Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

1. Pengertian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) saat ini sudah menjadi masalah dunia, yang harus diberantas dan dijadikan agenda pemerintahan untuk ditanggulangi secara serius dan mendesak. 

Sebagai bagian dari program untuk memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. 

Transparensy International menggunakan definisi korupsi sebagai : “menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pribadi” .

Dalam definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari pengertian kurupsi, yaitu :

  1. Menyalahgunakan kekuasaan ;
  2. Kekuasaan yang dipercayakan (yaitu baik di sektor publik maupun di sektor swasta), memiliki akses bisnis atau keuntungan materi;
  3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya dan teman-temannya).

Istilah korupsi berasal dari perkataan latin “coruptio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan.

Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang  korupsi mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar normanorma agama materiil, mental dan hukum.

Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana, yang tidak dapat dijadikan tolak ukur atau standart perbuatan KKN.

Sebagai tindak pidana korupsi oleh Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan “dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain.

Oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut. Sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela”. 

Jadi pandangan tentang Korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa tidak dan sebagai perbuatan tercela.

Korupsi dalam kamus Ilmiah Populer mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri; pemalsuan. 

Beberapa pengertian korupsi menurut John A. Gardiner dan David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo (2001 : 8-12) antara lain :

1. Rumusan Korupsi dari sisi pandang teori pasar 

Jacob Van Klaveren mengatakan bahwa seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor atau instansinya sebagai perusahaan dagang, sehingga dalam pekerjaannya diusahakan pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.

2. Rumusan yang menekankan titik berat jabatan pemerintahan

M. Mc. Mullan mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan korup apabila menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam tugas dan jabatannya padahal seharusnya tidak boleh melakukan hal demikian selama menjalankan tugas. 

J.S. Nye berpendapat bahwa korupsi sebagai prilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi (keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gensi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.

3. Rumusan korupsi dengan titik berat pada kepentingan umum.

Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu 

Seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak dibolehkan oleh undangundang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum. 

4. Rumusan korupsi dari sisi pandangan sosiologi

Makna korupsi secara sosiologis dikaji oleh Martiman Prodjohamiodjojo dengan mengemukakan pendapat Syeh Hussein Alatas yang mengatakan bahwa :

“Terjadi korupsi adalah apabila seorang pengawai negeri menerima pemberian yang disororkan oleh seorang dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan sipemberi. 

Kadang-kadang juga berupa perbuatan menawarkan pemberian uang hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian ini juga pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan tugas-tugas publik yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri 

Secara yuridis pengertian korupsi menurut Pasal 1 UU No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi adalah bahwa :

“Yang disebut tindak pidana korupsi, ialah :

1. Tindakan seorang yang dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.

2. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena meakukan suatu kehajatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan”.

Dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan tentang pengertian korupsi yaitu bahwa :

“Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah : 

1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

3. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210. 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

4. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasalpasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Barang siapa yang melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e Pasal ini.

Kemudian pengertian korupsi dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1971 dan Pasal 2 dan 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi yang mencabut UU No. 3 Tahun 1971 di atas, disebutkan bahwa :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau prekonomian negara…..(Pasal 2 ayat (1)).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau prekonomian negara…… (Pasal 3).

 Unsur-unsur korupsi menurut Kurniawan et. al. (2003 : 15) adalah :

1. Tindakan melawan hukum

2. Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

3. Merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung.

4. Dilakukan oleh pejabat publik/penyelenggara negara maupun masyarakat.

 Berdasarkan beberapa pengertian tentang korupsi di atas maka dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum.

Baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merugikan prekonomian atau keuangan negara yang dari segi materil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan masyarakat. 

Pengertian tentang korupsi ini seringkali tidak dapat dibedakan atau dicampuradukkan dengan pengertian kolusi dan nepotisme. 

Hal ini disebabkan oleh karena ketiga perbuatan itu mempunyai batasan yang sangat tipis dan dalam prakteknya seringkali menjadi satu kesatuan tindakan atau merupakan unsure-unsur dari perbuatan korupsi.

 Kolusi atau collusion menurut Osborn’s Laur Dictionary (1983) ditulis “The arragement of two ferson, apparently in a hostile positions or having conflicting interests, to some act in order to injure a third ferson, or deceive a court ”

Sedangkan menurut canadian law dictionary, Kolusi adalah “The making of an agreement with another for the purpose of perpetrating a fraud, or engaging in illegal activity while having an illegal end in mind”.

Dari kedua pengertian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kolusi atau collusion ini adalah suatu kesepakatan atau persetujuan dengan tujuan yang bersifat melawan hukum atau melakukan suatu tindakan penipuan.

Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism” yang secara umum mengandung pengertian “mendahulukan atau memprioritaskan keluarganya/kelompok/golongan untuk diangkat dan atau diberikan jalan menjadi pejabat negara atau sejenisnya. 

Dengan demikian nepotisme merupakan suatau perbuatan/tindakan atau pengambilan keputusan secara subyektif dengan terlebih dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam bentuk apapun bagi keluarga/kelompok/golongannya untuk suatu kedudukan atau jabatan tertentu 

 KKN menurut standart yang digunakan untuk memberikan pengertian tindak pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3,4,5 dengan penjabaran :

1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang - undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.

2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

2. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kronnya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. 

Teori hukum tentang pengertian KKN pada uraian di atas telah mengacu kepada kerangka pemikiran disebut paradigma deontologis modern yang berusaha mereduksi pemikiran para ekonom atau pebisnis neo klasik yang mengetahui bahwa “setiap orang bertindak sesuai moral, sepanjang hal itu termasuk akal dari segi ekonomi” 

Pernyataan tersebut mengandung arti yang sangat penting, secara tidak langsung diakui adanya komitmen moral dan benang merah yang mendasari prilaku sosial masyarakat dalam berinterasksi, yang menjadi fenomena pada konsep diri (self conseft) menjadi satu dalam konsep kolektivitas sosial (social collectivity conseft) pada perbuatan KKN. 

0 Response to "Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak