Mengenal Apa itu Nafs (Jiwa)

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah

Allah menciptakan manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Unsur jasmani adalah bentuk tubuh yang tampak berupa tulang, kulit, daging, rambut, mata, kuku, dan beberapa organ tubuh lainnya.

Sedangkan unsur rohani berupa suatu yang tidak tampak berupa akal, ruh, nafsu dan qalb/hati yang dalam istilah tasawuf ketiga hal tersebut (akal, ruh dan qalb) dikenal dengan istilah jiwa.

Nasf atau nafsu sering diartikan sesuatu yang selalu mengajak pada keburukan, kemaksiatan dan kedzaliman. Nafs juga selalu dijadikan kambing hitam dalam setiap kekhilafan yang dilakukan oleh umat manusia, bahkan nafsu juga dianggap teman dari syetan. 

Namun betulkah demikian? pembahasan kali ini akan sedikit mengupas tentang nafs, macam-macam nafs, kecenderungan nafs dan tahapan-tahapan penyuciannya yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa nafs pada hakikatnya adalah fitrah, ibarat kertas kosong.

Kualitas nafsu bisa turun dan bisa naik tergantung perilaku pemilik nafsu itu sendiri. Jika nafs itu sering disucikan dengan mujahadah dan riyadlah, maka nafs itu akan mengajak pada kebaikan 

Namun jika nafs itu tidak pernah disucikan, maka nafs itu akan turun kualitasnya dan cenderung mengajak pada keburukan.

Pengertian Nafs 

Ada dua pengertian nafs di sini: 

1. Nafs Yang Berarti Nafsu. 

Kata ini dalam bahasa Indonesia, nafs berarti nafsu syahwat yang menggoda manusia yang sering disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah atau negatif. 

2. Nafs Yang Berarti Jiwa.

Nafs dalam pengertian ini terdapat akal, ruh dan hati. 

Pengertian nafs menurut arti kedua tersebut yang akan dibahas kali ini, yaitu sebagai komponen batin dalam diri manusia sebagai anugerah Allah untuk difungsikan sebagai Khalifahtullah. 

Sehingga kali ini tidak membahas tentang nafsu, syahwat yang selalu mengajak keburukan, melainkan nafs dalam arti fitrah.

Al-nafs adalah jiwa dalam arti psikis berupa akal, hati, nafsu dan roh, yang keempat hal tersebut merupakan essensi dalam diri manusia. 

Nafs yang dikehendaki di sini adalah nafs yang berarti jiwa bukan nafs yang berarti nafsu atau syahwat Al-Qurân membagi tingkatan nafs pada dua kelompok besar, yaitu: 

  1. nafs martabat tinggi dan 
  2. nafs martabat rendah. 
Nafs martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang taqwa, yang takut kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk-Nya serta menjauhi larangan-Nya. 

Sedangkan nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang yang menentang perintah Allah dan mengabaikan ketentuan-ketentuan-Nya, serta orang-orang sesat yang cenderung berprilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemunkaran.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam diri manusia terdapat empat unsur yang kesemuanya bersifat rabbani yaitu: 

  1. akal, 
  2. nafs, 
  3. ruh dan 
  4. qalb.

Keempat unsur itu disebut dengan istilah jiwa, atau dalam istilah arabnya biasa disebut al-nafs. Dalam bahasa Indonesia, nafs berarti syahwat yang menggoda manusia. 

Nafs dalam arti ini juga biasa disebut dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung bersifat rendah atau negatif.

Nafs dalam Al-Qur’an

Nafs diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna sebagai perangkat dalam rohani manusia, nafs diciptakan secara lengkap yang diilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukan 

Agar ia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan manusia diberi kekuatan untuk memilih antara keduanya, 

Hal ini dapat dilihat dalam surat asy-Syams ayat:7 : 

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ

Artinya: "Dan demi jiwa serta penyempurnaannya"(Al-Qur'an surat Asy-Syams, ayat 7)

Dalam ayat tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa nafs diciptakan dalam keadaan sempurna untuk berkarya dengan beberapa potensi dan bakat yang dimiliki untuk menjadikan hidupnya lebih berarti dan bermanfaat bagi umat manusia, 

Yang juga berfungsi sebagai perangkat dalam rohani sekaligus sebagai wadah pontensi manusia. Selain ayat di atas ada lagi ayat yang menjelaskan bahwa nafs menampung hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.

فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

Artinya: "maka Alah mengilhamkan kepada nafs itu kebaikan dan keburukan" (Al-Qur'an surat Asy-Syams ayat 8)

Dapat dipahami setelah Allah memberikan kesempurnaan terhadap nafsu, ia diberi kebebasan untuk berbuat sesuai kekuatan fitrah atau kekuatan nafsunya, 

Jika ia ternyata bisa mengutamakan fitrah dirinya, berarti ia mampu mengalahkan nafsunya, namun sebaliknya, jika ia berbuat yang jelek berarti ia tidak mampu mengendalikan nafsunya karena ia telah kalah membawa fitrah untuk bertarung dengan nafsu di dalam dirinya'.

Kemudian penjelasan tentang nafs juga ditambah dalam surat al-Dzariyat:

وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ

Artinya: "Sungguh beruntung orang yang mensucikan (nafsu)nya" (Al-Qur'an surat al-Nazi'aat, ayat 40)

Akan tetapi jika nafs itu selalu dikotori dengan maksiat dan perbuatan yang tidak terpuji serta tidak pernah disucikan, maka nafs itu akan turun derajat kualitasnya.

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ

Artinya: "Dan sungguh merugi orang-orang yang mengotori (nafs)nya" (Al-Qur'an surat Asy-Syams, ayat 9)

Jadi dalam beberapa ayat di atas, kualitas nafsu bisa turun dan bisa naik tergantung perilaku pemilik nafsu itu sendiri, jika nafs itu sering disucikan dengan mujahadah dan riyadlah, 

Kemungkinan kualitas untuk naik sangat besar, namun jika nafs itu tidak pernah disucikan, maka nafs itu akan turun kualitasnya.

Macam-macam Nafs

Setelah sedikit dibahas tentang batasan pengertian nafsu seperti di atas, berikut ini akan dipaparkan macam-macam nafsu. 

Nafs dapat dibagi ke dalam beberapa hal tergantung dalam persepktif apa ia dilihat. Berikut pembagian nafs menururt perespektif kaum sufi

1. Nafs Al-Amarah

Nafs ini memiliki kecenderungan badaniyah yang berujung terhadap keinginan untuk mendapat kesenangan (syahwat) dan materi semata. 

Nafsu ini berangkat dari kondisi yang sangat rendah dalam diri manusia yaitu nafsu hewaniyah atau bahamiyah. 

Dalam kondisi ini, sifat dan karakter kehewanannya yang lebih ditampakkan ketimbang menampakkan sifat malakiyah atau malaikatnya. 

Nafs Al-Amarah ini yang digambarkan dalam Al-Qurân dalam surat Yusuf yang artinya: "Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan." (QS. Yusuf [12]:53)

Nafs Al-Amarah ini pula yang lebih dekat dengan syetan, karena ia adalah kesadaran ruhaniyah yang ada dalam diri manusia pada tingkat paling bawah, yaitu berada pada lapisan otak jasmaniyah pertama, yang berpusat di tengah-tengah kening di antara dua mata. Ia memiliki cahaya biru terang yang disebut nur al-samawat. 

Oleh karena itu ia cenderung berpandangan ke arah yang lebih rendah yaitu alam syahadah (yang tampak oleh mata) yang bersifat materi serta tindakannya cenderung merugikan orang lain.

Menurut perspektif tasawuf jiwa atau nafs ini memiliki tujuh gejala:

  1. al-bukhl, atau kikir
  2. al-hirst, atau berambisi dalam hal dunia
  3. al-hasad, dengki dan iri hati
  4. al-jahl, yakni bodoh, susah menerima kebenaran
  5. al-syahwat, keinginan melanggar syari'at
  6. al-kibr, merasa besar
  7. al-ghadab, marah karena hawa nafsu

2. Nafs Al-Lawwamah

Jiwa ini merupakan suatu kesadaran akan kebaikan dan keburukan, jiwa ini juga mempunyai potensi untuk taat dan durhaka pada Allah. Selain itu jiwa lawwamah ini terkadang suka mencela baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. 

Jiwa ini berada pada cahaya hati, oleh karena itu, nafsu ini terkadang semangat untuk berbuat baik dan kadang semangat pula untuk berbuat keburukan, sehingga akibat dari kedua kecenderungan itu muncul rasa penyesalan yang mendalam pada jiwa ini. 

Nafs ini juga memiliki sifat jelek sebagai berikut:

  1. al-laum (suka mencela)
  2. al-hawa (suka mengikuti hawa nafsu)
  3. al-makr (suka menipu)
  4. al-„ujub (suka membanggakan diri)
  5. al-ghibat (suka menggunjing)
  6. al-riya' (suka pamer)
  7. al-zulm (suka menganiaya)
  8. al-kidhb (suka bohong)
  9. al-ghaflat (lupa mengingat Allah)
Namun meskipun begitu, tidak semuanya nafs lawwamah ini bersifat buruk, melainkan ada kalanya juga bersifat baik, sebab dalam jiwa ini juga bersemayam beberapa sifat terpuji seperti sifat iman, islam dan penyerahan diri terhadap qada' dan qadar Allah.

3. Nafs Al-Mulhimah

Nafs ini berada di urutan ke tiga dalam derajat kejiwaan manusia. Jiwa ini bersifat lembut sehingga melahirkan kesadaran yang mudah juga menerima ilham berupa pengetauan. 

Jiwa ini juga menimbulkan kesadaran berupa sifat tawadlu', qana'ah dan dermawan. Jiwa ini bertempat di samping susu sebelah kanan sekitar dua jari. Ia juga memiliki hubungan dengan paru-paru jasmani manusia. 

Jiwa ini berwarna merah dan memiliki tujuh sifat yang dominan.

  1. al-sakhwat (dermawan)
  2. al-qana'ah (menerima apa adanya)
  3. al-hilm (lapang dada)
  4. at-taubat (bertaubat)
  5. al-sabr (sabar)
  6. al-tahammul (tahan menjalani penderitaan)
  7. tawādhu (renah hati)

Di samping adanya sifat baik dalam jiwa lawwamah ini, ada juga sifat buruk yang bersemayam dalam iwa ini seperti sifat bahamiyah (binatang) yang hanya memikirkan kesenangan semata.

4. Nafs al-Muthma’innah

Jiwa ini adalah jiwa yang dibarengi oleh cahaya hati, sehingga bersih dan jauh dari sifat-sifat tercela serta stabil dalam menata keseimbangan antara zahir dan batin. 

Orang yang didominasi jiwa muthma'innah, ia akan mampu berkomunikasi secara zahir terhadap sesama manusia dan secara batin mampu berkomunikasi dengan Allah.

Jiwa ini berpusat di atas susu kiri dengan jarak dua jari condong ke kiri, warna cahayanya memancar berwarna putih yang tak terhingga. 

Jiwa ini memiliki sifat terpuji sebagai berikut:

  1. al-jud (tidak kikir)
  2. al-tawakkal (pasrah pada Allah)
  3. al-ibadat (ibadah hanya pada Allah)
  4. al-syukr (bersyukur atas nikmat Allah)
  5. al-ridla (rela terhadap hukum dan ketentuan Allah)
  6. alkhaswat (takut mengerjakan maksiat)
Lawan dari sifat terpuji dalam jiwa ini adalah sifat al-subu'iyyah (sifat binatang buas) seperti rakus, ambisius dan menghalalkan segala cara untuk kepuasan nafsu berkuasanya.

5. Nafs Al-Mardliyah

Jiwa ini merupakan relitas dari lathifah al-khafi. Ia besifat sangat lembut dan kecenderungan ini sangatlah suci, bersih dan dekat pada Allah. 

Jiwa ini muncul sebagai kesadaran agar rela menerima terhadap Allah sebagai Tuhan dan satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah. 

Selanjutnya ia rela dan hadir dalam beribadah serta rela terhadap Allah sehingga Allah-pun rela pada jiwa ini.

Jiwa ini bertempat di atas susu kanan sekitar dua jari condong ke kanan, ia memiliki cahaya warna hitam cemerlang.

Masih menurut Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah, jiwa ini didominasi oleh enam sifat terpuji sebagai berikut:

  1. husn al-khuluq (budi pekerti yang baik)
  2. tark ma siwa Allah (meninggalkan sesuatu selain Allah)
  3. al-luthf (belas kasihan pada sesama mahluk)
  4. haml al-khalq ala al-shilah (mengajak pada kebaikan)
  5. al-afu 'anzunun al-khalqi (pemaaf terhadap kesalahan mahluk)
  6. hubu al-khalqi wa al-mail li ikhrajihim min dulumati tabai'ihim wa anfusihim ila anwarihim (menyayangi makhluk dengan maksud mengeluarkan mereka dari pengaruh tabi'at dan nafsu mereka kepada cahaya ruhani rabbani).
Selain sifat baik tersebut, juga bersemayam sifat buruk dalam jiwa ini berupa sifat syaithaniyyah yaitu tabiat iblis, seperti hasud, takabbur, khianat, licik dan munafiq.

6. Nafs Aal-Kamilah

Jiwa ini merupakan penjelmaan dari lathifah al-akhfa (kelembutan yang samar dalam diri manusia), ia „tak lain kelembutan yang paling dalam pada diri manusia, oleh karena itu ia juga termasuk jiwa paling bersih dari pengaruh materi yang lebih rendah. 

Jiwa ini berada di tengah dada manusia. Warnanya hijau „tak terhinggakan. Oleh karenanya jiwa ini mempunyai beberapa istilah yaitu ilm al-yaqin, ain al-yaqin dan haqq al-yaqin. 

Namun jiwa ini juga mempunyai beberapa sifat yang semestinya sifat itu hanya dimiliki oleh Tuhan yaitu: takabur, 'ujub, riya', sum'ah dan lainya.

7. Nafs Al-Radliah

Jiwa ini merupakan jiwa tertinggi bagi manusia (secara realitas) yaitu bahwa manusia sebagai mahluk jasmani dan rohani. Jiwa ini juga merupakan wujud dua alam (alam malakut dan alam syaithan). 

Pusat pengendalian jiwa ini berada pada seluruh tubuh manusia, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, cahayanya berupa cahaya ilahiyah yang bening „tak berwarna.

Jiwa ini mempunyai beberapa sifat terpuji sebagai berikut:
  1. al-karam (mulia, dermawan, senang bershadaqah dan beramal jariyah)
  2. al-zuhud (menjauh dari hal yang bersifat materi, menerima yang halal walau sedikit dan menjauh yang syubhat meskipun banyak)
  3. al-ikhlas (memurnikan niat pada Allah)
  4. al-wara' (berhati-hati dalam beramal)
  5. al-riyadlah (latihan terus menerus untuk menyiksa hawa nafsu, menghias diri dengan akhlaq yang baik dan meninggalkan akhlaq yang buruk)
  6. al-wafa' (selalu memegang janji lebih-lebih janji pada Allah).

Ketujuh nafs di atas adalah pembagian menurut perspektf tasawuf yang ditulis oleh Kharisuddin Aqib, sekaligus merupakan gradual dalam sistem pembelajaran dzikir yang dilakukan secara bertingkat.

Hal ini juga bisa dikaitkan dengan berbagai jenis alam dan jenis jiwa manusia, di mana antara alam dan jiwa manusia juga memiliki beberapa tingkatan sebagai berikut:

1 Alam lahut Jiwa akhf
2 Alam jabarut Jiwa khaf/sir
3 Alam malakut Jiwa ruh
4 Alam „arsy Jiwa qalb
5 Alam nasut Jiwa nafs

Dari urutan jiwa dan alam di atas, semakin tinggi manusia mampu menempuhnya, maka semakin tinggi pula derajat kebersihan hatinya. Dan demikian sebaliknya.

Nafs Dalam Perspektif Kekuatan Gerak dan Berkarya

1. Nafs Al-Nabatiyah

Nafs ini bersifat dan berkarakter seperti layaknya tumbuh-tumbuhan. Di mana tumbuhan hanya memiliki karakter untuk berkembang dan meninggi naik ke atas, 

Ia tidak memiliki naluri untuk berfikir dan mengembangkan potensi dalam dirinya, melainkan ia hanya naik ke atas atau paling-paling ia hanya mengembang ke samping, dan itulah manusia yang juga mempunyai kecenderungan berkembang lebih tinggi dan bertambah besar dari segi postur tubuh.

2. Nafs Al-Hayawaniyah

Nafs ini berkarakter seperti hewan yang memiliki dua naluri yaitu:

1. Naluri pendorong (al-quwwah al-muharrikah)

Naluri ini mempunyai dua kecenderungan yaitu: pertama, kecenderungan nafsu seksual/kenikmatan dan; kedua, kecenderungan pendorong marah, murka, dendam. 

Kekuatan ini peris sama seperti yang dimiliki hewan, oleh karenanya jika manusia hanya menonjolkan nafs ini, berarti ia „tak ubahnya seperti hewan

2. Naluri persepsi (al-quwa al-mudrikah)

Naluri ini lebih mengarah pada pembentukan kesadaran seseorang dalam melihat dirinya serta hubungannya dengan obyek di luar dirinya, yaitu: pertama, kesadaran persepsi (penginderaan) dan. kedua, kesadaran di bawah sadar, di mana kesadaran bawah sadar ini mempunyai tiga kemampuan berupa:

1. Kemampuan asosiasi (hissul mushtarak)

Kata “hiss” berarti penginderaan, sedangkan “mushtarak” berarti bersama-sama memberi hormat terhadap dua kekuasaan. Dalam psikologi hiss al-mushtarak berarti perbatasan atau batas antara kesadaran dan daya kekuatan bawah sadar. 

Walau asosiasi dipersepsikan oleh para sufi sebagai bagian dari daya kekuatan bawah sadar, mereka masih berfikir bahwa asosiasi merupakan bagian terdekat dari perasaan dan proses kesadaran, paduan antara pikiran dan fantasi dalam persepsi

sensasi adalah wujud ekspresi dari asosiasi.

Menurut Ibnu Sina, yang dikutip oleh Imam Malik, bahwa seluruh stimulus dari objek setelah diterima oleh tubuh, akan masuk pada era asosiasi di mana ingatan masa lalu dan pengalaman muncul kembali dan akan melekat pada proses selanjutnya yaitu proses sensorik.

2. Kemampuan imajinasi (takhayyul)

Dalam hal ini takhayyul diartikan sebagai imajinasi, fantasi, angan-angan dan bayangan. Persepsi sensorik berlangsung melalui asosiasi dan disimpan dalam benak fantasi dan imajinasi alam bawah sadar, selanjutnya beberapa persepsi akan disimpan secara utuh dan terkadang beberapa persepsi akan dirubah dan diputar balikkan sesuai kekuatan memori masing-masing individu.

Masih menurut Ibnu Sina, bahwa imajinasi dalam diri manusia terbagi menjadi dua tipe yaitu: pertama, tipe imajinasi yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari dan realitas internal dan; kedua, imajinasi merupakan suatu hal yang menutupi rasio dan kecerdasan, yang selanjutnya terekspresikan dalam bentuk kekuatan irasional dan kecemasan yang berlebihan.

3. Kemampuan memori (tadhakur)

Tadhakur berarti mengingat atau menyimpan sesuatu yang pernah kita lihat dan kemudian ingatan itu disimpan ke dalam memori otak yang suatu ketika bisa dibuka kapan saja sesuai dengan kehendak kita. 

Dan kekuatan mengingat ini hanya dimiliki oleh manusia untuk membuka kembali “file-file” yang tersimpan dalam otak. 

Hal ini sama dengan computer, juga mempunyai memori untuk meyimpan data lalu kemudian suatu saat bisa dibuka. Namun menurut Syâfi'î, kekuatan mengingat ini ibarat pedang bermata dua. 

Di mana satu sisi hal ini bisa menjadi pembantu untuk mengingat pengetahuan, mengembangkan rasionalitas pada diri seseorang, namun di sisi lain dapat merintangi integrasi kepribadian lebih mendalam karena dapat menimbulkan kebanggaan terhadap diri sendiri yang berlabihan.

3. Nafs Al-Insaniyah

Nafs ini merupakan tingkatan nafs tertinggi pada semua mahluk ciptaan Tuhan, sebab di dalamnya terkandung ruh-ruh ketuhanan yang bersemayam pada tubuh setiap insan. 

Melalui nafs ini pula manusia bisa lebih tinggi derajatnya dibandingkan mahluk Tuhan yang lain serta karenanya ini pula manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Karena nafs ini pula manusia mukallaf terkena khithab hukum Tuhan untuk melaksanakan  segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Nafs inilah yang memiliki potensi kekuatan fisik, bakat, keilmuan dan potensi ulul albab atau insan kamil. Oleh karenanya, setiap manusia harus selalu meningkatkan derajat nafs ini dari nafs al-marah menuju nafs al-lawwamah yang akhirnya menuju nafs almuth‟ma‟innah. 

Nafs insani ini pula yang menjadi kebanggaan manusia dari pada binatang dan benda mati. Karena Allah banyak menyebut insan pada manusia sebagai wujud penghargaan pada manusia itu sendiri.

Nafs Dilihat Dari Karakter dan Kecenderungan Sikap Manusia

Dalam sudut pandang ini nafs terbagi menjadi empat macam yaitu:

1. Nafs al-hayawaniyah: 

Nafs ini merupakan nafsu hewani yang ada dalam jiwa manusia. Nafs ini hanya mengajak manusia untuk berbuat sebagaimana layaknya binatang pada umumnya, 

Sebagaimana kita tahu bahwa binatang tidak pernah berfikir untuk beribadah, binatang tidak perah berfikir untuk berbuat baik, melainkan ia hanya berfikir untuk makan, memenuhi nafsu birahi/seksual dan kesenangan yang bersifat materi semata. 

Oleh karanya jika manusia hanya berfikir untuk mencari kesenangan duniawi semata, maka ia tak ubahnya hewan dan binatang pada umumnya.

2. Nafs al-Subu‟iyyah: 

Nafs ini adalah nafsu binatang buas, binatang galak yang menakutkan. Jika kita melihat hewan buas di hutan, sebut saja macan misalnya, macan tidak akan rela jika ada hewan lain yang mencoba merebut wilayah kekuasaannya, 

Oleh karena itu macan akan berusaha menyingkirkan hewan yang dianggap mengancam wilayah kekuasaannya walau dengan cara apapun, halal atau haram. 

Sama dengan manusia jika ada orang yang dianggap mengancam posisinya, maka orang itu akan difitnah, dirasani dan dihantam dari belakang agar orang itu pergi dan hancur. Itulah nafs alsubu‟iyyah (binatang buas).

3. Nafs al-syaithaniyah: 

Nafs ini adalah nafsu syetan yang bersemayam dalam jiwa setiap manusia. Sesuai dengan firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Nafs ini adalah ajakan dan kecenderungan untuk selalu berbuat semua larangan Allah karena anjuran syetan yang ada dalam jiwa. 

Nafs ini identik dengan sifat dan perbuatan buruk dan tercela, sebab yang mendominasi nafs ini adalah syetan yaitu mahluk yang karenanya Nabi Adam diusir dari surga.

4. Nafs al-malakiyah: 

Yaitu nafsu yang memiliki kecenderungan seperti para malaikat, di mana kita ketahui bahwa malaikat adalah mahluk Allah yang tidak pernah berbuat maksiat dan selalu patuh pada perintah Allah serta tidak pernah melanggar sedikitpun. 

Nafs ini selalu mangajak pemiliknya untuk berbuat kabaikan, mentaati perintah Allah dan menjuhi segala larangan Allah.

Keempat nafs di atas ada dan bersemayam dalam diri manusia, sebab dengan keempatnya manusia akan tampak mana yang iman pada Allah dan mana yang tidak beriman, 

Demikian juga dalam sikap sehari-hari, yang mana yang akan dikedepankan dalam bersikap. Artinya, jika manusia lebih mengedepankan nafsu hewannya, berarti ia memilih untuk serupa hewan; 

Jika dalam sikapnya ia lebih mengedepankan sikap syetannya, berarti ia telah kalah terhadap nafsu dan pengaruh syetan; 

Jika ia suka iri, hasud dan tidak senang terhadap nikmat yang didapat oleh orang lain dan berusaha mengahancurkan orang lain tersebut, 

Berarti ia lebih mengedepankan nafs al-subu‟iyyah-nya; dan jika ia selalu berbuat baik, berarti ia telah patuh pada nafsu malaikatnya.

Nafs dalam Perspektif Kehewanan

Dalam perspektif ini, nafs dibagi mejadi sepuluh17 macam sebagai berikut:

1. Al-nafs al-kalbiyyah (jiwa anjing): 

Nafs ini hampir mirip dengan anjing, di mana jika kita melihat anjing adalah hewan yang apabila menjumpai daging, maka ia akan rebutan dengan sesamanya. 

Ia ingin memonopoli sendiri dan tidak mengizinkan sang teman untuk ikut menikmati daging yang diperebutkan, kalau ia dapat memakannya, maka terjulurlah lidahnya, dan bila ia diusir oleh yang lain, maka terjulur pula lidahnya. 

Maka begitulah orang yang jiwanya serupa dengan anjing, nafsunya mengajak orang itu untuk selalu memperebutkan kedudukan dan keuntungan secara pribadi.

2. Al-nafs al-himariyah (jiwa keledai): 

Jiwa ini ibarat keledai yaitu ia pandai memikul sesuatu tetapi ia tidak mengerti dan tidak paham apa yang ia pikul.

Disebutkan dalam suatu cerita, ada dua keledai membawa kapas dan garam yang masing-masing diiringi oleh tuannya, di tengah perjalanan ia berhenti di tepi sungai. 

Karena letih, sang tuan-pun tidur, sang keledai merasa panas, maka terjunlah ia ke sungai untuk mandi, sesaat kemudian, tercengenglah keledai itu, sebab setelah ia selesai mandi ternyata beban garam yang ada dipunggungnya sudah tidak ada. 

Sedangkan keledai yang satu, juga mandi dan pada saat mandi ia merasa berat karena yang di punggungnya adalah kapas. Karena ia tidak kuat dengan beban yang ada di punggungnya, maka ia mati tenggelam. 

Demikianlah keledai yang bodoh. Hal ini sama seperti manusia yang tidak pernah mempergunakan akalnya untuk berfikir, lama-lama ia akan mati dan merugi baik di dunia maupun di akhirat akibat tidak mau memfungsikan akal.

3. Al-nafs al-subu'iyyah (jiwa serigala): 

Jiwa ini berusaha untuk selalu menganiaya dan merugikan orang lain. Jiwa ini juga menghantam dari belakang, memfitnah, menghasud serta fikirannya selalu dipenuhi oleh bagaimana taktik strategi untuk merusak dan menghancurkan orang lain.

4. Al-nafs al-far'iyyah (jiwa tikus): 

Tikus sukanya merusak padi, bahkan seandainya ia tidak menemukan ikan, maka sabun mandipun ia makan.

Artinya orang yang berjiwa seperti tikus adalah orang yang suka mengumpulkan harta dengan berbagai macam cara tanpa memperhatikan batasan halal dan haram, 

Sebab baginya semua adalah halal, ia juga tak peduli apakah banyak atau sedikit, salah atau benar; ia juga tak perduli, karena yang ada di otaknya adalah harta dan keuntungan materi semata.

5. Al-nafs dzati al-suhumi wa hamati ka al-hayati wa al-'aqrabi (jiwa binatang penyengat dan berbisa seperti kalajengking dan ular): 

Orang yang dikuasai penyakit tersebut biasanya senang menyakiti atau menyindir sesama serta berusaha menjatuhkan kehormatan atau keberhasilan orang lain dan enggan memberi maaf atas kesalahan orang lain.

6. Al-nafs al-thusiyyah (jiwa merak): 

Orang yang memiliki jiwa ini adalah orang yang gemar atau suka membanggakan diri ('ujub) dan sombong. Dia suka membusungkan dada dan ia sering berkata: "inilah aku".

7. Al-nafs al-jamaliyyah (jiwa unta): 

Pemilik jiwa ini selalu bertindak mementingkan diri sendiri dan senantiasa diliputi oleh persoalan. Ia tidak pernah memperhatikan kesulitan orang lain, ia tidak punya rasa santun sedikitpun, karena ia hanya berfikir kesenangan dan kepentingan dirinya sendiri.

8. Al-nafs al-bubbiyyah (jiwa beruang): 

Ibarat beruang, bila mendengar seekor kambing berbunyi, ia akan lari untuk menyembunyikan diri, sebab menurut cerita, nenek beruang pernah berutang pada kambing, tetapi sampai cucucucunya hutang tersebut tidak pernah dibayar. 

Hal ini menunjukkan bahwa orang yang nafsu beruangnya lebih tampak berarti ia adalah orang yang tidak mau bertanggung jawab.

9. Al-nafs al-khinziriyyah (jiwa babi): 

Babi adalah binatang yang membenci wewangian dan menyukai hal yang kotor. Orang yang dipenuhi oleh jiwa ini, ia akan senang jika melihat hal-hal yang kotor seperti kemaksiatan, tetapi ia tidak senang jika mendengar petuah-petuah kebaikan.

10. Al-nafs al-qirdiyyah (jiwa beruk dan kera): 

Sekor beruk dan kera biasanya akan mengejek jika diberi makan, dan bila tidak diberi makan, ia akan mencibir.

Kualitas Nafs

Nafs diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna sebagai perangkat dalam rohani manusia, nafs diciptakan secara lengkap yang diilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukan agar ia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dan manusia diberi kekuatan untuk memilih antara keduanya, 

Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Syams ayat: 07 yang artinya: "dan demi jiwa serta penyempurnaannya."(QS. Al-Syams [91]: 7)

Dalam ayat tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa nafs diciptakan dalam keadaan sempurna untuk berkarya dengan beberapa potensi dan bakat yang dimiliki untuk menjadikan hidupnya lebih berarti dan bermanfaat bagi umat manusia, yang juga berfungsi sebagai perangkat dalam rohani sekaligussebagai wadah pontensi manusia. 

Selain ayat di atas ada lagi ayat yang menjelaskan bahwa nafs menampung hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, artinya: "maka Allah mengilhamkan kepada nafs itu kebaikan dan keburukan."

Dapat dipahami setelah Allah memberikan kesempurnaan terhadap nafsu, ia diberi kebebasan untuk berbuat sesuai kekuatan fitrah atau kekuatan nafsunya. Jika ia ternyata bisa mengutamakan fitrah dirinya, berarti ia mampu mengalahkan nafsunya. 

Namun sebaliknya, jika ia berbuat yang jelek, berarti ia tidak mampu mengendalikan nafsunya karena ia telah kalah membawa fitrah untuk bertarung dengan nafsu di dalam dirinya.

Kemudian penjelasan tentang nafs juga ditambah dalam surat al-Dzariyat yang artinya: "dan Adapun oang-orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka surgalah tempat tinggalnya."(QS Al-Nazi‟at [79]: 40).

Kemudian jika nafsu itu didorong oleh keinginan yang baik dan senantiasa disucikan dengan takhalli dan tajalli (pembuangan sifat buruk dari hati, lalu mengisinya dengan sifat terpuji), maka nafs itu akan bertambah kualitas atau derajat kebaikannya, sebagaimana dalam Al-Qurân yang artinya:

“sungguh beruntung orang yang mensucikan (nafsu)nya." Akan tetapi jika nafs itu selalu dikotori dengan maksiat dan perbuatan yang tidak terpuji serta tidak pernah disucikan, maka nafs itu akan turun derajat kualitasnya, sebagaimana firman Allah yang artinya: "dan sungguh merugi orangorang yang mengotori (nafs)nya."(Al-Syams [90]: 9).

Jadi dalam beberapa ayat di atas, kualitas nafsu bisa turun dan bisa naik tergantung perilaku pemilik nafsu itu sendiri. 

Jika nafs itu sering disucikan dengan mujahadah dan riyadlah, kemungkinan kualitas untuk naik sangat besar, namun jika nafs itu tidak pernah disucikan, maka nafs itu akan turun kualitasnya.

Tahapan-Tahapan Tazkiyatun Nafs (Penyujian Jiwa) Menuju Kesempurnaan

Setelah pemaparan pembagian nafs dan beberapa tingkatannya, selanjutnya tulisan ini akan memaparkan tahapan-tahapan penyucian jiwa, 

Sebab jiwa yang akan dibersihkan tidak serta merta bisa langsung disucikan, melainkan harus melalui beberapa tahapan yang harus dilalui agar proses tersebut bisa berjalan dengan sempurna.

1. Takhalli (tahap pembersihan penyakit hati)

Tahap ini adalah tahap awal dalam proses penyucian jiwa. Dimana ibarat tubuh atau suatu benda kotor, maka yang harus dilakukan pertama kali adalah membuang kotoran tersebut sebelum dibasuh dengan air sehingga pembersihan yang dilakukan tidaklah sia-sia. 

Sama halnya dengan jiwa atau hati, sebab hati juga mempunyai beberapa penyakit/kotoran yang menjadi penghalang antara dia dengan Tuhannya. 

Seperti halnya anggota tubuh yang lain, contoh: mata, tangan, gigi dan lainya. Jika anggota tubuh yang sakit, maka kita harus mengobatinya sesuai dengan penyakit yang diderita. 

Begitu juga dengan hati. Artinya, jika hati kita mengidap penyakit, maka kita harus mengobatinya dengan tata cara yang telah banyak disebutkan oleh para mutashawwifun.

Dalam pembuangan sifat tercela ini harus melalui beberapa cara di antaranya ialah riyadlah dan mujahadah. Pembuangan sifat tercela ini harus diawali dengan pembersihan tubuh jasmani melalui cara bersuci dari hadats.

Selain itu, tubuh harus selalu diusahakan dalam keadaan suci baik hadats kecil maupun hadats besar, sebab dalam setiap ritual wudlu memiliki beberapa faidah di antaranya: 

  1. air yang digunakan bersuci bisa digunakan sebagai media untuk memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar dijadikan sebagai air kesucian yang berasal dari saripati kehidupan; 
  2. penyerahan kesucian pada hambaNya yang terpuji; 
  3. kesucian adalah pada seluruh anggota tubuh dan;
  4. bahwa kesucian ini hanya dibaktikan kepada Allah semata.

Sama halnya dengan mandi junub juga mempunyai beberapa faidah:

  1. mensucikan seluruh tubuh yang merupakan manifestasi dari simbol ketunggalan alam semesta antara air, tanah, dan udara yang selalu dipuji setiap saat; 
  2. pancaran nur ilahi menjadi satu dalam diri sebagai kecerdasan spiritual yang tercipta dari kedalaman diri; ketiga, selain mensucikan tubuh, juga mensucikan ruh sebagai motor penggerak seluruh tubuh

Setelah jiwa selalu dalam kondisi suci, maka selanjutnya masuk pada upaya penyucian jiwa dalam arti batin, sebagaimana berikut:

Pertama, berusaha mempersedikit makan (al-ju‟), sebab keadaan lapar bisa memperkecil nafsu kejelekan. Lapar juga bisa menghilangkan segala firasat buruk dalam jiwa.

Paling tidak ada empat hal yang harus dilakukan dalam usaha memperkecil keinginan makan (riyadlah): 

  1. melatih diri untuk menjauhi segala makanan yang haram dan syubhat; 
  2. melatih ukuran Atau kapasitas makanan agar tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit; 
  3. melatih waktu makan yang tepat; 
  4. menghindari makanan mewah agar tidak sombong dan tidak boros serta tidak mencintai kenikmatan dunia. 
Empat hal ini merupakan sikap “tengah” dalam pola makan. Oleh karenanya jika hati ingin bersih, maka harus mempersedikit makan, sebab banyak makan dapat menyebabkan: 

  1. hilangnya rasa takut kepada Allah; 
  2. hilangnya rasa kasih sayang kepada sesame; 
  3. mendatangkan rasa enggan melakukan ketaatan; 
  4. jika ia mendengarkan kata-kata hikmah sedikitpun tidak merasakan kelembutan; 
  5. jika ia menyampaikan kata-kata hikmah, tidak sedikitpun membekas di hati pendengarnya; 
  6. dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Dikatakan pula bahwa kunci dunia adalah kenyang, sedangkan kunci akhirat adalah lapar.

Kedua, menahan gejolak nafsu seksual (biologis). Nafsu biologis diciptakan oleh Allah sebagai upaya kelangsungan hidup manusia, 

Oleh karenanya tidak patut jika nafsu ini dicela, namun yang menjadi tercela ialah ketika nafsu ini berlebihan yang mengakibatkan pemiliknya cenderung kearah perzinahan, perkosaan, pelacuran dan berbagai penyimpangan seksual lainnya. 

Sehingga agar nafsu ini tidak memuncak, maka harus mengurangi pola makan dan memperbanyak puasa sunnah, karena puasa itu akan mengurangi pola makan, hingga secara otomatis juga mengurangi kekuatan nafsu birahi.

Ketiga, menjaga lidah agar tidak terjerumus terhadap hal yang merusak diri sendiri maupun saudara muslim lainnya, sebab disebutkan dalam sebuah hadits bahwa sebaik-baik muslim ialah orang yang bisa selamat dan menyelamatkan orang lain karena lidahnya.

Oleh karenanya di antara upaya yang harus dilakukan dalam mengeluarkan sifat buruk ialah menjaga lidah agar tidak terjerumus pada hal-hal yang negatif karena lidah adalah sesuatu yang paling menolong syetan dalam mengajak pada kemunkaran. 

Di antara kejelekan lisan yang perlu diwaspadai adalah: pertama, berlebih-lebihan dalam berbicara (berkata yang tidak bermanfaat). Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya: “barang siapa beriman pada hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diamlah.” 

Disebutkan pula bahwa para mutashawwifun (ulama ahli tasawuf) bersepakat bahwa: “cahaya ketuhanan bisa keluar dari dalam diri seseorang hamba jika ia selalu berkata yang tidak ada gunanya dan hatinya menjadi gelap.”

Kedua, mengadu domba. Hal ini dapat merusak persaudaraan sesama muslim; ketiga, menggunjing atau mencari-cari kesalahan. Hal ini oleh Al-Quran diibaratkan dengan memakan daging saudaranya sendiri.

Bahkan dikatakan bahwa lisan ibarat pedang yang sangat tajam yang bisa membunuh siapa saja, dikatakan juga bahwa lisan adalah sumber kesalahan, karena dengan lisan manusia bisa menggunjing, dengan lisan bisa ngerasani dan dengan lisan juga manusia bisa berdzikir. 

Oleh karenanya perlu hati-hati dalam menggunakan lisan, sebab banyaknya orang disiksa pada hari kiamat karena ia banyak bicara terhadap hal-hal yang tidak sepatutnya dibicarakan.

Keempat, membersihkan gejolak nafsu amarah. Hal ini adalah salah satu penyakit jiwa yang sering menghantui manusia dan dapat mengakibatkan timbulnya sifat buruk serta tidak terpuji. Menurut Al-Ghazali, nafsu amarah yang tidak terkendali bisa mengarah pada sifat dendam dan benci. 

Sebenarnya jika amarah bisa dikendalikan, ia akan baik. Akan tetapi jika tidak mampu mengendalikan, ia akan lebih tajam dari pada pedang, bahkan dalam beribadahpun ia kadang mencari kesenangan, sedangkan dalam pergaulan sehari-hari nafsu ini selalu mengharap pujian. 

Adapun cara untuk mencegah nafsu amarah ini adalah menyalurkan potensi amarah pada hal-hal positif yang sesuai dengan tuntutan akal dan syariat atau sekurang-kurangnya untuk mencegah perbuatan tidak terpuji.

Amarah bisa terjadi bila akal tidak bisa berfungsi dengan baik. Jika akal lemah, niscaya sangat mudah bagi amarah untuk masuk kedalam hati dan merusaknya. Tatkala manusia sedang marah, maka setanpun mudah masuk dan mempermainkannya.

Kelima, mensucikan dari sifat dedam. Menekan dendam ini dapat dilakukan dengan menahan diri dari pelampiasannya serta selalu ditekan secara berulang-ulang hingga penyakit itu lebur menjadi kesabaran, setelah itu bisa ditambah dengan cara mengingat faedah dan manfaat sabar, sebab dengan begitu akan mudah meredam dendam.

Keenam, membuang sifat dengki (hasad). Dengki ialah keadaan pikiran yang menyebabkan pelakunya merasa sakit jika orang lain mendapat kesenangan dan ia berharap agar kesenangan itu diambil dari orang itu meskipun ia sendiri tidak dapat kesenangan dengan hilangnya kesenagan itu dari orang lain. 

Hasad ini harus ditinggalkan, karena hasad ini salah satu bagian penyakit hati. Selain itu, sesuai dengan sabda Nabi bahwa hasad bisa menghilangkan segala kebaikan: “hasad itu bisa melebur (menghilangkan) kebaikan sebagaimana api bisa membakar kayu bakar.”

Cara yang perlu dilakukan adalah berangan-angan bahwa dengki itu tidak ada artinya dank arena dengkilah iblis tidak mau bersujud pada Nabi Adam dan karena dengki pula Qabil membunuh saudaranya (Habil). Serta membuang penyebab sifat dengki seperti sombong, congkak, permusuhan, cinta yang berlebihan. 

Hasad ini menurut Al-Ghazali ada dua: pertama, berdoa karena tidak suka jika lain mendapat nikmat dan ia berharap agar nikmat itu hilang; kedua, ia berharap agar nikmat itu tetap pada orang lain, namun dirinya ingin memperoleh terhadap nikmat tersebut.

Ketujuh, mensucikan diri agar tidak cinta dunia, sebab cinta dunia adalah pokok segala kemaksiatan dan dengan dunia kit akan selalu beranganangan tentang sesuatu yang rendah di mata Allah. 

Orang yang hatinya dipenuhi dunia, ia selamanya tidak akan puas terhadap apa yang ia miliki, ia akan selalu merasa kurang dan tidak puas pada yang dimiliki. 

Oleh karenanya seorang yang sedang menjalankan proses mensucikan jiwanya harus membuang segala kecintaan pada dunia. Maka dari itu, ada satu konsep dari para sufi agar kita tidak selalu bergantung pada dunia, yaitu: 

“bercerminlah kamu pada orang yang lebih miskin darimu dalam masalah dunia, tapi bercerminlah pada orang yang lebih baik darimu dalam masalah ibadah pada Allah.” 

Cinta dunia ini memiliki beberapa aspek, yaitu: cinta pada harta, tahta, kekayaan dan wanita. Dan hanya itulah kenikmatan dunia yang sesaat.

Kedelapan, senantiasa melakukan shalat sunnah, khususnya shalat sunnah malam hari. Dalam Al-Quran Allah Subhanahu Wa Ta'la berfirman, yang artinya:

”Hai orang-orang yang berselimur (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.  Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu‟) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”(QS. Al-Muzammil [73]: 1-4 & 6.)

Itulah beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai tahap awal dalam rangka membuang berbagai sifat tercela agar hati kita kosong dan bersih sehingga mudah untuk dimasuki sifat-sifat terpuji.

2. Tahalli (tahap pengisian sifat terpuji Setelah jiwa dibersihakan dari sifat tercela, maka selanjutnya masuk pada tahapan pengisian beberapa sifat terpuji, yaitu:

Pertama, taubat atau tobat. Tobat berarti kembali dari perkara yang dilarang syara‟ kepada perkara yang dipuji oleh syara‟. 

Taubat juga dapat berarti menyesal terhadap kesalahan atas dosa yang telah dilakukan seseorang. Taubat ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh seseorang dalam rangka menuju tahap selanjutnya dalam upaya pembersihan jiwa. 

Menurut Al-Ghazali, tobat mempunyai empat tingkatan mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Tingkat terrendah adalah menyangkut penyesalan terhadap dosa-dosa yang dilakukan oleh jasad manusia. 

Tingkat menengah mencakup pula hal-hal yang termasuk pangkal dosa-dosa seperti sombong, dengki, riya‟, dan sifat-sifat buruk lainnya. Pada tingkatan tertinggi tobat berkenaan dengan upaya menjauh dari bujukan setan. 

Sedangkan tingkat terakhir adalah penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkatan ini merupakan penolakan pada segala sesuatu selain Allah.

Cara yang bisa dilakukan dalam bertaubat ialah dengan cara perlahanperlahan agar tidak terlalu berat dan mudah dilakukan, yang dimulai dari halhal berat (dosa-dosa besar), dosa kecil, hal-hal yang makruh, baru terakhir

tobat dari hukum khilaf al-aula.

Kedua, sabar. Secara garis besar, sabar dapat diklasifikasikan menjadi dua: 
  1. sabar menahan amarah dan hawa nafsu yang kemudian disebut kesabaran jiwa; 
  2. kesabaran badani yaitu kesabaran akan penyakit fisik. 
Contoh dalam hal sex, misalnya, maka dibutuhkan kesabaran menahan hawa nafsu; dan sabar dalam menghadapi musibah, misalnya, maka dibutuhkan kesabaran menahan ratapan dan kesedihan,bahkan menurut Al-Ghazali salah satu obat yang paling ampuh untuk mengobati penyakit jiwa ialah sabar.

Dalam upaya menahan dan menguji kesabaran ini ada dua metode yang sering dipakai oleh ulama tasawuf, yaitu riyadlah dan tahdzib. 

Riyadlah adalah ujian jiwa dalam meraih kebajikan, mengalihkan diri dari suatu hal yang serba ringan ada suatu yang berat dengan cara perlahan-perlahan dan bertahap.

Sedangkan tahdzib adalah menguji jiwa dan melatih jiwa dalam mengamati perilaku tahap-tahap ujian, apakah tahap itu telah benar-benar dilakukan apa belum.

Selain itu, ada lagi yang membagi sabar menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, sabar untuk tetap melaksanakan perintah Allah; kedua, sabar terhadap semua larangan Allah dan; ketiga, sabar terhadap musibah. 

Oleh karenanya, sabar harus dilakukan oleh setiap makhluk Tuhan, karena Tuhan selalu bersama dengan orang-orang sabar: “sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”( QS. Al-Baqarah [1]: 153.)

Ketiga, syukur. Syukur yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada kita. 

Ungkapan syukur ini selain merupakan ungkapan terimakasih terhadap Allah, juga merupakan wujud iman. Oleh karenanya Ibnu Mas‟ud berkata: “syukur adalah bagian dari iman.”

Dalam hal ini juga dijelaskan bahwa adanya keterkaitan dengan unsure potensi dalam jiwa yaitu ilmu, hal dan amal. 

Dimana menyangkut kenyataan bahwa setiap kenikmatan berasal dari Allah yang dari sinilah akan memunculkan pembawaan (hal) rasa suka cita terhadap ke-Maha Pemurah-nya Allah, dan dari rasa suka cita ini akan membawa pada sikap penyerahan diri hanya pada Allah berupa amal.

Dari ketiga unsur inilah bentuk syukur pada Allah akan betul-betul terwujud. Termasuk dari bagian syukur ialah melihat, berfikir bahwa nikmat yang dirasakan adalah pemberian Allah, serta ridla terhadap apapun yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Keempat, al-raja‟ (hanya berharap kepada Allah) dan al-khauf (hanya takut kepada Allah). Kedua hal ini merupakan dua sisi yang menjadi inti ajaran setiap sufi dalam rangka membantu menemukan ma‟rifat serta kesucian diri. 

Raja‟ di sini adalah mengharapkan sesuatu yang diinginkan setelah memenuhi sesuatu yang diperlukan. Sedangkan khauf adalah takut akan kehidupan akhir yang buruk serta perasaan takut jauh dari Allah.

Sifat raja‟ ini menurut Al-Ghazali yang dikutip oleh M. Sholikhin akan memunculkan raghbah (rasa senang) dan al-basth (lapang jiwa). 

Raghbah merupakan hal yang mengandung arti kejelasan di dalam kalbu seseorang yang berharap sehingga ia merasa seakan-akan tengah ber-musyahadat (menyaksikan)

apa yang dibayangkan. 

Dan musyahadat inilah merupakan kesempurnaan akhir dari al-raja‟. Sedangkan al-basth adalah kelapangan jiwa untuk membuka jalan hidayah (yang menjadi roh jiwa). 

Sedangkan khauf „tak lain merupakan bentuk kepasrahan kepada Allah, dimana hanya Allah yang berhak untuk ditakuti dan hanya Allah juga yang berhak diwaspadai. 

Dalam hal ini, jika seseorang masuk pada maqam khauf ini, ia tidak akan takut pada siapapun, baik itu makhluk, benda, dan semua gejala alam, karena yang ia takuti hanyalah Allah.

Kelima, faqr, zuhud dan wara‟. Faqr dalam hal ini, menurut Shihabuddin Al-Syahruwardi yang dikutip oleh M. Shholikhin, mengandung tiga hal, yaitu: nama, kebiasaan dan kebenaran. 

Dari nama, faqr berarti tidak menginginkan harta meskipun sangat menginginkannya; kebiasaan adalah tidak memiliki harta; dan kebenaran adalah mustahil memilikinya.

Faqr harus dimiliki seseorang, sebab hanya dengan faqr-lah seseorang tidak akan bergantung pada harta, karena harta hanya akan membuat hidup manusia selalu sibuk dan repot dengannya sehingga ia akan lupa beribadah dan lupa pada Tuhannya. 

Selain itu, harta juga akan memungkinkan seseorang untuk berbuat kejahatan serta membuat manusia semakin cenderung berfoyafoya. Pasangan faqr adalah zuhud. 

Dilihat dari maksud dan makna keduanya, saling berkaitan sangat erat, dimana zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan: 

Tingkat pertama adalah tingkat terendah, yaitu menjauhi dunia agar terhindar dari hukuman akhirat; tingkatan kedua adalah menjauhi dunia dengan maksud akan mendapat imbalan berupa pahala di akhirat nanti dan; tingkatan ketiga adalah mengucilkan dunia bukan karena takut atau karena berharap sesuatu, melainkan karena cinta pada Allah. 

Hal ini berbeda menurut pendapat AlSyuhruwardi bahwa zuhud tak lain merupakan sikap berpaling dan berusaha agar hati menjauh dari kesenangan dunia serta tidak sedikitpun untuk menginginkannya.

Sedangkan wara‟ adalah berusaha hidup selektif terhadap makanan dan semua hal yang kita miliki44 agar betul-betul terjamin kehalalannya. Sebab, tanpa seleksi sangat mungkin makanan atau harta yang kita miliki adalah barang haram atau syubhat.

Keenam, pengisian hati dengan niat ikhlas dan kebenaran, sebab ikhlas merupakan rukun yang paling penting dalam beberapa pokok pembersihan hati.

Ikhlas merupakan rukun yang paling utama dalam menempuh jalan membersihkan dan mensucikan hati. Disebutkan dalam Kifayat Al-Atqiya‟,bahwa sedikit amal perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas.

Perbuatan ikhlas ini biasanya berkaitan dengan niat, karena ketika berniat melakukan sesuatu pasti di dalam hati seseorang muncul “bisikan”, apakah pekerjaan yang akan dilakukannya itu ikhlas atau mengharap pamrih. 

Oleh karena itu, antara niat dan ikhlas adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, semua pekerjaan tanpa niat yang ikhlas tidak ada gunanya, bahkan hadits tentang pentingnya niat, menurut Imam Syafi‟i, dianggap mengandung sepertiga dari semua ilmu.

Dibutuhkannya keikhlasan niat dalam mencari ridla Allah, maka adanya niat yang ikhlas sangatlah dibutuhkan dalam upaya penyucian jiwa untuk menuju kesempurnaan.

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”( QS. Al-An‟am [6]: 162-163)

Ikhlas diartikan dalam pengertian sebagai berikut:

1. Ikhlas berarti mengkhususkan tujuan semua perbuatan hanya kepada Allah semata. Pengkhususan ini mengharuskan semua tujuan hanya kepada-Nya dan bukan pada yang lain.

2. Ikhlas merupakan pandangan manusia, sehingga kita hanya melihat Sang Pencipta saja. Maka orang yang menangis karena Allah, memberi infak tidak akan menggubris apa penilaian manusia terhadap dirinya, sebab ia hanya memandang Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

3. Ikhlas juga diartikan tidak memaksudkan perbuatan agar disaksikan orang lain, melainkan bermaksud hanya disaksikan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Niat bisa merubah perbuatan dunia menjadi perbuatan akhirat, demikian juga sebaliknya. Sebut saja shalat, misalnya. 

Shalat merupakan perbuatan akhirat yang pahalanya bisa kita lihat di akhirat, akan tetapi shalat bisa menjadi perbuatan dunia (tidak mendapat pahala akhirat) jika niat yang diucapkan bukan semata-mata karena Allah. 

Demikian juga sebaliknya, bekerja mencari nafkah merupakan pekerjaan duniawi (untuk hidup di dunia), tetapi meskipun pekerjaan dunia jika diniati untuk beribadah, maka pekerjaan itu bisa menjadi pekerjaan akhirat yang mendapat pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Ketujuh, muhasabah (mawas diri atau waspada), yaitu meyakini bahwa Allah senantiasa mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati sehingga ia menjadi terhormat, takut dan tunduk pada-Nya.

Muhasabah di sini adalah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran manusia. Selain itu, mawas diri juga berarti meneliti dengan cermat apakah perbuatan yang telah dilakukan sehari-hari telah sesuai dengan tuntunan syariat.

Kedelapan, ialah tawakkal. Tawakkal adalah pasrah pada Allah dan menyerahkan diri dan semua persoalan yang dihadapi hanya kepada Allah,sebab hanya Allah yang bisa menjadi tumpuan dan tempat pengaduan semua makhluk di bumi ini. 

Kata ini berasal dari nama Allah, Al-Wakil yang berarti Dzat yang mengurus hamba-Nya. Paling tidak ada tiga makna tawakkal yang berbeda, namun tetap satu arti yaitu kepasrahan kepada Allah:

1. Kepasrahan hati pada Allah seperti pasrahnya mayat di hadapan orang yang memandikannya. Dalam contoh ini kita bisa melihat bagaimana orang yang memandikan, ia membolak-balikkan tubuh mayat sekehendaknya. Dan begitulah arti tawakkal pada Allah. 

Hal ini sama dengan kita mengucapkan “ya Allah, lakukanlah terhadapku apa yang Engkau kehendaki, aku pasrah dengan seluruh keberadaanku, aku rela terhadap apa yang Engkau lakukan padaku, karena aku yakin bahwa semua yang ditakdirkan akan lebih bagiku dan bagi-Mu”.

2. Biarkanlah Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya. Kita memposisikan Allah sebagaimana Allah memposisikan kita, kita ridla dan senang berketetapan dengan-Nya.

3. Kita menyempurnakan “sebab” dengan anggota badan dan memutuskan “sebab” dengan hati kita. Artinya tangan dan hati kita harus menyempurnakan “sebab” sedangkan hati kita harus melepas diri dari “sebab” itu.

4. Kita rela Allah menjadi wakil kita. Serahkan hati kita pada Al-Wakil dan “tanda tangani kontrak” perwakilan itu dengan ucapan: “cukuplah Allah bagiku yang yang aku pasrahi, sebagai tempat bersandar segala urusan dan perkaraku”. 

Dalam hal ini Allah berfirman yang artinya:

“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Thalaq [65], 1 – 3).

Yang perlu dipahami dari makna tawakal adalah jangan sampai tawakal kita artikan dengan diam lalu mengharap rizki datang sendiri, melainkan kita harus berusaha terlebih dahulu semampu kita, baru setelah itu kita serahkan urusan itu kepada Allah.

Kesembilan, ialah mahabbah (cinta), syauq (rindu) dan ridla (rela). Cintanmerupakan sifat terpuji yang tertinggi di antara semua kebajikan orang yang mensucikan, bahkan seorang sufi perempuan, Rabiah Al-Adawiyah, bisa mencapai ma‟rifat dengan cinta.

Kemudian pembahasan cinta ini tidak bisa lepas dari pembahasan rindu dan rela, sebab jika orang sudah mencintai ia pasti akan terbawa pada sebuah pembawaan berupa rasa rindu yang akhirnya akan muncul rasa rela untuk memberikan apa yang ia miliki pada yang dicintainya. 

Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah! „Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.‟ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasiq.”(QS. Al-Taubah [9], 24)

Jika jiwa sudah bersih dan jauh dari sifat kotor, lalu diisinya dengan sifat terpuji, maka jiwa itu akan terbentuk sifat ketuhanan berupa perilaku yang sesuai dengan tuntutan fitrah di mana fitrah tak lain merupakan asal kejadian manusia yang murni dan telah mengakui keesaan Allah. 

Dan inilah yang disebut oleh para sufi sebagai al-takhalli bi akhlaqillah (berakhlaq dengan akhlaq Allah). 

Dan ini pula yang oleh Al-Ghazali disebut dengan ma‟rifat dan jiwa ini juga telah menjadi hafidz (penjaga) dalam diri manusia atau telah menjadi jiwayang suci (tazkiyah). Betul kata orang bahwa cinta bisa merubah segalanya. 

Sebut saja Umar bin Khatthab ketika ditanya oleh Rasul tentang cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia menjawab bahwa cintanya pada Allah dan Rasulnya melebihi pada hartanya, dirinya bahkan keluarganya.

Kesimpulan

Tazkiyat al-nafs adalah upaya penyucian lahir dan batin. Konsep ini menurut perspektif Al-Ghazali adalah konsep kesadaran lahir-batin dalam upaya mencapai kesempurnaan akhlaq terpuji, sebab akhlaq terpuji bisa dicapai melalui hati yang bersih.

Oleh karenanya tazkiyat al-nafs didefinisikan sesuai dengan konteks yang dihadapi serta kaitannya dengan objek yang dikaji. 

Maka tazkiyat al-nafs dalam hubungannya dengan sifat-sifat jiwa yang ada dalam diri manusia berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan (menghantam atau menikam), kebinatangan (nafsu atau kesenagan atau foya-foya atau seksual) setan, lalu mengisinya dengan sifat-sifat rabbani terpuji. 

Tazkiyat al-nafs dalam hubungannya dengan sifat kebuasan adalah pembersihan diri dari sifat marah yang tidak berada pada batas keadilan dan sifat-sifat buruk lainnya, seperti: permusuhan, sembrono, emosional, takabur, niat jahat dan berbuat dzalim.

Tazkiyat al-nafs dalam hubungannya dengan sifat kebinatangan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat hawa nafsu, seperti: rakus, bakhil, riya dan la ib (main-main) dan seringnya bergurau.

Sedangkan hubungannya dengan sifat syaithaniyah adalah meninggalkan sifat-sifat setan dalam diri, seperti: tipu muslihat, suka mencari kesalahan, dan berkata kotor. 

Dan apabila jiwa sudah bersih dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan sifat-sifat setan, maka sangatlah muda berkembangnya sifat ketuhanan di dalam jiwa.

Adapun tazkiyat al-nafs hubungannya dengan sifat rabbani adalah pembinasaan jiwa dengan sifat-sifat dan nama-nama Allah seperti: ilum, hikmah dan terlepas dari pengaruh hawa nafsu.

Jadi tazkiyat al-nafs adalah upaya pembersihan jiwa dari segala kotoran dan penyakit hati untuk mencapai kesucian jiwa yang dari itu akan teraplikasikan sikap-sikap dan perbuatan terpuji sebagai bentuk fitrah manusia. 

Sehingga hidup yang dijalaninya menjadi bermanfaat dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai wakil Tuhan (khalifah fi al-ardl) untuk mengurus, mengelola dan memakmurkan bumi serta membawa misi Islam yang rahmat lil 'alamin.

0 Response to "Mengenal Apa itu Nafs (Jiwa)"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak