Berkenalan Dengan Mindfulness

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

BERKENALAN DENGAN MINDFULNESS

Al-Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyampaikan sebuah hadist Rasulullah tentang pentingnya menundukkan hawa nafsu,

رَجَعْنَا مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَي اْلجِهَادِ اْلأَكْبَرِ. قَالُوا: وَمَا جِهَادُ اْلأَكْبَرِ؟ قَالَ: جِهَادُ اْلقَلْبِ أَوْ جِهَادُ النَّفْسِ

Rasulullah bersabda, "Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar." Para sahabat berkata, "Apakah jihad besar itu?" Nabi menjawab, "Jihad hati atau jihad nafsu.”

Hadist tersebut disampaikan setelah kepulangan Nabi dan para sahabat dari perang Badar. Makna utamanya adalah berperang melawan hawa nafsu sama pentingnya dengan berperang melawan musuh yang memegang senjata.

Makna lain dari sabda Rasulullah tersebut untuk memberi penekanan bahwa detik-detik perang melawan musuh sudah selesai, dengan perkataan beliau roja'na (kita sudah kembali). 

Artinya, medan bertempur telah ditinggalkan. Maka jangan sampai pikiran ini masih saja "menghadapi musuh". Apa yang sudah terjadi maka lepaskanlah dan segera beralih kepada apa yang ada di hadapan kita sekarang.

Selanjutnya Rasulullah menerangkan bahwa perjuangan yang kini sedang dihadapi adalah melawan hawa nafsu, maka inilah jihad yang ditempuh berikutnya.

Bandingkan dengan orang-orang musyrik yang kalah dalam perang Badar, saat mereka kembali ke kampung halaman ternyata pikiran mereka masih saja "menghadapi musuh" padahal kenyataannya mereka sudah berada di rumah.

Mereka masih menyimpan dendam, matanya tidak bisa tidur memikirkan apa yang sudah selesai tersebut. Itulah sebabnya mereka lanjut mengatur siasat pembalasan yang kelak menjadi perang Uhud.

Alangkah indahnya Rasulullah yang mengajarkan agar pikiran kita benar-benar berada pada momentum yang sedang berlangsung. 

Apabila di medan tempur, tentu berjihad melawan musuh. Namun setiba di rumah, tinggalkan musuh dan waktunya berjihad melawan nafsu.

Inilah yang disebut orang-orang barat di masa kini sebagai mindfulness, yaitu seni menikmati hidup menurut momen yang sedang berlangsung. Bukan momen yang telah berlalu.

Contohnya ketika kemarin kita bertemu tetangga, lantas ia mengucapkan kalimat yang menyinggung perasaan kita. Tentu saja kita tersinggung ketika kemarin mendengarnya.

Namun menjadi aneh, jika sampai hari ini kita masih tersinggung. Karena detik-detik proses mendengarnya sudah selesai. Artinya, momen tersebut harus sudah ditinggalkan.

Jika kita terus memikirkan ucapan tetangga tersebut, sama saja pikiran ini masih "menghadapi musuh". Apa yang sudah terjadi maka lepaskanlah dan segera beralih kepada apa yang ada di hadapan kita sekarang.

Tak salah jika Sahabat Umar bin Khattab memberi tips mindfulness seperti tersebut dalam kitab Al-Iqdul Farid,

إذا سمعت الكلمة تؤذيك فطأ طئ لها حتى تتخطاك

"Jika engkau mendengar kata-kata yang menyakitkan dirimu tundukkanlah kepalamu sehingga kata-kata tersebut berlalu."

Mengertilah kita bahwa prinsip live in the moment (hidup pada saat yang sedang berlangsung) adalah warisan dari Rasulullah dan para sahabat. 

Sejatinya bila kita praktikkan dengan sungguh-sungguh akan diperoleh kedamaian sejati. Karena kita tak perlu meresahkan apa yang sudah berlalu.

Salam Bahagia Sukses Dunia Akhirat 

0 Response to "Berkenalan Dengan Mindfulness"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak