Berdagang Tanpa Ilmu Agama

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Berdagang adalah salah satu jenis usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Perdagangan yang dilakukan adalah kegiatan tukar menukar barang atau jasa antara penjual dan pembeli. 

Usaha perdagangan dalam ekonomi Islam merupakan usaha yang mendapatkan penekanan khusus, karena keterkaitannya secara langsung dengan sektor riil. 

Penekanan khusus kepada sektor perdagangan tersebut tercermin pada sebuah hadis Nabi yang menegaskan bahwa dari sepuluh pintu rezeki, sembilan diantaranya adalah berdagang. 

Hadist lain juga menegaskan sebaik-baik usaha adalah berdagang. Dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda,

”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).

Ajaran Islam menempatkan kegiatan usaha perdagangan sebagai salah satu bidang penghidupan yang sangat dianjurkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang dibenarkan oleh agama. 

Dengan demikian, usaha perdagangan akan mempunyai nilai ibadah, apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan diletakkan ke dalam kerangka ketaan kepada Sang Pencipta.

Dalam melaksanakan kegiatan berdagang banyak orang yang terjebak dalam lautan kenikmatan yang sesungguhnya dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seperti melakukan kecurangan dengan mengurangi timbangan, melambungkan harga, menyembunyikan kecacatan barang dan sejenisnya. 

Para pedagang memanfaatkan keadaan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melanggar aturan main yang ditetapkan agama.

Pedagang sembako (sembilan bahan pokok) misalnya menaikkan harga dengan memanfaatkan kondisi dimana pembeli (konsumen) benar-benar sangat membutuhkan suatu barang tanpa memikirkan bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kecurangan. 

Harga sembako (sembilan bahan pokok) melambung tinggi tidak saja pada hari-hari besar keagamaan, tetapi juga mengalami kenaikan pada hari-hari biasa, serta faktor alam, produksi dan lain sebagainya yang terkadang dijadikan para pedagang sebagai alasan untuk menaikkan harga. 

Harga kebutuhan pokok melambung tinggi berdampak pada masyarakat kecil dan para pelaku usaha mikro kecil menengah. 

Sembako (sembilan bahan pokok) adalah suatu komoditas yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia di dunia dikarenakan sembako (sembilan bahan pokok) bahan dasar makanan yang dikonsumsi oleh manusia. 

Oleh sebab itu, tidak boleh ada eksploitasi pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yang besar.

Imam Ghazali mengatakan bahwa motivasi perdagangan adalah mencari keuntungan. Imam Ghazali mengidentifikasikan produk makanan sebagaikomoditas dengan kurva permintaan yang inelastis. 

Sebab kata Imam Ghazali makanan adalah kebutuhan pokok, perdagangan makanan harus seminimal mungkin didorong oleh motif mencari keuntungan untuk menghindari eksploitasi melalui pengenaan harga yang tinggi dan keuntungan yangbesar.

Keuntungan semacam ini kata Imam Ghazali sebaiknya dicari dari barang-barang yang bukan kebutuhan pokok”.

Islam tidak membolehkan mengambil keuntungan yang berlebihan yang tidak sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Hadist. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan dalam Surat al-An’aam ayat 141:

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ جَنّٰتٍ مَّعْرُوْشٰتٍ وَّغَيْرَ مَعْرُوْشٰتٍ وَّالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا اُكُلُهٗ وَالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهٖٓ اِذَآ اَثْمَرَ وَاٰتُوْا حَقَّهٗ يَوْمَ حَصَادِهٖۖ وَلَا تُسْرِفُوْا ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَۙ

Artinya: dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Ayat tersebut secara jelas melarang untuk tidak berlebih-lebihan. Seorang pedagang juga tidak boleh mengambil keuntungan yang berlebih-lebihan dari penjualan kebutuhan pokok dengan memanfaatkan suatu keadaan dengan mempermainkan harga pada saat seorang pembeli sangat membutuhkan kebutuhan pokok dengan memainkan tingkat harga.

Dalam konsep Islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa pada tingkat harga tersebut.

Artinya penjual harus menjelaskan kondisi sebenarnya dari barang-barang yang akan di jual. Tingkat
harga yang Islami adalah tingkat harga yang adil; tidak ada pihak yang menzalimi baik untuk produsen maupun untuk konsumen.

Nabi melarang adanya penetapan harga karena hal itu sudah menjadi ketentuan Allah dan telah menjadi mekanisme pasar yang telah terbentuk.

Namun, apabila terajdi pelanggaran terhadap harga pasar, misalnya penetapan harga dengan cara dan alasan yang tidak tepat, merupakan ketidakadilan yang akan dituntut pertanggung jawabannya dihadapan Allah. 

Sebaliknya, penjual yang menjual dengan harga pasar laksana orang yang berjuang di jalan Allah,
sedangkan penjual yang menetapkan harga sendiri termasuk sebuah perbuatan yang ingkar kepada Allah.

Salah satu fungsi dari tingkat harga adalah indicator yang menjadi pendorong motivasi kegiatan perekonomian. 

Bagi konsumen, harga pasar dapat dijadikan dasar untuk menentukan seberapa besar kesehjateraan yang di peroleh dari tingkat harga tersebut, selanjutnya akan diketahui besarnya surplus konsumen yang ia dapatkan. 

Sebaliknya, bagi produsen harga pasar merupakan indikator untuk melakukan kegiatan produksi yang menghasilkan keuntungan, ini menurut teori ekonomi konvensional.

Sedangkan menurut ekonomi Islam dalam perolehan keuntungan tersebut haruslah sesuai dengan nilai dan moral Islami. Sedangkan dalam ekonomi konvensional tidak berlaku hal tersebut.

Dengan sendirinya dalam pasar Islami, nilai dan moral Islam para pelaku ekonomi akan mempengaruhi tingkat harga yang terbentuk.

Mekanisme pembentukan harga yaitu hasil interaksi dari permintaan dan penawaran. Dan kesepakatan ini sudah ada sejak awal bahkan Nabi pun menyadari bahwa harga barang terbentuk dari mekanisme permintaan dan penawaran.

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, tidak menginginkan adanya intervensi pasar karena menurut nabi sudah ketentuan dari Allah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, hal ini tercermin dari hadist nabi sebagai berikut:

Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Hajjaj bin Minhal menceritakan kepada kami dari Qatadah, Tsabit dan Humaid dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata, 

“Pada Rasullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, harga bahan-bahan pokok naik, maka para sahabat barkata kepada Rasullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, “Wahai Rasullah , tetapkanlah harga barang untuk kami”. Rasullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam menjawab,

“Sesungguhnya hanya Allah yang berhak menetapkan harga, MahaMenyempitkan, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi rezeki, dan aku berharap, ketika aku berjumpa dengan Tuhanku, tidak ada seorang pun dari kalian yang menetukan harga karena suatu tindakan zhalim baik yang menyangkut darah maupun harta.”

Selain kesepakatan antara pembeli dengan penjual, terdapat pedoman lain jual beli Islami yaitu ‘an taraadhin minkum suka sama suka di antara kamu,

yang lebih jelasnya yaitu Q.S. an-Nisa (4): 29 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Pelaku pasar cenderung mengarahkan aktivitas ekonominya kepada hal yang negatif seperti curang, tipu daya, permainan harga, memanipulasi timbangan. Dalam kondisi ini, ajaran Islam mengenal sistem Hisbah, institusi pengawas pasar.

Islam mewajibkan pemerintah melakukan intervensi pasar dan intervensi harga dalam rangka melindungi hak pembeli dan penjual.

Pada saat sekarang para pedagang sembako (sembilan bahan pokok) banyak memanfaatkan suatu keadaan untuk memperoleh keuntungan. 

Sembako (sembilan bahan pokok) adalah suatu komoditas yang dibutuhkan oleh semua kalangan baik miskin maupun kaya sebab sembako (sembilan bahan pokok) adalah salah satu kebutuhan primer bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. 

Tingkat harga yang Islami adalah tingkat harga yang adil; tidak ada pihak yang menzalimi baik untuk produsen maupun untuk konsumen. 

Terdapat indikasi bahwa sebagian pedagang kurang memahami bahwa menaikkan harga untuk memperoleh suatu keuntungan yang besar di luar kewajaran adalah suatu hal yang sah-sah saja demi memperoleh keuntungan. 

Hal ini disebabkan mungkin tingkat pendidikan dan kurangnya pengawasan terhadap pedagang yang dilakukan oleh instansi terkait.

0 Response to "Berdagang Tanpa Ilmu Agama"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak