatan orang tua-anak, pujian, motivasi tidak dipenuhi ayah-ibunya. 

Pada akhirnya, menjadikan pribadi anak kurang atau bahkan mungkin sampai pada tahapan tidak matang.

Allport dalam bukunya berjudul Growth Psychology: Models of The Healthy

Personality menyebutkan bahwa pribadi anak yang kurang atau tidak matang mengandung unsur-unsur: tidak memiliki keamanan emosional (sering mengalami kekalutan emosi), tidak hangat manakala berhubungan dengan orang lain (cenderung asosial atau anti-sosial), tingkat pemahaman diri yang rendah, tidak memiliki perluasan diri yang matang.

Salah satu penyebab kondisi anak yang demikian dikarenakan minimnya pengayaan anak dengan aspek-aspek keamanan dan kenyamanan, cinta, kasih sayang dan memiliki, penghargaan, pemahaman, dan lebih dikayakan pada aspek fisiologik-material.

Idealnya, untuk menuju pribadi anak yang matang orang tua tidak hanya memberikan aspek pemenuhan material saja, tetapi juga pemenuhan batiniyyah kepada anak. 

Salah satu wujud kongkret pemenuhan aspek batiniyyah adalah dengan perilaku ngeloni anak, baik pada saat anak tidur maupun tidak tidur.

Ngeloni anak yang mampu menjadikan pribadi anak matang adalah jenis ngeloni anak tanpa syarat (the nature hungging children). 

Bahwa ngeloni anak tanpa syarat mengandung beberapa kriteria, di antaranya:

1 Adanya ketulusan-murni tatkala memeluk, membelai, dan menina-bobokan anak. Sebab, akan tampak perilaku ibu atau ayah manakala mereka tidak tulus-murni saat memberikan pelukan. Terlihat rasa enggan atau ogahogahan dalam berbuat.

2. Tidak didahului dengan pemaksaan kepada anak untuk tidur, tetapi lebih pada “memahamkan anak” untuk tidur. 

Adanya orang tua-orang tua yang memaksa anak-anaknya untuk tidur, tanpa keinginan anak untuk tidur, yang umumnya penolakan anak akan menjadikan orang tua marah. 

Dalam kondisi marah saat ngeloni anak, tidak akan terjadi kelekatan yang aman (secure attachment) antara anak dan orang tuanya.

3. Tidak adanya “iming-iming” agar anak berkehendak tidur. Iming-iming merupakan “perilaku yang penuh syarat” yang menjadikan anak mengalami ketergantungan. 

Hal yang terbaik yang dilakukan orang tua adalah “memahamkan anak” tentang pentingnya tidur. Dengan kesadaran diri dari anak untuk tidur tepat waktu dan dengan perilaku ngeloni anak yang tulus, maka akan membuat anak merasa nyaman dan menyatu dengan orang tuanya. 

Bahkan, apabila si anak merasa terayomi, terdamaikan dan ternyamankan tanpa adanya pemaksaan tidur dari orang tua, merekalah yang justru meminta untuk tidur dan dipeluk orang tuanya, sembari mendengarkan dongeng atau dialog dua arah antara anak dan orang tua.

4. Terajutnya dialog yang harmonis antara anak dan orang tuanya manakala anak dipeluk saat tidur. Sembari orang tua membelai kepala, dan menepuknepuk bahu anak, terjadi dialog harmonis. 

Anak biasanya akan bercerita tentang kejadian yang dialami dalam kesehariannya atau berceloteh tentang apa saja, dan orang tua menimpalinya dengan bijaksana. 

Demikian pula saat orang tua mendongeng, anak mendengarkan dengan seksama hingga tak terasa dirinya tidur.

Perilaku-perilaku yang masuk dalam kategori ngeloni anak tanpa syarat di atas apabila dilakukan dengan rutin tanpa cacat, maka akan mengarahkan jiwa anak yang luas dan matang. 

Hal ini karena terpenuhi dengan apik nuansa psikologis batiniyyah sebagaimana yang disampaikan Abraham Maslow di muka yaitu: 

Adanya nuansa keamanan, nuansa cinta dan kasih sayang, nuansa penghargaan, serta nuansa pengertian dan pemahaman.

Sri Esti Wuryani Djiwandono menyatakan bahwa anak-anak yang di masa kecilnya memiliki masa-masa yang indah, damai dan mendamaikan, maka akan terbawa hingga besar. 

Manakala seorang anak memiliki pengalaman masa lampau yang harmonis dalam dirinya, maka ketika remaja/dewasa ia akan memiliki perilaku-perilaku yang selaras dengan kematangan emosi dan jiwanya yang sudah terbentuk positif sejak kecil. 

Hasil penelitian Moh. Shochib menyebutkan bahwa pola asuh anak di masa kecil yang dilakukan oleh orang tua akan mempengaruhi perjalanan anak menuju masa remaja dan dewasa.

Ada beberapa perilaku positif yang dialami anak apabila mendapatkan kekayaan batiniyyah pada saat kecil dan kontinu mendapatkan kekayaan batiniyyah, antara lain yaitu: 

1. Perilaku welas asih, baik welas asih kepada keluarga dekatnya maupun welas asih kepada sesamanya. 

2. Perilaku mengayomi. Hal ini dapat terjadi karena anak mendapatkan pengayoman yang baik dari sekitarnya terutama orang tua, sehingga di dalam mindset-nya tercipta keinginan berperilaku yang sama, yakni mengayomi, baik mengayomi diri sendiri maupun juga mengayomi orang lain. 

3. Perilaku mudah bergaul. Anak-anak yang memiliki kekayaan afeksi positif yang dibentuk sejak dini, maka saat besar akan tumbuh menjadi anak-anak yang ramah, supel, dan mudah bergaul dengan siapa pun. 

Pada umumnya anak-anak yang demikian akan mudah berbaur tanpa mengalami keminderan atau beremosi negatif.

Hal yang idealnya dibangun oleh orang tua untuk menjadikan anak-anaknya berkepribadian matang dan luas adalah memberikan perilaku-perilaku yang mengkayakan afeksi anak, yang sifatnya double touch bukan one touch. 

Double touch dapat dimaknai sebagai sentuhan-sentuhan yang diberikan oleh ibuayahnya secara bersama-sama dan saling membahu untuk memberikan pelayanan terbaik untuk anak-anaknya. 

Dalam konteks ini, penting adanya kesadaran kuat dari orang tua untuk tidak hanya memberikan pelayanan material, namun juga pelayanan moral, immaterial, dan spiritual kepada anak. 

Kondisi apik yang demikian akan menjadikan anak berjiwa dan berperilaku positif. Sebab, fakta menunjukkan bahwa meskipun kedua orang tua masih lengkap, akan tetapi kedua-duanya atau salah satu di antaranya tidak mau memberikan pelayanan yang terbaik untuk anak-anaknya, maka berdampak pada anak, baik secara fisik maupun psikis. 

Kondisi semacam ini menjadikan anak terbengkalai, berjiwa kerdil dan berperilaku asosial. Oleh karena itu, pelayanan double touch dari kedua orang tua menjadi hal yang teramat penting, termasuk dalam hal ngeloni anak.

Ngeloni anak idealnya dilakukan oleh kedua orang tua, tidak hanya ibu atau ayah saja. Hal ini menjadikan anak semakin merasa termanusiakan sebagai anak.

Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan one touch adalah sentuhan terhadap anak yang hanya dilakukan oleh salah satu orang tua, ayah atau ibu saja. 

One touch ini dapat terjadi antara lain karena salah satu orang tua meninggal dunia, bercerai, atau keduanya masih utuh namun keluarganya tidak harmonis (split family), atau keduanya satu rumah tetapi yang berperan besar mengasuh dan menyentuh anak adalah salah satu dari keduanya saja, pihak yang satunya terkesan tidak peduli. 

Kondisi yang demikian sesungguhnya tidak diinginkan anak, tetapi anak dipaksa untuk menerima keadaan. 

Apabila anak memiliki tingkat kesadaran diri yang utuh dan konsep penerimaannya tinggi dengan kondisi yang demikian, maka akan menjadikan anak tetap berjiwa besar, matang, dan berpikiran luas. 

Namun lain halnya apabila anak memiliki tingkat kesadaran dan penerimaan diri rendah, maka kondisi di atas akan menjadikan anak berjiwa kerdil, minder, dan memiliki self motivation yang rendah. Semua itu akan berimbas terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut menuju masa remaja dan dewasa.

Oleh karena itu, membentuk kepribadian anak sehingga memiliki jiwa matang dan luas merupakan kewajiban orang tua. Dalam konteks ini, orang tua dituntut memiliki banyak pengetahuan tentang parenting anak. 

Dengan demikian, nantinya diharapkan mampu mengantarkan anak-anaknya dengan kepribadian yang matang menuju masa remaja dan dewasa ditunjukkan dengan harmonis. Kesemua perilaku positif tersebut menjadikan rumah tangga harmonis dan seimbang.

Penelitian yang dilakukan Universitas Cambridge mengungkapkan bahwa anak-anak yang bahagia pada masa kecilnya adalah anak-anak yang percaya diri dan akan menjadi orang dewasa yang percaya diri.

Sehingga mereka lebih memungkinkan untuk memangkas kerugian dan menghindari hubungan yang akan menjadikan dirinya tidak nyaman serta menghindari kegagalan dalam berumah tangga. Harapan utamanya adalah semuanya akan aman dan berhasil.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Michael Rutter pada tahun 1971 berjudul “Parent Child Separation, Psychological Effect on The Children” 

Menyatakan bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan akan memiliki resiko besar yakni :

Menjadikan anak nakal (anti-sosial) dan akan mengarahkan kelabilan perilaku anak, yang pada akhirnya menjadikan anak akan terganggu saat menuju masa remaja dan dewasa. Akibatnya, akan mengalami disfungsi perkawinan tatkala dirinya membina rumah tangga.

Berbagai hasil penelitian di atas semakin menyakinkan bahwa adanya keterkaitan yang erat antara perilaku mengasuh anak sejak kecil yang kaya dengan unsur batiniyyah 

Salah satunya dengan mengayakan aspek ngeloni anak dengan terciptanya keluarga harmonis seimbang pada saat si anak tumbuh dewasa dan berumah tangga. 

Hal di atas selaras dengan puisi berjudul “Anak Belajar dari Kehidupan” karya Dorothy Law Nolte 
Yang menggambarkan bagaimana perbedaan antara anak yang dididik dengan pengayaan unsur batiniyyah dengan yang dididik tanpa pengayaan unsur batiniyyah. 

Hasilnya pastinya berbeda. Berikut ini puisinya:

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan/motivasi, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Berdasarkan puisi Dorothy di atas dapat dibagi 2 (dua) aspek yang berbeda, yakni kandungan unsur-unsur yang mendukung pengayaan unsur batiniyyah dan yang tanpa pengayaan unsur batiniyyah. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Kandungan Unsur-unsur Tanpa Pengkayaan Batiniyyah
Kandungan Unsur-unsur dengan Pengakayaan Batiniyyah


Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa hal yang terpenting dalam mendidik anak adalah sikap dan perilaku. Sebab, keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan jiwa anak. 

Manakala sikap dan perilaku positif terhadap anak dan banyak mengandung unsur pengayaan batiniyyah, maka hasil yang didapatkan adalah anak-anak yang positif dan sehat mental.

Lain halnya jika sikap dan perilaku yang ditampakkan dalam mendidik adalah negatif, maka hasil yang didapatkan adalah anak-anak yang kurang sehat mental dan cenderung menyimpang. Gambaran tentang hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Hasil Sikap dan Perilaku Positif


Hasil Sikap dan Perilaku Negatif


Oleh karena itu, anak membutuhkan pendidikan dengan pola asuh yang kaya unsur batiniyyah-nya. 

Dengan demikian, akan tercipta anak-anak yang sehat pikiran, sehat hati, sehat perbuatan, sehat tingkah laku, sehat ucapan, dan sehat-sehat lainnya, yang kelak saat mereka membina rumah tangga akan menghasilkan rumah tangga yang berkualitas dan langgeng.

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat jelas bahwa peranan ngeloni anak (memeluk anak) sangat besar bagi perkembangan anak di masa depan. 

Semakin sering orang tua memberikan pelukan hangat yang di dalamnya terdapat nuansa kasih sayang yang tulus, dorongan positif, memberi rasa aman dan nyaman, dan persahabatan, maka kesempatan untuk menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian yang sehat semakin besar. 

Kepribadian yang sehat dan matang akan berpengaruh secara positif pada saat dirinya membina rumah tangga yaitu rumah tangga yang harmonis. 

Sebaliknya, semakin orang tua jarang atau tidak pernah memberikan pelukan hangat, maka semakin besar pula kemungkinan anak memiliki kepribadian yang sakit. 

Kepribadian sakit ini pada akhirnya menjadi problematika bagi anak, baik di masa sekarang maupun saat perkembangan menuju masa remaja dan dewasa, termasuk saat mereka membina rumah tangga. Kondisi semacam itu berpotensi menimbulkan split family dan disfungsi perkawinan.

0 Response to "Ngeloni Anak Menjadi Media Pendidikan Jiwa Anak Menuju Pribadi yang Matang"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak