Berputus Asa Ketika Susah

Bismillâhirrahmânirrahîm. Puji dan syukur kepada Allah subhânahu wata’âla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya, 

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.

Berpaling Ketika Senang, Berputus Asa Ketika Susah

Allah Subhanahu wa ta 'ala menggambarkan keadaan manusia dalam menghadapi realitas kehidupan bernama senang dan susah di dalam fi rman-Nya berikut ini.

وَاِذَآ اَنْعَمْنَا عَلَى الْاِنْسَانِ اَعْرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِهٖۚ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ كَانَ يَـُٔوْسًا

Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. (QS. Al-Israa’ [17]: 83)

Keadaan manusia menurut ayat itu ialah berpaling ketika senang dan berputus asa ketika susah. Siapakah mereka itu, para pembaca? Dan apa yang dimaksud dengan berpaling ketika senang dan berputus asa ketika susah?

Di dalam Tafsir Al-Qurthubi dinyatakan bahwa itu adalah keadaan orang-orang yang tidak beriman kepada Alquran. Sifat mereka ketika diberi kesenangan adalah berpaling. 

Yang dimaksudkan berpaling di ayat itu ialah tidak mau memikirkan ayat-ayat Allah, mengingkari nikmat-nikmat-Nya, dan juga tidak mau melaksanakan hak-hak Allah. 

Sedangkan kalau mendapat kesusahan, mereka berputus asa karena tidak percaya kepada anugerah Allah Subhanahu wa ta 'ala.

Sementara di dalam Tafsir Ibnu Katsir ditandaskan bahwa ayat itu menggambarkan kekurangan manusia dalam dua keadaan, senang dan susah. 

Ketika diberi nikmat yang bermacam-macam, manusia tidak mau taat dan beribadah kepada Allah serta menjauh dari-Nya. Sedangkan apabila ditimpa kesusahan, manusia berputus asa. Yakni tak ada harapan lagi untuk kembali memperoleh kebaikan setelah datangnya kesusahan.

Pembaca, keadaan manusia seperti digambarkan oleh ayat tadi bisa dilihat di masyarakat saat ini. Orang-orang yang maksiat ketika senang dan berputus asa tatkala susah itu dapat kita temui di masyarakat.

Meskipun orang-orangnya ternyata mengaku telah beriman kepada Allah, tapi perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan seorang mukmin.

Coba kita lihat pemandangan orang-orang yang mengaku beriman itu. Bagaimana perilakunya? Apakah yang dia lakukan pada saat diberi kehidupan yang serba ada, cukup, atau glamor? 

Benarkah dia seorang mukmin? Kalau iya, mengapa kok masih maksiat? Di manakah imannya ketika dia pergi ke diskotik, menikmati tarian telanjang, berzina, mabuk, mencuri, dan korupsi? Di manakah imannya? Di manakah kemukminannya?

Sungguh memprihatinkan sekali melihat keadaan manusia yang berpaling dari Allah itu ada di depan mata. Mereka berpaling dari taat kepada Allah yang memberi nikmat. 

Duit banyak yang mereka terima dari Allah dipakai bersenang-senang dalam arti melanggar larangan Allah: zina, mabuk, korupsi, mengumbar aurat, dan lain-lain.

Demikian pula ketika susah. Banyak orang yang mengaku mukmin tidak shalat, putus asa, menjauh dari Allah yang katanya diimani, dan bahkan sampai bunuh diri. Contoh sederhana yang mungkin masih kita lakukan. 

Ketika suatu saat keinginan yang kita mintakan kepada Allah belum tercapai, kadang kita malas untuk tetap shalat tahajud seperti pada waktu pertama kalinya.

Pada saat alarm handphone sudah berbunyi tepat pukul 02.00 WIB, sempat terlintas di hati seakan-akan sudah tidak butuh berdoa. Sebab, keinginannya merasa tidak terpenuhi. 

Masya Allah. Semoga kita tidak memiliki lintasan pikiran seperti itu. Astaghfi rullahaladzim. Janganlah Allah didatangi hanya karena kita mempunyai keinginan!

Keadaan yang sudah saya gambarkan di atas sepertinya sudah melekat pada diri manusia. Ketika dalam keadaan susah, dia memohon pertolongan kepada Allah. Begitu sudah keluar dari kesusahannya, dia lupa seakan tidak pernah minta tolong. 

Dan apabila suatu ketika ditimpa kesusahan lagi, dia berputus asa. Kita sangat prihatin melihat keadaan orang-orang beriman yang memakai nikmat Allah untuk berzina, mabuk, korupsi, ataupun mengumbar aurat. 

Kita pun prihatin sekali menyaksikan banyak orang mukmin yang menggunakan musibah sebagai alasan untuk tidak shalat, putus asa, dan bahkan sampai bunuh diri.

Mengapa kita harus prihatin, para pembaca?nYa, karena yang namanya iman yang benar itu harus mengandung tiga unsur sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Dari Ali bin Abi Thalib berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 “Iman itu adalah pengakuan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dikerjakan dengan anggota badan”. (HR. Ibnu Majah)

Orang-orang yang masih berbuat maksiat ketika diuji Allah dengan kesenangan dan kesusahan, berarti imannya belum benar. Sebab, perbuatannya bertentangan dengan pengakuan dan ucapannya.

Mereka belum membuktikan pengakuan dan ucapannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Ibaratnya, iman mereka hanya di bibir saja (lip service).

KH Zainuddin MZ juga pernah mengumpamakan bahwa imannya orang-orang yang masih suka maksiat itu ditaruh di dalam laci. 

Dipakai pada saat di rumah saja. Begitu keluar rumah, imannya tidak dibawa ke mana pun ia pergi.  Kalau saja imannya selalu dibawa serta, insya Allah seseorang tidak akan berbuat maksiat.

Seandainya ketika senang iman selalu ikut serta, maka dia tidak akan mengumbar pandangan, membuka aurat, mabuk-mabukan, berzina, ataupun korupsi. 

Demikian juga, apabila iman selalu dibawa serta pada waktu susah, maka seseorang tidak bakal meninggalkan shalat, putus asa, maupun bunuh diri.

Dengan demikian, keadaan manusia yang berpaling ketika senang dan berputus asa ketika susah itu memang berkaitan dengan keimanan. 

Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir tadi sudah menyebutkan itu adalah keadaan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Bahkan, Tafsir Jalalain lebih tegas lagi bahwa itu memang keadaan orang-orang kafi r. Demikian pula, keadaan orang-orang zaman sekarang. Keadaan memprihatinkan itu pun karena keimanan yang tidak benar.

Iman kepada Allah ialah mengakui bahwa Dialah yang menciptakan makhluk, memiliki mereka, menghidupkan dan mematikan mereka, memberi manfaat dan mudharat kepada mereka, mengabulkan doa mereka ketika dalam bahaya, berkuasa atas mereka, serta memberi dan menolak mereka. 

Iman kepada Allah berarti meyakini bahwa menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah Subhanahu wa ta'ala sebagaimana dinyatakan di dalam fi rman-Nya, 

اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

“... Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A’raaf [7]: 54)

Keyakinan semacam itu disebut tauhid rububiyah. Dan termasuk tauhid rububiyah juga adalah iman kepada qadarnya Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Yaitu percaya bahwa semua yang terjadi atas pengetahuan (ilm), kehendak (iradah), dan kekuasaan (qudrah) Allah Subhanahu wa ta'ala. Dengan ungkapan lain, tauhid rububiyah ialah pengakuan bahwa Allahlah pelaku mutlak di alam ini.

Dari pengertian tauhid rububiyah itu, konsekuensinya adalah percaya bahwa senang dan susah itu berasal dari Allah dan merupakan ujian dari-Nya. 

Nah, orangorang yang berpaling ketika senang dan berputus asa ketika susah, imannya sudah tidak sesuai dengan tauhid rububiyah tadi. 

Keadaannya seperti itu, karena dia salah dalam memandang senang dan susah. Dia meyakini senang-susah bukan dari Allah dan juga bukan merupakan ujian.

Manusia menganggap kesenangan yang diraihnya karena ilmunya semata, sehingga dia berbuat semau gue. Begitu pula, dia menganggap kesusahan yang sedang menimpanya adalah kesalahannya, sehingga dia meratapi terus-menerus sampai akhirnya berputus asa. 

Seakan-akan di dalam senang dan susahnya tidak ada Allah. Dia tidak menggunakan iman di dalam memandang senang dan susah.

Maka itu, keadaan manusia yang berpaling ketika senang dan berputus asa ketika susah tersebut bisa diubah dengan orientasi akidah yang benar tentang senang-susah atau nikmat-musibah. Ya, pemahaman keliru mengenai senang-susah itu harus diubah.

PenulisAchmad Sjamsudin

Sallam bahagia sukses dunia akhirat

0 Response to "Berputus Asa Ketika Susah"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak