Perbedaan Hadits Qudsi Dengan Hadits- Hadits Lain

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah.

Dalam agama Islam, Hadits merupakan sumber yang berisikan ajaran agama Islam yang ke dua setelah Alquran. Hadits termasuk ke dalam dalil naqli yang sudah pasti kebenarannya.

Hadits menurut bahasa adalah sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Sedangkan menurut istilah syara’, hadits merupakan hal-hal yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir).

Hadith Qudsi

Hadits qudsi terdiri dari dua kata yaitu hadits dan qudsi. Hadits merupakan segala yang ada pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau karakter. Sedangkan qudsi diambil dari kata qudus, yang artinya suci.

Al-Jurjani mengatakan,

الحديث القدسي هو من حيث المعنى من عند الله تعالى ومن حيث اللفظ من رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو ما أخبر الله تعالى به نبيه بإلهام أو بالمنام فأخبر عليه السلام عن ذلك المعنى بعبارة نفسه فالقرآن مفضل عليه لأن لفظه منزل أيضا

Hadis qudsi adalah hadis yang secara makna datang dari Allah, sementara redaksinya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga hadis Qudsi adalah berita dari Allah kepada Nabi-Nya melalui ilham atau mimpi, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal itu dengan ungkapan beliau sendiri. Untuk itu, al-Quran lebih utama dibanding hadis qudsi, karena Allah juga menurunkan redaksinya. (at-Ta’rifat, hlm. 133)

Sebagian ulama menyebut hadits qudsi dengan istilah lain seperti hadits ilahi atau hadis rabbani yang memiliki pengertian serupa yaitu hadis yang dinisbahkan kepada Allah.

Selain itu ada juga ulama yang menggunakan istilah hadis ilahi yaitu Syaikhul Islam dan Hafidz Ibnu Hajar. Dalam salah satu pernyataannya, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

الأحاديث الإلهية: وهي تحتمل أن يكون المصطفى صلى الله عليه وسلم أخذها عن الله تعالى بلا واسطة أو بواسطة

Hadis Ilahi ada kemungkinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dari Allah tanpa perantara atau melalui perantara. (Faidhul Qodir, 4/468).

Sementara itu, ada pula ulama yang menggunakan istilah hadis Rabbani salah satunya adalah Jalaluddin al-Mahalli. Dalam pernyataannya ia menyebutkan,

الْأَحَادِيثَ الرَّبَّانِيَّةَ كَحَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

Hadis Rabbani itu seperti hadis yang disebutkan dalam dua kitab shahih: “Saya sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku. (Hasyiyah al-Atthar ’ala Syarh al-Mahalli).

Hadits Mutawatir

Menurut bahasa, kata Mutawatir, berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada jaraknya. 

Sedangkan hadits mutawatir menurut istilah ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap generasinya, yang menurut adat tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka meriwayatkannya secara indrawi dan memberikan ilmu yakin. 

Selain itu, ada juga yang mendefinisikan Hadits Mutawatir ialah Hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. 

Ada lagi yang mendefenisikan hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang, dan diterima dari banyak orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.

Dari definisi tersebut maka terdapat beberapa ciri atau syarat yang bisa disematkan pada hadits Mutawatir, yaitu: Diriwayatkan banyak orang, diterima banyak orang, tidak mungkin perawi yang banyak itu bersepakat untuk berdusta, dan hadits itu didapat melalui panca indra. 

Jika dilihat berdasarkan fungsi dari ilmu hadits yaitu untuk memberikan keyakinan atas berita atau hadits yang disampaikan periwayat, maka kedudukan hadits mutawatir telah tercapai dengan baik bahwa yang tergandung di dalamnya adalah benar-benar dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam.

Adapun hadis mutawatir ini umumnya dibagi kedalam dua kategori yaitu, mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi. 

Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan satu lagi yaitu mutawatir 'amali, yaitu amalan agama yang dikerjakan Nabi Muhammad lalu diikuti oleh sahabat dan seterusnya hingga sekarang, seperti waktu shalat, jumlah rakaat shalat, adanya shalat id, adanya shalat janazah dan seterusnya.

Mutawatir lafzhi menurut para ulama, jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut Ibn Hibban dan al-Hazimi hadis tidak ada. 

Al-Asqolani menolak pendapat ibn Hibban dan al-Hazimi, menurutnya pandangan yang demikian itu terjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan para rawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta. 

Salah satu contoh hadis mutawatir lafzhi yang sering dikutip yaitu "barang siapa yang dengan sengaja berbuat dusta atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka". 

Berbeda dengan mutawatir lafzhi, muawatir maknawi tidak banyak diperdebatkan oleh ahli hadis, karena hadis ini relatif jauh lebih banyak dan lebih mudah dijumpai karena biasanya menyangkut aktifitas ibadah ritual.

Hadis-hadis mutawatir ini ini dapat diperoleh pada kitab-kitab hadis para ulama, tetapi untuk memudahkan memperoleh dan mengetahuinya terdapat ulama yang secara khusus menulis kitab hadis yang berisi hadis-hadis mutawatir, salah satu diantaranya ialah: al-azhar al-Mutanatsirah fi al Akhbar al-Mutanawatirah karya as-Suyuti yang di dalamnya memuat 112 buah hadis.

Hadits Masyhur dan Mustafidl

Hadits Masyhur

Menurut bahasa, merupakan isim maf’ul dari syahartu al-amra, yang berarti saya mengumumkan atau menampakkan suatu perkara. Disebut seperti itu karena penampakkannya yang jelas.

Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih disetiap tingkatannya, asalkan (jumlahnya) tidak mencapai derajat mutawatir.

Contoh:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja, melainkan Dia mencabutnya…” (Dikeluarkan haditsnya oleh Syaikhan, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadits Mustafidl

Menurut bahasa, merupakan isim fa’il dari istifadla, pecahan kata dari fadla al-maa, yang berarti air yang melimpah-limpah. Dinamakan seperti itu karena tersebar.

Menurut istilah, ada tiga pendapat yang berbeda, yaitu:

Merupakan sinonim dari hadits masyhur

Hadits mustafidl lebih spesifik dari hadits masyhur, karena pada hadits mustafidl disyaratkan pada kedua ujung sanadnya harus sama, sedangkan pada hadits masyhur hal itu tidak disyaratkan.

Hadits mustafidl lebih umum dari hadits masyhur, yaitu berlawanan dengan pendapat kedua.

Masyhur yang Tidak Tergolong Istilah Hadits Masyhur

Yang dimaksudkannya adalah sesuatu (hadits) yang telah popular (masyhur) di kalangan tertentu, namun tidak memiliki syarat-syarat yang dituntut (sebagai hadits masyhur). Hal itu berupa:

  1. Haditsnya memiliki hanya satu sanad.
  2. Haditsnya memiliki lebih dari satu sanad.
  3. Haditsnya tidak memiliki sanad.
  4. Hukum Hadits Masyhur

Masyhur menurut istilah maupun yang tidak termasuk istilah tidak dapat diklaim sebagai hadits yang shahih atau tidak shahih melainkan ada yang shahih, ada juga yang hasan, dhoif bahkan yang maudhu. Hadits masyhur menurut istilah hadits yang shahih memiliki kriteria lebih kuat dari hadits ‘aziz dan hadits gharib.

Kitab-Kitab yang Populer

Yang dimaksud kitab-kitab hadits masyhur disini adalah hadits-hadits masyhur yang beredar ditengah-tengah masyarakat, bukan masyhur menurut istilah hadits, di antaranya:

Al-Maqashid Al-Hasanah fima Isytahara ‘ala Al-Alsinati. Karya As-Sakhawi.

Kasyfu Al-Khafa wa Muzail Al-Ilbas fima Isytahara min Al-Hadits ‘ala Al-Sinati An-Nas. Karya Al-Ajiluni.

Tamyizu At-Thayib min Al-Khabits fima Yaduru ‘ala Al-Sinati An-Nas min Al-Hadits. Karya Ibnu Ad-Daiba’ As-Syaibani.

Hadits Sahih

Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat. Mahmud Thahan dalam 

Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan ‘illah.

Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit.

Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syâdz (kejanggalan) ataupun ‘illat (cacat).

Imam Ibn al-Shalah dalam kitabnya ‘Ulûm al-Hadits yang dikenal juga dengan Muqaddimah Ibn al-Shalah, mendefinisikan hadits shahih dengan “Hadits yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil dan dhâbith hingga sampai akhir sanad, tidak ada syâdz (kejanggalan) dan tidak mengandung ‘illat (cacat)”.

Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nazhâr Syarh Nukhbah al-Fikâr lebih ringkas mendefinisikan hadits shahih yaitu “Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang ‘adil, sempurna ke- dhâbith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber-‘illat dan tidak ber- syâdz”.

Berangkat dari beberapa defenisi tentang hadits shahih di atas diketahui lima macam kriteria hadits shahih yaitu pertama, sanadnya bersambung; kedua, para periwayatnya ‘adil; ketiga, para periwayatnya dhâbith; keempat, terhindar dari syâdz; dan kelima, terhindar dari ‘illat.

Hadits Hasan

Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. 

Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadits shahih dan hadits dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.

Definisi Tirmidzi: yaitu semua hadits yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadits hasan.

Definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadits ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadits shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadits hasan li dszatihi.

Kriteria hadits hasan sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadits shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadits hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadits dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadits hasan lebih unggul.

Macam-Macam Hadits Hasan

Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;

Hasan Li-Dzatih

Hadits hasan li-dzatih adalah hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan yang telah ditentukan. pengertian hadits hasan li-dzatih

Hasan Li-Ghairih

Hadits hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadits tersebut pada dasarnya adalah hadits dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadits dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadits hasan li-ghairih.

Kehujahan Hadits Hasan

Hadits hasan sebagai mana halnya hadits shahih, meskipun derajatnya dibawah hadits shahih, adalah hadits yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Para ulama hadits, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadits hasan.

Hadits Da’if

Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam. 

Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Macam-macam hadits dhaif

Haditst dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.

Hadits dhaif karena gugurnya rawi

Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :

Hadits Mursal

Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad, yaitu rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam. 

Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.

Hadits Marfu

Hadits marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada Nabi saw berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik yang menyandarkannya sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadits itu bersambung atau terputus.

Berdasarkan definisi diatas hadits marfu itu ada yang sanadnya bersambung, adapula yang terputus. Dalam hadits marfu ini tidak dipersoalkan apakah ia memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya. 

Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati hadits shahih atau hadits hasan, berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan perawi. Bila sanadnya terpuus hadits tersebut disifati dengn hadits dhaif mengikuti macam-macam putusnya perawi.

Macam-macam Hadits Marfu

Mengingat bahwa unsur-unsur hadits itu dapat berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi, maka apa yang disandarkan kepada Nabi itupun dapat diklasifikasikan menjadi marfu qauli, marfu fi’li dan marfu taqriri. 

Dari ketiga macam hadits marfu tersebut ada yang jelas –dengan mudah dikenal– rafanya, dan adapula yang tida jelas rafanya. Yang jelas (shahih) disebut marfu hakiki, dan yang tidak jelas (ghairu shahih) disebut marfu hukmi.

Marfu Qauly Hakiki

Ialah apa yang disandarkan oleh sahabat kepada Nabi tentang sabdanya, bukan perbuatannya atau iqrarnya, yang dikatakan dengan tegas bahwa nabi bersabda. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan lapazh qauliyah :

سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول …… كذا

“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda ……… begini”

Contohnya :

عن ابن عمر رضى الله عنه قال: إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قال: صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع و عشرين درجة ( رواه البخاري و مسلم)

“Warta dari Ibn Umar r a, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda : Shalat jama’ah itu lebih afdhal dua puluh tujuh tingkat dari pada shalat sendirian” ( HR Bukhari dan Muslim)

Marfu Qauly Hukmi

Ialah hadits marfu yang tidak tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi, melainkan dengan perantaran qarinah yang lain, bahwa apa yang disandarkan sahabat itu berasal dari sabda nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan kalimat :

أمرنا بكذا ……. نهينا عن كذا

“Aku diperintah begini…., aku dicegah begitu……”

Contohnya :

أمر بلال ان ينتفع الأذن و يوتر الإقامة ( متفق عليه )

“Bilal r.a. diperintah menggenapknan adzan dan mengganjilkan iqamah” (HR Mutafaqqun ‘Alaih)

Pada contoh diatas hadits tersebut dihukumkan marfu dan karenanya hadits yang demikian itu dapat dibuat hujjah. Sebab pada hakikatnya si pemberi perintah iu tidak lain kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wassallam.

Marfu Fi’li Hakiki

Adalah apabila pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan rasulullah saw.

Contohnya :

عن عائشة رضى الله عنها انّ رسولالله صلّى الله عليه وسلّم كان يدعوا فى الصلاة, ويقول: (اللّهمّ إنّى أعوذبك من المأثم و المغرم) (رواه البخارى)

“Warta dari ‘Aisyah r.a. bahwa rasulullah saw mendo’a di waktu sembahyang, ujarnya: Ya Tuhan, aku berlindung kepada Mu dari dosa dan hutang” (HR Bukhari)

Marfu Fi’li Hukmi

Ialah perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau diwaktu Rasulullah masih hidup. Apabila perbuatan sahabat itu tidak disertai penjelasan atau tidak dijumpai suatu qarinah yang menunjukkan perbuatan itu dilaksanakan di zaman Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu melainkan dihukumkan hadits mauquf. Sebab mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat tersebut diluar pengetahuan Rasulullah saw.

Contohnya :

قال جابر: كنّا نأكل لحوم الخيل على عهدى رسول الله (رواه النسائى)

“Jabir r.a. berkata : Konon kami makan daging Kuda diwaktu Rasulullah saw masih hidup” (HR Nasai) 

Marfu Taqririyah Hakiki

Ialah tindakan sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik reaksi itu positif maupun negatif dari beliau.

Contohnya, Seperti pengakuan Ibnu Abbas r.a:

كنّا نصلّ ركعتين بعد غروب الشمس و كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يرانا ولم يأمرنا ولم ينهنا

“Konon kami bersembahyang dua rakaat setelah matahari tenggelam, Rasulullah saw mengetahui perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tidak pula mencegah.”

Marfu Taqririyah Hukmy

Ialah apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat sunnatu Abi Qasim, Sunnatu Nabiyyina atau minas Sunnati.

Contohnya, perkataan Amru Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad:

لا تلبسوا علين سنّة نبيّنا (رواه ابو داود)

“Jangan kau campur-adukkan pada kami sunnah nabi kami.” (HR. Abu Dawud‎)

Perkataan di atas tidak lain adalah sunnah Nabi Muhammad saw, akan tetapi kalau yang memberitakan dengan kalimat minas sunnati dan yang sejenis dengan itu seorang tabi’in, maka hadits yang demikian itu bukan disebut hadits marfu, tetapi disebut hadits mauquf.Hadith Mauquf

fatwa atau kata-kata sahabat yang diriwayatkan kepada kita – iaitu kata-kata itu terhenti pada sahabat bukan pada Nabi. S.A.W

Hadith Mursal

Mursal menurut bahasa adalah dilepaskan. Sedangkan Mursal menurut istilah adalah hadits yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in. 

Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi. 

Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda begini atau berbuat begini”.


Said bin Al-Musayyib adalah seorang tabi’in senior, meriwayatkan hadits ini dari Nabi Saw tanpa menyebutkan perantara dia dan Nabi Shalallahu 'alaihi wassallam. 

Maka sanad hadits ini telah gugur pada akhirnya, yaitu perawi setelah tabi’in. Setidaknya telah gugur dari sanad ini shahabat yang meriwayatkannya. 

Dan sangat mungkin telah gugur pula bersamanya perawi lain yang setingkat (se-thabaqah) dengannya dari kalangan tabi’in.


Inilah hadits mursal menurut ahli hadits. Sedangkan menurut ulama fiqih dan ushul fiqih lebih umum dari itu, yaitu bahwa setiap hadits yang munqathi’ (akan dijelaskan lebih lanjut nanti insya Allah) menurut mereka adalah mursal. 

Hukum Hadits Mursal • Jumhur (mayoritas) ahli hadits dan ahli fiqih berpendapat bahwa hadits mursal adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits mardud (tertolak), karena tidak diketahui kondisi perawinya. 

Bisa jadi perawi yang gugur dari sanad adalah shahabat atau tabi’in. Jika yang gugur itu shahabat, maka tidak mungkin haditsnya ditolak, karena semua shahabat adalah ‘adil. Jika yang gugur itu adalah tabi’in, maka sangat dimungkinkan hadits tersebut adalah dla’if. 

Namun dengan kemungkinan seperti ini, tetap tidak bisa dipercaya atau dipastikan bahwa perawi yang gugur itu seorang yang ‘adil. 

Dan meskipun diketahui bahwa sang tabi’in tidak akan meriwayatkan kecuali dari orang yang tsiqah, maka hal ini pun tidak cuckup untuk mengangkat ketidakjelasan kondisi si perawi.

Pendapat lain mengatakan bahwa hadits mursal adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai hujjah, terlebih lagi jika si tabi’in tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah dan dapat dipercaya. Pendapat ini masyhur dalam madzhab Malik, Abu Hanifah, dan salah satu dari dua pendapat Imam Ahmad.

Hadits Muttasil

hadith yang berhubung sanadnya, tiap-tiap yang meriwatkannya mendengar terus dari orang yang meriwayatkan kepadanya hingga sampai kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassallam atau sahabat.

An-Nawawi mengutip pendapat Imam Ibnu Shalah bahwa muttasil adalah hadits yang sanadnya bersambung baik itu marfu‘ (sampai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam) atau mauquf (sampai sahabat) saja.

Imam As-Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi menjelaskan bahwa syarat muttashil adalah semua perawi harus mendengar hadits tersebut dari gurunya.

قال ابن الصلاح بسماع كل واحد من رواته ممن فوقه.

Artinya,
“Ibnu Shalah berpendapat bahwa muttashil adalah dengan mendengarnya setiap perawi atas orang sebelumnya,”

Untuk memastikan ketersambungan sebuah sanad dan untuk memastikan bahwa seorang perawi benar-benar mendengarkan sebuah haditst dari gurunya, maka para ulama menetapkan beberapa syarat dan kriteria agar sebuah sanad dinyatakan muttashil.

Hadith Mahfuz

hadith yang terpelihara – iaitu rawi itu orang yang dipercayai dan tak menyalahi golongan kepercayaan selain darinya dengan penampahan atau kurang.

 Mahfudh secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim maf’ul dari kata Al-Hifdh yang bermakna “kekuatan hafalan”. Oleh sebab itu para ulama berkata : “Orang yang hafal adalah hujjah bagi orang yang tidak hafal”.

Menurut istilah, hadits Mahfudh adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang membuat riwayatnya dimenangkan, dimana riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat”. Hadits Mahfudh adalah kebalikan dari hadits Syadz.

Hadits Jayyid

hadits yang dikatakan baik dan sahih oleh ahli-ahli hadith.

Hadits Mujawwad dan Thabit

hadits yang sahih dan hasan. hadith sahih dan hadith hasan juga dinamakan hadith mujawwad dan hadith thabit

Hadits Maudu’

hadits palsu, yang hadith tersebut perkataan seseorang tetapi dikatakan hadith Nabi Shallallahu 'alaihi wassallam.

Demikian Perbedaan Hadits Qudsi Dengan Hadits- Hadits Lain. Semoga bermanfaat. Terimakasih atas kunjungannya.

0 Response to "Perbedaan Hadits Qudsi Dengan Hadits- Hadits Lain"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak