Perjalanan Hidayah dari Nasrani Menjadi Salafy

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

"TERNYATA MAHAL SEKALI"

Harganya sangatlah mahal. Ia tak terbeli, bahkan dengan harta sepenuh langit dan bumi. Karunia agung yang tidaklah Allah anugerahan kecuali kepada siapa yang Ia kehendaki. Itulah hidayah. Sebuah rahasia ilahi, yang tidak bisa dijangkau oleh akal logika. Ya. Hidayah taufik mutlak ada di tangan-Nya.

Jika melihat salah satu kepingan kisah lintasan sejarah Islam, dan kita nalar secara logika, kadang tidak mampu dijangkau hikmah di baliknya. Kisah Abu Thalib, paman sekaligus pengasuh dan pembela Nabi sebagai contohnya. 

Dalam pandangan pendek kita, manakah yang lebih pantas untuk mendapatkan hidayah antara Abu Thalib yang mempunyai jasa begitu besar terhadap Nabi, ataukah Umar bin Al Khaththab yang di awal-awal masa dakwah Islam sangat keras menentangnya?

Ya, akal kita yang dangkal akan menjawab Abu Thaliblah yang lebih pantas mendapatkan hidayah. Namun, Allah dengan segala kesempurnaan dan hikmah-Nya memilih Umar bin Al Khaththab. 

Ini menunjukkan bahwa hidayah adalah hak kekhususan Allah yang Ia berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya :

"Akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang Ia hendaki. Dan Dia maha mengetahui siapakah yang berhak mendapatkan hidayah." [Q.S. Al Qashash : 56]

Sebuah sunatullah, bahwa sesuatu yang mulia, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang besar untuk meraihnya.

Tidak terkecuali anugerah terindah ini. Berikut sebuah kisah yang menggambarkan kepada kita tentang begitu beratnya perjuangan menggapai dan menjaga nikmat yang agung ini. Sebuah kisah yang semoga bermanfaat.

* * *

Aku adalah seorang yang terlahir dari keluarga besar kristiani. Semua keluargaku, baik dari keluarga besar ibu maupun ayahku memeluk agama kristiani. Yaitu Katolik Roma, ada juga kristen Protestan. Ayahku adalah orang yang berwatak keras dan tegas. 

Setiap kali sang anaknya melakukan sebuah kesalahan, hampir dapat dipastikan akan menerima pukulannya. Terbetiklah rasa takut yang sangat pada diriku untuk melanggar apalagi melawan kemauan ayah. 

Sejak kecil pun aku dididik dalam lingkungan Kristiani yang penuh dengan kebencian terhadap Islam. Mennapaki jenjang sekolah formal, aku disekolahkan di SDK (Sekolah Dasar Katolik). Di sana aku mulai belajar sedikit demi sedikit bagaimana hakikatnya agama Katolik. 

Dari sana pulalah awal mula munculnya kebencian terhadap agama Islam. Karena digambarkan kepada kami para siswa, bahwa agama Islam adalah agama yang keras. Agama yang suka mengebom sana-sini.

Waktu pun terus berjalan. Tidak terasa aku sudah lulus dari SD dan akan beranjak ke SMP. Di kotaku waktu itu terdapat Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK). Namun kualitas sekolah tersebut jelek sekali. 

Akhirnya, ayahku memutuskan untuk menyekolahkanku di sekolah negeri unggulan. Telah dimaklumi dikotaku, bahwa sekolah negeri mayoritas siswanya beragama Islam. Pelajaran agamanya pun agama Islam. 

Sebelum mendaftar di sekolah ini, ayahku mewanti-wanti dan mendoktrin tentang jeleknya Islam. Sehingga tidak pernah terpikir dalam benakku untuk mengetahui dan mempelajari agama Islam. 

Seiring waktu berjalan, akhirnya aku diterima untuk masuk dan belajar di sekolah ini. Aku pun menjadi orang yang asing di sekolah ini. karena aku adalah satu-satunya siswa yang beragama Kristen.

Lambat laun, mau tidak mau, aku pun bergaul dengan para siswa muslim itu. Suatu saat, aku merasa kagum sekali pada salah seorang teman laki-laki karena sikap dan sifat yang ia miliki.

Sebagaimana kita ketahui, musibah besar yang melanda generasi muda, bahwa mereka terjerembab dan berkubang dalam lumpur pergaulan bebas. 

Kecuali mereka dalam jumlah kecil yang masih Allah jaga tentunya. Demikianlah yang terjadi pada para siswa yang masih belia itu.

Terlalu jauh bergaul dengan lawan jenis. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Namun, satu temanku ini sangat berupaya menjaga diri dari pergaulan haram tersebut. 

Karena sikapnya itulah aku merasa takjub dan ingin mengenalnya lebih dekat. Singkat kata, akupun mulai berkenalan dan berteman dengannya. Bahkan kita layaknya seorang sahabat. 

Namun, antara kami ada dinding pembatas yang sangat tebal dan jurang pemisah yang sangat lebar. Yaitu perbedaan keyakinan. Dia seorang muslim, sedangkan saya seorang kristiani. 

Waktu berjalan dan kami menganggap tidak ada perbedaan. Suatu saat, kami terlibat dalam sebuah 'konflik kecil'. Kami berdebat dan berselisih tentang agama. Cukup alot, karena masing-masing mengklaim yang paling benar.

Di saat yang lain, temanku membawakan buku tentang kesalahan ketuhanan Yesus. Aku pun membacanya. Dinukilkan dalam buku tersebut salah satu perkataan Yesus yang tertulis dalam Injil surat Lukas :14, ketika Ia digantung di kayu salib, ucapan terakhir yang ia katakan sebelum kematiannya, "Eloi Eloi Lamma Sabaktani." 

Dalam bahasa Ibrani yang artinya, "Bapa Bapa mengapa engkau meninggalkan aku?" Lalu tertulis sebuah pertanyaan, "Seandainya Yesus adalah Tuhan, mengapa ia tidak menyelamatkan dirinya sendiri?! Dan mengapa Ia masih meminta tolong kepada Bapa?"

Sebagai catatan, yang mereka maksud Bapa adalah Allah. Begitulah orang Nasrani, merasa saking dekatnya hubungan mereka dengan Allah, mereka pun menyeru Allah dengan sebutan bapa.

Terus kubaca tulisan demi tulisan, halaman demi halaman buku tersebut. Pada akhirnya akupun mulai ragu, benarkah agama yang selama ini aku anut? Keyakinankubmulai goncang. 

Aku pun memutuskan untuk mempelajari agama Islam dari temanku ini. Waktu terus berlalu, sampai aku benar-benar yakin bahwa Islam adalah agama yang benar. 

Namun, maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan pun tak sampai. Eaktu itu aku tak memiliki kekuatan untuk menampakan keyakinanku ini. Di samping ketergantunganku pada keluargaku, aku juga diliputi rasa takut kepada ayahku yang amat keras penentangannya terhadap Islam. 

Ditambah kekuatan gereja yang tidak menginginkan jama'ahnya hilang. Begitu pula ayahku sebagai pemuka gereja, tentu akan sangat malu apabila aku masuk Islam. 

Keinginan untuk masuk Islam pun aku urungkan. Kegiatanku sebagai aktivis gereja pun terus berjalan. Di gereja, kami membentuk sebuah organisasi misionaris remaja yang bertugas untuk mencari domba-domba tersesat untuk dibaptis dan masuk agama Katolik. 

Begitulah, dahulu aku sangat bersemangat untuk menyebarkan agama Katolik. Karena, walaupun hati kecilku meyakini Islam adalah agama yang benar, namun kebencian terhadap Islam masih tersisa. 

Hal ini karena pengaruh doktrin yang kuat dari pastorku (seorang pimpinan gereja, semacam kyai dalam Islam). Dalam misi Kristenisasi ini, berbagai upaya ditempuh pihak gereja. 

Diantaranya menyebarkan makanan-makanan pokok dan instan, seperti: mie, susu, beras, dan minyak goreng. 

Membagikan kalender dengan tema-tema Kristiani, memberikan buku-buku Kristen secara gratis, sampai kepada perkawinan dengan wanita-wanita muslimah, terutama anak-anak para kyai.

Di desaku juga terdapat rumah sakit Katolik untuk misi yang sama, yaitu menyebarkan syi'ar-syi'ar agama Katolik. Aku membagikan itu semua tanpa tahu dari mana dana itu berasal. Dengan agresif kami membagi-bagikannya di pulau-pulau terpencil.

Sungguh benar firman Allah:

وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

"Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani tidak akan pernah ridha kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka."[Q.S. Al Baqarah:120] 

Kegiatanku sebagai aktivis gereja terus berlanjut. Sampai akhirnya akupun lulus dari SMP dan berpisah dengan temanku itu. Kami sekolah di SMA yang berbeda. Setelah perpisahan tersebut, kelas 1 di bangku SMA, keadaanku tidaklah membaik. 

Justru bertambah buruk dengan teman-teman Katolik yang berakhlak jelek disekelilingku. Menjadi anak malam, bergaul dengan anak jalanan pun mewarnai lembaran kehidupanku. Namun walaupun keadaanku demikian, aku masih tetap semangat menyebarkan syi'ar-syi'ar Katolik.

Keadaan ini terus berlanjut sampai Allah Subhanahu Wa Ta'ala menakdirkanku bertemu dengan seorang teman muslim yang baik. Aku pun terkagum-kagum pada akhlaknya. Sebagaimana kekagumanku dahulu kepada temanku yang pernah aku kenal di bangku SMP.

Singkatnya, akupun mulai berteman dengannya. Sesekali kami terlibat dalam dialog keagamaan. Aku mulai bertanya kembali tentang hakikat agama Islam. Berteman dengan teman baru ini, semangatku ke gereja dan menyebarkan syi'ar- syi'ar Katolik, tugas sebagai seorang misionaris mulai kendur. 

Sampai-sampai ayah dan pihak gereja memarahiku. Namun, semua itu tidak aku pedulikan. Sampai suatu saat, aku merasa telah kuat untuk menerima segala tantangan dan risiko yang harus kuhadapi apabila aku memeluk agama Islam. 

Di malam hari, tepatnya pada pukul 19.47, tanggal 1-12-2007, aku menyatakan keislamanku pada seorang ustadz, yang ternyata belakangan aku ketahui bahwa ia berpemahaman khawarij.

Malam itu aku ragu apakah harus pulang kerumah ataukah tidak. Aku takut sekali jangan-jangan ayahku akan menyikapiku dengan sesuatu yang buruk. Namun tekadku telah bulat. 

Aku harus kembali pulang dengan segala risikonya. Apalagi, ustadz tersebut menguatkan dan membisikkan agar aku membunuh orang tuaku jika mereka menentang keislamanku. 

Sang ustadz khawarij membawakan ayat tentang wajibnya membunuh orang-orang kafir dimanapun mereka berada. Ia pun memberikan iming-iming bidadari jika aku mati syahid. Dan dalil-dalil lainnya, ia jelaskan sesuai dengan keyakinan khawarij.

Dia membawakan ayat:

وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ

"Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai mereka." [Q.S. Al Baqarah:191] 

"Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih- sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. 

Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam qalbu mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. 

Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. 

رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

"Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."[Q.S. Al Mujadilah:22].

Maka, malam itu, tekad dan niatku untuk pulang sangatlah kuat. Setibanya di rumah, aku menyatakan kepada kedua orang tuaku bahwa aku telah memeluk agama Islam. Ayahku sangat kaget. Lalu ia pun memukuliku dengan selang dan mengunciku dalam kamar. 

Aku tidak boleh keluar sampai mau kembali ke gereja. Namun hal itu tidak membuatku gentar dan surut. Karena ujian yang begitu berat tersebut, akupun memutuskan untuk kabur dari rumah.

Dengan bantuan ibuku, aku berhasil lari menyelamatkan segala apa yang ada pada diriku, terutama anugerah yang paling berharganya yaitu keimananku. 

Aku pergi menuju salah satu pondok Ahlus Sunnah dengan perbekalan yang tipis. Sekadar baju dan celana yang menempel serta uang sebesar Rp. 70.000,-. Sampai di kota Surabaya, aku tertimpa kelaparan yang hebat. 

Lalu kulihat tempat sampah dan makan dari sisa-sisa makanan yang ada. Setelah itu, kulanjutkan perjalanan ke pondok tujuan yang disana ada seorang temanku. Namun, sesampai di pondok, pikiranku tidak kunjung tenang. 

Sampai ibuku menelepon sambil menangis penuh harap agar aku mau kembali ke rumah. Dengan perasaan sangat berat, aku pun memutuskan untuk kembali memenuhi permintaan ibuku.

Di lain pihak, aku juga khawatir, jangan-jangan ayahku nanti memperlakukanku seperti dulu lagi. Tibalah aku di rumah. Benar, beban serasa bertambah sangat berat.

Ayahku sama sekali enggan berbicara denganku. Namun apa boleh buat, semuanya harus kujalani. Dalam keadaan seperti ini, ayahku sempat menyuruhku untuk kuliah.

Namun aku tolak secara halus. Aku sampaikan padanya bahwa aku ingin belajar di pondok pesantren. Saat itulah ayah menampakkan penolakan keras.

Ia mengatakan, "Jika kamu mondok, kamu bukan anakku lagi. Tidak ada apa-apa lagi antara kita."

Aku tetap membulatkan tekadku untuk mondok. Segala risikonya siap aku hadapi.

Alhamdulillah, akhirnya aku pun dimudahkan belajar di salah satu pondok Ahlus Sunnah. Selanjutnya, Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk belajar di negeri Yaman. Menimba ilmu agama di hadapan para ulama.

Sebelum nikmat-nikmat yang besar ini, tak terlupa sebuah nikmat yang sangat disyukuri, alhamdulillah, lambat laun hati kedua orangtuaku semakin melunak.

Makin luluh dan menerimaku kembali. Bahkan, ketika aku pulang ke rumah pada tahun ketiga saat liburan pondok, orang tuaku menyambutku denghan mempersiapkan kue-kue lebaran.

Orang tuaku juga membelikan baju baru untuk hari raya. Alahmdulillah, masya Allah, berlinanglah air mata seorang anak yang sangat berharap bisa memiliki keluarga Islam.

Wahai saudaraku, semangatlah dalam menuntut ilmu agama. Cobalah bayangkan jika Anda sekalian seperti keadaanku. 

Ketika Anda pulang ke rumah, orang tua Anda menyanyikan lagu gereja di samping Anda, ada salib di rumah Anda, tidak ada yang menyiapkan makanan sahur atau berbuka saat Anda puasa Ramadhan, tidak ada satu pun anggota keluarga yang menemani Anda. Bagaimanakan perasaan Anda?

Bersyukurlah wahai saudaraku. Terutama bagi Anda sekalian yang mempunyai orang tua salafi, yang sangat mendukung Anda untuk belajar agama ini.

Manfaatkanlah hal tersebut dengan baik. Karena, mungkin di sekeliling Anda masih banyak orang-orang yang sebenarnya ingin memeluk agama ini, namun apa daya mereka tak mampu, karena ancaman yang begitu besar.

Bukan saja harta atau kedudukan, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Bagi Anda yang sedang menerima ujian, sungguh di baliknya ada hikmah yang agung. 

Begitulah Allah menguji keikhlasan dalam kesendirian. Allah memberi kedewasaan ketika masalah berdatangan. Dan Allah melatih ketegaran dalam kesakitan.

Maka, tetaplah istiqamah. Sertakan Allah di setiap langkah. Hati yang siap memikul amanah adalah hati yang kuat, teguh, dan tulus. Tak berharap apapun, tapi sanggup memberi dengan segenap apapun.

Sebab, ia mengerti hanya dari Allah saja berharap balasan. Jangan pernah engkau meminta untuk di kurangi beban, tapi mintalah punggung ini agar kuat membawanya.

Sahhalallahu lana fil khair. Semoga Allah memudahkan kita dalam kebajikan.

0 Response to "Perjalanan Hidayah dari Nasrani Menjadi Salafy"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak