Pengaturan KKN dalam Hukum Indonesia

1. Dalam hukum materil

Undang-undang dalam arti materil menurut Van Apeldorn yang diterjemahkan oleh Sadino adalah bahwa :

Undang-undang dalam arti materil ialah sesuatu keputusan pemerintah, yang mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu tiaptiap keputusan pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara umum (dengan perkataan lain, peraturan-peraturan obyektif).

Perbuatan KKN sebagai konsep hukum materil berarti perbuatan yang diatur dalam perundang-undangan tentang KKN itu sendiri atau perbuatan yang dirumuskan dalam suatu undang-undang yang tetapkan oleh pemerintah yang isinya tetang perbuatan yang disebut dengan KKN. 

Ada suatu kepentingan yang ingin dilindungi oleh pembuat undang-undang sehingga larangan terhadap perbuatan KKN dirumuskan dalam perundang-undangan tersebut. 

Barang siapa yang menyalahi ketentuan dari makna yang dirumuskan dalam perundang-undangan itu berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sifat melawan hukum materil menurut Schaffmeiter et, al, yang diterjemahkan oleh Sahetapy (1995 : 39) adalah bahwa melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. 

Artinya bahwa perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang 31 tahun 1999). 

Sifat melawan hukum formal berarti : “semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).

Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Perubahan Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari segi materil muatannya membawa perubahan yang cukup substansial

Sehingga secara filosofis, sosiologis, dan yuridis diharapkan mampu memberikan daya berlaku yang kuat, dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum berdasarkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. 

Pokok-pokok perubahan di antaranya adalah: penyebutan secara langsung unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu, pengahapusan ketentuan minimum denda dan pidana penjara, pengaturan mengenai gratifikasi dan pengecualiannya

Perluasan alat bukti, pembuktian terbalik, hak negara melakukan gugatan perdata dan penegasan terhadap pemberlakukan undang-undang korupsi sebelumnya.

Dalam perundang-undangan Korupsi telah mengatur tentang upaya perlindungan keadilan sosial ekonomi bagi masyarakat. 

Dalam Pasal 38 C UU No. 20 Tahun 2002 ditentukan bahwa negara diberi hak untuk melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya, 

Dalam hal terpidana sengaja menyembunyikan atau menyamarkan kekayaan atau harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, pada saat pengadilan memutuskan perkara yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dasar filosofi timbulnya hak Negara tersebut adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku KKN yang menunjukkan bahwa Undang-undang tersebut tidak hanya sebagai alat penegak keadilan hukum, tetapi juga penegak keadilan sosial ekonomi. 

Mengingat bahwa perbuatan KKN adalah perbuatan yang bukan hanya merugikan keuangan dan prekonomian negara tapi lebih dari itu menimbulkan konflik dan kesenjangan sosial. 

Artinya bukan semata memberi hukuman bagi yang terbukti bersalah dengan hukuman yang sebesar-besarnya, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku dapat kembali semua dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Upaya penanggulangan KKN dilihat dari segi peraturannya, dapat dikatakan bahwa politik hukum dalam upaya penanggulangan KKN ini sudah cukup signifikan. 

Dapat dilihat berapa kali diperbaharui perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. 

Peraturanperaturan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah silih berganti diberlakukan, selalu yang belakangan memperbaiki dan menambah yang dahulu. 

Sebagaimana dijelaskan dalam latar belakang bahwa dalam kurung waktu 5 (lima) tahun sedikitnya sudah empat Undang-undang tentang KKN dibentuk oleh pemerintah.

Prof, Dr, Daniel Lev ahli politik dari Amerika Serikat dalam Marpaung berpendapat bahwa :

“Pemberantasan korupsi yang sudah mengakar sejak demokrasi terpimpin , tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya reformasi institusional lebih dahulu. Penggantian pemerintahan tidak akan banyak bermanfaat jika konstitusi pemerintah yang ada masih seperti yang lama”.

Demikian juga kesimpulan dalam Workshop “Creating public private partnership against corruption” yang diadakan di Manila (Pilipina) oleh Management System International (MSI) dengan United State Agency for International Development (USAID) yang diikuti Indonesia, Pilipina dan Thailand (Oktober 1999), dalam Marpaung (2001: 21) bahwa : 

“Paling tidak ada 3 pilar dalam masyarakat yang harus dilibatkan dalam gerakan anti korupsi yakni : civil society, kalangan bisnis dan media massa.

 Anti korupsi tidak akan berhasil jika tidak didukung masyarakat.

Kalangan bisnis harus sadar bahwa korupsi dalam jangka panjang akan merugikan perkembangan bisnis karena akan menimbulkan bisnis biaya tinggi yang tidak kompetitif. Massmedia sangat penting dalam menggelembungkan gerakan anti korupsi”. 

Meskipun demikian, suatu pandangan mengatakan bahwa Jika anda memiliki pengemudi yang buruk, mengganti mobil tidak akan menyelesaikan masalah. Hal ini menggambarkan inkonsistensi penegak hukum sangat mendukung tercapainya legal spirit dari hukum itu sendiri

Menurut Lopa bahwa :

“Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata ketidak berdayaan pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi bukan disebabkan oleh kurang baiknya undang-undang, tetapi yang menjadi faktor penyebab utama adalah kelemahan sistem yang merupakan produk dari integritas moral. 

Oleh karena itu untuk memperbaiki sistem tersebut sangat tergantung pada integritas moral yang dimiliki oleh seseorang sebab yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah orang yang bermoral pula. 

Orang yang tidak bermoral meskipun tidak berilmu, tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem, karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukan baginya untuk melakukan penyelewengan”.

Dalam tulisan yang sama Lopa juga menekankan kelemahan lainnya yaitu keteladanan, bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari atas. 

Kalau kalangan atas melakukan korupsi maka akan berpengaruh ke bawah atau mendorong jajarannya (kalangan pejabat menengah ke bawah) untuk melakukan perbuatan yang sama dengan alasan tidak mungkin atasan melakukan tindakan atau hukuman, karena pada dasarnya atasan itu sendiri telah mempelopori perbuatan tidak terpuji itu. 

Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terlihat fenomena yang kurang menggembirakan seperti tumbuh suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan KKN dalam praktek bisnis yang umumnya dilakukan oleh kalangan atas/menengah sehingga pengusutannya sering menghadapi hambatan.

2. Dalam hukum formil

Undang-undang dalam arti formil, ialah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana ia timbul. 

Artinya bahwa hukum formil adalah hukum yang ditetapkan untuk mempertahankan atau melaksanakan hukum materil. Hukum dalam arti formal ini disebut juga hukum acara.

Mengingat bahwa tindak pidana KKN sudah merupakan extra ordinary crime sehingga penanggulangannyapun diperlukan cara-cara yang luar biasa, sehingga dengan hanya mengandalkan hukum acara pidana (KUHAP) maka penegakan hukum terhadap kejahatan KKN tidak akan efektif. 

Oleh karena itu dalam perundang-undangan tetang KKN, juga diatur tentang beberapa ketentuan acara yang diperlukan untuk lebih efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana KKN.

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tetang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang acara pidana terhadap tindak pidana Korupsi yaitu antara lain :

1. Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana KKN

Tindak pidana KKN yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan cara penerapan “sistem pembuktian terbalik” yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. 

Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. 

Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.

Namun demikian sebagai konsekwensi dari sistem pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, 

Sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self incrimination) dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan kepada tiap orang.

Peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan KKN dan bisnis meskipun instrumen hukum telah cukup lengkap, namun dalam penerapan hukum secara struktural dan praktikal tetap menjadi peluang dan kendala terjadinya bentuk kejahatan dimensi baru. 

Kasus-kasus KKN dalam praktek bisnis, yang terjadi selama ini hampir tidak dapat terdeteksi dan diselesaikan secara yuridis. Peran politik hukum dalam pembetukan peraturan perundang-undangan baru yang memenuhi kebutuhan perkembangan KKN sangat menentukan. 

Pasal-pasal hukum dalam KKN dan hukum bisnis masih terjadi kamuflase yang dikemas sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya terjadi kelemahan bahkan KKN dalam praktek bisnis semakin meningkat dan kronis endemis.

2. Perluasan alat bukti tindak pidana KKN

Perluasan alat bukti ini dimaksudkan untuk mendukung sistem pembuktian terbalik. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 menetapkan perluasan mengenai perolehan alat bukti yang berupa petunjuk. 

Menurut paragraph empat penjelasan umum UU No. 20 Tahun 2001 bahwa perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti berupa petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP), juga menurut Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 diperoleh dari alat bukti lain yang berupa :

1.. Alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 

Konvensi internasional dan ratifikasi tetang Korupsi

Perkembangan upaya penanggulangan masalah KKN dalam praktek bisnis sudah dianggap sebagai masalah internasional dan tergolong kejahatan transnasional akhir-akhir ini telah ditindak lanjuti oleh berbagai konfrensi internasional yang disponsori oleh badan-badn dunia seperti PBB. 

Hal ini tercermin dari kegiatan Center for International Crime Prevention (CICP), salah satu di bawah naungan PBB, yang menyusun Convention Against Corruption (CAC). 

Di samping itu CICP juga mempersiapkan praktek pemberantasan korupsi di dalam lingkup peradilan yang bertujuan menghasilkan suatu National Plan of Action Against Corruption, yang difokuskan pada kejahatan KKN yang terjadi di lingkungan peradilan atau mencermati mafia peradilan yang membuat lunturnya kepercayaan rakyat guna mendapatkan keadilan.

Perkembangan dunia internasional dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia telah mengkaji secara teliti ketentuan dalam Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), Convention on Combanting Bribery of Foreign Public Officials in International Bussines Transaction, yang telah berlaku efektif pada tahun 1999. 

Tujuan Konvensi tersebut adalah mencegah dan memberantas penyuapan terhadap pejabat publik asing (bribery of foreign publik officials) dalam hubungan dengan transaksi bisnis internasional. 

Beberapa kenvensi internasional yang terkait dalam hal ini antara lain : Europe Convention on the Fight Against Corruption 1977, Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption 1999, dan OECD Anti-Bribery Convention 2000.

Perkembangan KKN secara global sudah merupakan komitmen pemerintah di seluruh dunia. Terbukti dengan diselenggarakannya Konferensi

Dunia tentang Strategi Global Anti Korupsi (International Anti Corruption Conference) yang diikuti para Kepala Pemerintahan dan pejabat setingkat Menteri kurang lebih 150 negara, dan diselenggarakan di Wasington DC Amerika Serikat (1999) dan di Den Haag Belanda (2001). 

Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi se-dunia tersebut menegaskan kembali pentingnya kerjasama seluruh negara untuk memberantas korupsi yang bersifat nasional, lintas batas territorial maupun berdampak internasional.

Secara berturut-turut Konferensi internasional anti korupsi (International Anti Corruption Conference IACC) mulai dilaksanakan yaitu : 

Wasington DC-Amerika Serikat tahun 1983 (I), New Tork-Amerika Serikat tahun 1985 (II), Hongkong tahun 1987 (III), Sydney-Australia tahun 1989 (IV), Amsterdan-Belanda tahun 1992 (V), Cancun-Mexico tahun 1993 (VI), Beijing-Cina tahun 1995 (VII), Lima-Peru tahun 1997 (VIII), Durban-Afrika Selatan tahun 1999 (IX), PrahaCekoslovakia tahun 2001 (X), Vienna-Swiss tahun 2003 (XI). 

0 Response to " Pengaturan KKN dalam Hukum Indonesia"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak