Ajaran Islam Dalam Penerapan Hukum

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan sallam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu istiqomah

Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang isinya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ia tidak hanya meng-atur hubungan manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. AlQur’an juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. 

Di antara ajaran Islam terdapat ajaran yang berkenaan dengan tindak pidana, perdata dan kehidupan politik atau ketatanegaraan. 

Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logis perintah di atas, maka umat Islam menuntut dan berjuang menegakkan ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh sebab itu, maka tulisan ini akan mengungkapkan bagaimana konsep hukum pidana, hukum perdata dan hukum ketata-negaraan dalam ajaran Islam. 

Melalui pembahasan ini diharapkan kita semua memiliki pemahaman terhadap prinsip penerapan hukum dalam ajaran Islam.

Ajaran Islam dalam Penerapan Hukum Pidana

Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqih dengan istilah jinayah dan jarimah.

Jinayat dalam istilah hukum Islam sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana (berbuat dosa atau salah).

Sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayah mempunyai pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:

"Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh Syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya."

Berdasarkan pengertian di atas, jinayah diartikan dengan semua perbuatan yang diharamkam oleh syara’ apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Unsur-unsur hukum pidana Islam berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan, meliputi: 

  1. Hukum itu merupakan produk Allah Subhanahu Wa Ta'la; 
  2. Hukuman bertujuan untuk kemaslahatan umat; dan 
  3. Hukuman itu dibuat untuk orang yang melanggar perintah Allah Subhanahu Wa Ta'la atau larangannya.

Sedangkan istilah “jarimah” yang diartikan sebagai larangan syara’ yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syari’at (Allah) dengan hukuman hadd atau ta’zir. 

Pengertian “Jinayah” atau “Jarimah” tidak berbeda dengan pengertian tindak pidana (peristiwa pidana); delik dalam hukum positif (pidana).

Penerapan hukum pidana dalam Islam, ditempuh dua macam cara yaitu menetapkan hukum berdasarkan nash, dan menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri).

Perbuatan dalam kategori pertama Islam tidak memberikan kesempatan kepada penguasa (ulil amri) untuk menetapkan hukuman yang menyimpang dari ketentuanketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits. 

Hukuman-hukuman untuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok yang pertama tersebut berlaku sepanjang masa dan tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu.

Di antara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash, dan jarimah ta’zir.

1. Jarimah hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Pengertian hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan syara’ dan menjadi hak Allah (hak martabat). 

Hudud Allah ini terbagi pada dua kategori, pertama peraturan yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan makanan, minuman, perkawinan, perceraian dan lain-lain yang dibolehkan dan dilarang. 

Kedua hukuman-hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang dilarang. 

Kedua hukuman yang yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan kepada seseorang yang melakukan hal yang terlarang untuk dikerjakan.

Dengan kata lain, dalam jarimah hudud yang hukumannya telah ditentukan oleh syara’, nash-nash tentang hukuman tersebut secara tegas dan jelas dinyatakan dalam AlQur’an dan sunnah. 

Mahmud Syaltut merinci tindak pidana yang dapat dihukum hudud dalam syariat Islam ada delapan macam, yaitu 

  1. tindak pidana zina; 
  2. tindak pidana qadzaf (menuduh zina); 
  3. tindak pidana pencurian (sariqah); 
  4. tindak pidana perampokan (hirobah); 
  5. tindak pidana minuman keras; 
  6. tindak pidana riddah (keluar Islam); 
  7. pemberontakan; dan 
  8. pembunuhan (qatl) dan penganiyaan.

Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam al-Qur’an surah an-Nuur ayat 2, surah an-Nuur: 4, surah al-Maidah ayat 33, surat al-Maidah ayat 38. 

Salah satu contoh jarimah hudud berupa zina, larangan dan hukumnya terdapat dalam Surat An-Nur ayat 2, yaitu sebagai berikut:

اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖوَّلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۚ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَاۤىِٕفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. An-Nuur [24]: 2)

Contoh lain dari jarimah qadzaf nash tentang hukumannya terdapat dalam surat AnNuur ayat 4 yaitu sebagai berikut: 

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamalamanya, dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nuur [24]: 4)

2. Jarimah Qishash

Jarimah qishash adalah hukuman yang telah ditentukan syara’, baik jenisnya maupun besarnya hukuman. 

Jadi, jarimah qishash terbatas jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi mapun terendah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.

Perbedaan antara jarimah hudud dengan jarimah qishash adalah jarimah qishash menjadi hak perseorangan atau hak adami yang membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi korban, wali atau ahli warisnya. 

Jadi dalam kasus jarimah qishash korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbuatan si pembuat jarimah, meniadakan qishash dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama sekali. 

Hak perseorangan dalam jarimah hudud diberikan apabila korban masih hidup dan apabila korban sudah meninggal dunia maka hak tersebut diberikan kepada ahli waris atau walinya, dan hak ini tidak dapat diambil alih oleh penguasa atau kepala negara, kecuali keluarga korban tidak ada wali atau ahli warisnya.

Sedangkan perbedaan mendasar antara hak Allah, hak masyarakat dan hak individu adalah dalam masalah pengampunan. 

Hukuman hudud yang merupakan hak Allah daan hak masyarakat tidak ada pengaruh dengan pengampunan terhadap hukuman, sedangkan dalam hukuman qishash yang merupakan hak individu ada pengaruh pengampunan yang dapat diberikan oleh si korban atau keluarganya.

Dengan demikian, hukum qishash adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan atau menghilangkan jiwa, seperti dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surah al-Maidah: 45, dan surah al-Baqarah: 178. 

Diyat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diyat sebab membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain. 

Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan karena kesalahan (khatha’). Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa’: 92.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 92)

3. Jarimah Ta’zir

Islam memberikan kesempatan yang luas kepada penguasa (ulil amri) untuk menetapkan macam-macam tindakan pidana dan hukumannya. 

Al-Quran dan As-Sunnah hanya memberikan ketentuan umum yang penjabarannya diserahkan kepada penguasa.

Ketentuan itu adalah setiap perbuatan yang merugikan baik individu maupun masyarakat merupakan tindak pidana yang harus dikenakan hukuman. 

Tindak pidana dalam kategori ini oleh para ahli hukum Islam dinamakan jarimah ta’zir dan hukumannya dinamakan hukuman ta’zir. 

Dengan kata lain, jarimah ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya dalam al-Quran dan Hadist yang bentuknya sebagai hukuman ringan. 

Sedangkan pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim Islam dan hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah atau kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya.

Penerapan asas legalitas dalam jarimah ta’zir berbeda penerapan asas legalitas dalam jarimah hudud dan qishash. Abdul Qadir Audah membagi hukuman ta’zir kepada tiga bagian:

1. Hukuman ta’zir atas perbuatan maksiat. Para ulama’ sepakat bahwa hukuman ta’zir diterapkan atas setiap perbuatan maksiat, yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, baik perbuatan maksiat tersebut menyinggung hak Allah maupun hak adami.

2. Hukuman ta’zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum. Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at Islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut.

3. Hukuman ta’zir atas perbuatan pelanggaran (mukhalafah). Pelanggaran (mukhalafah) adalah melakukan perbuatan makruh atau melakukan perbuatan mandub.

Untuk menjatuhkan ta’zir atas perbuatan mukhalafah, disyaratkan berulang-ulangnya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman. 

Jadi, penjatuhan itu bukan karena perbuatannya itu sendiri melainkan karena berulang-ulang, sehingga perbuatan itu menjadi adat kebiasaan.

Ajaran Islam dalam Penerapan Hukum Perdata

Hukum perdata adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian di dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat. 

Dalam terminologi Islam, istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mu’amalah. Sedangkan hukum perdata Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. 

Menurut Muhammad Daud Ali, hukum perdata Islam adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. 

Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan.

Sedangkan ruang lingkup hukum perdata Islam, menurut Zainuddin Ali adalah sebagai berikut :

1. Munakahat, hukum perkawinan yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan perceraian serta akibat-akibat hukumnya.

2. Warisan atau farid, hukum kewarisan yang mengatur segala persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, harta warisan, serta pembagian harta warisan.

Sementara itu, di antara contoh penerapan hukum perdata, tentang warisan dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran, berbeda dengan ilmu lain yang hanya dibahas secara umum dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah An-Nisaa’ ayat 11, 12 dan 176. 

Akan tetapi dalam penerapan hukum perdata di Idonesia mengikuti KHI (Kompilasi Hukum Islam).

Ajaran Islam dalam Penerapan Hukum Tata Negara

Tata negara adalah suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahan, atau sebaliknya

Sedang untuk pengertian hukum tata negara, tampaknya belum ada kesepakatan di kalangan para pakar, AV. Decey, sebagaimana yang dikutip A. Mustari Pide, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara adalah segala peraturan yang berisi, baik secara langsung atau tidak langsung tentang pembagian kekuasaan dan pelaksana yang tertinggi dalam suatu Negara.

Ibnu Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga, organisasi kewilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan, kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta cita-cita bersama.

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai peraturanperaturan, sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara.

Adapun bentuknya tata negara tidak ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul. Apakah kerajaan atau republik? Karena esensinya tidak terletak pada bentuknya, akan tetapi ada pada prinsip-prinsip umum yang sudah digariskan dalam Al-Qur’an dan Sunah

Rasul. Namun ada suatu isyarat yang diberikan Al-Qur’an agar umat Islam membentuk negara kesatuan (lihat firman Allah yang berbunyi: كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ Q.S. alBaqarah [2]: 213; dan وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلَّآ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْاۗ Q.S. Yunus [10]: 19).

Adapun prinsip-prinsip umum penerapan hukum tata negara sebagai berikut:

1. Prinsip Kekuasaan sebagai Amanah

Perkataan amanah tercantum dalam Al-Qur’an berikut:

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 58)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia diwajibkan menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan manusia diwajibkan menetapkan hukum dengan adil. 

Perkataan amanah yang secara leksikal berarti “tenang dan tidak takut”. Jika kata tersebut dijadikan kata sifat, maka ia mengandung pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”. 

Dengan demikian, jika perkataan amanah dibawa dalam konteks kekuasaan negara, maka perkataan tersebut dapat dipaham sebagai suatu pendelegasian atau pelimpahan kewenangan dan karena itu kekuasaan dapat disebut sebagai mandate yang bersumber atau berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

2. Prinsip Musyawarah

Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang menggariskan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip dasar dalam Islam. 

Ayat pertama terdapat dalam surah Asy-Syura [42]: 38 ...وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ... (...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah…). 

Sedang ayat kedua terdapat dalam surah Ali Imran [3]: 159 ...وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ... (... dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…).

Ayat pertama tersebut di atas, menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum Nabi selalu mengambil keputusan setelah melakukan mesyawarah dengan para sahabatnya. 

Ayat kedua menekankan perlunya diadakan musyawarah, atau lebih tegasnya umat Islam wajib bermusyawarah dalam memecahkan setiap masalah kenegaraan. 

Kewajiban ini terutama dibebankan kepada setiap penyelenggara kekuasaan negara dalam melaksanakan kekuasaannya.

Musyawarah dapat diartikan sebagai suatu forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan. 

Jika dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. 

Dengan demikian, musyawarah berfungsi sebagai “rem” atau pencegah kekuasaan yang absolut dari seorang penguasa atau kepala negara.

3. Prinsip Keadilan

Perkataan keadilan sama hal dengan musyawarah yang bersumber dari Al-Qur’an.

Cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang keadilan, di antaranya terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikut:

 يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. AnNisaa’ [4]: 135)

Dari ayat tersebut di atas sekurang-kurangnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

  1. Orang-orang yang beriman wajib me-negakkan keadilan.
  2. Setiap mukmin apabila ia menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil.
  3. Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu.
  4. Manusia dilarang menyelewengkan ke-benaran.

Keadilan merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam Al-Qur’an. Oleh karena Allah sendiri memiliki sifat Maha Adil. 

Keadilan-Nya penuh dengan kasih sayang kepada makhluk-Nya (rahman dan rahim). Dalam Islam, keadilan adalah kebenaran. 

Kebenaran adalah merupakan salah satu nama Allah. Dia adalah sumber kebenaran yang di dalam Alquran disebut al-haq. 

Oleh karena itu, Al-Syaukani dalam Salim, menyatakan bahwa keadilan adalah menyelesaikan perkara berdasarkan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah, bukan menetapkan hukum dengan pikiran.

Apabila prinsip keadilan dibawa ke fungsi kekuasaan negara, maka ada tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara negara atau suatu pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan, yaitu: 

  1. Kewajiban menerapkan kekuasaan negara yang adil, jujur, dan bijaksana; 
  2. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman yang seadil-adilnya; dan 
  3. Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan suatu tujuan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera di bawah keridhaan Allah.

4. Prinsip Persamaan

Prinsip persamaan dalam Islam dapat dipahami antara lain dari firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikut:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)

Ayat itu melukiskan bagaimana proses kejadian manusia. Allah telah menciptakannya dari pasangan laki-laki dan wanita. 

Pasangan yang pertama adalah Adam dan Hawa, kemudian dilanjutkan oleh pasangan-pasangan lainnya melalui suatu pernikahan atau keluarga. 

Jadi semua manusia melalui proses penciptaan yang “seragam” yang merupakan suatu kriterium bahwa dasarnya semua manusia adalah sama dan memiliki kedudukan yang sama. Inilah yang disebut prinsip persamaan.

5. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia

Dalam Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Dalam hal ini ada dua prinsip yang sangat penting, yaitu prinsip pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan terhadap hak-hak tersebut. 

Prinsipprinsip itu secara tegas digariskan dalam Al-Qur’an antara lain :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.S. al-Israa’ [17]: 70)

Ayat tersebut di atas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks Al-Qur’an disebut karamah (kemuliaan). 

Hal itu mengandung prinsip pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar yang dikaruniakan Allah kepadanya. 

Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersebut ditekankan pada tiga hal, yaitu: persamaan manusia, martabat manusia, dan kebebasan manusia.

6. Prinsip Peradilan Bebas

Prinsip ini berkaitan dengan prinsip keadilan dan persamaan. Dalam Islam seorang hakim memiliki kewenangan yang bebas dalam mengambil keputusan. 

Hakim wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapapun berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala berikut:

...وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ...

“Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 58)

Dengan demikian, putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan hukum terhadap siapapun. 

Prinsip peradilan bebas dalam Islam bukan hanya sekedar ciri bagi suatu negara hukum, akan tetapi juga ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap hakim. 

Peradilan bebas merupakan persyaratan bagi tegaknya prinsip keadilan dan persamaan hukum.

7. Prinsip Perdamaian

Islam adalah agama perdamaian. Olehnya itu, Al-Qur’an sangat menjunjung tinggi dan mengutamakan perdamaian sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً 

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan.” (Q.S. AlBaqarah [2]: 208)

Pada dasarnya sikap bermusuhan atau perang merupakan sesuatu yang terlarang dalam Al-Qur’an. Perang hanya merupakan suatu tindakan darurat dan bersifat defensif atau membela diri.

8. Prinsip Kesejahteraan

Prinsip kesejahteraan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi bagi seluruh anggota masyarakat atau rakyat. Tugas itu dibebankan kepada penyelenggara negara dan masyarakat. 

Al-Qur’an telah menetapkan sejumlah sumber-sumber dana untuk jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang memerlukannya dengan berpedoman pada prinsip keadilan sosial dan keadilan ekonomi. 

Sumber-sumber dana tersebut antara lain adalah: zakat, sadaqah, hibah, dan wakaf. Mungkin juga dari pendapatan negara seperti pajak, bea, dan lain-lain.

9. Prinsip Ketaatan Rakyat

Prinsip ketaatan rakyat telah ditegaskan Al-Qur’an berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 59)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa “menaati Allah” itu berarti tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah, “menaati Rasul” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan Rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Dan “menaati ulil amri” ialah tunduk kepada ketetapan-ketetapan petugas-petugas kekuasaan masing-masing dalam lingkungan tugas kekuasaannya, selama ketetapan-ketetapan itu tidak bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Kesimpulan

1. Penerapan hukum pidana dalam Islam, ditempuh dua macam cara yaitu menetapkan hukum berdasarkan nash, dan menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri).

Perbuatan dalam kategori pertama Islam tidak memberikan kesempatan kepada penguasa (ulil amri) untuk menetapkan hukuman yang menyimpang dari ketentuanketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits. 

Hukuman-hukuman untuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok yang pertama tersebut berlaku sepanjang masa dan tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu.

2. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash, dan jarimah ta’zir. 

Jarimah hudud dimana yang hukumannya telah ditentukan oleh syara’, nash-nash tentang hukuman tersebut secara tegas dan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan sunnah, antara lain: 

  1. Tindak pidana zina; 
  2. Tindak pidana qadzaf (menuduh zina); 
  3. Tindak pidana pencurian (sariqah); 
  4. Tindak pidana perampokan (hirobah); 
  5. Tindak pidana minuman keras; 
  6. Tindak pidana riddah (keluar Islam); 
  7. Pemberontakan; dan 
  8. Pembunuhan (qatl) dan penganiyaan. 
Jarimah qishash adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan atau menghilangkan jiwa, misalnya tindak pidana pembunuhan.

Jarimah Ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak ditetapkan hukumannya dalam Al-Qur’an dan Hadits . Sedangkan pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim Islam atau penguasa.

3. Prinsip ajaran Islam dalam penerapan hukum tata negara, antara lain: 

  1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah; 
  2. Prinsip musyawarah; 
  3. Prinsip keadilan; 
  4. Prinsip persamaan; 
  5. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; 
  6. Prinsip peradilan bebas; 
  7. Prinsip perdamaian;  
  8. Prinsip kesejahteraan; dan 
  9. Prinsip ketaatan rakyat.

0 Response to "Ajaran Islam Dalam Penerapan Hukum"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak