Imam Ahmad, Madzhab dan Metodologinya

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah.

Dalam Islam kita mengenal empat imam madzhab besar yang terkenal sampai kepada seluruh umat di zaman yang silam dan zaman sekarang. 

Mereka itu adalah Abu Hanifah An nu’man atau yang sering dikenal dengan nama Hanafi, Malik ibnu Anas atau yang sering dikenal dengan nama Maliki, Muhammad Idris Asy-syafi’i atau yang sering dikenal dengan nama Imam Syafi’i, dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hambal yang sering dikenal dengan nama Hambali. 

Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama Islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam Islam.

Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam dan kaum muslimin umumnya. 

Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum Islam.

Dalam makalah ini akan dibahas lebih spesifik tentang salah satu imam madzhab besar yaitu Al-Imam Ahmad ibnu Hanbal rahimahullahu. 

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang landasan hukum yang digunakan Ahmad ibnu Hanbal dalam menentukan hukum Islam serta perkembangan hukum Islam atau madzhab Hanbali tersebut.

Biografi Imam Ahmad Ibnu Hanbal

Nama lengkapnya adalah Ahmad ibnu Muhammad ibnu Hanbal ibnu Asad ibnu Idris ibnu Abdullah ibnu Hasan al-Syabaniy. Beliau lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H/780. 

Ahmad ibnu Hanbal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abdul Malik ibnu Sawadan ibnu Hindun al-Syaibaniy. 

Ahmad ibnu Hanbal berasal dari keturunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arab.

Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. 

Sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. 

Beliau memulai dengan belajar mengahafal Al Qur’an, kemudian belajar bahasa Arab, Hadits, sejarah Nabi dan sejarah sahabt serta para tabi’in.

Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk berapa kali, disanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi’i. Beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir. 

Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. 

Imam Ahmad bin Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits, dan beliau tidak mengambil hadits, kecuali hadits-hadits yang sudah jelas shahihnya. 

Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang kitab hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad bin Hanbal. Beliau mulai mengajar ketika berusia 40 tahun.

Imam Hambali hidup dalam kurun waktu yang penuh dengan fitnah yang mengatakan bahwa al-Quran adalah baru makhluk. 

Sehingga timbul golongan Mu’tazilah. Ahmad bin Abi Duab Al-Mu’tazili adalah wazir atau menteri pada masa Al-Ma’mun yang mewujudkan fitnah. 

Al-Ma’mun condong pada pendapat Mu’tazilah, maka dia memaksa para ulama dan para hakim untuk menyuarakan madzhab yang sesat. 

Kebanyakan ulama yang menerima seruannya itu karena tidak berdaya lain hal dengan Ahmad bin Hambal, 

Beliau enggan mendukung pendapat itu karena tetap mempercayai bahwa al-Quran adalah percakapan Allah dan percakapan Allah adalah salah satu sifat-Nya.

Ibnu Hambal dibawa menghadap Al-Ma’mun dengan tangannya terikat. Kemudian Al-Ma’mun meninggal dunia lalu digantikan oleh Al-Mu’tasim. 

Al-Mu’tasim memegang jabatan khalifah, Ibnu Abi Duab masih tetap kementerian, manakala Ibnu Hambal yang dikurung atau ditahan menanti hukuman. 

Ibnu Hambal dibujuk oleh mereka tetapi beliau tetap dalam pendiriannya. Beliau dipukul dengan kuat sehingga beliau jatuh pingsan beberapa kali. Mereka mengurung Ibnu Hambal dalam penjara selama dua tahun setengah.

Sesudah Al-Mu’tasim diganti oleh Al-Wathik, Al-Wathik tidak lagi mengusir atau menyakiti Ibnu Hambal tetapi dia hanya melarang Ibnu Hambal untuk tidak mempengaruhi orang banyak. 

Setelah Al-Wathik meninggal dunia digantikan oleh Al-Mutawakki. Khalifah Al-Mutawakkil berusaha untuk menghilangkan persengketaan fitnah. Imam ahmad bin Hambal kembali mengajar seperti biasa.

Beliau telah mengalami penderitaan selama empat belas tahun. Al-Mutawakkil beberapa kali menawarkan kepada Ibnu Hambal dengan harta kekayaan tetapi tidak diterima namun karena keadaan yang tidak dapat dielakkan akhirnya beliau terpaksa menerima. 

Pada akhirnya, Al-Mutawakkil meyakini keikhlasan Ibnu Hambal, beliau tidak akan menerima satupun hasutan terhadapnya.

Ibnu Hambal mengalami sakit yang membawa kepada kematian. Ketika beliau dalam keadaan sakit tidak ada perkara yang membuat hatinya selalu berpikir kecuali beberapa perkara yaitu sholat. 

Ibnu Hambal terkena penyakit demam panas pada hari pertama di bulan Rabiul Awwal tahun 240 Hijriah, sehingga beliau tidak mampu untuk berjalan di rumahnya melainkan dengan pertolongan. 

Ibnu Hambal meninggal dunia pada hari jum’at tanggal 12 bulan Rabiul Awwal tahun 241 Hijriah. Jenazah beliau dimandikan oleh Abu Bakar Ahmad bin Al-Hujjaj Al-Maruzi, Jenazah beliau dikebumikan sesudah shalat jum’at di Baghdad dan juga diiringi oleh puluhan ribu rakyat jelata.

Latar Belakang Pendidikan Imam Ahmad Ibnu Hanbal

Gaya hidup Imam Ahmad Ibnu Hanbal sehari-hari terlihat sangat sederhana dan hanya memeiliki sebuah rumah yang sebagian ditempati oleh keluarga beliau dan sebagiannya lagi untuk disewakan. 

Sekalipun demikian kemasyhuran namanya tidak berkurang, bahkan semakin bertambah sebab kecintaan beliau terhadap ilmu telah terlihat sejak kecil dan terus menerus sehingga tidak ada kesempatan untuk memikirkan mata pencahariannya. Bahkan sejak berumur 14 tahun beliau sudah menulis dan mengarang.

Dalam perjalanan studinya, beliau banyak sekali mengunjungi berbagai daerah dan negara untuk mencari ilmu pengatahuan, diantaranya adalah Siriya, Ijaz, Yaman, Kuffah dan Basrah untuk beberapa kali bersamaan dengan Imam al-Syafi’i. 

Lalu berguru kepada Sufyan Ibn ‘Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad dan Yahya ibn Qathan. Dari usaha yang tidak mengenal lelah itulah, maka beliau dapat mengumpulkan dan menghimpun 40.000 ribu al-Hadits dalam kitab Musnadnya. 

Dari keahlian yang dimiliki inilah,, beliau dimasukkan kelompok “Muhadditsin” bukan Imam Mujtahid, sebagaimana komentar Idris al-Haddad, dalam kitab I’anah bahwa Imam Ahmad ibnu Hanbal adalah seorang periwayat al-Hadits yang tidak ada tandingannya pada masanya, bahkan beliau tidak dapat dikelompokkan ‘ulama’ ahli fiqh.

Selanjutnya, dalam bidang fiqh Imam Ahmad ibnu Hanbal belajar kepada Imam Syafi’i dan langsung menjadi pengikut setianya, bahkan tidak pernah berpisah kemanapun guru pergi kecuali setelah Imam Syafi’i pindah ke Mesir. 

Imam Syafi’i juga belajar al-Hadits dari beliau, tetapi setelah merasa memiliki kemampuan untuk berijtihad sendiri, maka Imam Ahmad ibnu Hanbal melepaskannya dan selanjunya bahkan membentuk madzhab sendiri.

Pola Pemikiran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam Menetapkan Hukum Islam

Fiqh Ahmad ibnu Hanbal pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada al-Hadits al-Shahih, yang diambil hanyalah al-Hadits al-Shahih tanpa mau memperhatikan pada adanya faktor lainnya dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. 

Akan tetapi jika ditemukan adanya beberapa fatwa para sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati al-Qur’an dan al-Hadits.

Imam Ahmad ibnu Hanbal termasuk “Ahl al-Hadits” dan bukan sebagai “Ahl Fiqh”, maka tempak dengan jelas bahwa “Al-Sunnah” sangat mempengaruhi dirinya dalam menetepkan hukum. 

Karena beliau termasuk Imam Rihalah, ada juga pengaruhnya dalam menghadapi berbagai macam perubahan keadaan yang sudah barang tentu jauh berbeda dari keadaan di masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam yang diketahuinya dari beberapa al-Hadits, khususnya yang berkaitan dengan al-Hadits al-Siyasah.

Dari faktor itulah, maka beliau dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan Mashlahah Mursalah dan Istihsan sebagai dasar hukumnya selama nash atau qaul al-Shahabat tidak ditemukan.

Sebagaimana tercermin pada pola pemikirannya yang sangat kuat dalam berpegang teguh kepada al-Hadits, bahkan hal tersebut menjadikan dirinya terlalu takut menyimpang dari ketentuan al-Hadits, begitu juga al-Atsar, mengingat posisinya sebagai ahl al-Hadits dan sebab dasar pijakan fiqhnya lebih banyak kepada al-Hadits.

Metode Istidlal Imam Ahmad Ibnu Hanbal dalam Menetapkan Hukum Islam

Metode istadlal Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dipakai menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut:

Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahih

Jika beliau sudah menemukan nash, baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits al-Shahih, maka dalam menetapkan hukum Islam adalah dengan nash tersebut sekalipun ada faktor-faktor lain yang boleh jadi bisa dipakai bahan pertimbangan.

Fatwa Para Shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam

Jika tidak ditemukan dalam nash yang jelas, maka beliau menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam yang tidak ada perselisihan diantara mereka. 

Apabila terjadi perselisihan, maka yang diambil adalah fatwa-fatwa yang beliau pendang lebih dekat kepada nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadits.

Al-Hadits al-Mursal dan al-Hadits al-Dla’if

Jika dari ketiganya tidak ditemukan, maka beliau menetapkannya dari dasar al-Hadits al-Mursal atau al-Hadits al-Dla’if, sebab yang dimaksud dengan al-Hadits al-Dla’if menurut Ahmad ibn Hanbal adalah karena al-Hadits ini terbagi menjadi dua, yaitu, Shahih dan Dla’if, bukan Shahih, Hasan, dan Dla’if seperti kebanyakan ulama Al-Hadits lain.

Al-Qiyas

Jika dari semua sumber di atas tetap saja ditemukan, maka Imam Ahmad ibnu Hanbali menetapkan hukum Islam dengan mempergunakan al-Qiyas dan Mashlahah Mursalah, terutama di bidang sosial politik.

Adapun hal-hal yang berkaitan masalah hukum “halal” dan “haram” beliau sangat teliti dalam mengkaji beberapa al-Hadits dan sanadnya yang terkait dengannya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima al-Hadits yang berkaitan dengan masalah “Akhlaq”, Fadla’il al-a’mal atau adat istiadat yang terpuji, dengan persyaratn sebagai berikut: 

“Jika kami telah menerima al-Hadits Rasulullah yang menjelaskan masalah “Halal-Haram” atau perbuatan sunnah hukum-hukumnya, maka aku melakukan penelitian al-Hadits secara ketat dan cermat, begitu juga sanad-sanadnya. 

Tetapi jika berkaitan dengan fadlail al-a’mal atau tidak berhubungan dengan hukum, kami sedikit agak longgar”.

Karakteristik madzhab Imam Ahmad ibnu Hanbal

Pada hakikatnya para ulama’ seapakat bahwa imam Ahmad ibnu Hanbal adalah seorang pemuka ahli Al-Hadits, dan tidak pernah menulis secara langsung kitab fiqh, sebab semua masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan terhadap beliau, sedang yang menyusunnya adalah para pengikutnya.

Selanjutnya fiqh Ahmad ibn Hanbal itu pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada Al-Hadits, dalam artian jika terdapat dalam hadits al-shahih, yang diambil hanyalah al hadits al-shahih tanpa memperhatikan yang lainnya. 

Dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi apabila ditemukan beberapa fatwa sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Jika para sahabat itu berbeda dalam suatu masalah, maka keduannya dipakai sebagai hujjah. Akan tetapi jika ditemukan adanya hadits al-mursal atau dla’if, maka beliau lebih mendahulukan Al-Hadits dari pada Al-Qiyas. 

Karena hal itukah Al-Qiyas tidak digunakan kecuali dalam keadaan terpaksa, sehingga beliau tidak suka menggunakan fatwa yang tanpa dasar atsar sahabat atau tabiin.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa imam ahmad ibnu Hambal lahir dan hidup di Baghad, sedang kota Baghdad sendiri sebagai ibu kota khilafah isma’iliyyah yang peradabannya lebih maju dari hijaz pada umumnya. 

Begitu juga masyarakatnyayang sangat heterogen, sehingga semua masalah hukum yang muncul di Baghdad, lebih banyak dan lebih variatif dibandingkan yang muncul di Madinah atau di Hijaz pada umumnya.

Dalam keadaan seperti itulah, Ahmad ibnu Hanbal mengembangkan ajarannnya. Karena beliau imam ahmad ibn hanbal termasuk golongan Al-hadits bukan termasuk Ahlu Fiqh, maka tampak dengan jelas bahwa As-Sunnah sangat mempengaruhi dirinya dalam menetapkan hukum. 

Karena beliau termasuk imam rihalah, ada juga pengaruhnya dalam menghadapi berbagai macam perubahan keadaan yang sudah barang tentu jauh berbeda dari keadaan dimasa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam yang diketahuinya dari Al-Hadits, khususnya yang berkaitan dengan Al-Hadits al-siyasah.

Dari faktor itulah maka, Imam Ahmad ibnu Hanbal dalam mensikapi keadaan sosial politik, selalu menggunakan mashlahah mursalah dan istihsan sebagai dasar hukumnya selama nash atau qaul al-sahhabat tidak ditemukan, 

Sebagaimana yang tercermin pada pola pemikirannya yang sangat kuat dalam berpegang teguh kepada Al-Hadits, bahkan hal tersebut menjadiakn dirinya terlalu takut menyimpang dari ketentuan Al-Hadits, begitu juga al-atsar, mengingat posisinya sebagai ahl Al-Hadits. 

Hal seperti itu tampak jelas sekali ketika beliau menghadapi terjadinya perbedaan apandangan diantara para tabi’in, dimana beliau tidak berani memilih antara pendapat-pendapat yang ditentukan oleh mereka, apalagi pendapat para nabiShallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Oleh karena itulah, maka para ulama’ berselisih pandangan tentang posisi imam ahmad ibn hanbal sebagai ulama’yang ahli dalam bidang fiqh, 

Sebab kenyataanya imam ahmad ibn hanbal tidak terlalu mempertimbangkan adanya pendapat-pendapat saat menghadapi perbedaan dalam masalah fiqh di kalangan fuqoha’, mengingat posisinya sebagai ahl Al-Hadits, 

Sehinggga beliau tidak dimasukkan kedalam kelompok al-fiqh, sebab dasar pijakan fiqhnya lebih banyak ke al-Hadist.

Kesimpulan

Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Hanbal ibnu Asad ibnu Idris ibnu Abdullah ibnu Hasan al-Syabaniy.lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164H/780. 

Ahmad ibn Hanbal berasal dari keturunan Bani Syaiban, salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arab. 

Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. 

Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan. Ibnu Hambal meninggal dunia pada hari jum’at tanggal 12 bulan Rabiul Awwal tahun 241 Hijriah

Metode istadlal Imam Ahmad Ibn Hanbal yang dipakai menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut:

  1. Al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahih
  2. Fatwa Para Shahabat Nabi SAW
  3. Al-Hadits al-Mursal al-Hadits al-Dla’if
  4. Al-Qiyas

Pada hakikatnya para ulama’ seapakat bahwa Imam Ibnu Hanbal adalah seorang pemuka ahli Al-Hadits, dan tidak pernah menulis secara langsung kitab fiqh, 

Sebab semua masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaanyang pernah diajukan terhadap beliau, sedang yang menyusunnya adalah para pengikutnya.

0 Response to "Imam Ahmad, Madzhab dan Metodologinya"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak