Prinsip-Prinsip aqidah islam

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan meminta ampunan-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan-keburukan jiwa kita, dan kejelekan-kejelekan perbuatan kita. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiamat.


Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.

Agama yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala kepada Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam itu kini telah berusia hampir dua puluh abad lamanya dan kian hari terasa semakin dibutuhkan oleh umat manusia yang mendambakan kehidupan, yang tertib, aman dan damai.

Namun bersamaan dengan itu pada setiap pundak kaum muslimin terdapat tugas suci untuk menyampaikan risalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam itu kepada generasi berikutnya hingga akhir zaman, penyampaian risalah tersebut dapat dilakukan melalui lisan, perbuatan dan sebagainya.

Agama Islam sebagaimana telah dijelaskan terdahulu adalah aqidah dan syariah telah disebutkan sebagian dari syariat Islam dan ditunjukkan rukun-rukunnya yang dianggap sebagai dasar bagi syariat Islam. 

Aqidah Islam dasarnya adalah 

  1. iman kepada Allah, 
  2. Iman kepada malaikat-Nya, 
  3. iman kepada kitab-kitab-Nya, 
  4. iman kepada Nabi dan Rasul-Nya, 
  5. iman kepada hari akhir, dan 
  6. iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. 
Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 177.

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.

Nabi juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap Malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman, yaitu:

“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk”.

Iman Kepada Allah

Dalam iman kepada Allah ada empat unsur yang harus dipahami sesuai dengan esensi tauhidillah, yaitu:

Mengimani wujud Allah Subhanahu wa ta'ala.

Mengimani wujud Allah Subhanahu wa ta'ala, hal ini telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’ dan indra 

Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar, tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya. Sebagaimana hadis Rasul:

“Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majuzi”. (Riwayat Bukhari)

Adapun bukti akal tentang wujud Allah, adalah proses terjadinya semua makhluk.

Bahwa semua makhluk yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. 

Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta.

Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antar sebab musababnya dan antar alam semesta satu sama lainnya.

Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.

Allah menyebutkan dalil aqli dan dalil qathi’i dalam surat Ath Thuur (52): 35, yaitu:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri).

Dari terjemahan ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.

Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. 

Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitabkitab itu datang dari Allah untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.

Bukti indra tentang wujud Allah dapat dibagi dua, yaitu:

1. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. 

Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah. Sebagaimana dalam surat Al-Anbiyaa (21): 76, yaitu:

وَنُوْحًا اِذْ نَادٰى مِنْ قَبْلُ فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ فَنَجَّيْنٰهُ وَاَهْلَهٗ مِنَ الْكَرْبِ الْعَظِيْمِ ۚ

Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar”.

2. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. 

Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul. Ketika Allah memerintahan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. 

Allah berfirman pada surat Asy Syu’araa (26): 63, yaitu:

فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ ۚ

Lalu kami wahyukan kepada Musa pukullah lautan itu dengan tongkatmu, maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar”.

Tanda-tanda yang diberikan Allah untuk memperkuat para rasulnya dan sebagai pertolongan atas mereka menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah.

Pada pembuktian tentang adanya Allah ada beberapa argumen filsafat yang dapat kita gunakan dalam mengantarkan akal kita sampai pada esensi Tuhan tersebut walaupun dalam hal filsafat

tidak akan ditemukan argumen yang tuntas. Argumen pendekatan

dalam pemahaman tuhan itu adalah argumen antologi, kosmologi dan teologi. Pada argumen antologi disebutkan oleh Anselmus kemudian disederhanakan oleh Descartes, yaitu:

  1. Mempunyai ide tentang Tuhan (Tuhan itu ada).
  2. Tuhan itu adalah suatu zat yang tidak menggambarkan zat lain yang lebih besar daripada-Nya (Tuhan itu Maha Besar).
  3. Suatu zat yang ada dan mempunyai wujud tersendiri, tidak hanya alam pikiran manusia adalah lebih besar dari zat yang ada dalam pikiran manusia (Tuhan itu berdiri sendiri).
  4. Oleh karena itu Tuhan ada, dengan wujud hakiki yang hanya tersendiri yakni tidak hanya dalam pikiran manusia (Tuhan itu tidak dapat dibayangkan).

Kesimpulan argumennya tidak memuaskan karena tidak ada kesimpulan siapa sebenarnya yang tidak terbatas yang disebutkan dalam teorinya.

Pada argumen cosmologi disebutkan: Dunia merupakan akibat terbatas, yaitu akibat yang tidak menjadi sebab terjadinya sesuatu yang lain. 

Bila dilacak ke atas dimulai dari dunia dengan mengikuti mata rantai-mata rantai sebab akibat maka sampailah pada mata rantai pertama yaitu sebab terbatas artinya sebab yang bukan merupakan akibat. 

Sebab pertama ini/sebab terbatas yang disebut prima causa yaitu Tuhan Yang Esa. Hukum cosmologi ini sering disebut hukum kausalitas yaitu hukum sebab akibat.

Pada argumen ini terdapat kelemahan karena meletakkan sebab pertama yang tidak disebabkan dan dunia sebagai akibat terakhir yang tidak menjadi sebab akibatnya, hal ini mengingkari asas kausal itu sendiri, kemudian argumen ini hanya sampai pada causa prima saja tidak sampai pada Tuhan Yang Maha Esa atau Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Namun demikian, teori ini cukup dapat mendekatkan pada pembuktian adanya Tuhan Yang Maha Esa.

Pada argumen Teologi disebutkan: teori ini memberikan argumen yang dimulai dari alam ini. Alam semesta ini ternyata seragam dan harmonis serta teratur. 

Hukum dan peristiwa tampak direncanakan seperti peristiwa siang dan malam, hidup dan mati, semuanya menunjukkan rencana yang sadar akan dirinya yang berkepandaian yang tak terhingga, memiliki kebijaksanaan sempurna, kekuasaan yang tak terbatas. 

Dalam Islam akan mudah memahaminya bahwa itu semua yaitu perencanaan yang bijaksana itu identik dengan Allah Swt., sebab Allah adalah Rabbul ‘alamin, pencipta, pendidik, perencana seru sekalian alam.

Mengimani Rububiyah Allah

Secara etimologis kata Rabb sebenarnya mempunyai hubungan banyak arti antara lain menumbuhkan, mengembangkan, memberi rezeki, memelihara, mendidik, memperbaiki, menanggung, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, mengepalai, menyelesaikan suatu perkara dan lain-lain (Munawir: 30-34).

Maksud mengimani rububiyah Allah Swt. adalah mengimani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya. 

Rabb adalah zat yang menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dariNya, Allah telah berfirman dalam surat Al-A’raaf (7): 54, yaitu: 

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

Artinya: Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.

Ingatlah menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam. Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya akulah Tuhanmu yang paling tinggi  (QS An Naazi’aat [79]: 24), dan juga ketika berkata hai pembesar kaumku aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku (QS Al-Qashash [28]: 38), namun ia sendiri tidak meyakini kebenaran yang diucapkannya. 

Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengaku rububiyah Allah meskipun mereka menyekutukannya dalam uluhiyah (penghambaan) kepada Allah. 

Dalam mengimani Rububiyah ini dapat juga diberi pengertian mengimani Malkiyah, yaitu Raja alam semesta, orang bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya terhadap alam tersebut, karena Dia adalah Raja penguasa yang menciptakan alam semesta, hal ini tercermin pada surat Al-Maidah (5): 20.

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ جَعَلَ فِيْكُمْ اَنْۢبِيَاۤءَ وَجَعَلَكُمْ مُّلُوْكًاۙ وَّاٰتٰىكُمْ مَّا لَمْ يُؤْتِ اَحَدًا مِّنَ الْعٰلَمِيْنَ

Terjemahan
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu sebagai orang-orang merdeka, dan memberikan kepada kamu apa yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di antara umat yang lain.”

Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatunya.

Mengimani Uluhiyah Allah

Arti mengimani uluhiyah adalah benar-benar mengimani bahwa dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu baginya. 

Pengertiannya yang jelas adalah kata ilah diambil dari akar kata a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. 

Kata al-ilah ini kemudian dapat diartikan dengan al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan kepada Allah, maka setiap yang dianggap sebagai tuhan selain Allah adalah batal, bahkan penyebutannya sebagai tuhan tidak memberikan hak uluhiyah kepadanya seperti penyebutan Lata, Uzza dan Manat. 

Dengan demikian, hanya Allahlah yang patut disembah. Sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-Mu’minun (23): 32.

فَاَرْسَلْنَا فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اَفَلَا تَتَّقُوْنَ ࣖ

Lalu Kami utus kepada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata) “Sembahlah Allah kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).

Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah, pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan bukti:

1. Tuhan-tuhan yang diambil tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberikan kemanfaatan, untuk para penyembahnya tidak dapat menolak bahaya dari neraka, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya.

Allah berfirman dalam surat Al-Furqan (25): 3.

وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً لَّا يَخْلُقُوْنَ شَيْـًٔا وَّهُمْ يُخْلَقُوْنَ وَلَا يَمْلِكُوْنَ لِاَنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَّلَا نَفْعًا وَّلَا يَمْلِكُوْنَ مَوْتًا وَّلَا حَيٰوةً وَّلَا نُشُوْرًا

Mereka mengambil tuhan-tuhan selain Allah daripadanya (untuk disembah) yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk menolak sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak pula untuk mengambil sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak pula membangkitkan.

Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tidak baik dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.

2. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta yang di tangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. 

Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Mengimani Asma dan Sifat Allah (Al-Asma’ was-Shifat)

Al-Asma’ artinya nama-nama dan as-Shifat arti sifat-sifat. Allah Subhanahu wa ta'ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan keMahasempurnaan-Nya sebagaimana disebutkan di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan nama-nama dan sifatsifat yang sudah ditetapkan Allah untuk dirinya dalam kitab sucinya atau Sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesarannya tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyid (menanyakan bagaimana) dan tamsil (menyerupakan) sebagaimana firman Allah surat Al-A’raaf (7): 180:

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ 

Dan Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya, nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Metode iman dengan al-asma’ was-Shifat ada dua perkara:

Pertama Itsbat dan kedua Nafyu. Itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala memiliki al-asma’ was-shifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya misalnya Allah Subhanahu wa ta'ala Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.

Sedangkan nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma’ was-shifat yang menunjukkan ketidaksempurnaannya misalnya: dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah Subhanahu wa ta'ala atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah Subhanahu wa ta'ala (Yunahar: 51). 

Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu:

1. Golongan Mu’athathilah yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagian saja. Menurut perkiraan mereka menetapkan nama-nama dan sifat Allah itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyempurnaan), yakni menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya.

Pendapat ini jelas keliru karena:

1) Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah telah menetapkan untuk dirinya nama-nama dan sifat-sifat serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. 

Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian orang lain.

2) Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara tetapi tidak harus sama alam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya dan pembicaraannya. 

Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki dan mata tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. 

Apabila antar makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan maka tentu perbedaan antar Khaliq (pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih besar lagi. 

2. Golongan Musyabbih yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat tetapi menyerupakan Allah dengan makhluknya. 

Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al-Qur’an karena Allah berbicara dengan hambanya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

1) Menyerupakan Allah dengan makhluknya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah menunjukkan pengertian yang bathil.

2) Allah ta’ala berbicara dengan hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya.

Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.

Apabila Allah menetapkan untuk dirinya bahwa dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya yaitu kemampuan untuk menangkap suara-suara.

Tetapi hal itu dinisbahkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. 

Jadi perbedaan hakikat itu antar pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda. Allah memberitahukan tentang dirinya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikatnya bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui.

Pada makhluk hakikat bersemayam di antara mereka berbedabeda. Bersemayam di atas kursi yang diam tentu berbeda dengan bersemayam di atas tunggangan yang sudah dijinakkan. 

Bila perbedaan pada makhluk demikian jelasnya, tentu perbedaannya antar pencipta dan makhluk sangat jelas dan nyata.

Hikmah iman kepada Allah:

1. Merealisasikan pengesaan Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain dan tidak menyembah kepada selainnya.

  1. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkannya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifatsifat-Nya yang Maha tinggi.
  2. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarangnya.
  3. Meningkatkan naluri kehewanan kepada naluri kemanusiaan.
  4. Membuat jiwa manusia seimbang dengan keinginankeinginan jasmaninya.

Iman Kepada Para Malaikat

Secara etimologis kata Malaikah (dalam bahasa Indonesia yaitu Malaikat) adalah bentuk jamak dari malak berasal dari kata masdar al-malukah artinya ar-risalah (misi atau pesan). Yang membawa misi atau pesan tersebut adalah ar-rasul (utusan).

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an kata malaikat juga disebut dengan rusul (utusan-utusan) misalnya pada surat Hud (11): 69.

وَلَقَدْ جَاۤءَتْ رُسُلُنَآ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰى قَالُوْا سَلٰمًا ۖقَالَ سَلٰمٌ فَمَا لَبِثَ اَنْ جَاۤءَ بِعِجْلٍ حَنِيْذٍ

Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.

Bentuk jamak lain dari malak adalah mala-ik. Dalam Bahasa Indonesia kata malaikat dipakai untuk bentuk tunggal. Bentuk jamaknya menjadi para malaikat/malaikat-malaikat. 

Secara terminologis malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dari cahaya dengan wujud dan sifat tertentu. 

Dengan demikian, malaikat itu adalah alam gaib, makhluk dan hamba Allah. Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. 

Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Muslim.

“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari apa yang telah diterangkan kepada semua”. (HR. Muslim)

Malaikat itu jumlahnya banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya, kecuali Allah. Dalam hadis Bukhari Muslim terdapat hadis dari Anas tentang kisah mi’raj bahwa Allah telah memperlihatkan al Baitul Ma’mur di langit kepada Nabi. 

Di dalamnya terdapat 70.000 malaikat yang setiap hari melakukan shalat, yang keluar dari tempat itu tidak kembali lagi. 

Malaikat itu dalam penciptaannya disebutkan tidak berjenis kelamin lakilaki dan tidak berjenis kelamin perempuan, mereka dijadikan Allah dari badan yang halus yang disebut jismil lathief dan tidak mempunyai hawa nafsu namun hanya memiliki akal, oleh karena itulah mereka tidak pernah sesekali durhaka kepada Allah dari mula-mula dijadikan sampai hari kiamat. 

Adapun tempatnya mereka disebutkan memenuhi tepi langit dan bumi, tetapi ada juga yang menyebutkan tiada menghendaki tempat karena tubuhnya seperti cahaya yang tidak membutuhkan tempat bagi dirinya.

Adapun para malaikat yang sangat jelas diberitahukan dalam Al-Qur’an beserta tugas-tugas yang diperintahkan Allah pada mereka adalah:

1. Malaikat Jibril, pekerjaannya menjadi utusan Allah, yaitu menyampaikan wahyu (segala keterangan agama Allah) (agama Islam) kepada para rasul dan para Nabi untuk segenap bangsa manusia.

2. Malaikat Mikail, pekerjaannya mengurus hujan dan mengantarkan rezeki kepada sekalian makhluk yang masih hidup.

3. Malaikat Israfil, pekerjaannya membunyikan nafakh, yaitu puput atau suling yang maha besar, dua kali dibunyikannya jika telah sampai waktunya, maksud suling yang pertama mematikan sekalian makhluk, dan suling yang kedua menghidupkan segala yang telah mati.

4. Malaikat Izrail, pekerjaannya mencabut jiwa (nyawa) segala yang berjiwa.

5. Malaikat Raqib, pekerjaannya menulis segala perbuatan yang baik daripada jin dan manusia.

6. Malaikat ‘Atid pekerjaannya menulis segala perbuatan yang jahat daripada jin dan manusia.

7. Malaikat Munkar.

8. Malaikat Nakir, pekerjaan kedua malaikat tersebut (Munkar dan Nakir) menanyai (sekalian perbuatan yang baik dan jahat) di dalam kubur kepada segenap orang yang telah mati.

9. Malaikat Malik, pekerjaannya menjaga neraka.

10. Malaikat Ridwan, pekerjaannya menjaga surga.

Perlu adanya malaikat bagi manusia adalah sebagai upaya bahwa manusia harus mempunyai kesadaran dengan adanya pengawasan malaikat yang akan menjadikan manusia itu akan tetap selalu waspada dalam bertindak di luar ketentuan syara’ Islam. 

Hal ini merupakan refleksi dari kepercayaan seorang Muslim terhadap keimanan pada malaikat bahwa manusia itu butuh pada pengontrolan dari setiap tingkah laku perbuatan dan ucapan manusia itu sendiri ketika terjadinya interaksi antar sesama manusia sehingga akan menimbulkan sikap saling percaya dengan sesamanya dan tentunya segala sesuatunya akan berdampak positif.

Iman kepada malaikat mengandung empat unsur:

1. Mengimani wujud mereka, sebagaimana makhluk gaib wujud malaikat tidak dapat dilihat, didengar, diraba, dan dicicipi (dirasakan) oleh manusia atau dengan kata lain tidak dapat dijangkau oleh pancaindra kecuali malaikat menampilkan dirinya dalam rupa tertentu seperti rupa manusia (QS Maryam [19]: 16-17). 

وَاذۡكُرۡ فِى الۡـكِتٰبِ مَرۡيَمَ‌ۘ اِذِ انْتَبَذَتۡ مِنۡ اَهۡلِهَا مَكَانًا شَرۡقِيًّا

Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Al-Qur'an), (yaitu) ketika dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitulmaqdis),

Malaikat tidak dilengkapi dengan hawa nafsu tidak memiliki keinginan seperti manusia, tidak berjenis lelaki dan perempuan dan tidak berkeluarga. 

Mereka hidup dalam alam yang berbeda dengan kehidupan alam semesta yang kita saksikan ini, dengan demikian yang mengetahui hakikat wujud daripada malaikat adalah Allah Subhanahu wa ta'ala.

2. Mengimani mereka yang kita kenali nama-namanya seperti Jibril dan juga terhadap nama-nama malaikat yang tidak kita kenali.

3. Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali seperti bentuk Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat nabi yang mempunyai 600 sayap yang menutup ufuk bahkan berbentuk lelaki ketika mendatangi Maryam.

4. Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah kepada mereka yang sudah kita ketahui seperti bacaan tasbih, dan menyembah Allah siang dan malam tanpa merasa lelah dan lain-lain.

Hikmah iman kepada malaikat:

1. Mengetahui keagungan Allah, kekuatan-Nya dan kekuasaanNya. Kebesaran makhluk pada hakikatnya adalah dari keagungan sang Pencipta.

2. Syukur kepada Allah atas perhatian-Nya terhadap manusia sehingga menugasi malaikat untuk memelihara, mencatat amal-amal dan berbagai kemaslahatan yang lain.

3. Cinta kepada para malaikat karena ibadah yang mereka lakukan kepada Allah sehingga memotivasi ibadah kita kepada Allah.

Iman Kepada Rasul-rasul atau Nabi-nabi Allah

Ar-rasul bentuk jamak dari kata rasul yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud rasul di sini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat. 

Rasul yang pertama adalah Nabiyullah Nuh as. dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Nabi yang pertama adalah Adam alaihi sallam. 

Terdapat perbedaan antara nabi dan rasul dalam pola pelaksanaan tugas yang diembankan  oleh Allah. nabi itu adalah إنسا ن ذكر حرا وحي إليه بشرع artinya manusia dan seorang laki-laki yang mendapatkan wahyu dari Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri.

Pada tahapan ini seorang nabi tidak diwajibkan menyampaikan syara’ kepada umatnya namun hal yang terpenting adalah membenahi diri sesuai dengan perintah Tuhan untuk dijadikan teladan bagi umatnya. 

Sehingga umatnya dapat mengikuti karakteristik yang dimiliki seorang Nabi tersebut.

Sementara rosul itu diungkapkan  إنسان ذكر حرا وحي إليه بشرع إنسان للعمل artinya  manusia laki-laki seorang, merdeka, dan mendapatkan wahyu Allah dengan hukum syara’ untuk diamalkan sendiri serta disampaikan kepada orang lain.

Maksudnya bahwa seorang rasul wajib menyampaikan syara’ kepada umatnya bahkan kesalahan yang terdapat pada umatnya seorang rasul harus mengarahkannya sehingga manusia itu mendapat petunjuk yang sebenarnya. Anas bin Malik ra. dalam hadisnya mengatakan nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata datanglah Nuh rasul pertama yang diutus Allah… (al-Bukhari).

Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah yang membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbaharui. 

Para rasul atau para nabi adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikitpun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. 

Allah berfirman tentang Nabi Muhammad Shallallahu 'allaihi wa sallam sebagai pemimpin para rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah dalam surat Al-A’raaf (7): 188.

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ

Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpakan kemudharatan. Aku tidak lain hanya pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.

Para rasul dan nabi juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum dan lain sebagainya (QS Asy-Syu’araa (26): 78-91), dan dikatakan juga rasul dan nabi itu paling banyak mempunyai ubudiyahnya kepada Allah sehingga Allah sering memuji mereka karena kuatnya ibadah kepada Allah (QS Al-Israa’ (17): 3). 

Karena itu kita manusia patut mencontoh kekuatan ibadah yang dilakukan rasul atau nabi tersebut agar kita mencapai kemuliaan di dunia dan di akhirat. Mengenai jumlah rasul tidak ada yang mengetahui secara pasti meskipun ada ulama yang mengatakan jumlah seluruhnya 124.000 rasul, namun hanya Allahlah yang mengetahuinya dan diangkat 313 rasul dan yang tercantum dalam Al-Qur’an 25 Rasul sebagaimana dalam surat Yunus (10): 47. 

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلٌ ۚفَاِذَا جَاۤءَ رَسُوْلُهُمْ قُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Dan Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka sedikitpun tidak dianiaya.

Iman kepada para rasul atau para nabi mengandung empat unsur, yaitu:

1. Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, berarti ia telah mengingkari seluruh rasul. 

Allah menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya.

Oleh karena itu, umat nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad Saw., berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa karena Nabi

Isa sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. 

Kata memberi kabar gembira ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yang lurus.

2. Mengimani para rasul atau nabi yang sudah kita kenali namanamanya misalnya Muhammad, Ibrahim, Isa, Musa, dan Nuh.

Kelima Rasul itu adalah ‘ulul azmi Allah telah menyebutkan mereka dalam dua tempat dari Al-Qur’an, yakni dalam surat Al-Ahzab (33): 7 dan surat Asy-Syu’araa (26): 13. Dan terhadap para Rasul dan Nabi yang tidak kita kenali namanamanya juga wajib kita imani secara global (QS Al-Mukmin (23): 78).

3. Membenarkan berita-berita yang mereka bawa redaksinya adalah benar.

4. Mengamalkan syariat dari mereka yang diutus kepada kita yaitu nabi terakhir Muhammad yang diutus Allah kepada seluruh manusia (QS An-Nisa’ (4): 65).

Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul dengan menganggap bahwa para Rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang salah ini dijelaskan Allah dalam sebuah firmannya surat Al-Israa’ (17): 94, yaitu:

وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰٓى اِلَّآ اَنْ قَالُوْٓا اَبَعَثَ اللّٰهُ بَشَرًا رَّسُوْلًا

Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya kecuali perkataan mereka: adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul.

Dalam ayat di atas Allah mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia, seandainya penduduk bumi itu malaikat pasti Allah akan menurunkan malaikat dari langit sebagai rasul.

Hikmah Iman kepada rasul-rasul atau nabi-nabi:

1. Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hambahambanya sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah karena memang akal manusia tidak mampu mengetahui hal itu dengan sendirinya.

2. Mensyukuri nikmat Allah yang amat besar ini.

3. Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya, karena mereka adalah para rasul Allah dan karena mereka hanya menyembah Allah menyampaikan risalahnya dan menasihati hambanya.

Iman Kepada Kitab Allah

Secara etimologis kata Kitab adalah bentuk masdar dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis atau yang ditulis. Bahasa

Indonesianya sering disebut ungkapan dengan buku. Sedangkan kata Al-Kutub adalah bentuk jamaknya yang berarti sesuatu yang ditulis. Pengertian terminologis dari kata kitab adalah kitab-kitab yang telah ditulis tersebut diturunkan Allah kepada rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kata al-Kitab di dalam AlQur’an dipakai untuk beberapa pengertian:

1. Menunjukkan semua kitab suci yang pernah diturunkan kepada para nabi atau rasul (QS Al-Baqarah [2]: 177).

2. Menunjukkan semua kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Qur’an (QS Ar-Ra’d [13]: 43).

3. Menunjukkan kitab suci tertentu sebelum Al-Qur’an: misalnya Taurat (QS Al-Baqarah [2]: 87).

4. Menunjukkan kitab suci Al-Qur’an secara khusus (QS AlBaqarah [2]: 2).

Sebelum kitab suci Al-Qur’an Allah Subhanahu wa ta'ala telah menurunkan beberapa kitab suci kepada para Nabi dan Rasul-Nya, yang disebutkan di dalam Al-Qur’an ada lima kitab suci dan tiga dalam bentuk kitab yaitu 

Taurat (QS Al-Maidah [5]: 44) kepada Nabi Musa, Zabur (QS Al-Isra’ [17]: 55) kepada Nabi Daud, dan  Injil (QS Al-Hadid [57]: 27) kepada Nabi Isa dan dua dalam bentuk shuhuf (lembaran) yaitu Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa (QS Al-A’laa [87]: 18-19). 

Itulah lima kitab suci yang disebutkan oleh Allah, dan kepada siapa diturunkan sebelum Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Sedangkan kitabkitab suci lainnya tidak disebutkan oleh Allah nama-namanya secara terperinci, tapi secara global dijelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala mengutus para rasul dan nabi yang menurunkan bersama mereka kitab suci sebagaimana dalam surat Al-Baqarah (2): 213:

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ 

Manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), makaAllah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan...

Tidak berselisih tentang kitab itu, melainkan orang yang telah di datangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. 

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya.  Dan Allah selain memberi petunjuk orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus.

Kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelum kitab suci AlQur’an tidaklah bersifat universal seperti Al-Qur’an tapi hanya bersifat lokal untuk umat tertentu. 

Dan juga tidak berlaku untuk sepanjang masa. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta'ala tidak memberi jaminan terpelihara keaslian/keberadaan kitab-kitab tersebut sepanjang zaman sebagaimana halnya Allah memberi jaminan terhadap Al-Qur’an.

Dengan mengetahui bahwa adanya kitab-kitab yang dibenarkan oleh Allah untuk dipedomani selama itu dan masih dalam aturan hukum yang dibenarkan, maka kitab-kitab Allah itu masih harus terus digali dalam mencapai pembuktiannya.

Maka beriman kepada kitab Allah adalah dapat menjadi pengendalian terhadap prinsip-prinsip pembelajaran manusia, untuk mengetahui sejauhmana fungsi-fungsi dari kitab-kitab itu diturunkan dan terus diperbaharui oleh Allah Subhanahu wa ta'ala sampai pada kitab Al-Qur’an terakhir yang dianggap sebagai kitab yang sempurna dan komplit.

Pandangan umat Muslim terhadap konsep keberimanan pada kitab-kitab Allah bahwa seorang Muslim wajib mengimani semua kitab-kitab suci yang telah diturunkan oleh Allah Swt. kepada para Rasul dan Nabi-Nya baik yang disebutkan nama dan kepada siapa diturunkan maupun yang tidak disebutkan (QS An-Nisa’ [4]: 4). 

Akan tetapi, tentu ada perbedaan konsekuensi keimanan antara iman kepada Al-Qur’an dan iman kepada kitab suci sebelumnya, kalau terhadap kitab suci sebelumnya.

Seorang Muslim hanyalah mempunyai kewajiban mengimani keberadaannya dan kebenarannya tanpa kewajiban mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan kandungannya karena kitabkitab suci tersebut berlaku untuk umat dan masa tertentu yang telah berakhir dengan kedatangan kitab suci yang terakhir yaitu Al-Qur’an, 

Jika ada hal-hal yang sama yang masih berlaku dan diamalkan itu hanyalah semata-mata karena diperintahkan oleh AlQur’an bukan karena ada pada kitab suci sebelumnya, sedangkan iman kepada Al-Qur’an membawa konsekuensi yang lebih luas seperti mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkannya serta membelanya dari serangan musuh-musuh Islam.

Iman kepada kitab-kitab mengandung empat unsur:

1. Mengimani bahwa benar-benar diturunkan dari Allah.

2. Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Taurat kepada Nabi Musa as., Injil kepada Nabi Isa, Zabur kepada Nabi Daud. Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.

3. Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti beritaberita yang ada di dalam Al-Qur’an dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.

4. Mengerjakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan pasrah pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al-Qur’an. Seperti firman Allah dalam surat

Al-Maidah (5): 48, yaitu: 

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

Dan kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), sebagai batu ujian terhadap kitabkitab yang lain itu...

Oleh karena itu, tidak dibenarkan mengerjakan hukum apa pun dari hukum kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al-Qur’an.

Hikmah iman kepada kitabullah:

1. Mengetahui perhatian Allah terhadap hamba-hambanya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap umat.

2. Mengetahui hikmah Allah dalam syara’ atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat.

3. Mensyukuri nikmat Allah pada hal tersebut.

Iman Kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir maksudnya adalah kepada hari kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu dihisab dan dibalas. 

Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada lagi hari setelahnya. Pada hari itulah penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing menetap di tempatnya.

Iman kepada hari akhir mengandung tiga unsur:

1. Mengimani ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. 

Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak di sunat. 

Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh al-Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Mu’minun (23): 15-16.

ثُمَّ اِنَّكُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ لَمَيِّتُوْنَ ١٥ ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ تُبْعَثُوْنَ ١٦

Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.

Umat Islam sepakat akan adanya hari kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaan-Nya untuk diberi balasan terhadap segalanya yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya.

2. Mengimani Hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) umat Islam.

Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. 

Sebagaimana kita ketahui, Allah telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. 

Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentang-Nya serta menghalalkan darah, keturunan, istri dan harta benda mereka. 

Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka dan Rabb yang Maha Bijaksana Maha Suci darinya.

3. Mengimani surga dan neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertakwa, yang mengimani apaapa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasulNya, dan kepada orang-orang yang ikhlas. 

Di dalam surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia. Sedangkan neraka adalah tempat azab yang

disediakan oleh Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat zalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan di dalam neraka tersebut terdapat berbagai azab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.

Iman kepada hari akhir termasuk mengimani peristiwaperistiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya:

1. Fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang rabb-Nya, agamanya, dan nabinya.

Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, Allah rabb-Ku, Islam agamaku dan Muhammad nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan kafir. 

Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. 

Mereka akan menjawab Hah… ha… tidak tahu sedangkan orang munafik akan menjawab dengan kebingungan Aku tidak tahu, dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengatakannya.

2. Siksa dan nikmat kubur, siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang yang zalim yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya surat Al An’am (6): 93, dan adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orangorang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya surat Fushshilat (41): 30.

Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati dengan menyangka bahwa hari akhir dengan segala peristiwaperistiwanya adalah suatu hal yang mustahil. 

Persangkaan mereka jelas sangat keliru dan kesalahannya itu dapat dibuktikan dengan syara’, indra dan akal.

1. Bukti Syara’

Merupakan bukti lewat dalil-dalil Al-Qur’an tentang akan adanya kebangkitan sebagaimana dalam surat At-Taghaabun (64): 7.

زَعَمَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡۤا اَنۡ لَّنۡ یُّبۡعَثُوۡا ؕ قُلۡ بَلٰی وَ رَبِّیۡ لَتُبۡعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلۡتُمۡ ؕ وَ ذٰلِکَ عَلَی اللّٰہِ یَسِیۡرٌ

Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: tidak demikian, demi rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Semua kitab-kitab suci samawi telah sepakat tentang adanya hari kebangkitan. Oleh karena itu, tidak boleh satupun yang harus mengingkari dari umat manusia di dunia ini.

2. Bukti indrawi

Allah telah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang sudah mati di dunia ini. Dalam surat AlBaqarah terdapat lima contoh mengenai hal ini.

1. Ketika kaum Musa berkata kepada nabinya Musa bahwa mereka tidak akan percaya dengan risalah yang dibawa Musa sampai mereka melihat Allah dengan mata kepala

mereka sendiri. Oleh karena itulah, Allah berfirman yang ditujukan kepada bani Israil dalam surat Al-Baqarah (2): 55-56. 

وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَخَذَتْكُمُ الصّٰعِقَةُ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ ٥٥ثُمَّ بَعَثْنٰكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٥٦

Dan ingatlah ketika kamu berkata Hai Musa kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar sedang kamu

menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah

mati, supaya kamu bersyukur.

2. Cerita orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, kemudian daging sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telahmembunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firmannya surat Al-Baqarah (2): 72-73.

Dan ingatlah ketika kamu membunuh seseorang manusia, lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu, dan Allah hendak menyingkirkan apa yang selama ini kamu sembunyikan lalu Kami berfirman, Pikullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu, demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.

3. Kisah kaum yang keluar dari negerinya karena menghindari kematian. Mereka berjumlah ribuan orang.

Allah mematikan mereka lalu menghidupkan kembali ini digambarkan dalam firmannya. Surat Al-Baqarah (2): 243.

Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka, “matilah kamu kemudian Allah menghidupkan mereka sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. 

Inilah contoh-contoh bukti indrawi yang menunjukkan mungkinnya Allah menghidupkan orang-orang yang udah mati. 

Telah diisyaratkan di atas, Allah menjadikannya tandatanda Isa bin Maryam yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah.

3. Bukti akal (logika)

Bukti akal dapat dibagi menjadi dua bagian:

1. Allah sebagai pencipta langit dan bumi seisinya telah menciptakan pertama kalinya, dan jika Allah mampu menciptakan pertama kali tentu pasti mampu pula untuk mengembalikannya. Sebagaimana surat Ar-Ruum (30): 27.

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

Dan dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah baginya.

2. Bumi yang mati dan tandus akan hidup kembali dan tumbuhan yang mati akan bergerak subur setelah gurun hujan, yang mampu menghidupkan orang-orang yang sudah mati itu pasti Allah ta’ala Maha Perkasa lagi Maha Berkehendak sebagaimana dalam firman surat Fushsilat (41): 39.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنَّكَ تَرَى الْاَرْضَ خَاشِعَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْۗ اِنَّ الَّذِيْٓ اَحْيَاهَا لَمُحْيِ الْمَوْتٰى ۗاِنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur, sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang matibsesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Orang yang ingkar kepada siksa kubur dan kenikmatannya mengira hal itu suatu perkara yang mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan karena apabila kubur itu dibongkar akan didapati seperti semula tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit.

Persangkalan mereka ini jelas tidak benar menurut syara’, indra dan akal.

1. Dalil Syara’

Sebagaimana hadis Rasulullah disebut di bawah ini:

“Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah pernah keluar dari salah satu kebun kota Madinah. Lalu beliau mendengar ada dua orang yang disiksa di dalam kuburnya, dalam hadis itu disebutkan bahwa yang satu karena tidak memelihara buang air kecil (kencing sembarangan), dan yang satunya lagi karena mengadu domba. (al-Bukhari) 

2. Dalil indrawi

Orang yang tidur terkadang mimpi bahwa ia berada di tempat yang luas, menggembirakan dan dia dapat bersenang-senang di situ atau terkadang dia juga mimpi berada di tempat yang sempit menyedihkan dan menyakitkan. 

Terkadang seseorang biasa terbangun karena mimpinya itu. Padahal ia berada di atas tempat tidurnya. Tidur adalah sandar kematian. Oleh karena itu, Allah menyebut tidur dengan wafat seperti firman Az-Zumar (39): 42.

اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

3. Dalil akal

Orang yang tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi melihat nabi sesuai dengan sifat beliau. Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka dia bagaikan melihatnya benar-benar.

Padahal pada waktu itu ia ada di dalam kamarnya di atas tempat tidurnya, jauh dari yang diimpikan. Apabila keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka bagaimana tidak mungkin dijumpai di akhirat.

Adapun dalil mereka bahwa apabila kubur itu digali, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit maka jawabannya:

1. Apa yang dibawa syara’ tidak boleh dipertentangkan dengan hal-hal yang bathil. Kalau orang yang mempertentangkan itu mau berpikir tentang apa yang dibawa oleh syara’, ia pasti mengetahui kebatilan dan kesalahpahamannya itu.

2. Keadaan dalam barzakh (alam kubur) termasuk hal-hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh indra, karena jika hal itu dapat diindra, maka tidak ada artinya iman kepada yang gaib, dan sama antara orang yang beriman kepada yang gaib dan orang yang mengingkari, dalam mempercayainya.

3. Siksa kubur, nikmat kubur, dan sempitnya kubur hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain. Ini seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia biasa berada di tempat yang sempit menakutkan, atau di tempat yang luas dan menyenangkan, padahal menurut orang lain yang melihatnya tidur, tidurnya tidak berubah, masih di dalam kamar dan di atas tempat tidur.

Contoh lain ketika menerima wahyu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. berada di tengah-tengah para sahabatnya. Beliau mendengarkan wahyu, tetapi para sahabatnya tidak mendengarnya. 

Bisa jadi wahyu itu diturunkan dengan cara malaikat menjelma menjadi seorang laki-laki, lalu berbicara dengan beliau, dan para sahabat tidak melihatnya serta mendengarnya.

4. Pengetahuan manusia terbatas pada sesuatu yang hanya diizinkan Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia dapat mengetahui apa saja yang ada. 

Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua bertasbih dengan memuji Allah dengan tasbih yang sebenarnya, yang terkadang Allah perdengarkan kepada orang yang dikehendaki-Nya meskipun demikian hal itu terhalang dari kita.

Demikian halnya dengan setan dan jin yang mondar mandir pulang pergi di atas bumi. Pernah ada jin datang kepada nabi dan mendengarkan bacaan beliau, kemudian dia kembali ke kaumnya sebagai juru dai, meskipun demikian mereka tidak terlihat oleh kita. 

Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada, maka mereka tidak boleh mengingkari perkara-perkara gaib yang ditetapkan oleh syara’ sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indra mereka.

Hikmah iman kepada hari akhir:

1. Mencintai ketaatan dengan mengharap balasan pahala pada hari itu.

2. Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu.

3. Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapatkan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.

Iman Kepada Takdir

Kata takdir diambil dari kata Qaddara yang berasal dari akar kata qadara yang memiliki arti mengukur, memberi kadar dan ukuran. 

Bila kita katakan Allah telah menakdirkan artinya Allah telah memberi ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat atau kemampuan maksimal dari makhluknya, sebagaimana dalam firman-Nya surat Al-Furqan (25): 2,yakni:

ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

Yang kepunyaanNyalah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan (Nya) dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuranukurannya dengan serapi-rapinya.

Dengan demikian, Iman kepada Takdir adalah iman kepada al-Qadar yang baik dan buruk maksudnya ada takdir Allah untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmahnya.

Iman kepada takdir mengandung 4 (empat) unsur:

1. Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.

2. Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di Lauh Mahfuzh.

3. Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada kecuali dengan kehendak Allah baik yang berkaitan dengan perbuatanNya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluk-Nya.

4. Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya, dan geraknya diciptakan oleh Allah.

Iman kepada takdir sebagaimana telah kami terangkan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam berbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari.

Hal ini dapat dilihat dengan syara’ dan kenyataan (realita) yang menunjukkan ketetapan hal itu sebagaimana di bawah ini:

1. Secara syara’ maka Allah berfirman tentang kehendak manusia dalam surat An-Naba’ (78): 39.

ذٰلِكَ الۡيَوۡمُ الۡحَـقُّ‌ ۚ فَمَنۡ شَآءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ مَاٰبًا

Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa menghendaki, niscaya dia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.

Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.

2. Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan yang menyebabkannya mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. 

Dia juga dapat membedakan antara kemauannya (seperti berjalan), dan yang bukan kehendaknya (seperti gemetar), kehendak serta kemampuan seseorang itu akan terjadi dengan masyiah (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah. 

Alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada pada memilikiNya barang sedikitpun yang tidak diketahui serta tidak dikehendaki-Nya.

Iman kepada takdir tidak berarti memberi alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat.

Kalau itu dibuat alasan, maka alasan itu jelas salah ditinjau dari berbagai segi:

1. Disesuaikan dengan firman Allah surat Al-An’am (6): 148 yang artinya: 

Orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun. 

Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan

Kami. Katakanlah: adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya berdusta. 

Dengan demikian, kalau alasan mereka dengan takdir itu dibenarkan, Allah tentu tidak akan menjatuhkan siksa-Nya.

2. Firman Allah surat An-Nisaa (4): 165, yaitu: 

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kalau takdir dapat dibuat alasan bagi orang-orang yang salah, Allah tidak menafikannya dengan diutusnya para rasul, karena menyalahi sesuatu setelah terutusnya para rasul jatuh pada takdir Allah juga.

3. Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib bahwa nabi bersabda: setiap diri kalian telah diutus (ditetapkan) tempatnya di surga atau di neraka. 

Ada seorang sahabat bertanya, mengapa kita tidak (tawaakul pasrah) saja wahai rasul Allah? Beliau menjawab: tidak, berbuatlah karena masing-masing akan dimudahkan. Lalu beliau membacakan surat Al-Lail (92): 4-7.

وَالَّيۡلِ اِذَا يَغۡشٰىۙ اِنَّ سَعۡيَكُمۡ لَشَتّٰىؕ ٤ فَاَمَّا مَنۡ اَعۡطٰى وَاتَّقٰىۙ‏ ٥ وَصَدَّقَ بِالۡحُسۡنٰىۙ‏ ٦ فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلۡيُسۡرٰىؕ ٧

Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda, adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Dengan demikian, nabi memerintahkan untuk berbuat serta melarang menyerah pada takdir.

4. Allah memerintah serta melarang sesuatu pada hambanya, namun tidak menuntutnya kecuali yang mampu dikerjakan. Sesuai dengan surat Al-Baqarah (2): 286.

ا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala yang diusahakannya dan ia mendapat siksa yang dikerjakannya...

Kalau manusia dipaksakan untuk berbuat sesuatu artinya disuruh mengerjakan sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan, maka ini merupakan suatu kesalahan. 

Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau dipaksa. Maka pelakunya tidak berdosa, dan mereka akan dimaafkan Allah.

5. Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadinya takdir serta kehendak seseorang untuk mengerjakannya terlebih dahulu daripada perbuatannya. 

Jadi kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya akan takdir Allah. 

Pada waktu itu habislah alasanya dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap apa yang diketahuinya.

6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan urusan dunia secara layak, tidak ingin pindah kepada yang tidak layak.

Apakah ia akan berasalan pindahnya dengan takdir? Mengapa ia berpindah dari kurang menguntungkan kepada yang menguntungkan dengan alasan takdir bukankah keadaan dua hal itu sama. 

Sebagaimana contoh yang akan dipaparkan di sini, jikalau di depan seseorang ada dua jalan, yang pertama menuju ke sebuah negeri yang semuanya serba kacau, pembunuhan, perampokan, pembantai kehormatan, ketakutan dan kelaparan, dan yang kedua menuju sebuah negeri yang semuanya serba teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan dan harga benda dihormati. Jalan mana yang akan ia tempuh?

Tentunya seseorang itu pasti akan menempuh jalan yang kedua karena menuju suatu negeri yang teratur serta aman. 

Tidak mungkin orang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. 

Mengapa dalam urusan akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga dengan beralasan takdir.

Contoh yang lain adalah seorang yang sakit disuruh meminum obat lalu meminumnya sedangkan hatinya tidak menyukainya. 

Dan dilarang memakan makanan yang berbahaya lalu meninggalkannya sementara hatinya menyukainya. 

Semua itu dimaksudkan mencari pengobatan serta kesehatan. Orang yang sakit itu tidak mungkin enggan minum obat atau melanggar memakan makanan yang berbahaya dengan alasan menyerah pada takdir. 

Bagaimana seseorang meninggalkan perintah Allah dan Rasul-Nya atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan beralasan takdir?

7. Orang yang meninggalkan kewajiban serta melanggar kemaksiatan dengan alasan bahwa itu takdir seperti halnya jika ia seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dirusak kehormatannya dengan berasalan ini takdir dan mengatakan, Anda jangan menyalahkan saya, karena kezaliman saya ini adalah takdir Allah, alasannya itu tidak akan diterima. 

Bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir dalam penganiayaannya terhadap orang lain, lalu ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kezalimannya pada hak Allah? 

Diriwayatkan bahwa Amirul mukminin, Umar bin Khattab menerimaseseorang pencuri yang hendak dipotong tangannya. 

Beliau memerintahkan agar dipotong tangannya. Pencuri berkata: tunggu dulu, Amirul mukminin, aku mencuri ini karena

takdir Allah, Umar pun tidak kalah menjawab: Demikian kami memotong tanganmu juga karena takdir Allah.

Dalam masalah takdir ini ada dua golongan yang berpendapat cukup ekstrim, yaitu:

1. Golongan Jabariah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia terpaksa atas perbuatannya, tidak punya iradah (kemanusiaan) dan qudrah (kemampuan).

2. Golongan Qadariyah, yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir Allah tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Untuk menjawab golongan pertama (Jabariah) dapat menggunakan dasar syara’ dan kenyataan:

1. Adapun dalil syara’ maka Allah telah menetapkan kehendak kepada hamba-Nya serta menggantungkan perbuatan kepadanya juga. Surat Ali-Imran (3): 152, yaitu: 

مِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الْاٰخِرَةَ

...Di antara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat...

2. Secara kenyataan bahwa manusia mengetahui perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan)  yang dikerjakan dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli dan yang di luar kehendaknya seperti gemetar karena demam, dan jatuh dari atas. 

Pada yang pertama ini ia akan dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya tanpa ada paksaan. Sedangkan yang kedua dia tidak dapat memilih juga tidak dikehendaki terjadi.

Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan syara’ dan kenyataan:

1. Adapun dalil syara’ maka Allah adalah pencipta segala sesuatu dan segala sesuatu terjadi kehendaknya. Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an bahwa perbuatan makhluknya terjadi dengan kehendaknya, sebagaimana firman-Nya surat As-Sajadah (32): 13, yaitu:

وَلَوْ شِئْنَا لَاٰتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدٰىهَا وَلٰكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لَاَمْلَـَٔنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ

Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan daripadaKu: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.”

2. Adapun menurut akal, bahwa alam semesta ini adalah milik dan berada dalam kekuasaan Allah. Dan manusia, sebagai bagian dari alam tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan si penguasa kecuali dengan seizin-Nya dan kehendak-Nya.

Di antara dua paham di atas yang bertolak belakang lahirlah paham Ahlussunah Wal Jama’ah yang biasanya disebut Asy Ariyah‘ yang beranggapan bahwa: وأن ليس للإنسان إلا ماسعي (Tidak  ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya). Apakah manusia mempunyai ikhtiar? 

Tentu saja manusia mempunya ikhtiar walaupun dapat terjadi sesuatu pada manusia, yaitu sesuatu yang berada di luar iktiarnya. 

Maka dalam hal ini manusia itu dapat dibagi dua macam, yaitu:

1. Yang dilakukan dengan usaha memiliki arti syara’.

2. Yang dilakukan dengan terpaksa tidak dilakukan syara’ .

Namun sebagai manusia, tentunya ikhtiar itu perlu walaupun akhir dari sebuah ikhtiar adalah ketetapan Tuhan yang sering kita sebut dengan qadha Tuhan. 

Oleh karena itu, Iman kepada takdir disebut juga iman kepada qadha dan qadar Allah yang bertujuan agar manusia selalu mengingatnya, berzikir kepadanya sehingga ia dapat bersabar sambil melakukan introspeksi bila terjadi apaapa yang tidak diinginkannya dan terus memuji Allah sambil bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya

Hikmah iman kepada takdir:

1. Bersandar kepada Allah ketika mengerjakan sebab-sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah.

2. Agar seseorang tidak lagi mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan nikmat dari Allah yang dikarenakan takdirnya yaitu sebab-sebab keberhasilan. Dan mengagumi dirinya akan dapat melupakan syukur nikmat ini.

3. Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang berlaku, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau datangnya sesuatu yang tidak disukai. 

Karena dia tahu bahwa hal itu ditentukan dengan takdir Allah yang memiliki langit dan bumi dan bahwa hal itu akan terjadi dengan pasti.

0 Response to " Prinsip-Prinsip aqidah islam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak