Hukum Menikahi Wanita Hamil

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Pernikahan dalam Islam adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu oleh pasangan muda-mudi terutama bagi yang belum pernah mengenal istilah pacaran. 

Ketika seorang pemuda melamar seorang gadis, antara kedua calon pasangan; hati riang gembira bercampur cemas karena sebentar lagi akan menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga. 

Maka tidak heran pasangan seperti ini, dalam gerak geriknya, tingkah lakunya akan sangat berhati-hati terlebih belum pernah berbicara sebelumnya atau berkomunikasi dan segalanya terasa indah dan mesra. 

Lain hal ketika sebuah rumah tangga dibangun atau dijalani oleh sepasang suami istri yang sebelumnya sudah pernah berpacaran apalagi sudah sangat jauh dalam hubungannya, 

Semua terasa hambar dan biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi karena semua telah mengetahui keadaan masing-masing. 

Terlebih pada pasangan yang menikah dalam keadaan hamil duluan (hamil sebelum menikah).

Tuhan menciptakan umat manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikannya berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya saling mengenal dan dengan pengenalan itu nantinya lebih jauh akan menghasilkan pertemuan-pertemuan dan lebih dalam lagi akan tercapai suatu perjodohan laki-laki dan perempuan di antara umat manusia, karena hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Tuhan termasuk manusia.

Menurut ajaran Islam tidak semua wanita boleh dinikahi, ada juga wanita-wanita yang dilarang untuk dinikahi dan hal ini sudah difirmankan oleh Allah dan sudah termaktub dalam Kitab-Nya, juga sudah dijelaskan dalam sabda Rasul-Nya. 

Namun, kadang hal ini dipahami oleh umatnya dengan tanggapan dan pemahaman yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda dalam memahami sebuah teks nash karena Tuhan menciptakan kemampuan umatnya tidaklah sama serta dengan keterbatasan-keterbatasannya.

Kemudian ada juga wanita-wanita yang masih diperselisihkan untuk dinikahi, di antaranya ialah wanita pezina. Para ulama ahli fikih berbeda pendapat tentang hal tersebut.

Memang masalah wanita pezina ini sangat kompleks apalagi kalau ditinjau dari keberadaannya, bahwa wanita pezina itu ada sepanjang masa dan zaman, dari sebelum Islam datang sampai Islam datang, wanita pezina ini masih tetap eksis. 

Kalau di lihat sejarah Nabi, bahwa pada zaman jahiliyah di Madinah terdapat wanita-wanita pezina yang menyewakan diri mereka, yang pada tiap-tiap orang dari mereka terdapat tanda di pintunya seperti papan nama dokter hewan (al-baitar), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia adalah wanita pezina.

Salah satu akibat dari maraknya pelaku zina adalah kehamilan di luar nikah. Hamil sebelum nikah menjadi problematika yang sangat serius. 

Problematika ini membutuhkan solusi yang tepat karena hal ini membawa keresahan dalam masyarakat terutama orang tua, guru, tokoh- tokoh agama dan lainnya. 

Dari sudut sosiologis, orang tua merasa malu jika mempunyai anak perempuan hamil di luar nikah. Orang tua tentu tidak mau membiarkan anaknya melahirkan tanpa seorang suami, karena hal itu akan menjadi bahan ejekan di kalangan masyarakat. 

Untuk itu para orang tua berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun bukan, dengan alasan bahwa anak dalam kendungan ketika lahir memiliki ayah. 

Pengertian Perkawinan Passampo Siri

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. 

Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan, dan wath’i atau bersetubuh.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kata siri ́dapat juga dapat diartikan sebagai pernyataan sikap yang tidak serakah dan sebuah hidup masyarakat. 

Siri’ merupakan bangunan moralitas adat, ketika seseorang melakukan perilaku menyimpang, baik dilihat dari perspektif adat yang dilandasi peneguhan harga diri orang.

Bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga atau family yang dilanggar norma adatnya.

Siri’ adalah harga diri atau martabat manusia sebagai manusia yang sebenarnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan siri’ sebagai sistem nilai sosiokultiral kepribadian yang merupakan pranata pertahanan diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam masyarakat Bugis.

Sedangkan passampo berarti penutup. Jadi passampo siri’ dapat diartikan sebagai penutup malu. Perkawinan passampo siri (Bugis) adalah upaya adat mengawinkan wanita yang sedang hamil dengan laki-laki lain untuk menutup malu.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah manakala harga diri masyarakat Bugis-Makassar ternodai yang karenanya melahirkan aspek-aspek siri', maka semestinya yang terkena siri’ itu melakukan upaya penghapusan siri’.

Hukum Menikahi Wanita Hamil Sebagai Passampo Siri’

Dalam Syariat Islam Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang sah tidaknya pernikahan seorang wanita yang sedang hamil dikarenakan zina. 

Diantara para ulama yang mengatakan bahwa hal itu tidaklah sah baik dengan lelaki yang menzinahinya atau dengan lelaki selainnya adalah para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf al Hanafi.

Sedangkan diantara yang membolehkan pernikahan wanita hamil dikarenakan zina adalah para ulama dari Syafi’i, Abu Hanifah dan Muhammad dikarenakan belum tekukuhkannya nasab.

1. Menurut Imam Abu Hanifah.

Wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Wanita hamil karena zina itu tidak ada iddahnya, boleh melangsungkan perkawinan, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya.

Imam Hanafi berpendapat bahwa pernikahan wanita hamil itu tetap boleh dilangsungkan dan sah perkawinannya, hanya saja siapapun suami dari wanita tersebut tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai wanita tersebut melahirkan bayi yang dikandungnya dari perbuatan zina tersebut. Ini didasarkan pada hadis Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاتوطأ حامل حىت تضع ولا غري ذات محل حىت حتيض حيضة

Artinya: “Jangan kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil sampai dia melahirkan dan bagi yang tidak hamil hingga keluar haid satu kali.”

2. Madzhab Syafi’iyah

Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. 

Alasannya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa wanita yang hamil karena zina tidak diwajibkan melaksanakan iddah, karena wanita hamil di luar nikah tidak termasuk yang dilarang menikah. Dasar lain yang digunakan mazhab Syafi’i yaitu:

أما وطء الزان فإنولا عدة فيه ويحل التزوج باحامل من الزنا ووطؤها وهي حامل عل الاصح

Artinya: “Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam keadaan hamil.”

Menurut mazhab Syafi’i wanita hamil karena zina itu tidak dikenakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam nikah. 

Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah. Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan dalam hukum.

3. Pendapat Imam Malik

Menurut Imam Malik, kalau laki-laki yang akan menikahi wanita hamil karena zina itu bukan laki-laki yang menghamilinya, Imam Malik berpendapat bahwa pernikahan itu tidak sah. Sebab, wanita yang digauli secara zina status hukumnya persis sama dengan wanita yang digauli secara syubhat.

Wanita tersebut harus mensucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan “iddah” wanita yang ditalak suaminya, kecuali bila dikehendaki dilakukan had (hukuman). Kalau dilakukannya had atas wanita yang berbuat zina, pada saat itu dia mensucikan dirinya terhitung sekali haid.

Sedangkan bagi wanita hamil akibat zina, iddahnya sampai ia melahirkan anaknya. Dengan demikian, dalam pandangan Imam Malik iddah wanita hamil karena zina sama dengan iddah wanita hamil dari pernikahan yang sah atau wanita hamil dari persetubuhan yang syubhat.

Pandangan Imam Malik tentang kewajiban “iddah” wanita hamil diluar nikah tersebut pada hakikatnya didasarkan pada makna umum dari firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. dalam QS. At-Talaq 65/4:

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا

Terjemahnya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. 

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Oleh karena itu, wanita hamil karena zina mempunyai iddah maka apabila terjadi akad nikah antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki selain yang menghamilinya, maka akad nikahnya fasid dan wajib dibatalkan.

4. Pendapat Abu Yusuf

Abu Yusuf berpendapat bahwa perkawinan wanita hamil di luar nikah tidak boleh seperti ketidakbolehan perkawinan wanita hamil selain zina. Karena tidak memungkinkan tidur bersama, maka tidak boleh melaksanakan perkawinan. 

Pendapat ini didasarkan pada Q.S. Al Nuur: 3

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

Terjemahnya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa wanita hamil di luar nikah lebih pantas kawin dengan laki-laki yang menghamilinya. Selain itu, ayat di atas sekaligus mengisyaratkan bahwa larangan laki-laki yang baik-baik untuk menikahi mereka.

Ibnu Qudamah sependapat dengan Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh menikahi wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat:

1. Wanita tersebut telah melahirkan bila hamil. Jadi jika dalam keadaan hamil tidak boleh menikah.

2. Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera.

5. Madzhab Hambali

Ulama Hanabilah menentukan dua syarat mengenai kebolehan menikahi wanita yang hamil di luar nikah. Menurut ulama Hanabilah, seseorang laki-laki yang mengetahui seseorang wanita telah berzina, tidak halal menikahi wanita tersebut kecuali dengan dua syarat:

1. Telah habis masa iddahnya, masa iddah wanita hamil sampai anak yang ada di dalam kandungannya lahir.

Sebelum anak yang dikandungnya lahir, maka wanita yang hamil di luar nikah tersebut haram menikah. Karena Nabi saw. melarang menyirami hasil tanaman orang lain.

2. Wanita yang hamil di luar nikah telah bertaubat.

Sebelum bertaubat, wanita hamil di luar nikah tersebut haram dinikahi oleh seorang yang beriman. Hal ini di dasarkan pada Q.S. Al Nuur: 3.

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

Terjemahnya:“Laki-laki yang berzina tidak menikahi kecuali dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan dengan laki-laki yang berzina atau yang musyrik dan itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin.”

Menikahi wanita hamil korban perbuatan zina dengan lelaki lain, statusnya pernikahan yang batal. Para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita

yang hamil dengan mani orang lain. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit Radhiallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. bersabda,

من كان يؤمن با لله واليوم آلاخر فلا يسقي ماءه زرع غيره

Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.‛ (HR. Ahmad)

Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain. Ancaman dalam hadis ini menunjukkan larangan. 

Karena itu, tidak ada istilah menolong wanita hamil korban hasil zina dengan bentuk menikahinya. Menikahi wanita hamil, justru menjerumuskannya pada perbuatan zina yang dilegalkan dengan pernikahan yang batal.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu :

1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.

3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dil ihat dari KHI, penyelesaianya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. 

Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

Fatwa MUI DKI tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah menyebutkan bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikah oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinainya.

Adapun fatwa tersebut dapat dijelaskan dengan dalil:

1. Al Qur’an

Firman Allah QS Al Nur: 3.

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

Terjemahnya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Ayat diatas menjelaskan, tentang boleh dan sah nya menikahi wanita yang sedang hamil atau tidak karena zina, dengan sesama pria yang menzinainya. 

Firman Allah dalam Qs. Al Nisa’: 24.

وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Terjemahnya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalil diatas menjadi dasar dibolehkannya menikahi wanita yang sedang hamil karena zina dengan orang lain, yang bukan sesama pelaku pezina.

2. Hadis Nabi

عن أبي هريرة قال، قال رسول الله صلى آلله عليه وسلّم لا ينكح الزّاني المجلود الّا مثله(رواه أبو داود)

Artinya: “Dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda: Seorang laki-laki pelaku zina yang dihukum jilid tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa (wanita pelaku zina).” (HR. Abu Dawud)

Hadis diatas menjelaskan bahwa, pelaku pezina hanya akan menikah dengan sesama pezina saja.

ّ عن ابن عمر أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لا يحرّم الحرام الحلال

Artinya: Dari Ibn Umar, Rasulullah Saw telah bersabda: “Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal.” (HR.Imam Ibn Majah)

Hadis ini menerangkan bahwa, boleh dan sah wanita yang sedang hamil karena zina dinikahi dengan laki-laki lain yang tidak menzinainya, serta sesudah akad mereka boleh melakukan hubungan suami istri, dengan alasan perbuatan yang sudah halal tidak bisa mempengaruhi perbuatan haram yang sebelumnya.

3. Kaidah Fikih

ّ ألا صل فى الا شيا ء الا با حة حتى يدل الد ليل على التحر يم

Artinya: “Asal hukum segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya.”

Maksud dari kaidah ini adalah hukum asal dari menikah adalah boleh tetapi apabila ada dalil yang menunjukkan keharaman tersebut maka hukum nikah berubah menjadi haram.

Lembaga Komisi Fatwa MUI DKI menetapkan pada tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah menyebutkan, bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik dalam keadaan hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikahi oleh pria yang menzinahinya dan laki-laki lain yang tidak menzinahinya, dengan argumen atau alasan:

1. Dalam ilmu biologi, sperma yang masuk pada rahim wanita yang sedang hamil tidak akan mempengaruhi janin yang sudah jadi. Dengan demikian, tidak perlu dikhawatirkan akan terjadinya percampuran sperma laki-laki yang menzinai dengan sperma laki-laki yang akan menikahinya secara sah.

2. Jika wanita yang sedang hamil dari zina tidak boleh dinikahi, baik bagi si-pelaku maupun orang lain maka akan menimbulkan rasa malu dan membebani psikologis wanita tersebut, manakala lelaki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab.

3. Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta lebih cenderung kepada pendapat Imam Syafi‟i, karena dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan pada masa kini, dilihat dari semakin meningkatnya hubungan pergaulan bebas yang mengakibatkan banyak terjadi kehamilan diluar nikah.

Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang mengaitkan nasabkan kepada pemilik bibit secara umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang yang mengawini wanita hamil itu. 

Imam Hanafi menghubungkannya bukan kepada laki-laki yang mengawininya, tetapi kepada pemilik bibit yang menyebabkan lahirnya anak tersebut. Sedangkan KHI tetap menghubungkan nasab anak kepada laki-laki yang mengawini wanita hamil tersebut.

Bagaimana kalau perkawinannya itu dilangsungkan dalam keadaan hamil tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelamatkan kepada status anak. 

Karena menurut Imam Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan dengan masa kehamilan dalam perkawinannya dengan seorang laki-laki, yaitu apabila perkawinannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir ,maka anak tersebut memiliki hubungan nasab kepada suaminya. Seandainya kurang dari enam bulan, maka nasab anak tersebut dihubungkan kepada ibunya.

Kesimpulan

1. Perkawinan passampo siri (Bugis) adalah upaya adat mengawinkan wanita yang sedang hamil dengan laki-laki lain.

2. Diantara para ulama yang mengatakan bahwa hal itu tidaklah sah baik dengan lelaki yang menzinahinya atau dengan lelaki selainnya adalah para ulama Maliki, Hambali dan Abu Yusuf al Hanafi. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 

”Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh digauli sehingga dia melahirkan..” (HR. Abu Daud). 

Sedangkan diantara yang membolehkan pernikahan wanita hamil dikarenakan zina adalah para ulama dari Syafi’i, Abu Hanifah dan Muhammad dikarenakan belum tekukuhkannya nasab, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

”Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur sedang bagi yang berzina tidak memiliki apa-apa.” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud).

0 Response to "Hukum Menikahi Wanita Hamil"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak