Tradisi Selamatan

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.


Selametan, sebuah tradisi ritual masyarakat Sunda, Jawa, dan Madura. Selametan acara syukuran mulai dari pindah rumah, sunatan, pernikahan, hingga acara kematian yang dibarengi dengan tahlilan. 

Biasanya mengundang tentang dan kerabat, dimulai dengan doa bersama, dan diakhiri dengan ramah tamah alias makan makan. Namun bagaimanakah hukumnya dalam ajaran Islam?

Antropolog dari Amerika Serikat dalam Keluarga Jawa menuliskan, umumnya upacara selametan dianut kaum Islam Abangan. 

Sementara bagi kaum Islam Putihan (santri), praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh.

Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah.

Geertz mengkategorikan selametan ke dalam empat jenis utama. 

  • Pertama yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian. 
  • Kedua yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam. 
  • Ketiga bersih desa ("pembersihan desa"), berkaitan dengan integrasi sosial desa. 
  • Dan keempat berkaitan dengan kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.

Sebenarnya, kata selametan diambil dari bahasa Arab, yakni "salamah" yang berarti selamat, bahagia, sentosa. '

Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa). 

Upacara selametan adalah tradisi yang dipercaya akan menjauhkan diri dan keluarga dari mala petaka.

Bicara selametan dan tahlilan satu hari, lima hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari, sampai haul untuk yang sudah wafat, menjadi perdebatan. Namun bagaimana tuntutannya dalam ajaran Islam.

hukum mengadakan selamatan yang disertai dengan doa yang dipaketkan itu, tidak ada tuntunan dari Islam. 

Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat Indonesia.

Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita kembali saja kepada tuntunan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ulama Yahudi yang masuk Islam, bernama Abdullah bin Salam, yang ingin merayakan hari Sabtu sebagai hari raya. Ia ditegur oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Jadi, kita harus masuk kepada ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sebahagian-sebahagiannya.

Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. 

Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

0 Response to "Tradisi Selamatan"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak