Psikologi oversharing di media sosial
Psikologi di balik oversharing di media sosial adalah topik yang kaya dan kompleks, mencerminkan perpaduan antara kebutuhan emosional, dinamika sosial, dan pengaruh teknologi. Berikut analisis mendalamnya:
1. Kebutuhan Dasar Manusia: Validasi dan Koneksi
- Teori Maslow: Dalam hierarki kebutuhan, manusia mencari rasa memiliki dan penghargaan (belongingness dan esteem). Media sosial jadi alat cepat untuk memenuhi ini. Dengan oversharing—misalnya menceritakan detail pribadi atau emosi mentah—seseorang berharap mendapat empati, dukungan, atau sekadar perhatian dari orang lain.
- Social Penetration Theory: Psikolog Irwin Altman dan Dalmas Taylor bilang hubungan berkembang lewat pengungkapan diri. Oversharing di media sosial bisa jadi usaha mempercepat kedekatan, meski kadang audiensnya adalah orang asing, bukan teman dekat.
2. Efek Sistem Reward Otak
- Ketika seseorang membagikan sesuatu yang personal dan mendapat likes, komentar, atau shares, otak melepaskan dopamin, hormon kesenangan. Oversharing jadi adiktif karena memberikan imbalan instan, mirip seperti efek permainan slot: "Apa yang akan aku dapat kali ini?"
- Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas di media sosial mengaktifkan nucleus accumbens, bagian otak yang terkait dengan reward, lebih kuat saat kita bicara tentang diri sendiri ketimbang orang lain. Jadi, oversharing memuaskan secara biologis.
3. Mekanisme Koping Emosional
- Katarsis: Dalam psikologi, mengungkapkan emosi bisa melegakan. Oversharing—seperti curhat tentang masalah pribadi—bisa jadi cara "membuang" beban emosional ke ruang publik. Contohnya, posting panjang tentang hari buruk atau konflik keluarga.
- Namun, ini bisa jadi pedang bermata dua: kalau responsnya negatif, malah tambah stres.
4. Desakan untuk Tampil Autentik
- Budaya media sosial sering memuja "keaslian." Oversharing dianggap sebagai bukti bahwa seseorang tidak berpura-pura atau menyembunyikan kekurangan. Ini didorong oleh narasi populer seperti "real is the new perfect."
- Tapi, ironisnya, oversharing kadang justru dipoles—dipilih dan dikemas—untuk tetap menarik, jadi ada batas tipis antara autentik dan performatif.
5. Kepribadian dan Oversharing
- Narsisme: Studi (misalnya dari Buffardi & Campbell, 2008) menemukan orang dengan kecenderungan narsistik lebih sering overshare di media sosial. Mereka menikmati sorotan dan melihat platform sebagai panggung untuk "aku."
- Kecemasan Sosial: Sebaliknya, orang dengan social anxiety mungkin overshare sebagai cara overcompensating—berbagi terlalu banyak untuk menghindari kesalahpahaman atau menutupi rasa tidak aman.
- Ekstrovert vs. Introvert: Ekstrovert cenderung lebih nyaman oversharing karena mereka terbiasa ekspresif, sementara introvert mungkin melakukannya kalau merasa aman di lingkungan digital.
6. Pengaruh Norma Sosial Digital
- Media sosial menciptakan tekanan konformitas. Ketika orang lain terlihat berbagi tanpa filter (cerita breakup, foto tanpa makeup, dll.), individu merasa harus ikut agar tidak ketinggalan atau terlihat "palsu."
- Tren seperti "mental health awareness" juga mendorong oversharing tentang perjuangan emosional, yang kadang meluas ke detail berlebihan.
7. Efek Desensitisasi
- Paparan terus-menerus terhadap konten pribadi di media sosial membuat orang kehilangan rasa batasan. Apa yang dulu dianggap "terlalu pribadi" (misalnya cerita perceraian atau trauma) kini jadi bahan posting biasa. Ini disebut desensitisasi emosional, di mana malu atau privasi jadi kurang relevan.
8. Motivasi Performatif
- Oversharing sering bukan hanya soal ekspresi, tapi juga strategi. Orang mungkin berbagi detail berlebihan untuk:
- Mendapat simpati ("Hidupku susah, kasihani aku").
- Membentuk identitas ("Aku orang yang terbuka dan jujur").
- Menarik perhatian di tengah kompetisi konten.
Dampak Psikologis Oversharing
- Positif: Bisa meningkatkan rasa lega, koneksi sosial, atau dukungan dari komunitas online.
- Negatif: Risiko oversharing termasuk penyesalan (regret), judgmental dari orang lain, atau eksploitasi informasi pribadi. Studi (Choi & Toma, 2014) menemukan bahwa oversharing sering dikaitkan dengan penurunan well-being kalau responsnya tidak sesuai harapan.
Contoh di Media Sosial
- Twitter: Curhat panjang tentang drama pribadi dalam thread.
- Instagram: Foto atau Stories dengan caption emosional berlebihan.
- TikTok: Video "storytime" yang detailnya kadang terlalu intim.
Jadi, oversharing di media sosial adalah perpaduan antara kebutuhan psikologis manusia dan lingkungan digital yang mendorong eksposur diri.
0 Response to "Psikologi oversharing di media sosial"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak