Tauhid Dan Sisi-Sisi Yang Merusaknya

Bismillahirrahmanirrahim 
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah hingga hari akhir.

Pengertian Iman, Kufur dan Nifak

1. Iman

Kata Iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tasdiq (membenarkan). Iman ialah kepercayaan dalam hati meyakini dan membenarkan adanya Tuhan dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Karena iman, seseorang mengakui adanya hal-hal yang wajib dan hal-hal yang mustahil bagi Allah. Iman menjadikan seorang mukmin berbahagia dan berhak untuk mendapatkan surge Tuhan kelak di hari akhirat. 

Dalam pembahasan ilmu kalam atau Ilmu Tauhid, konsep iman terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:

1. Iman adalah tasdiq di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan Nabi atau Rasul Allah. 

Menurut konsep ini, iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang sudah tasdiq (membenarkan/meyakini) akan adanya Allah, maka ia sudah disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntutan ajaran agamanya. 

Konsep iman ini banyak dianut oleh mazhab Murji’ah, sebagian penganut Jahamiyah, dan sebagian kecil Asy’ariyah.

2. Iman adalah tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. 

Dengan demikian, seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia mempercayai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (megucapkan) kepercayaan itu dengan lidah. 

Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman adalah tasdiq dan ikrar. Konsep keimanan seperti ini telah dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah.

3. Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. 

Antara iman dan perbuatan manusia terdapat keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep keimanan semacam ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij dan lain-lain.

Dalam agama Islam, adanya kepercayaan harus mendorong pemeluknya dengan keyakinan dan kesadarannya untuk berbuat baik dan menjauhi larangan Tuhan. 

Oleh sebab itu, seseorang baru dianggap sempurna imannya apabila betul-betul telah diyakini dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan. 

Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa konsep iman di kalangan umat Islam bervariasi, ada yang hanya memasukkan unsur tasdiq, ada yang menambah dengan unsur ikrar tanpa mengaitkan dengan amal perbuatan manusia, dan ada yang mengumpulkan ketiga unsur tersebut, yaitu tasdiq, ikrar dan amal perbuatan.

Pembahasan masalah keimanan dalam ilmu tauhid juga menyangkut persoalan apakah iman seseorang dapat bertambah atau sebaliknya. 

Dalam hal ini, ada dua pendapat yaitu golongan yang menyatakan bahwa iman tidak dapat bertambah atau berkurang, dan golongan lain yang menyatakan bahwa iman seseorang dapat bertambah atau berkurang.

Kelompok yang berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah atau berkurang menyatakan bahwa iman itu dapat bertambah atau berkurang pada tasdiq dan amalnya. 

Tasdiq yang bertambah tentu diikuti oleh bertambahnya frekuensi amal perbuatan dan ketaatannya. Bertambah atau berkurangnya tasdiq seseorang bergantung pada: Wasilah.

Kuat atau lemahnya dalil (bukti) yang sampai dan diterima oleh seseorang dapat menguatkan atau melemahkan tasdiqnya.

Diri pribadi Seseorang itu sendiri, dalam arti kemampuannya menyerap dalil-dalil keimanan. Makin kuat daya serapnya, maka kuat pula tasdiqnya. Sebaliknya, jika daya serapnya lemah atau tidak baik, tasdiqnya pun bisa lemah pula.

Pengamalan agama. Seseorang yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dengan baik dan benar dan frekuensi amaliahnya tinggi, akan merasakan kekuatan iman atau tasdiq yang tinggi pula. Makin baik dan tinggi frekuensi amaliahnya, makin bertambah kuat iman/tasdiqnya.

2. Kufur

Kata kufur atau kafir mempunyai lebih dari satu arti. Kufur dalam banyak pengertian sering diantagoniskan atau sebagai keadaan yang berlawanan dengan iman. 

Dimaksud kufur dalam pembahasan ini adalah keadaan tidak percaya atau beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. 

Maka orang yang kufur dan kafir adalah orang yang tidak percaya atau orang yang tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti paham komunis (atheis).

Kekafiran jelas sangat bertentangan dengan akidah Islam atau tauhid sebab tauhid adalah kepercayaan dan keimanan atau keyakinan akan adanya Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Orang kafir, sering melakukan bantahan terhadap ketentuan-ketentuan syariat Allah atau menentang Allah. Mereka selalu berdayaupaya agar Islam dan kepercayaannya lenyap dari permukaan bumi dengan berbagai jalan.

Dengan demikian, kufur merupakan keadaan dimana seseorang tidak mengikuti ketentuan-ketentuan syariat yang telah digariskan oleh Allah. 

Oleh sebab itu, kufur mempunyai lubang-lubang yang kalau tidak hati-hati seorang manusia akan terjerumus ke dalam lubang yang menyesatkan, seperti syirik, nifak, murtad, tidak mau bersyukur, dan sebagainya. Allah berfirman:

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّٰى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُۙ

Artinya: “Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (menyatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al-Bayinah: 1).

3. Nifak

Nifak adalah suatu perbuatan yang lahir dan batinnya tidak sama. Secara lahiriah beragama Islam, namun jiwanya atau batinnya tidak beriman.

Munafik adalah orang yang melakukan perbuatan nifak, yaitu orang yang secara lahiriah mengaku beriman kepada Allah, mengaku beragama Islam, bahkan dalam beberapa hal kelihatan seperti berbuat dan bertindak untuk kepentingan Islam.

Akan tetapi sebenarnya hatinya mempunyai maksud lain yang tidak didasari iman kepada Allah. Sulit megetahui orang munafik sebab mereka sering bersama atau berada di sekeliling kita.

Dalam menghadapi orang-orang munafik harus berhati-hati karena keberadaan mereka seperti musuh dalam selimut. Mereka selalu mengikuti dan mengawasi gerak-geraik yang dilakukan orang-orang Islam. 

Namun keikutsertaan atau perhatian mereka hanyalah untuk mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepuasan nafsunya. Orang-orang munafik suka memanfaatkan segala situasi untuk menghacurkan Islam dari dalam. 

Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah seseorang munafik atau tidak, dapat dilihat dari sikap dan perbuatannya yang merugikan atau bertentangan dengan kepentingan agama Islam. 

Baik dari segi agama maupun moral, sikap ataupun perbuatan munafik dipandang sangat hina. Allah akan menghukum perbuatan mereka dengan dimasukkan dalam dasar neraka sebagaimana firman Allah:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ

Artinya: “Sesungguhnya orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-sekali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 145)

Tauhid dan Syirik

1. Tauhid Zat

Wujudnya Allah sebenarnya sudah nyata, bahkan merupakan suatu hakikat yang tidak perlu lagi diragukan persoalannya dan tidak ada jalan memungkirinya. 

Sesungguhnya hakikat dari zat Tuhan itu tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia dan tidak dapat dicapai keadaan atau kenyataan yang sebenarnya. 

Sebabnya adalah pikiran manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut, sehingga manusia tidak diberi dan tidak ditunjuki cara menemukannya atau perantara untuk mencapainya.

Sampai saat kinipun manusia masih belum dapat mengetahui dengan sebenar-benarnya tentang hakikat jiwa manusia itu sendiri. 

Pengetahuan tentang hal jiwa ini hingga sekarang tetap merupakan penyelidikan yang hangat dalam rangkaian persoalan-persoalan yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan filsafat.

Manusi tidak dapat menguraikan hakikat cahaya atau sinar, padahal cahaya atau sinar itu sebenarnya adalah benda yang amat terang dan jelas sekali. 

Belum dapat diketahui hakikat suatu benda serta hakikat dari atom yang merupakan tempat tersusunnya benda padahal semua ini dekat sekali hubungannya dengan manusia itu sendiri. 

Karena itulah sampai sekarang ilmu pengetahuan modern belum dapat menguraikan berbagai hakikat benda dan semua yang ada di alam semesta ini secara memuaskan.

Jikalau demikian, bagaimana kedudukan akal dalam menghadapi persoalan hakikat jiwa, cahaya dan benda, serta apa yang ada dalam alam semesta ini, baik yang dapat dilihat oleh mata ataupun yang tidak, bagaimanakah akal itu dapat mengetahui zatnya Tuhan yang Maha menciptakan semuanya itu yang bersifat mahaluhur keadaan-Nya?

Bagaimana akal yang sesempit itu dapat mencapai zat Tuhan yang maha tinggi itu. Sesungguhnya Zat Allah masih jauh lebih besar dari apa yang dapat dicapai oleh akal ataupun yang dapat diliputi oleh pemikiran-pemikiran.

Oleh sebab itu, alangkah tepatnya firman Allah:

لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ

Artinya: “Allah tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan mata,sedangkan Dia dapat meliat segala yang kelihatan,dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 103)

Jika manusia dan akal pikirannya tidak dapat mencapai hakikat Zat Tuhan tidak berarti bahwa Zat Allah itu tiak ada,tetapi yang benar adalah bahwa Zat Allah itu ada dengan penetapan sebagai sesuatu yang wajib adanya. 

Untuk menjelaskan bahwa wujud Allah itu ada,semua yang ada dilingkungan alam semesta ini dapat digunakan sebagai bukti nyata tentang wujudnya Tuhan.

Islam memerintahkan kepada manusia untuk memikirkan ciptaan Allah,yakni semua yang ada di langit, dibumi, dalam dirinya dan sebagainya.

Namun islam melarang untuk memikirkan tentang Zat Allah, sebab hal ini adalah diluar kekuatan akal manusia. 

Mengenai hal ini Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Bersabda, 

وقال صلى الله عليه وسلم تفكروا في الخلق ولا تتفكروا في الخالق فإنه لا يدرك إلا بتصديقه

Artinya: “Berpikirlah mengenai mahkluk Allah dan janganlah berpikir mengenai (Zat) Allah sebab kamu semua tentu tidak akan dapat mencapai kadar perkiraannya.”

Dengan demikian,wajilah seseorang itu menahan diri untuk mengadakan penyelidik-annya dan bahkan dilarang membahas tentang perihal itu, sebab bila mengetahuinya pun tidak akan membawa kemanfaatan dan bila tidak mengetahuinya pun tidak menyebabkan bahaya. 

Allah Mahasuci dari perserupaan atas persamaan dengan suatu apapun atau Dia tidak akan menyamai atau menyerupai benda selain-Nya. Allah berfirman:

فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

Artinya: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy Syura: 11).

Zat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang Mahasuci itu sama sekali tidak boleh merupkan susunan dari beberapa bagian ataupun sebagai kesatuan dari beberapa benda ataupun menjelma dalam salah satu dari golongan makhluk-Nya.

Dengan demikian, yang perlu ditanamkan dalam keyaknan orang Islam dalam meng-Esakan Zat Allah ialah dengan meyakini bahwa Zat Allah tidak tersusun dari beberapa Juz (bagian). 

Hal ini disebabkan Zat Allah itu bukan benda fisik (immateri), Zat Allah tidak seperti badan kita dan benda-benda lainnya yang tersusun dari bagian-bagian.

2. Tauhid Sifat

Seorang muslim harus menyadari dan meyakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu maujud yakni ada, dan Dia memiliki Asmaul husna (nama-nama yang terbaik) dan memiliki sifat-sifat yang luhur yang menunjukkan kesempurnaan-Nya yang mutlak.

Yang dimaksud engan tauhid sifat (Esa dalam sifat) ialah bahwa sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang lain dan tak seorangpun yang mempunyai sifat sebagaimana sifat Allah. 

Sifat-sifat luhur yang dimiliki Allah merupakan penetapan dan kesempurnaan ketuhanan-Nya serta keagungan Ilahi-Nya.

Sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat manusia yang terbagi-bagi. Kekuasaan Allah tidak terbagi-bagi, sedangkan kekuasaan manusia adalah terbagi-bagi, demikian juga sifat-sifat lain yang ada pada manusia pun terbagi-bagi.

Dengan deikian, jelas bahwa segala pikiran yang mempersamakan sifat Allah dengan sifat mahkluk-Nya adalah tidak benar. Allah berfirman :

سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يَصِفُوْنَ

Artinya : “Mahasuci Allah dan Maha tinggi Allah dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al-An’am: 100).

3. Tauhid Af’al

Sifat-sifat yang dimiliki Allah Subhanahu wa ta'ala ada yang terauk dala sifat-sifat Zat dan ada yang termasuk dalam sifat-sifat Af’al (perbuatan). 

Sifat-sifat zat aitu sifat- sifat Subutiyah atau sifat-sifat Maknawiah, yakni sifat hidup, mngetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar, meliaht, dan berfirman.

Adapun sifat-sifat Af’al itu ialah seperti sifat menciptakan dan memberi rezeki. Jadi, Allah yang Maha Menciptakan dan Maha Pemberi rezeki Dialah yang membuat mahkluk ini dan juga mengaruniakan rezeki kepada mereka.

Para aim ulama telah sependapat bahwa sifat Af’al bukanlah sifat Zat dan kedudukan sifat Af’al itu adalah sebagai tambahan dari sifat Zat itu.

Adapun yang dimaksud dengan Tauhid Af’al atau Esa dalam perbuatannya ialah bahwa alam semesta ini seluruhnya ciptaan Allah,tidak ada bagian-bagian alam yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam mencipta, memerintah, dan menguasai kerajaan-Nya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

Artinya: “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”. (QS. Al-An’am: 102).

ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوْهُ ۚوَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

4. Rububiyyah

Tauhid Rububiyah ialah suatu keyakinan seseorang muslim bahwa alam semesta beserta isinya telah diciptakan Allah Subhanahu wa ta'ala dan selalu mendapat pengawasan dan pemeliharaan dari-Nya tanpa bantuan siapa pun. 

Alam semesta dan segala sesuatu yang berada di dalamnya tidak ada dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan atau menjadikan, yaitu Allah.

Allah Mahakuat, tidaka ada kekuatan melainkan karena-Nya. Tauhid Rububiyah yang tertanam pada dada seorang muslim akan menyadarkan seseorang sehingga dapat menghayati keagungan Allah Subhanahu wa ta'ala, kemudian hanya Allah-lah seseorang bertuhan, tidak kepada yang lain. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman :

ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوْهُ ۚوَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Artinya: “(Yang memiliki sifat yang) demikian itu hanyalah Allah Tuhan kamu, tidaka ada Tuhan selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” (QS. Al-An’am: 102)

هُوَ اللّٰهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۗ يُسَبِّحُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ 

Artinya: “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Hasyr: 24)

Dalam firman Allah tersebut, kata Illah itu berarti Tuhan dan kata Rab berarti Tuhan yang telah menciptakan, mengatur dan mengurus alam semesta. Sedangkan Rububiyah dinisbahkan kepada Rab. 

Jadi, Tauhid Rububbiyah ialah meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala sebagai Tuhan satu-satunya yang menciptkan, mengurus, mengatur serta menguasai alam semesta ini.

Tidak ada yang dapat menciptakan, mengurus, mengatur dan menguasai alam semesta ini selain Allah Subhanahu wa ta'ala.

Tauhid Rububiyah akan rusak manakala seseorang masih mengakui atau meyakini adanya pihak-pihak lain yang ikut andil bersama Tuhan (Allah) dalam mencipta, mengatur, memelihara dan menguasain alam semesta. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ

Artinya : “Sekiranya di langit dan di bumi ada beberapa Tuhan selain Allah, sungguh rusak binasalah langit dan bumi itu.......” (QS. Al-Anbiya: 22)

5. Uluhiyah

Tauhid Uluhiyah ialah percaya atau meyakini sepenuhnya bahwa Allah- lah yang berhak menerima semua peribadahan makhluk, dan hanya Allah saja yang sebenarnya harus disembah. 

Seseorang muslim yang di dalam hatinya tertanam Tauhid uluhiyah dengan kokoh maka dalam jiwanya terpatri tekad yang bulat bahwa segala pujian, doa, harapan dan amal perbuatannya hanya semat-mata untuk pengabdian dan bakti kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Hanya Allah sajalah yang dituju oleh makhluk-Nya untuk disembah.

Tauhid uluhiyah dalam pengertiannya sering diidentikkan dengan Tauhid Ubudiyah, karena sesungguhnya adanya pengabdian yang hanya ditujukan kepada Allah merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. 

Kata uluhiyah dinisbahkan kepada kata Al-llah, sedangkan ububiyah dinisbahkan kepada abada. Manusia bersujud kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai tempat meminta, tempat mengadu dan tempat untuk menyandarkan segala pujian dan harapan. 

Semua yang berupa pengabdian, langsung ditujukan kepada Allah dengan tanpa perantara (wasilah) dalam bentuk apapun seperti manusia, berhala dan makhluk-makhluk lainnya. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

 وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Artinya: Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" (QS. Al-Ankabut: 46)

Allah Subhanahu wa ta'ala juga berfirman :

اِنَّمَآ اِلٰهُكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا

Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu" . (QS. Taha: 98)

Allah sebagai satu-satunya tempat disembah, bukan berarti bahwa Allah berhajat disembah oleh hamba-Nya karena Allah tidak membutuhkan bakti dari makhluk-Nya. Penyembuhan di sini merupakan wujud ketaatan dan kepatuhan hamba denga Tuhan, antara makhluk dengan Khaliknya.

Dengan demikian, baik beribadah yang langsung kehadirat Allah seperti shalat, puasa, zakat dan haji maupun beribadah yang tidak langsung seperti membangun mesjid, sarana pendidikan dan sebagainya hendaklah dilakukan karena Allah. 

Tauhid atau keyakinan semacam ini terlukis dalam ucapan seorang muslim ketika ia membaca doa iftitah pada waktu melaksanakan shalat.

قُلۡ اِنَّ صَلَاتِىۡ وَنُسُكِىۡ وَ مَحۡيَاىَ وَمَمَاتِىۡ لِلّٰهِ رَبِّ الۡعٰلَمِيۡنَۙ ٬ لَا شَرِيۡكَ لَهٗ‌ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرۡتُ وَاَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِيۡنَ

Artinya: “ Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi- Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (Al-An’am: 162-163).

Syirik

Syirik adalah perbuatan menyekutukan Allah, sekalipun orang tersebut mempercayai adanya Allah. 

Karena mencampurbaurkan kepercayaan terhadap Allah dengan kepercayaan terhadap yang lain yang dianggap sebagai Tuhan, sehingga ia tidak sepenuhnya mempercayai ke-Esaan dan kemahakuasaan Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Kemusyrikan sangat bertentangan dengan tauhid karena tauhid adalah ingin menegakkan keyakinan akan kemahakuasaan Allah, sedangkan kemusyrikan adalah sebaliknya. 

Kemusyrikan meniadakan (menafikan) keesaan Allah, karena orang musyrik mempercayai atau meyakini adanya kekuatan lain selain Allah, adanya Zat lain selain Zat Allah yang ikut menentukan sesuatu.

Kemusyrikan dalam akidah Islam tidak dapat dibenarkan karena sangat bertentanga dengan ajaran-ajaran pokoknya. Sebab itulah orang yang melakukan kemusyrikan akan mendapatkan dosa paling besar yang tidak terampunkan. 

AllahSubhanahu wa ta'ala berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya:

الشِّرْكُ أخْفَى فِيْ أمَتِي مِنْ دَبِيْبِ النَّمْلِ عَلَ الصَّفَافِى اللَّيْلَةِ الظَّلْمَاءِ

“Syirik dalam umatku sangat samar seperti semut kecil yang terdapat pada batu hitam pada malam yang gelap gulita” (HR. Hakim). 

Dalam beberapa hadits, juga beliau mengingatkan umatnya jangan sampai terjerumus kepada hal-hal yang dapat merusak tauhid sekalipun syirik kecil atau riya’.

Akidah umat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab seperti keadaan umat Islam pada masa Nabi. 

Pada waktu itu tidak ada kesempatan bagi umat Islam untuk mencoba- coba membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan akidah.

Mereka lebih memusatkan perhatian dan pemikirannya untuk pertahanan dan perluasan daerah Islam serta penyiaran dakwah Islam. 

Pada zaman kedua Khalifah ini, kebulatan akidah masih dapat dipertahankan, karena tidak diberi peluang bagi mereka yang ingin memperdayakan dan mengotak-atik masalah akidah. Apabila timbul perbendaan pendapat, maka Khalifah akan mengatasi persoalan tersebut.

Ringkasan tauhid telah dinamakan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam secara mendalam kepada para sahabat, baik melalui penjelasan, nasihat, maupun sikap dan tingkah laku nyata. 

Oleh karena itu, umat Islam tidak mengalami kesulitan dalam memecahkan berbagai problema keagamaan, apalagi problem yang mereka hadapi tidak banyak.

Manakala mereka mengahadapi suatu masalah, mereka dapat langsung menanyakan hal tersebut kepada Nabi, sehingga Nabi dapat menjawabatau menyelesaikannya. 

Hal-hal yang menyebabkan syirik atau kekafiran sangat ditentang beliau, demikian pula hal-hal yang dapat merusak sendi-sendi akidah.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan Bukhari dan Muslim disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافلاتِ.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu bersabda: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,  “Jauhilah tujuh hal membinasakan. Sahabat bertanya, ‘Apakah itu, ya Rasul?’ Nabi menjawa, ‘Syirik (menyekutukan Allah), sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba, mundur dalam pertempuran, dan menuduh wanita yang baik-baik, bersih, lagi mukmin, melakukan zina.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dua hal dari hadits di atas dalam hubungannya dengan tauhid.yaitu:

1. Syirik dinyatakan sebagai salah satu dari tujuh hal yang membinasakan manusia. Ini wajar karena syirik menghacurkan iman seseorang dan menjerumuskannya ke dalam jurang api neraka. 


2. Syirik ditempatkan pada urutan pertama. Penempatan ini dapat diartikan bahwa masalah syirik mendapat perhatian serius dari setiap muslim, melebihi dari tindakan-tindakan membinasakan lainnya. 

Hal ini juga wajar karena syirik adlaah dosa yang tidak bisa diampuni Tuhan, sementara dosa-dosa yang lain masih mungkin diampuni.

Biasanya perselisihan-perselisihan yang timbul hanya sekitar masalah-masalah furu’iyah saja, tidak mengenai masalah ushuliyah akidah. 

Umat zaman Khalifah Abu Bakar As-Siddik dan Umar bin Khattab cukup mengerti akan isyarat-isyarat Al-Quran dan nash-nashnya. 

Terhadap ayat-ayat mutasyabihat, mereka serahkan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan sama sekali tidak mau menakwilkannya. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat Al-Quran yang samar-samar pengertiannya. 

Pendirian para sahabat tentang ayat-ayat mutasyabihat itulah yang kemudian yang diikuti oleh kaum salaf, yang mengambil pengertian tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta'ala dengan makna-makna lafal menurut logat, serta menyucikan Allah Subhanahu wa ta'ala dari menyerupai-Nya dengan suatu diantara makhluk-Nya. 

Sebagaimana keadaan Zat-Nya tidak seperti zat-zat yang lain. Maka demikian pula sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Dengan demikian, akidah yang benar ialah akidah yang tidak menyimpang dari ajaran Al-Quran yang telah dijabarkan oleh utusan-Nya.

Sayangnya keadaan seperti di atas tidak dapat dipertahankan dengan baik hingga muncul peristiwa pembunuhan Khalifah Usman bin Affan pada Tahun 354-656 M, yang disulut oleh persoalan politik.

Akidah Islam, Khurafat dan Tahyul

1. Akidah Islam

Akidah dalam agama Islam merupakan inti pokok yang diajarkan dalam Al-Quran. Karena itu, ajaran akidah yang benar harus sejalan dengan isi kandungan Al-Quran. 

Dalam hal ini, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam diutus oleh Allah untuk menjabarkan ajaran tauhid yang terdapat dalam Al-Quran melalui bentuk, sikap dan pengamalan atau praktek.

Pada masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, umat Islam selalu bersama-sama dalam menjalankan agama, termasuk di bidang akidah. 

Kalau ada hal-hal yang tidak puas atau hal-hal yang diperselisihkan di antara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada Nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan ditaatinya.

2. Khurafat dan Tahyul

Khurafat berasal dari kata kharaf yang berarti, rusak akal karena tua. Khurafat artinya omongan dusta yang dipermanis atau omongan dusta yang menakjubkan. 

Dalam konteks pembahasan ini, khurafat adalah ajaran-ajaran yang bukan-bukan atau kepercayaan yang bukan-bukan. 

Adapun takhayul ialah suatu yang termasuk khayal, tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. 

Pengertian ini mencakup hal-hal yang biasa berlaku di masyarakat dengan suatu yang sering diistilahkan dengan gugon tuhon, yaitu kepercayaan masyarakat yang tidak beralasan sama sekali. 

Khurafat maupun takhayul adalah kepercayaan yang bertentangan dan bersimpangan dengan ajaran tauhid yang dikemas dalam Al-Quran. 

Ajaran tauhid dalam Al-Quran tidak membenarkan kepercayaan yang tidak berdasarkan dalil atau tidak disarkan ilmu. Bukankah orang-orang musyrik melakukan kemusyrikan hanya karena mengikuti hawa nafsu.

Mereka menyembah berhala, matahari, hewan atau pohon dan sebagainya tanpa didasari pengetahuan yang benar. 

Mereka sama sekali tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran, hal ini dikarenakan mereka hanya berdasarkan prasangka atau perkiraan. 

Orang yang mempercayai khurafat ataupun takhayul juga tidak berdasarkan ilmu atau dalil yang dapat dijadikan dasak kepercayaan. 

Mereka yang mempercayai khurafat dan takhayul dikarenakan mereka mengikuti kepercayaan pendahulunya. 

Mereka tidak yakin benar bahwa apa yang dipercayai itu benar, namun mereka takut menanggung resiko yang seolah-olah akan terjadi. 

Keraguan dan kekahawatiran mereka justru sebenarnya yang menyebabkan mereka menanggung resiko dari apa yang mereka percayai itu.

Persoalan khurafat dan takhayul banyak dijumpai dalam masyarakat yang diperoleh melalui kepercayaan nenek moyangnya. 

Khurafat dan takhayul tidak hanya terdapat pada lapisan masyarakat di pedesaan saja, namun pada masyarakat perkotaan juga sering ditemukan adanya suatu kepercayaan yang masuk kategori khurafat dan takhayul. 

Bahkan di negeri- negeri Barat yang telah maju teknologi juga masih terdapat kepercayaan khurafat dan takhayul.

Memang kepercayaan khurafat maupun takhayul dapat tumbuh di berbagai tempat, karena disengaja oleh setan yang selalu berusaha menyasatkan manusia dari kebenaran. Setan menyamai kerguan pada hati manusia. 

Dari keraguan itu setan lebih mudah untuk menggoyahkan hati manusia untuk dicondongkan ke arah yang sesat, sehingga seolah-olah apa yang dicondongi oleh manusia merupakan kecondongan yang harus diikuit oleh dirinya.

Namun sesungguhnya mereka tidak sadar bahwa setan telah menggoyahkan hati mereka dengan bisikan-bisikan yang menyebabkan mereka condong pada sesatnya kepercayaan. 

Banyak dijumpai di desa atau di dalam masyarakat, perkara yang tidak masuk akal, tetapi mereka mempercayainya. 

Sebagai contoh, bagi masyarakat jawa, bila seorang sedang berpergian, tiba-tiba di depannya ada ular yang lewat dari sebelah kiri ke kanan, merupakan tanda bahwa di tengah perjalanan ada bahaya.

Burung gagak misalnya, yang berbunyi tepat di atas atap rumah kita, bertanda ada salah satu keluarga kita ada yang meninggal dunia. 

Di Pakistan pun demikian pula, kalau seseorang sedang berpergian dan ada yang memanggil dari belakang, dia tidak boleh melanjutkan perjalanan lagi, harus berhenti atau pulang kembali.

Bagi masyarakat primitf, seperti suku dayak di Kalimantan, ada adat yang disebut nyahu, artinya tanda, tanda dari binatang-binatang seperti ular phytondan binatang menjalar apa saja, burung sisit, dan binatang-binatang kecil seperti lipan dan sebagainya. 

Bila seseorang sedang mengerjakan ladangnya, tiba-tiba ada ular atau burung sisit yang melintasi ladang itu maka ia harus mengurungkannya dan pindah ke tempat lain. 

Bila membuat perahu, dan hamper jadi, tetapi ada lipan yang merambat, maka perahu yang hampir jadi itu harus ditinggalkan begitu saja di hutan, biar diamakan rayap atau anai-anai.

Bila hal ini dilanggar ada aka nada musibahnya. Siapa yang menyebabkan. Tentu saja dirinya sendiri, karena dengan keperdayaannya itu, dia menjadi lemah semangatnya dan hatinya ragu-ragu. 

Inilah yang menyebabkan kegagalan. Lagi pula tentu saja adalah peranan serta. Setan membantu untuk berhasilnya adat dan kepercayaan takhayul dan khurafat ini, agar masyarakat makin tebal kepercayaannya dalam kesyirikan. 

Angka 13 misalnya di dalam masyarakat Barat menjadi tabu, angka yang sial dan harus dijauhi. Hasil teknologi yang paling tinggi saat itu, Apollo nomor 13 gagal di dalam misinya dianggap bahwa angka itulah yang menyebabkan kegagalnya.

0 Response to "Tauhid Dan Sisi-Sisi Yang Merusaknya"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak