Janabah

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Definisi Janabah

Istilah janabah ini digunakan untuk menunjukkan kondisi seseorang yang sedang berhadats besar karena telah melakukan hubungan suami istri, ataupun sebab-sebab lainnya, janabah dan hadas besar itu adalah dua kata yang mempunyai maksud yang sama.

Penyebab Janabah

Seseorang dihukumi sebagai janabah (junub) karena salah satu dari dua alasan, yaitu jimak (kontak kelamin) dan ejakulasi (keluar mani).

Bila seorang melakukan kontak kelamin, walau hanya sebatas bagian depan penis yang dikhitan atau lebih dari itu, dengan laki-laki atau perempuan, melalui vagina maupun anus, terhadap seseorang yang balig ataupun belum balig, disertai dengan ejakulasi (keluarnya air sperma) maupun tidak, maka ia dikenai hukum junub.

Bila seseorang ragu apakah telah melakukan kontak kelamin sebatas yang telah dikhitan atau tidak, maka ia tidak diwajibkan mandi janabah.

Bila air mani (sperma) keluar dari kemaluan dengan cara apapun, dalam mimpi maupun sadar, banyak ataupun sedikit, disertai dengan orgasme ataupun tidak, keluar dengan sengaja ataupun tidak, dan diyakini (dipastikan) sebagai air sperma, maka cairan tersebut dihukumi sebagai janabah.

Bila cairan yang keluar dari kelamin tidak diketahui jenisnya dan diragukan sebagai mani, maka ia dihukumi sebagai mani bila keluar dari kelamin laki-laki yang sehat (tidak sedang sakit) dan memiliki tiga ciri sebagai berikut:

a. keluarnya disertai dengan orgasme

b. keluar dengan hentakan

c. badan terasa lelah setelah cairan keluar.

Bila cairan itu keluar dari kelamin laki-laki yang sedang sakit atau dari seorang wanita, maka ciri pertama saja, yaitu “keluarnya cairan dengan syahwat” sudah cukup untuk dijadikan dasar untuk menghukuminya sebagai mani (cairan yang mewajibkan mandi). 

Sedangkan ciri-ciri lainnya bukanlah keharusan, meski wanita dan laki-laki yang sakit dianjurkan untuk berwudhu setelah mandi atau sebelumnya, (bila memang sebelumnya tidak berwudhu dan akan melakukan perbuatan yang mengharuskan kesucian berwudhu), terutama bila cairan yang keluar tidak memiliki tiga ciri diatas.

Bila mani telah keluar dari tempatnya namun tidak keluar ke permukaan (tidak terlihat, namun dirasakan), atau diragukan keluar atau tidak, maka tidak dikenai hukum wajib mandi.

Anjuran Istibra’ bagi Yang Junub

Seseorang yang mengalami ejakulasi dianjurkan (mustahab) untuk kencing (istibra’ dengan kencing). Bila ia tidak kencing setelah mengalami ejakulasi dan setelah mandi, keluar cairan yang tidak diketahui apakah mani atau cairan lainnya, maka cairan tersebut dihukumi sebagai mani, dan ia diwajibkan mandi lagi.

Meyakini dan Meragukan Mani

Bila seseorang menemukan mani pada baju- nya dan diyakini itu adalah maninya sendiri dan belum melaksanakan mandi wajib karenanya, maka ia berkewajiban untuk mandi. Begitu juga shalat yang diyakini telah dilakukan dalam kondisi demikian wajib diulang kembali shalatnya.

Namun bila sekedar dugaan, bahwa mani keluar seusai melaksanakan shalat, maka ia tidak diharuskan untuk mengqadha’nya. Bila mengetahui bahwa mani itu keluar dari kelaminnya, tetapi tidak mengetahui apakah mani itu karena janabah yang sekarang atau yang sebelumnya, maka ia tidak diwajibkan mandi, meski sebaiknya (ihtiyath) ia mandi.

Mani akan menjadi penyebab janabah bila keluar dari dirinya sendiri. Karenanya, bila seorang perempuan mengeluarkan mani dari vaginanya yang ia yakini sebagai mani suaminya, maka ia tidak wajib mandi, kecuali meyakininya sebagai maninya sendiri yang telah bercampur dengan mani suaminya.

Wanita dan laki-laki terkena hukum junub bila mengalami ihtilam. Karenanya, bila seorang perempuan bermimpi lalu mengeluarkan mani, maka ia wajib mandi janabah.

Syarat-syarat Keabsahan Mandi Janabah

Amalan ibadah yang keabsahannya bergantung pada mandi janabah adalah sebagai berikut:

1. Shalat-shalat wajib (baik qadha’ atau ada’), shalat-shalat sunah, qadha’ dari bagian shalat yang terlupakan dan shalat ihtiyath. Shalat jenazah, sujud syukur, sujud wajib saat mendengar ayat sajdah tidak diharuskan suci dengan mandi dari janabah.

2. Thawaf wajib.

3. Puasa pada bulan Ramadhan dan qadha’nya.

Bila membiarkan diri janabah dan tidak mandi wajib sampai menjelang Subuh baik sengaja atau lupa maka puasanya tidak sah.

Semua puasa wajib, berdasarkan kehati-hatian maksimal (ihtiyath wajib) tidak diperbolehkan tetap dalam keadaan janabah dengan sengaja hingga waktu Subuh. 

Sedangkan janabah yang disengaja dilakukan di pertengahan hari, membatalkan semua puasa meskipun puasa sunah, kecuali bermimpi basah (mengeluar- kan mani ketika tidur) pada siang hari puasa tidak membatalkan puasa.

Mandi Irtimasi dan Mandi Tartibi

Semua mandi baik wajib atau mustahab dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara; irtimasi dan tartibi.

Secara umum diperbolehkan memilih salah satu cara mandi yang disebutkan di atas, kecuali dalam dua kondisi wajib mandi tartibi; pertama, seseorang yang berpuasa wajib atau sedang berihram untuk haji atau umrah, karena bila menyengaja ber-irtimasi, maka mandinya batal; kedua, bila pada sebagian anggota mandinya terdapat jabirah (pembalut luka) maka diwajibkan mandi dengan cara tartibi.

Kerharusan Mandi Irtimasi

Adakalanya mandi irtimasi diwajibkan, yaitu bila kita berada di akhir waktu, sedangkan mandi dengan tartibi akan meniscayakan shalat di luar waktu (qadha’), maka wajib mandi irtimasi agar lebih cepat dan lebih singkat dan dapat melak- sanakan shalat dalam waktu.

Semua Bagian Luar Tubuh wajib Terkena Air

Bila ada bagian dari anggota badan yang tidak terbasuh walau hanya sebesar ujung rambut maka mandinya batal, namun tidak diwajibkan membasuh bagian-bagian (dalam) yang tidak terlihat seperti lubang telinga, lubang hidung, dan bagian anggota tubuh yang diragukan apakah termasuk bagian luar atau dalam, meskipun dianjurkan (ihtiyath) membasuhnya. Namun bila ukuran lubang telinga besar sehingga dapat terlihat dari luar, maka wajib membasuhnya.

Rambut atau bulu-bulu halus di tubuh wajib dibasuh, dan berdasarkan kehati-hatian (ihtiyath) bulu-bulu yang panjang juga dibasuh.

Kehabisan Waktu Mandi

Bila seseorang menganggap bahwa dirinya memiliki cukup waktu untuk mandi dan shalat, kemudian mandi untuk shalat, tetapi ternyata setelah mandi menyadari bahwa ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mandi, maka mandinya sah.

Uang Sewa Kamar Mandi

Seseorang yang berencana untuk tidak memberikan uang sewa kamar mandi umum, atau akan membayarnya dengan uang haram atau uang yang tidak di-khumus-i, atau dia berniat untuk membayar uang sewa kemudian (sebagai hutang, namun ia tidak mengetahui adanya persetujuan pemilik kamar mandi tersebut, walaupun setelah mandi ia berhasil untuk membuatnya setuju (rela), batal mandinya.

Bila penjaga kamar mandi umum merelakan uang sewa kamar mandi sebagai hutang yang wajib dibayar kemudian, tetapi pelaku mandi bertujuan tidak akan membayar hutangnya, maka keabsahan mandinya bermasalah.

Bila ragu apakah sudah mandi atau belum maka hendaknya mandi, tetapi bila setelah mandi mengalami keraguan apakah mandinya sah atau tidak, maka ia tidak wajib mengulang mandi.

1 Mandi dengan Banyak Niat

Seseorang yang memiliki tanggungan beberapa mandi wajib, diperbolehkan melakukan satu mandi dengan sejumlah niat, atau melakukan beberapa mandi sebanyak niatnya.

Mengulang Mandi

Bila seseorang yakin bahwa mandi yang telah dilakukannya tidak sesuai aturan hukum, maka ia wajib mengqadha shalatnya, namun tidak wajib mengqadha’ puasanya.

Antara Mandi Irtimasi dan Mandi Tartibi

1. Dalam mandi irtimasi, sebelum mandi seluruh anggota badan wajib suci (kecuali najis yang akan suci dan hilang dengan mencelupkan diri ke dalam air), namun dalam mandi tartibi, pelaku tidak diwajibkan untuk membersihkan seluruh anggota badan dari najis terlebih dahulu sebelum mandi, meskipun boleh (cukup) membersihkan anggota badan yang akan dibasuh.

2. Bila setelah mandi dengan irtimasi ditemukan penghalang air pada salah satu anggota tubuh, maka mandinya batal. Adapun dalam mandi tartibi tidak batal, namun dapat diperbaiki dengan memperhatikan terlebih dahulu peng-halang tersebut berada di bagian anggota badan yang mana, bila berada di bagian kiri, setelah menghilangkan penghalangnya maka berniat mengulangi mandi di tempat itu saja dan mandinyapun sah. 

Bila penghalang tersebut berada di bagian kanan, maka hendaknya menghilangkan penghalangnya terlebih dahulu kemudian berniat mengulangi mandinya di bagian tersebut dan mengulang mandi pada bagian kiri, maka sahlah mandinya, dan bila terdapat penghalang di kepala dan leher, hendaknya menghilangkannya terlebih dahulu kemudian berniat membasuh tempat tersebut dengan niat mandi dan mengulangi pembasuhan bagian kanan dan bagian kiri, maka sahlah mandinya. 

Bila setelah mandi tartibi, yakin bahwa ada anggota badan yang tidak terbasuh namun tidak diketahui pada bagian yang mana, maka ia wajib mengulang mandi kembali.

Antara Mandi dan Wudhu

Terdapat sejumlah titik perbedaan hukum antara mandi wajib dan wudhu, yaitu sebagai berikut:

1. Dalam wudhu diwajibkan membasuh anggota wudhu dari atas ke bawah, sedangkan dalam mandi tidak.

2. Dalam mandi diwajibkan menyampaikan air ke kulit badan. Namun dalam wudhu tidak diwajibkan untuk menyampaikan air ke kulit wajah yang dipenuhi dengan bulu.

3. Dalam wudhu disyaratkan berkesinambungan, Namun dalam mandi tartibi tidak.

4. Dalam wudhu seseorang yang ragu pada basuhan sebagian anggotanya, setelah masuk pada basuhan bagian berikutnya, maka hendaknya kembali lagi mengulangi yang diragukan (selama keraguan orang tersebut tidak sampai pada tingkatan waswas, bila demikian maka tidak perlu diperhatikan). 

Namun dalam mandi tartibi bila belum berpindah pada basuhan bagian berikutnya, maka diwajibkan mengulangi lagi yang diragukannya, namun bila telah masuk pada basuhan berikutnya, maka tidak diwajibkan untuk mengulangi lagi yang diragukan, kecuali ragu pada bagian kiri, maka wajib membasuh bagian tersebut dengan niat mandi.

5. Dengan semua wudhu dapat melaksanakan shalat, Namun mandi tidak demikian, sebab hanya mandi janabah yang membolehkan untuk melaksanakan shalat tanpa berwudhu, adapun selain mandi janabah diwajibkan untuk berwudhu lagi selain mandi, dan dianjurkan untuk terlebih dahulu berwudhu sebelum mandi.

6. Bila setelah berwudhu diketahui adanya penghalang sampainya air wudhu dan yakin hal itu sudah ada sejak saat berwudhu dan hilang juga kesinambungan yang ada, maka wudhunya batal. Adapun dalam mandi tartibi hal itu tidak membatalkan, namun dapat diperbaiki seperti cara yang disebutkan sebelumnya.

Anjuran-anjuran Mandi

Beberapa perkara yang dianjurkan dalam mandi janabah adalah:

1. Istibra’ (memastikan kesucian) dari mani dengan kencing sebelum mandi (bila janabah terjadi karena ejakulasi).

2. Membasuh kedua tangan sebelum mandi sampai siku atau setengah hasta (diatas siku) atau hingga pergelangan tangan sebanyak tiga kali. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara mandi tartibi atau irtimasi.

3. Berkumur-kumur dan memasukkan air kedalam hidung setelah membasuh kedua tangan, sebanyak tiga atau satu kali.

4. Meratakan air dengan tangan ke seluruh anggota tubuh, aga rmemperoleh keyakinan lebih, bahwa air telah membasahi seluruh anggota tubuh.

5. Masing-masing dari tiga bagian anggota tubuh (kepala dan leher, bagian kanan dan bagian kiri tubuh) dibasuh dengan tiga kali basuhan.

6. Berzikir dengan bacaan Bismillรขh atau yang lebih baik dari itu dengan mengucapkan Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm.

7. Melakukan kesinambungan (muwalat) dalam mandi tartibi dan memulai urutan mandi dari atas terlebih dahulu kemudian bagian bawah.

8. Membaca doa berikut ketika menyiramkan air kebadan atau lebih baiknya setelah selesai mandi:

ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุทَู‡ِّุฑْ ู‚َู„ْุจِูŠ، ูˆَุฒَูƒِّ ุนَู…َู„ِูŠ، ูˆَุชَู‚َุจَّู„ْ ุณَุนْูŠِูŠ، ูˆَุงุฌْุนَู„ْ ู…َุง ุนِู†ْุฏَูƒَ ุฎَูŠْุฑًุง ู„ِูŠ ูˆَุง ุดْุฑَุญْ  ุตَุฏْุฑِูŠ ูˆَุงَุฌِุฑْุนَู„َู‰ ู„ِุณَุงู†ِูŠ  ู…ِุฏْุญَุชَูƒَ ูˆَุงู„ุซَّู†َุงุกَ ุนَู„َูŠْูƒَ ุงَู„ู„َّู‡ُู…َ ุงَุฌْุนَู„ْู‡ُ ู„ِู‰ْ ุทَู‡ُูˆْุฑًุงูˆَุซِูَุงุกًูˆَู†ُูˆْุฑًุง ุฅِู†َّูƒَ ุนَู„َู‰ ูƒُู„ِّ ุดَูŠْุกٍู‚َุฏِูŠْุฑٌ

Allรขhumma thahhir qalbรฎy wa taqabbal sa’yรฎy waj’ma' mรข ‘indaka khayran lรฎy wasyrah shadrรฎy wa ajir ‘alรข lisรขnรฎy midhataka wats tsanรข a ‘alayka, Allรขhummaj’alhu lรฎy thahรปran wa syifรข an wa nรปran innaka ‘alรข kulli syay in qadรฎyr

Ya Allah, sucikanlah hatiku, terimalah usahaku dan jadikanlah yang ada di sisi-Mu sebagai kebaikan bagiku. Ya Allah lapangkan dadaku, fasihkan lidahku untuk memuji dan membesarkan-Mu. Ya Allah jadikan (air ini) sebagai sarana untuk mensucikanku, obat dan cahaya bagiku, sungguh Engkau maha kuasa atas segala sesuatu.

Larangan-larangan bagi yang Junub

Yang diharamkan bagi yang sedang janabah adalah sebagai berikut:

1. Menyentuh tulisan al-Quran, nama-nama Allah subhanahu wa ta'ala, para nabi dan imam ma’shum as, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan wudhu;

2. Memasuki Masjidil haram atau Masjid Nabawi, walaupun hanya sekedar masuk dari pintu yang satu dan keluar dari pintu yang lain;

3. Berdiam dalam masjid-masjid lainnya (baik masjid tersebut masih kokoh atau sudah rusak, didirikan shalat didalamnya atau tidak),

Adapun sekedar melewati saja, dengan masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu yang lainnya atau hanya untuk mengambil sesuatu yang ada didalam masjid, maka dan tidak dilarang.

4. Meletakkan sesuatu dalam masjid baik dengan sengaja masuk ke dalam mesjid dan meletakkannya atau meletakkan sesuatu dari luar mesjid dalam mesjid.

5. Membaca surah-surah yang dalamnya ada kewajiban sujud walau hanya satu huruf darinya bila dengan sengaja membacanya dengan niat bagian dari surah tersebut.

Berdiam di Masjid dan Makam Para Imam

Seseorang yang junub diwajibkan (ihtiyath wajib) tidak berdiam juga di haram (kuburan) para imam suci as. Bahkan dianjurkan (ihtiyath mustahab) untuk memperlakukan makam para imam ma’shum itu sebagaimana Masjidil Haram dan Masjid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dianjurkan pula untuk menghukumi demikian ruangan-ruangan yang ada didalamnya (selain ruangan yang ada kuburannya).

Seseorang yang dalam rumahnya menjadikan sebuah tempat khusus untuk tempat shalat dan masjid, tidak memiliki hukum masjid.

Menetap di Halaman dan Bagian-bagian Masjid

Halaman, menara, ruangan-ruangan dalam masjid, bila diyakini telah diwakafkan untuk masjid, maka diperlakukan secara hukum sebagai hukum masjid. Namun bila diragukan apakah ta-nahnya diwakafkan untuk bagian dari masjid atau hanya khusus diwakafkan untuk halaman masjid saja bukan untuk masjid itu sendiri- maka tidak dikenai hukum masjid. Tidak dilarang memasuki tempat-tempat yang tidak diketahui memiliki hukum masjid kecuali setelah mendapatkan kepastian bahwa tempat tersebut tidak diwakafkan untuk masjid.

Membaca Doa Berisikan Ayat

Seorang wanita yang sedang janabah atau haid saat membaca doa Kumail, hendaknya tidak membaca potongan yang berbunyi; ”afaman kรขna mu’minan kaman kรขna fรขsiqan lรข yastawรปn“ karena potongan tersebut merupakan salah satu ayat surah as-Sajdah yang merupakan salah satu surah yang memiliki wajib sujud.

Menziarahi Makam Keturunan Nabi (non-Seseorang yang sedang janabah tidak dilarang untuk mendatangi makam para Imam zodeh (putra-putra para imam ma’shum), namun sebaiknya tidak mendatangi kuburan putra-putri para Imam yang masyhur, seperti makam sayyidah Fathimah Ma’shumah as di kota Qom.

Yang Makruh bagi yang Junub

Beberapa perkara yang dimakruhkan bagi seseorang yang sedang janabah:

1. Makan dan minum, kecuali bila berwudhu terlebih dahulu maka tidak makruh lagi. Adapun bila hanya berkumur-kumur, atau menghirup air ke hidung lalu membuangnya kembali maka hukum makruhnya tetap tidak terangkat walupun dengan itu dapat berkurang kemakruhannya.

2. Membaca lebih dari tujuh ayat selain surah-surah yang memiliki kewajiban sujud dan setiap membaca lebih dari tujuh puluh ayat maka kemakruhannya pun bertambah (yaitu pahalanya berkurang).

3. Menyentuh kulit, pinggiran, dan pertengahan diantara tulisan-tulisan Al-Quran.

4. Membawa Al-Quran.

5. Mewarnai kuku dengan daun inai atau sejenisnya.

6. Mengoleskan minyak (oil) ke badan.

7. Tidur, Namun bila dengan berwudhu atau bila tidak ada air, maka tayamum sebagai pengganti mandi atau wudhu dapat menghilangkan kemakruhannya.

8. Melakukan hubungan badan suami istri setelah bermimipi yang mengeluarkan mani.

0 Response to "Janabah"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak