Dilarang Berkata Buruk Terhadap Saudara Seiman

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, karena Dialah Tuhan yang menurunkan agama melalui wahyu yang disampaikan kepada Rasul pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Melalui agama ini terbentang luas jalan lurus yang dapat mengantarkan manusia kepada kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat.

Ketika kita sedang marah kepada orang lain, terkadang kita tidak bisa mengendalikan emosi sehingga keluar kata-kata dan panggilan kotor dari mulut kita. 

Misalnya, memanggil orang lain dengan nama hewan semisal anjing, monyet dan sejenisnya.

Memanggil orang lain dengan nama hewan hukumnya haram dalam Islam. Bahkan termasuk dalam perbuatan dosa besar. 

Dalam Islam, memaki sesama manusia, terutama terhadap saudara seagama dan seiman, sangat dilarang. 

Disebutkan bahwa orang mukmin tidak mungkin memaki, melaknat dan berkata buruk dan memanggil orang lain dengan nama-nama hewan.

Bahkan menurut Imam Nawawi, seseorang yang memanggil orang lain dengan nama hewan, maka dia mendapatkan dua dosa sekaligus. 

Dosa pertama adalah dosa dusta, karena dia telah berbohong dengan memanggil orang lain dengan nama hewan padahal orang lain tersebut bukan hewan sebagaimana dia sebut. 

Dosa kedua adalah menyakiti orang lain, karena orang lain yang dipanggil dengan nama hewan pasti hatinya tidak terima dan tersakit. 

Menyakiti hati orang lain dalam termasuk perbuatan dosa. Dalam kitab Al-Azkar, Imam Nawawi berkata sebagai berikut;

ومن الألفاظ المذمومة المستعملة في العادة قوله لمن يخاصمه، يا حمار ! يا تيس ! يا كلب ! ونحو ذلك؛ فهذا قبيح لوجهين : أحدهما أنه كذب، والآخر أنه إيذاء؛ وهذا بخلاف قوله : يا ظالم ! ونحوه، فإن ذلك يُسامح به لضرورة المخاصمة، مع أنه يصدق غالباً، فقلّ إنسانٌ إلا وهو ظالم لنفسه ولغيرها.

Termasuk di antara kalimat yang tercela yang umum dipergunakan dalam perkataan seseorang kepada lawannya adalah ucapan; Hai keledai, hai kambing hutan, hai anjing, dan ucapan semacam itu. 

Ucapan semacam ini sangat jelek ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena itu ucapan dusta. Kedua, karena ucapan itu akan menyakiti saudaranya. 

Ucapan ini berbeda dengan perkataan; Hai orang dzalim, dan semacamnya. Ucapan ini dimaafkan karena adanya kebutuhan darurat disebabkan oleh pertengkaran. 

Selain itu, pada umumnya ucapan itu adalah ucapan yang benar, karena keadaan mayoritas orang adalah dzalim terhadap dirinya sendiri atau orang lain.

Dalam hukum positif di Indonesia, orang yang melakukan penghinaan terhadap orang lain, seperti mengejek, mengolok-olok, mencela atau menghina fisik orang lain, 

Baik dilakukan secara langsung maupun melalui media elektronik, atau melalui media sosial, maka pelaku penghinaan tersebut bisa dikenakan sanksi pidana, 

Dengan syarat ada pengaduan dari korban bahwa telah terjadi penghinaan terhadap dirinya atau termasuk dalam delik aduan. 

Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.

Jika penghinaan tersebut dilakukan secara langsung diucapkan atau menista dengan lisan, dan dilakukan dengan cara sengaja melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, 

Maka pelaku dapat tuntut berdasarkan Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penghinaan, dengan ancaman pidana berupa pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus ribu rupiah), yang jika dikonversi menjadi Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah).

Dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP dikatakan “barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya di ketahui umum 

Karena bersalah menista orang dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan atau denda sebanyak banyaknya Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) atau Rp. 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah). 

Menurut pengertian secara umum kata menghina dalam pasal ini adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga akibat perbuatan tersebut seseorang menjadi malu, hilang martabat atau hilang harga dirinya.

Kemudian jika penghinaan tersebut dilakukan secara tertulis misalnya dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 310 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) yang jika dikonversi berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. 

Denda sebesar Rp. 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) dibaca menjadi 4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah).

Jika penghinaan fisik seseorang dilakukan melalui media elektornik atau media sosial, maka pelaku penghinaan bisa dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 45 ayat (1) junto Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman pidana, berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 74 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia.

Apabila dikemudian hari korban penghinaan berubah pikiran dan hendak memaafkan pelaku, kemudian ingin menarik pengaduannya, 

Maka berdasarkan Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penarikan kembali pengaduan atas suatu delik hanya dapat dilakukan paling lambat tiga bulan setelah diajukan, apabila waktu tersebut telah lewat maka pencabutan aduan tidak lagi dapat dilakukan. 

Artinya proses hukum tetap dilanjutkan, akan tetapi apabila dalam proses peradilan hakim memutus lain, seperti mengabulkan perdamaian antara kedua pihak, dan menghentikan perkara, maka itu menjadi kewenangan hakim.

0 Response to "Dilarang Berkata Buruk Terhadap Saudara Seiman"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak