Mengenal Apa Itu Mimpi

Bismillahirrahmanirrahim, Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah

Bagi sebagian orang, mimpi dianggap hanya sebagai bunga tidur. Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia. 

Meski mimpi termasuk pengalaman pribadi, namun ia juga merupakan fenomena universal yang memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. 

Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Sejarah pun menunjukkan bahwa sejak beribu-ribu tahun yang lalu terdapat manusia yang menaruh perhatian besar terhadap mimpi. 

Catatan yang bercerita tentang mimpi pertama kali ditemukan di Ninive tepatnya di perpustakaan raja Ashurbanipal (669-629 SM), atau tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Mesir kuno yang membuat semacam ritual yang dinamakan inkubasi mimpi.

Mimpi menjadi salah satu bahasan yang serius dan menjadi bagian dari kajian ilmiah setelah seorang ahli psikoanalisis Sigmund Freud dengan teori psikoanalisisnya menjelaskan topik mimpi ini. 

Freud berpendapat bahwa mimpi merupakan langkah untuk memenuhi keinginan yang terepresi di dalam alam bawah sadar (unconsiuosness) dan tidak dapat dicapai di dalam alam sadar (counsiousness).

Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang yang diungkapkan dalam keadaanterjaga. 

Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara, maupun lelucon.

Sementara itu Arabi mengidentifikasikannya sebagai bagian dari imajinasi. Sedangkan Haffner mengatakan bahwa mimpi meneruskan kehidupan alam sadar, mimpi selalu menghubungkan diri kitadengan pikiran-pikiran tertentu yang sesa`at sebelumnya muncul dalam kesadaran kita.

Al-Qur`an menyebut mimpi dalam berbagai bentuk kata, yaitu Ahlām, ru’ya, adghasu ahlām. Ketiga kata ini disebut dalam kondisi yang berbeda. 

Sehingga maksud yang dihasilkan juga berbeda, bahkan beberapa perbedaan dalam menggali makna kata-kata ini tidak terlalu sulit ditemukan di dalam berbagai produk tafsir. 

Di antaranya adalah perbedaan mengenai kata ru’ya, dalam ayat yang menceritakan peristiwa Isra` Mi`raj Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Dalam pro-kontra ini yang diangkat adalah pemahaman terhadap kata ru’ya yaitu mimpi itu sendiri. Bahkan dalam salah satu bentuk konsep mimpi dalam al- Qur`an, yaituاضغاث احلام ا sebagai mimpi kosong dan terjadi akibat kondisi tubuh mempunyai kesamaan dengan teori Freud. 

Kejadian ini tentu saja bukan berdasarkan kesengajaan, mengingat Freud sendiri dapat dikatakan tidak bersinggungan sama sekali dengan al-Qur`an.

Sebagai contoh, pakar psikologi Islam Muhammad ‘Utsmān Najati mengatakan bahwa mimpi bukan hanya dorongan bawah sadar semata, tapi lebih dari itu, mimpi merupakan interpretasi dari pengalaman yang diperoleh ruh selama manusia berada dalam tidurnya. 

Saat tidur, ruh melepaskan diri dari tubuh dan melancong ke berbagai tempat dan kembali pada saat terbangun

Lebih lanjut, psikologi Islam mengatakan bahwa ruh yang sedang melancong tersebut berada di alam arwah di mana hukum ruang dan waktu dan segala dimensinya tidak berlaku, serta terbebas. 

Sementara waktu dari kotorankotoran tubuh dan hawa nafsu, yang turut membantu akal untuk menyelesaikan problem yang menyulitkannya dalam keadaan terjaga.

Pakar ilmu psikologi Islam sepakat bahwa alam arwah memberikan fasilitas yang tidak terbatas bagi ruh yang sedang melancong untuk berinteraksi dengan ruh-ruh yang dijumpainya. 

Bentuk konkret dari asumsi ini adalah tidak sedikit di dalam tidurnya seseorang bermimpi bertemu dengan orang yang dikenalnya yang telah meninggal. 

Kondisi inilah yang dikatakan oleh al-Qur’an sebagai kematian. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam QS. al-Zumar 

اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya, maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS.al-Zumar:42).

Dalam memahami ayat ini para mufassir sepakat bahwa hakikat tidur adalah mati karena pada saat tertidur ruh manusia berpisah meninggalkan jasad dan ditahan oleh Allah sebagaimana layaknya orang yang mati. 

Letak perbedaannya adalah pada titik tekan penahanannya. Dalam kematian ruh ditahan selamanya dan tidak dikembalikan lagi kepada jasad, sedangkan dalam kondisi tidur, ruh hanya ditahan sementara dan dikembalikan lagi oleh Allah pada waktu terjaga.

Pengertian Mimpi

Pengertian secara bahasa dan etimologi. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, mimpi adalah sesuatu yang dialami seseorang pada waktu atau saat tidur. 

Sementara itu, menurut Nir dan Tononi, mimpi merupakan pengalaman psikologis yang terjadi dalam tidur seseorang.

Mimpi menunjukkan bagaimana otak manusia yang tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya tersebut dapat mengalami kondisi dunia sadar dengan sendirinya.

Mimpi, menurut Chaplin, adalah deretan tamsil dan ide yang lebih kurang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur, atau selama orang dikuasai obat bius, atau sewaktu seseorang berada dalam situasi hipnotis. 

Sementara itu, yang dimaksud kualitas mimpi menurut Nashori adalah suatu keadaan di mana mimpi yang diperoleh seseorang banyak menggambarkan hal-hal yang benar, menghasilkan optimisme serta kepastian bagi individu yang mengalaminya.

Mimpi terjadi dengan hadirnya gambaran, ide, emosi, dan sensasi yang terjadi di luar kendali subjek dalam kondisi tidurnya. 

Dari segi fenomenologis, hal yang paling mencolok dari pengalaman kesadaran dalam kondisi tidur adalah sedemikian miripnya dunia yang hadir dalam mimpi dengan kondisi nyata saat tidak-tidur (wakefulness).

Mimpi dalam bahasa Arab ru'ya adalah mufrad dari yang berarti “sesuatu yang dilihat manusia dalam tidurnya”.

Mimpi sering juga disebut dengan ar-ru’ya, dan juga hulm. Hanya saja arru’ya biasanya dipakai untuk mimpi yang dialami oleh orang-orang shalih seperti halnya para Nabi. 

Mimpi merupakan aktifitas mental yang beroperasi ketika seseorang tidur. Dalam tidurnya itu dia melihat berbagai gambar atau kejadian.

Bahkan terkadang dia juga turut aktif dalam banyak kegiatan di dalam mimpinya tersebut. Tidak jarang kejadian di dalam mimpi masih terekam dengan bagus setelah dia terjaga dari tidur. Namun kadang- kadang kejadian dalam mimpi juga sulit untuk diingat kembali.

Pengertian mimpi secara terminologi. 

Adapun pengertian mimpi dalam terminologi banyak dikemukakan oleh para ahli atau pakar ilmu agama yang masing-masing definisi memiliki aspek kesamaan dan perbedaan. 

Sejumlah pengertian mimpi dikemukakan para ahli. 

Al-Ushaimy mengartikan mimpi adalah serangkaian keyakinan dan pemandangan yang ditransfer Allah ke dalam hati hamba-Nya lewat malaikat atau syaitan. 

Persis sama dengan kata hati yang melintas di dalam pikiran dan hati seseorang ketika tidak tidur. Kadang datang dalam bentuk rangkaian yang utuh, dan terkadang datang dengan cerita terpisah-pisah.

Menurut Khaldun, mimpi ialah sebuah kesadaran yang timbul dalam jiwa rasional (an-nafsan-nathiqah), yang berada dalam spiritualnya, sebagai percikan dari bentuk- bentuk peristiwa. 

Begitu jiwa itu menjadi jiwa spiritual, maka bentuk- bentuk peristiwa itu memiliki eksistensi yang aktual didalamnya, sebaimana yang terjadi dengan semua esensi spiritual lainnya.

Menurut al-Jauziyah, mimpi merupakan permisalan yang dibuat malaikat yang ditugaskan Allah untuk mengurusi persoalan bermimpi agar orang bermimpi bisa mengambil petunjuk dari permisalan yang telah digambarkan

baginya untuk mencocokkan dengan apa yang dialaminya, dan mengungkapkan apa yang samar baginya. Shadiq mendefinisikan mimpi sebagai berikut: 

“Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia tidur, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala menaikkan ruhnya, lalu jika waktu wafatnya telah tiba, Allah Subhanhu Wa Ta'ala pun menaruh ruh tersebut di taman surga dengan cahaya rahmat dan keagungan-Nya. Jika ajalnya belum tiba, Allah-pun menyuruh malaikat-Nya untuk mengembalikan ruh tersebut ke jasad semula.” 

Mimpi, menurut Chaplin, adalah deretan tamsil dan ide yang lebih kurang saling bertalian dan berlangsung selama orang tidur, atau selama orang dikuasai obat bius, atau sewaktu seseorang berada dalam situasi hipnotis atau sewaktu seseorang berada dalam situasi hipnotis.

Hobson mengungkapkan bahwa mimpi melibatkan persepsi dan kepercayaan (beliefs). Persepsi mengalami penyimpangan fungsinya dalam mimpi di mana pengalaman yang diterima pada kenyataannya tidak benar-benar terjadi. 

Kepercayaan terlibat dalam hal bagaimana suatu figur dipercayai sebagai figur oleh individu yang bermimpi dan pada nyatanya figur tersebut bukanlah seperti yang dipercaya dalam mimpi tersebut. 

Menurut Hobson, persepsi dan kepercayaan yang hadir dalam mimpi merupakan hasil spontanitas dari kegiatan otak yang acak. 

Pandangan ortodoks Freudian mengenai mimpi masih memandang hal tersebut sebagai bentuk kegiatan mental yang lebih tinggi (higher-mental activity). 

Mimpi menjadi suatu fenomena kesadaran manusia dalam kondisi tidurnya yang didalamnya terjadi hal yang analog dengan kondisi sadar manusia itu sendiri.

Mimpi merupakan pengalaman psikologis yang terjadi dalam tidur seseorang. Mimpi menunjukkan bagaimana otak manusia yang tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya tersebut dapat mengalami kondisi dunia sadar dengan sendirinya. 

Mimpi terjadi dengan hadirnya gambaran, ide, emosi, dan sensasi yang terjadi di luar kendali subjek dalam kondisi tidurnya. 

Dari segi fenomenologis, hal yang paling mencolok dari pengalaman kesadaran dalam kondisi tidur adalah sedemikian miripnya dunia yang hadir dalam mimpi dengan kondisi nyata saat tidak-tidur (wakefulness).

Penelitian psikolog modern tentang mimpi terbatas pada jenis-jenis mimpi yang telah kita tunjukkan tadi, khususnya mimpi yang dipandang berasal dari dorongan-dorongan bawah sadar sejalan dengan teori Freud. 

Mimpi merupakan pengalaman psikologis yang terjadi dalam tidur seseorang. Mimpi menunjukkan bagaimana otak manusia yang tidak terhubung dengan lingkungan sekitarnya tersebut dapat mengalami kondisi dunia sadar dengan sendirinya. 

Dalam psikologi modern, ada beberapa psikolog yang cukup fokus untuk mengkaji mimpi, salah satunya, Sigmund Freud dari mazhab psikodinamika. 

Menurut Sigmund Freud, stimulus dan sumber dari kemunculan sebuah mimpi ada 4, yaitu:

  1. External sensory stimuli, 
  2. Internal (subjective) sensory excitations, 
  3. Internal organic somatic stimuli, dan 
  4. Psychical source of stimulation.

Jadi kalau boleh kita sederhanakan, stimulus dan sumber tersebut bisa muncul dari dalam diri individu seperti dorongan tertentu, harapan dan keinginan-keinginan atau yang bersifat eksternal yang biasanya berasal dari pengalaman obyektif atau bisa juga karena rangsangan organ badan maupun kondisi fisik. 

Namun kalau kita mengkaji lagi, hal itu diucapkan Freud bukanlah tanpa system, system psikologi seksualitas tentunya. 

Karena timbulnya mimpi, mayoritas sebagai pengendapan unsur libido dan id yang tak bisa terealisasi di dunia nyata, dan pada ujungnya harapan itu mengendap pada alam bawah sadar dan muncul secara “tidak fair” via mimpi.

Berbeda dengan psikologi analisisnya Freud dan yang se-mazhab dengannya yang hanya berkutat pada area sensoris saja, 

Islam menjadikan mimpi sebagai hal yang bermakna dan menarik seseorang pada nilai keimanan dan memiliki implikasi nyata dalam kehidupan 

Karena mimpi tidak terjadi dengan sendirinya, mimpi juga bukanlah semata-mata aktivitas inderawi, pengendapan cita-cita, kelanjutan berpikir apa lagi problem seksual dan nafsu seperti pada tafsir mimpinya Freud. 

Islam menjadikan mimpi sebagai salah satu stardar mulainya taklif hukum yang diistilahkan dengan awal baligh, lebih dari itu mimpi bisa jadi petunjuk atas sebuah kisah yang penuh ibrah bagi rekosntruksi iman. 

Karena itu, Nabi menggambarkan dalam hadistnya:

إذا اقترب الزمان لم تَكَدْ رؤيا المؤمن تكذب، ورؤيا المؤمن جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة

“Ketika kiamat telah mendekat, mimpi seorang muslim hampir tidak ada dustanya. Mimpi orang muslim adalah termasuk satu dari empat puluh enam bagian kenabian”.(Hadis sahih - Muttafaq 'alaih)

Jelasnya, mimpi dalam psikologi Islam adalah sebuah hal yang diakui keberadaannya karena terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam yang tentunya memiliki fungsi dan tujuan, 

Bahkan mimpi adalah bagian dari kenabian yang merupakan wahyu yang pertama seperti yang dikatakan oleh Ummul mukminin`Aisyah ra. Dari Aisyah beliau berkata: 

“Awal permulaan wahyu adalah penglihatan yang dalam tidur yang benar, Ia tidak melihat dalam mimpinya  kecuali sebagaimana datang fajar kemudian Ia senang menyepi di gua Hira beliau melakukan tahannus untuk beberapa malam sebelum kembali kepada isterinyan (Khadijah radiallahu 'anha.)”.

Imam Ahmad mengeluarkan dalam musnadnya hadis yang berbunyi:

Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada kenabian sepeninggal aku kecuali kabar gembira, sahabat bertanya kepada Rasulullah apa kabar gembiranya? beliau menjawab mimpi yang baik atau mimpi yang shalih. (Ahmad bin Hanbal: 24524).

Mimpi pada kategori awal adalah bisikan hati yang terjadi karena sebelum tidur seseorang memiliki angan-angan, keinginan dan yang semisalnya yang memenuhi pikirannya 

sehingga terbawa dalam tidur jenis inilah yang dikemukakan Freud melalui teori pemadatan (condensation) dan pemindahan (displacement) di mana mimpi sebagai jalan pemenuhan keinginan (wishfulfillment) dari alam bawah sadar yang kita represi. 

Sedangkan mimpi pada ketegori kedua merupakan permainan dan gangguan syaitan yang bermaksud melahirkan rasa takut dan sedih pada diri manusia yang mengakibatkan murung, lesu dan penuh kekhawatiran yang terbawa sampai saat orang itu terja.

Mimpi sebagai gejala psikologis. 

Dalam sejarah filsafat Barat, selama abad 19 sampai pertengahan abad 20. Mimpi hanya dianggap sebagai gejala psikologis, sebuah realita bahwa mimpi adalah vis regina atau jalan utama yang mengantarkan kita kepada ketidaksadaran (uncounsiouness). 

Karena mimpi adalah produk psikis dan karena hidup psikis dianggap sebagai konflik antara daya-daya psikis. Sehingga mimpi muncul, karena kekahawatiran, rintangan, perilaku dan harapan pribadi yang tidak kesampaian. 

Mimpi yang menjadi kenyataan memberikan solusi, inspirasi dan gagasan, dipandang sebagai kebetulan saja, namun, tidak hanya sebatas dan berhenti pada suatu kesimpulankesimpulan yang simple untuk memahami mimpi.

Para filosof intelektual yakin bahwa indera pendengaran, penglihatan, perasaan dan pengecap, sering mimpi kita. Dan mimpilah yang berusaha yang mengatakan hal yang sebenarnya kepada kita.

Pada Zaman Yunani Kuno baik sebelum dan sesudah masehi, mimpi dipandang sebagai petunjuk dewa Askulapies yang hendak menolong manusia dalam kesulitan dan kesedihan, apalagi bila manusia jatuh sakit yang sulit disembuhkan. 

Kebiasaan pada zaman itu adalah mempersiapkan seseorang yang terbebani atau sakit dengan teliti supaya ia mendapatkan mimpi besar.

Pendekatan intelektual terhadap mimpi sebenarnya telah dimulai oleh filosuf Yunani. Sejak semula, misteri tentang pikiran telah membuat manusia penasaran, bahkan sekalipun telah ada penemuan-penemuan antomis dan fisiologis, sampai sekarang kemisteriusan itu tetap ada. 

Shakespeare sampaisampai berkata: “Apakah mimpi itu? para filosuf intelektual yakin bahwa indera kita, yakni pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa dan pengecap, sering menipu kita. Dan mimpilah yang berusaha mengatakan hal yang sebenarnya kepada kita.

Tidur dan mimpi oleh para psikolog dikaitkan dengan teori kesadaran (consiousness). Kesadaran menurut psikologi lama disamakan dengan pikiran (mind). 

Pada perkembangan berikutnya, kesadaran diartikan dengan sebagai tingkat kesiagaan individu pada saat tertentu terhadap stimuli eksternal dan internal. 

Artinya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan dan sensasi tubuh, memori dan pikiran.

Menurut Freud dalam Interpretation of Dream yang dikutip Rita Atkinson, mimpi merupakan produk mental yang dapat dipahami dan diinterpretasikan. 

Mimpi juga sebuah upaya yang tersembunyi untuk penentuan sebuah harapan. Mimpi merupakan jalan kerajaan menuju alam bawah sadar dan keinginan atau ketakutan bawah sadar dalam bentuk yang disangkal. 

Mimpi merupakan bentuk, isi, dan kegiatan yang paling primitif dari jiwa seseorang. Freud membedakan antara isi mimpi manifes (isi mimpi yang benar berlangsung pada pemimpi) dan isi mimpi laten (isi mimpi yang tersembunyi atau terpendam yang harus ditafsirkan melalui teknik penafsiran mimpi). 

Dengan mengungkap isi manifes dari suatu mimpi dan kemudian mengasosiasi bebaskan isi mimpi, ahli analisis dan klien berupaya mengungkap makna bawah sadar. 

Interpretasion Dream adalah proses penguraian dan pemberian makna satu impian Prosedur yang digunakan oleh kaum psikoanalisis adalah menyuruh pasien melakukan asosiasi bebas disekitar isi impiannya, samapai sifatnya yang bercorak pengabulan impian khayalnya menjadi jelas kelihatan.

Penggunaan secara sunguh-sungguh juga dilakukan untuk menafsirkan simbol impian. Sebagian simbol dianggap sebagai universal sifatnya dan dapat ditafsirkan dengan segera, misalnya air mengalir meambangkan kelahiran. 

Banyak simbol menggunakan hal yang aneh bagi pribadi pemimpi dan harus ditafsirkan lewat proses asosiasi bebas.

Freud meyakini bahwa struktur id, ego dan super ego memegang peranan penting dalam kepribadian. Secara umum, mimpi diharapkan mampu memberi solusi-solusi penting. 

Namun tidak semua mimpi bisa langsung dipahami, dan mustahil untuk benar-benar yakin bahwa sebuah mimpi tidak sedang mencoba untuk memberikan sesuatu yang bisa menjelaskan sekaligus memberi makna.

Mimpi memiliki sebuah wadah, lokus, dan suatu keadaan di dalam dunia imajinasi. Lokus mimpi adalah wilayah elemental; ia tidak memiliki lokus lain.

Para malaikat tidak pernah mengalami mimpi, karena mimpi hanya milik makhluk yang mendiami wilayah elemental. Lokus mimpi adalah sebagian dari ilmu Tuhan, yakni transmutasi melalui bentuk-bentuk penyingkapan diri. 

Maka, segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi tiada lain adalah kebenaran yang terbungkus di dalam kelelahan dan kepenatan kita.

Pada dasarnya mimpi memiliki formulasi orisinal, yakni: 

  1. A manifest content, yaitu sebagai experienced, reported and remember. Biasanya mimpi yang demikian isinya masih dapat kita ingat ketika pagi hari. 
  2. A laten content, yaitu yang dapat ditemukan maknanya melalui interpretasi. 
Sebelum adanya penafsiran, arti mimpi itu bisa dipakai secara jelas. Ketika manusia mengalami mimpi, itu bisa muncul sebagai reaksi terhadap unsur-unsur penganggu yang ditimbulkan oleh rangsangan yang menyebabkan mimpi. 

Klarifikasi rangsangan mimpi itu bisa dikategorikan menjadi empat variabel yaitu: 

  1. Rangsangan inderawi ekternal (berorientasi pada objek); 
  2. Rangsangan inderawi internal (berorientasi pada subjek); 
  3. Rangsangan fisik internal (berorientasi pada organ-organ tubuh); dan 
  4. Sumber-sumber rangsangan psikis murni.

Perwujudan mimpi adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur. 

Bahkan dalam keadaan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainnya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.

Macam-Macam Mimpi

Dalam tradisi keislaman, khususnya tasawuf, dikenal dua istilah untuk kata mimpi yakni:

  1. ahlâm dan 
  2. ru’yâ. 

Kata ahlâm adalah jamak dari hulm yang berasal dari kata halama, yahlumu, hulm. Kata ini dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan kata adghâth (jamak dari daghth) untuk menunjukkan arti kecemasan-kecemasan ilusif, ketercampuran yang membingungkan, dan membutuhkan kejelasan apa yang dilihat dan kuatnya gambaran yang hadir. 

Dengan kata lain bahwa mimpi jenis ini selalu menunjukkan mimpi campur aduk yang tidak jelas maknanya dan untuk menunjukkan kekacauan, atau bermakna mimpi buruk seperti nightmare dalam bahasa Inggris. 

Mimpi ini selalu dikaitkan dan disandarkan kepada setan. Hal ini berdasarkan penjelasan nabi dalam salah satu hadisnya. Sementara itu kata al-ru’yâberasal dari akar kata ra`â, yarâ, ra’y atau ru’yah yang berarti melihat. 

Kata-kata tersebut, walaupun berasal dari akar kata yang sama namun menghasilkan variasi retoris karena perbedaan konteks-konteks penandaannya. Al-ru’yah dipergunakan untuk penglihatan indrawi dalam keadaan sadar, dalam bahasa Ibnu Hajar al-`Asqalânî disebut al-khawâtir. 

Sedangkan al-ru’yâ adalah melihat dalam keadaan tertidur, dan al-ra’yu menunjukkan pemikiran dan simbol-simbol.

Al-Ru’yâ, mimpi yang benar, menurut al-Asqalani, membawa pesan penting berupa kabar baik dari Allah sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan perbuatan baik, atau memberinya petunjuk, atau bahkan membawa pesan yang merupakan peringatan dari-Nya yang berkenaan dengan dosa kita 

Sehingga kita akan lebih berhati-hati dan berusaha menjauhi perbuatan maksiat. Mimpi ini sangat jelas dan tidak mudah kita lupakan. 

Al-Ghazâlî mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti dan tidak mengetahui hakikat mimpi ini, dia tidak akan tahu hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam mimpi tersebut, seperti hakikat bermimpi para rasul serta hakikat bermimpi bertemu Allah.

Mimpi yang benar ialah gambaran yang benar menurut akal batiniah, yang mengungkapkan kebenaran yang kokoh, yang tersimpan dalam benak, yang bahasanya benar, dan menunjukkan makna yang konsisten.

Macam-macam mimpi itu sebagai berikut ini. 

1. Mimpi yang benar dan menjadi kenyataan. 

Mimpi ini menginformasikan kebenaran mimpi. Mimpi demikian merupakan bagian dari kenabian. Mimpi yang benar ini terbagi menjadi tiga, yaitu 

  1. Mimpi yang transparan, jelas, nyata dan kata-katanya menerangkan kenyataan. Karenanya, isi mimpi tidak memerlukan penjelasan dan penta’wilan. 
  2. Mimpi yang tersembunyi, tersamar dan mengandung hikmah serta pemberitahuan. Jenis mimpi ini memerlukan penafsiran. 
  3. Mimpi yang baik. Mimpi ini menginformasikan kabar gembira dari Allah, misalnya memimpikan kebaikan, seperti bermimpi melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat Nabi dan orang-orang saleh.

2. Mimpi simbolis atau bisikan. 

Mimpi simbolis bersifat metaforis dan harus ditafsirkan . Mimpi ini dipahami dengan cara yang sama seperti memahami peribahasa lolos dari mulut harimau masuk dalam mulut buaya yakni menyatakan seseorang pindah dari suatu bahaya ke bahaya lainnya. 

Mimpi simbolis atau bisikan adalah mimpi yang terjadi dan dapat menjelaskan masalah yang rumit yang sedang dihadapi dalam kehidupan dan tidak mampu memberikan pemecahan yang sesuai, pemecahan tampak dalam bentuk gambaran atau simbol yang logis.

3. Mimpi yang menakutkan. 

Mimpi yang menakutkan adalah yang mengingatkan akan bahaya yang mengancam atau suatu pengaruh yang menganggu. 

Mimpi yang mungkin benar adalah gambaran yang merefleksikan berbagai pikiran atau perbuatan manusia. 

Perilakunya ketika sadar disampaikan kepada hatinya, lalu dia melihat perilaku tersebut di dalam mimpi. 

Mimpi kosong atau mimpi yang tidak bermakna yaitu bagian bagiannya tidak dapat dipahami
oleh pemimpi itu sendiri atau kejadiannya tidak dapat diingat secara sistematis, maknanya berlainan tidak sinkron dengan masalah pokok. 

Halusinasi dan mimpi berjimak, mimpi yang menakutkan, mengejutkan, mimpi hantu dan mimpi perbuatan hasud. 

Mimpi tentang peristiwa yang telah terjadi. Mimpi yang kacau balau, yaitu mimpi yang dialami manusia ketika mengalami kegalauan jiwa.

Al-Kindi berbicara tentang empat masalah mimpi dan menafsirkan sebab-sebab terjadinya. Empat macam mimpi ini adalah 

  1. Al-Ru’yâ al-Tanbi’iyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang belum terjadi. 
  2. Al-Ru’yâ al-Ramziyyah, yaitu mimpi di mana orang melihat segala sesuatu yang menunujukkan atas sesuatu yang lain atau melambangkan sesuatu yang lain.
  3. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang menunjukkan atas kebalikannya. 
  4. Mimpi di mana orang melihat sesuatu yang tidak benar.
Selanjutnya, Jung membagi isi mimpi dalam dua katagori.

1. Mimpi-mimpi besar yaitu isi mimpi yang banyak terdapat pada bayangan-bayangan arkhetipe. 

Disampaikan oleh Chaplin bahwa archetype (arkhetipea) adalah isi kejiwaan sejak zaman purba dari
ketidaksadaran rasial, terdiri dari atas ide-ide dan predisposisi-predisposisi (kecenderungan) yang diwarisi. 

2. Mimpi-mimpi kecil yaitu isi mimpi yang berhubungan dengan pikiran-pikiran sadar dari pemimpi. 

Mimpi memiliki lambang atau simbol yang dapat diinterpretasi melalui tiga metode, yaitu
metode amplikasi, metode rangkaian mimpi dan metode imaginasi aktif.

Shodiq mengatakan bahwa mimpi yang benar dan dusta keluar dari tempat yang sama, yakni al-qalbu. Adapun mimpi yang dusta (ru’ya al-kadzibah) yang bermacam-macam kabar (mukhtalifah) adalah apa yang dialami di awal malam, yang berasal dari setan. 

Sedangkan Qutaibah berpendapat bahwa waktu mimpi yang paling benar terdapat pada sebelum Subuh dan pada tengah hari setelah Zhuhur (al-qailulah). Waktu yang benar adalah waktu bersinarnya cahaya dan masa berbuahnya buah-buahan.

Mimpi Dalam Hadist

Dalam hadis Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga jenis ru’ya, yaitu

  1. Mimpi baik yang merupakan khabar gembira dari Allah.
  2. Mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaitan dan 
  3. Mimpi yang disebabkan oleh perhatian manusia terhadap sesuatu atau hal-hal yang telah berada di alam bawah sadarnya. 

Biasanya yang ketiga ini masih standar dan jarang dikaji ulama, karena bersifat keduniawian semata, walaupun ulama seperti Azzahrani menguraikannya dengan panjang lebar. 

Al Qur’an, sebagai kitab paripurna, mengisahkan banyak sekali ru’ya yang menimpa para nabi. Misalnya tentang ru’ya nabi Ibrahim Alaihi Sallam.

Dalam salah satu bab di bukunya Freud menjelaskan tentang kerja mimpi bahwa pikiran mimpi dan isi mimpi mampu menampilkan diri sebagai dua deskripsi dari isi yang sama dalam dua bahasa yang berbeda; 

Atau dengan kata yang lebih jelas, isi mimpi tersebut tampaknya sebagai terjemahan dari
pikiran mimpi ke cara lain dalam berekspresi, di mana simbol dan hukum komposisinya harus kita pelajari dengan membandingkan asal-usulnya dengan melakukan penafsiran.

Baik al-hulm maupun al-ru’yâ sering terjadi dalam kondisi tidur. Al-Kindî mengatakan bahwa tidur adalah pengambilalihan jiwa atas seluruh alat inderawi. 

Keadaan tidur dapat dicapai saat manusia tidak menggunakan indera eksternalnya walaupun pada saat itu ia berada dalam proses berpikir yang mendalam, karena jiwa pada dasarnya tidak pernah tidur, bahkan ia selalu tahu dan sadar (al-Shirazi, 1419 H). 

Mimpi memiliki sebuah wadah, lokus, dan suatu keadaan di dalam dunia imajinasi. Lokus mimpi adalah wilayah elemental; ia tidak memiliki lokus lain. 

Para malaikat tidak pernah mengalami mimpi, karena mimpi hanya milik makhluk yang mendiami wilayah elemental. 

Lokus mimpi adalah sebagian dari ilmu Tuhan, yakni transmutasi melalui bentuk-bentuk penyingkapan diri. Dengan begitu, segala sesuatu yang terjadi dalam mimpi tiada lain adalah kebenaran yang terbungkus di dalam kelelahan dan kepenatan kita. 

Perwujudan mimpi adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak tenggelam dalam tidur.

Mimpi Dalam Al Qur'an

Menurut al-Uraini, mimpi memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Hal ini dibuktikan lewat perhatian al-Qur’an dan hadis terhadap mimpi.

Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang keinginan Ibrahim as. untuk menyembelih putranya yang didasarkan atas mimpi yang ia alami, sedangkan sang putra Ismail alaihi sallam. mematuhinya sebagaimana dijelaskan dalam (QS. Ash-Shaffat:102-10). 

Dalam surat al-Fath juga ditemukan kisah mimpi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masuknya beliau ke Makkah bersama para sahabatnya dengan aman, dan ternyata mimpi itu terwujud dalam tahun pembukaan kota Makah) sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Fath ayat 27.

Dalam al-Qur`an mimpi diistilahkan dengan al-ru’ya yang artinya penglihatan dalam keadaan tidur, disebut juga al-busyra yang berarti kabar gembira, sedikit berbeda dengan al-ru’yah yang artinya melihat dengan mata kepala.

Kata al-ru’ya dalam al-Qur`an disajikan dengan bentuk dan perubahan sebagai berikut. 

  1. Dengan masdar yaitu lafaz yang tidak terikat oleh waktu yaitu lafaz ar- ru’ya (penglihatan). 
  2. Dengan menggunakan fiil mudhari yaitu kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang sedang atau akan dilakukan seperti ara filmanam (aku melihat dalam tidur) arani (kulihat diriku) inni ara (sesungguhnya aku melihat). 
  3. Dengan fiil madhi yaitu bentuk kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang sudah dilakukan atau sudah terjadi seperti raaitu(aku telah melihat).

Selain kedua istilah tadi, dalam al-Qur`an juga kita temukan kata أضغاث (adghast) (yang berarti bercampur atau kalut maka dia tidak memiliki arti), 

Itu yang digambarkan dalam surah Yusuf ayat 44 di mana para pembesar al-Malik (raja Mesir) di masa Nabi Yusuf alaihi sallam Menduga mimpi raja ketika itu sebagai adghās al ahlam karena bercampurnya mimpi dengan mengatakan: itu adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta'birkan mimpi itu (Sya’rawi, ????). 

Adghatsu ahlam merupakan suatu mimpi yang sulit ditafsirkan karena kekalutannya. Inilah yang kemudian banyak dikaji oleh  psikolog modern, karena mimpi ini terklasifikasi sebagai tampilan yang berupa simbol-simbol, lambang dan sandi-sandi.

Ru’ya berupa kabar gembira atau peringatan untuk berhati-hati, adapun hilm adalah mimpi yang bersumber dari syaitan yang berisikan hal-hal yang tidak disukai berupa kesedihan, hal-hal yang minimbulkan fitnah, tipu daya, cemburu, dan sebagainya.

Ru’ya yang diterangkan al-Qur’an mempunyai pengaruh besar terhadap pendapat para pemikir muslim. Mereka menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang tepat. Dalam al-Qur’an. Al-Alusi mengemukakan dalam tafsirnya.

“Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari Salm bin’Amir bahwasannya ‘Umar bin al-Khathab berkata, “Yang mengherankan dari mimpi seseorang adalah ia bermalam lalu melihat sesuatu yang tidak terlintas dalam pikirannya, kemudian jadilah mimpinya itu bagaikan memegang tangan. 

Ada juga orang yang bermimpi, tetapi mimpinya tak menjadi apa-apa.” Berkatalah Ali radiallahu 'anhu, “Maukah anda saya beri tahu tentang itu, wahai Amirul Mukmini? Allah berfirman; 

“Allah mengambil jiwa-jiwa ketika matinya dan jiwa orang-orang yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia menahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kaematiannya dan melepaskan jiwa yang lain sampai batas waktu yang telah ditentukan...(QS. Az-Zumar: 39:42).

Jadi Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengambil jiwa-jiwa itu semuanya. Apa yang terlihat saat itu berada pada hadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala di langit, itulah mimpi yang benar. 

Apa yang terlihat ketika ia dilepaskan kembali ke jasad-jasadnya, itulah mimpi yang dusta. Bila mimpi adalah satu-satunya wahyu permulaan dan berita gembira yang dapat diambil setelah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka tentunya mimpi merupakan hal yang meski diperhatikan pesan-pesan didalamnya. 

Namun perlu diingat bahwa tidak semua mimpi memiliki makna sesuai dengan hadis berikut:

ا لر ء يا ثلا ث حد يث النفس و ختو يف اتشيطا ن و بشر ا من الله

Mimpi itu ada tiga macam hadis al-nafsi, (bisikan jiwa) ketakutan yang bersumber dari syaitan dan kabar gembira dari Allah subhanhu wa ta'ala.

Ditemukan pengaruh al-Qur’an yang sangat jelas pada penjelasan para filosof tentang mimpi. Ibnu Sina umpamanya menjelaskan bahwa mimpi yang benar terjadi sebagai akibat dari hubungan jiwa dengan malakut atau alam malaikat pada saat tidur (akal aktif). dan diperoleh wahyu atau ilham darinya. Adapaun mimpi yang kacau balau, menurutnya terjadi lantaran pengaruh sensasi fisik.

Hubungan Mimpi Dengan Gangguan Mental

Hubungan mimpi dengan gangguan mental menurut sigmund Freud terbagi dalam 3 macam. 

1. Penyebab abnormalitas dan hubungan klinis dari mimpi sebagai gambaran, petunjuk, atau sisa kondisi kegilaan. 

2. Modifikasi kondisi mimpi menjadi bahasan uama dalam penyakit mental. 

3. Hubungan intrinsik antara mimpi dan kegilaan dalam bentuk analogi menunjukan hubungannya yang dekat secara esensial.

Freud menjelaskan bahwa mimpi itu salah satu dari gejala psikologis yang mengungkapkan kegiatan-kegiatan yang paling primitif dari jiwa manusia.

Dengan mimpi seseorang berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan suatu gambaran tentang tujuan yang diinginkan.

Mimpi dan perilaku mempunyai korelasi yang signifikan, hanya saja apakah mimpi yang mempengaruhi perilaku, atau sebaliknya, perilaku yang mempengaruhi mimpi. 

Jika hipotesis pertama yang diterima, maka mimpi yang indah dan baik, secara psikologis, akan berimpilkasi poistif bagi perilaku lahiriyah seseorang, sebaliknya, mimpi yang buruk akan berpengaruh negatif terhadap perilaku seseorang. 

Namun jika hipotesis kedua yang diterima, maka perilaku baik seseorang akan mengakibatkan mimpi yang indah, dan perilaku yang buruk akan berakibat negatif bagi mimpi seseorang. 

Hipotesis manapun yang benar, yang jelas seseorang akan berbahagia jika dalam mimpinya merasakan keindahan dan menyenangkan. 

Demikian juga sangat menderita bagi seseorang yang dalam mimpinya merasakan hal-hal yang buruk-buruk dan menyeramkan. Halusinasi, mimpi berjimak, mimpi yang menakutkan, mengejutkan, mimpi hantu dan mimpi perbuatan hasud.

Mimpi tentang peristiwa yang telah terjadi. Mimpi yang kacau balau, yaitu mimpi yang dialami manusia ketika mengalami kegalauan jiwa.

Begitu juga dengan mimpi yang berkualitas. Ia dapat memberikan implikasi terhadap mood seseorang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kramer. 

Hasil penelitian tersebut dapat ditemukan dalam studi Purnamaki yang menunjukkan hasil penelitiannya bahwa tidur dan mimpi seseorang berpengaruh terhadap mood orang tersebut di pagi hari. 

Tidur dan mimpi yang positif menjadikan mood yang ada dalam diri seseorang dalam keadaan positif, yang menjadikannya dapat mengatur atau mengelola emosinya secara optimal .

Mimpi pada kategori awal adalah bisikan hati yang terjadi karena sebelum tidur seseorang memiliki angan-angan, keinginan dan yang semisalnya yang memenuhi pikirannya 

Sehingga terbawa dalam tidur, jenis inilah yang dikemukakan Freud melalui teori pemadatan (condensation) dan pemindahan (displacement) di mana mimpi sebagai jalan pemenuhan keinginan (wish-fulfillment) dari alam bawah sadar yang kita represi. 

Ketika manusia mengalami mimpi, itu bisa muncul sebagai reaksi terhadap unsur-unsur penganggu yang ditimbulkan oleh rangsangan yang menyebabkan mimpi.

Klarifikasi rangsangan mimpi itu bisa dikategorikan menjadi empat variabel:

  1. rangsangan inderawi ekternal (berorientasi pada objek); 
  2. rangsangan inderawi internal (berorientasi pada subjek); 
  3. rangsangan fisik internal(berorientasi pada organ-organ tubuh); dan 
  4. sumber-sumber rangsangan psikis murni.

Sementara itu mimpi pada ketegori kedua merupakan permainan dan gangguan syaitan yang bermaksud melahirkan rasa takut dan sedih pada diri manusia yang mengakibatkan murung, lesu dan penuh kekhawatiran yang terbawa sampai saat orang itu terjaga.

Kedudukan Mimpi Dalam Psikologi Islam

Teori-teori mimpi kepribadian Barat kontemporer sangat berbeda dengan konsep mimpi dalam kepribadian Islam, Freud misalnya melihat mimpi sebagai via regina, yaitu jalan utama yang menghantarkan ke arah ketidaksadaran. 

Ia merupakan produk psikis yang merupakan konflik-konflik daya psikis. Jadi mimpi itu merupakan perwujudan suatu konflik.

Jung juga menyatakan bahwa mimpi merupakan cara lain dari adanya mimpi tersebut di dunia. Isi mimpi harus diterima sebagai hal-hal yang memiliki arti, sebab mimpi dari bagian sadar. Mimpi merupakan kegiatan pengungkapan,bukan penyembunyian eksistensi.

Jung melihat mimpi sebagai kompensasi bagi aspek-aspek pemimpi yang diabaikan dalam kehidupan sadar. Mimpi merupakan produk psikis yang tidak sengaja, spontan, dan suara dari alam. 

Mimpi memberikan gambaran tentang kondisi dalam dan luar bagi pelakunya. Mimpi menjadi obyektif apabila diimpikan oleh sekelompok masyarakat tentang kegiatan sehari-hari.

Beberapa pendapat psikolog di atas, dapat dipahami bahwa mimpi merupakan produk psikis manusia. Tak satupun di antara mereka berteori bahwa sumber mimpi berasal dari dunia eksternal, seperti bisikan atau isyarat di luar mimpi.

Lain halnya dalam psikologi Islam, menurut Al-Farâbî, menyatakan bahwa pada saat manusia tidur, daya imajinasi dapat mengakses sketsa-sketsa inderawi yang disimpan. 

Selanjutnya daya imajinasi menyusun dan memisahkan sketsasketsa tersebut dan kemudian melakukan imitasi dengan menyusun sketsa inderawi yang tersimpan sesuai dengan pengaruh yang manusia alami pada saat tidur.

Terkadang daya imajinasi dapat menerima hal-hal yang rasional karena menirunya dan hal-hal inderawi yang menjadi strukturnya, dan kadang-kadang menerima halhal inderawi seperti yang ia khayalkan atau dengan menirunya melalui hal-hal inderawi lainnya.

Menurut Ibnu Khaldun, mimpi ialah sebuah kesadaran yang timbul dalam jiwa rasional, yang berada dalam spiritualnya, sebagai percikan dari bentuk- bentuk peristiwa. 

Begitu jiwa itu menjadi jiwa spiritual, maka bentuk- bentuk peristiwa itu memiliki eksistensi yang aktual didalamnya, sebaimana yang terjadi dengan semua esensi spiritual lainnya.

Shadiq mendefinisikan mimpi sebagai berikut: seorang mukmin, jika ia tidur, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala menaikkan ruhnya, lalu jika waktu wafatnya telah tiba, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.pun menaruh ruh tersebut di taman surga dengan cahaya rahmatdan keagungan-Nya. 

Jika ajalnya belum tiba, Allah-pun menyuruh malaikat-Nya untuk mengembalikan ruh tersebut ke jasad semula.

Dari pendapat ahli psikologi Islam di atas dapat disimpulkan, bahwa tidur secara jasmaniah merupakan kondisi istirahat manusia. Sewaktu tidur, komponen-komponen biologis tertentu tidak aktif sampai ia terjaga. 

Secara ruhaniah, di saat tidur, ruh manusia dapat melepaskan diri dari ikatan sunnah badan manusia untuk sementara waktu. Tidur adalah pisahnya ruh dari jasad manusia. 

Jasad manusia tertidur, sementara ruh tetap hidup (terjaga) dan dapat beraktivitas sesuai dengan sunnahnya. Karena tidak terikat oleh sunnah badan, maka ruh dapat memainkan fungsinya dan sunnahnya seluas-luasnya yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu. 

Di dalam tidur, ruh mampu menembus segala alam tanpa ada halangan yang berarti, baik alam empiris biologis maupun alam arwah.

Berbeda dengan psikologi Barat, analisis Freud dan yang semazhab dengannya hanya berkutat pada area sensoris saja, Islam menjadikan mimpi sebagai hal yang bermakna dan menarik seseorang pada nilai keimanan dan memiliki implikasi nyata dalam kehidupan 

Karena mimpi tidak terjadi dengan sendirinya, mimpi juga bukanlah semata-mata aktivtas inderawi, pengendapan cita-cita, kelanjutan berpikir apa lagi problem seksual dan nafsu seperti pada tafsir mimpinya Freud. 

Islam menjadikan mimpi sebagai salah satu start mulainya taklif hukum yang diistilahkan dengan awal baligh, lebih dari itu mimpi bisa jadi petunjuk atas sebuah kisah yang penuh ibrah bagi rekosntruksi iman.

Karena itu, Nabi gambarkan dalam hadisnya: “Ketika kiamat telah mendekat, mimpi seorang muslim hampir tidak ada dustanya. Mimpi orang muslim adalah termasuk satu dari empat puluh enam bagian kenabian”.

Mimpi dalam psikologi Islam adalah sebuah hal yang diakui keberadaannya karena terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam yang tentunya memiliki fungsi dan tujuan bahkan mimpi adalah bagian dari kenabian.

Kesimpulan

Tidur dan mimpi oleh para psikolog, dikaitkan dengan teori kesadaran (consciousness). Kesadaran menurut psikologi lama disamakan dengan pikiran (mind). 

Pada perkembangan berikutnya, kesadaran diartikan dengan sebagai tingkat kesiagaan individu pada saat ini terhadap stimuli eksternal dan internal. Artinya terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan dan sensasi tubuh, memori dan pikiran. 

Mimpi dan perilaku mempunyai korelasi yang signifikan, hanya saja apakah mimpi yang mempengaruhi perilaku, atau sebaliknya, perilaku yang mempengaruhi mimpi.

Dalam psikologi Islam mimpi bukan hanya dorongan bawah sadar semata, tapi lebih dari itu, mimpi merupakan interpretasi dari pengalaman yang diperoleh ruh selama manusia berada dalam tidurnya. 

Saat tidur berlangsung ruh melepaskan diri dari tubuh dan melancong ke berbagai tempat dan kembali pada saat terbangun. 

Lebih lanjut, psikologi Islam mengatakan bahwa ruh yang sedang melancong tersebut berada di alam arwah di mana hukum ruang dan waktu dan segala dimensinya tidak berlaku, serta terbebas 

Sementara waktu dari kotoran-kotoran tubuh dan hawa nafsu, yang turut membantu akal untuk menyelesaikan problem yang menyulitkannya dalam keadaan terjaga.

Mimpi memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Hal ini dibuktikan lewat perhatian al-Qur’an dan hadis terhadap mimpi. 

Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang keinginan Ibrahim alaihi sallam untuk menyembelih putranya yang didasarkan atas mimpi yang ia alami, sedangkan sang putra Ismail  alaihi sallam. Mematuhinya sebagaimana dijelaskan dalam (QS. Ash-Shaffat: 102-103) 

Dan juga dalam surat al-Fath ditemukan kisah mimpi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tentang  masuknya beliau ke Makah bersama para sahabatnya dengan aman, dan ternyata mimpi itu terwujud dalam tahun pembukaan kota Makah.

0 Response to "Mengenal Apa Itu Mimpi"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak