Hubungan Sejarah dengan Ilmu Sosial

Sejarah sering dikatakan sebagai pengetahuan tentang kejadian masa lalu yang dirangkai secara kronologis, kausalitas, dan imajinatif. 

Pada umumnya yang direkontruksi bersifat heroik (patriotisme). Isi kisahnya lebih difokusnya pada tokoh-tokoh besar. 

Sementara dimensi yang dominan dikaji ialah aspek politik dari sebuah peristiwa. Karena itu, hasil rekontruksinya hanyalah sebuah kronikrl panjang yang bertumpu pada rentetan peristiwa besar dan peran tokoh besar terutama yang berkaitan dengan politik kekuasaan dan pemerintahn.

Kontruksi seperti itu memberikan ruang bagi pengungkapan dimensi lain, selain politik, dari kehidupan umat manusia (yang tidak hanya diperankan oleh seorang tokoh besar (raja, kaisar, sultan dan sebagainya) seutuhnya.

Perkembangan sosial, ekonomi, budaya, dan mentalita tidak tercakup dalam kontruksi masa lalu seperti itu. Lalu apakah dimensi tersebut diabaikan dalam sejarah? 

Bila mengacu pada konsep sejarah sebagai segala sesuatu yang telah terjadi dan berkaitan dengan perkembangan masyarakat manusia, maka orientasi rekontruksi sejarah, yang sangat bernuansa politik sudah, juga diperluas pada dimensi- dimensi lain dari sejarah kehidupan manusia.

Sejarawan harus bertindak lebih sistematis. Kuantifikasi harus menggantikan intuisi yang samar- samar. Tidak cukuplah mengatakan bahwa pada 1930 kondisi perekonomian Indonesia mengalami kehancuran akibat despresi ekonomi dunia pada saat itu. 

Dengan tepat harus di tetapkan berapa jumlah produksi komoditi yang tidak bisa memasuki pasaran dunia, dan presentase yang tetap eksis dalam jaringan niaga. 

Singkatnya pengkajian sejarah yang lunak hendaknya diganti dengan angka-angka yang jelas (kuantifikasi). 

Pada 1972, sejarawan Amerika, L. Benson mengungkapkan harapannya bahwa di masa yang akan mendatang semua sejarawan menjadi yakin jika masa silam hanya dapat diteliti dengan penuh arti bila diminta bantuan dari ilmu-ilmu sosial. 

Perkembangan ilmu sejarah pasca Perang Dunia II menunjukkan kecenderungan kuat untuk mempergunakan pendekatan ilmuilmu sosial dalam kajian sejarah. 

Menurut Ankersmit hal itu didasari oleh pemikiran bahwa:

  1. Sejarah deskriptif – naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks dalam peristiwa sejarah. 
  2. Pendekatan multidimensional yang bertumpu pada penggunaan konsep dan teori ilmu sosial paling tepat untuk memahami gejala atau masalah yang kompleks itu. 
  3. Dengan bantuan teori-teori ilmu sosial, yang menujukkan hubungan antara berbagai faktor (inflansi, Pendapatan nasional, pengangguran, dan sebagainya), maka pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitaif maupun kualitatif.
  4. Teori- teori ilmu sosial biasanya berkaitan dengan struktur umum dalam kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori tersebut dapat digunakan untuk menganalisis peerubahan-perubahan yang memiliki jangkauan luas Bila teori-teori sosial itu dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan mengunakan teori-teori itu pengkajian sejarah juga dapat diandalkan seperti hal nya ilmu-ilmu sosial yang terbukti kesahihan studinya. 
  5. Studi studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal – hal informatif tentang “apa”, “siapa”, “kapan”, “dimana”, dan “bagaimana” tetapi juga melacak pelbagai struktur masyarakat (sosiologi), pola kelakuan (antropologi), dan sebagainya. 
Studi yang mengunakan pendekatan ini akan melahirkan karya sejarah yang sosiologis (anthropological history) dan sejarah yang sosiologis ( sosiologycsl history).

Meskipun pengunaan ilmu- ilmu sosial sangat penting, namun terdaapt pula kalangan yang justru sebaliknya atau kontra dengan cara berfikir semacam itu. Keberatan mmereka, menurut Ankersmit, juga didasarkan pada empat pemikiran : 

  1. Bahan sumber sejarah sering tidak lengakap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori- teori dari ilmu- ilmu sosial. 
  2. Sering pendekatan sosio-historis di permasalahkan memotong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat pada segi-segi tertentu dari masa silam yang dapat dikaji dengan bantuan ilmu- ilmu sosial. Alhasil, masa silam tidak dapat dipaparkan secara utuh. 
  3. Pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan mengenai masa silam dari pada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan angka-angka statistik. Dalam konteks ini maka pendekatan hermeutika memang lebih berhasil melukiskan wajah masa lalu. 
  4. Pendekatan terhadap masa silam yang menggunakan teori-teori ilmu sosial hanya dapat digunakan sejauh dapat diandalkan. Kesahihan teori- teori sosial sering disansikan. Sebab ia sering berpangkal pada pandangan-pandangan hidup, ideologi- ideologi politik atau modern yang sedang berlaku.

Terlepas dari konteks pro dan kontra pengkajian sejarah mengunakan teori- teori ilmu sosial, namun patut direnungkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini hampir sudah sulit dibedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya. 

Pendekatan inter-disipliner kini sangat dominan mewarnai wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah sebagai salah satu bidang ilmu tidak seharusnya menarik diri dari fenomena itu, melainkan harus mampu bermain di tengahnya, sehingga tidak dianggap himpunan pengetahuan tentang masa lalu semata, tanpa bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan kehidupan manusia, sebagimana visi sebuah ilmu pengetahuan.

Mengacu pada pemikiran tersebut, selanjutnya dikemukakan beberapa ilmu sosial dalam persinggungannya dengan studi sejarah. 

Lima disiplin yang dijelskan yaitu: ilmu politik, antropologi, sosiologi, ekonomi dan psikologi.

0 Response to "Hubungan Sejarah dengan Ilmu Sosial"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak