Pemahaman yang Menyesatkan

Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du, Ada beberapa pemahaman menyimpang di masyarakat tentang harta haram, yang menjadi penyebab mereka tidak merasa takut ketika mengambil harta haram. 

Berikut di antaranya:

Pertama, Yang Penting Shalat, Banyak Ibadah, Beres!!

Seorang anggota DPR yang sering makan suap menyampaikan prinsip hidupnya, bahwa semua bentuk pelanggaran suap, pungli, korupsi, dst., semuanya bisa tertutupi dosanya dengan shalat dan tahajud.

“Sing penting ki shalat, rajin ngibadah, tahajud, kabeh beres.”

(Yang penting itu shalat, rajin ibadah, tahajud, semua beres)

Saya mendengar kalimat ini dari salah satu rekan kontraktor.

Dia menyampaikan ucapan salah satu anggota DPRD yang menurutnya semua pelanggaran masalah dana negara bisa selesai dengan shalat dan tahajud.

Pengalaman yang sama, saya pernah menyampaikan kajian tentang muamalah pegawai di sebuah instansi pemerintahan. Saya sampaikan tentang bahaya mengambil dana negara, uang haram, dan sejenisnya yang itu semua akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Hingga suasana kajian sedikit tegang.

Seusai kajian, moderator menyampaikan, “Yang penting itu menjaga ibadah, melaksanakan shalat, tahajud, puasa, insyaallah semuanya masuk surga, dan jangan lupa sedekah.”

Subhanallah... mereka bersembunyi di balik ibadah untuk bermaksiat. Sungguh ini adalah prinsip yang sangat menyimpang dan harus diluruskan.

Shalat, tahajud, puasa, itu semua adalah ibadah pribadi.

Sementara pelanggaran mengambil harta negara, uang rakyat atau harta haram lainnya, itu pelanggaran sosial, yang bernilai dosa.

Anda bisa simak hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,

“Suatu ketika ada orang yang bercerita kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Ya Rasulullah, ada wanita yang rajin shalat, rajin puasa, rajin sedekah. Namun, dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Dia masuk neraka. (HR. Ahmad 9675 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Laa ilaaha illallaah... sekalipun orang itu rajin ibadah, namun ketika dia mengambil hak orang lain, dia terancam neraka.

Kedua, Yang Haram Jadi Halal jika Dizakati?

Beberapa orang meyakini bahwa harta haram, jika dizakati akan menjadi halal. Alasan mereka, harta haram itu kotor, sedangkan zakat berfungsi menyucikan harta. Setelah dizakati, harta akanbmenjadi suci dan halal. Demikian pemahaman menyimpang ini berkembang.

Yang memprihatinkan, ternyata logika ini tidak hanya dalam dataran teori, tapi hingga menjadi praktek. Ada salah satu penanya di konsultasisyariah.com, yang pernah mengingatkan temannya agar keluar dari bank riba. Namun, dia mengelak dan beralasan, tidak masalah berpenghasilan riba, #0h, nanti kalo sudah dizakati jadi halal.

Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun...

Awas! Setan membisikkan..

Bagian penting yang perlu kita sadari, tidak ada kemaksiatan di alam ini yang dilakukan tanpa alasan.

Ketika Allah mengharamkan bangkai, orang-orang musyrik beralasan, bagaimana mungkin bangkai yang disembelih Allah kalian haramkan, sementara hewan yang kalian sembelih sendiri kalian halalkan??

Di sebuah kompleks kos-kosan orang Indonesia Timur, beberapa anak kos menangkapi ayam tetangga dan menyembelihnya. Ketika diminta tanggung jawab, mereka beralasan, “Inikan milik Tuhan, dan Tuhan ciptakan ini untuk dinikmati bersama, mengapa kamu larang??” (Ini kisah nyata) 

Ketika orang dilarang onani, mereka beralasan, onani itu menyehatkan organ reproduksi. Karena jika tidak dibuang akan terjadi tumpukan sperma yang bisa membahayakan badan??

Ketika #hamr diharamkan, mereka beralasan, #hamr bisa menghangatkan badan dan bisa untuk jamu??

Ketika nonton porno dilarang, mereka beralasan, ini untuk berbagi cara berfantasi, menyegarkan kehidupan rumah tangga??

Ketika syirik dilarang, mereka koar-koar, ini bagian kearifan lokal, yang selayaknya kita pertahankan dan kita lestarikan??

Ketika mereka dilarang mencari penghasilan yang haram, mereka beralasan, nanti kalo sudah dizakati “kan jadi hala1??

Dan masih ada sejuta alasan lainnya, sebagai pembelaan terhadap kemaksiatan.

“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jin, satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia. 

Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.” (OS. Al-An'am: 112-113)

Para ulama menyebut bisikan-bisikan ini sebagai syubhar, yaitu alasan yang merusak pemikiran manusia, sehingga mereka bisa menikmati maksiat tanpa merasa terbebani dengan dosa.

Zakat dan Harta Haram

Allah menyatakan bahwa fungsi zakat adalah menyucikan harta dan jiwa orang yang menunaikannya, 

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (OS. At-Taubah: 103) 

Dan kita memahami, suatu benda bisa dibersihkan dan disucikan, jika asal benda itu adalah suci, kemudian kecampuran sedikit kotoran. Bagian kotoran ini yang bisa kita bersihkan.

Berbeda dengan benda yang sejak awalnya kotor atau dia sumber kotoran, dibersihkan dengan cara bagaimanapun, akan tetap kotor.

Sebagai ilustrasi tapi mohon maaf, agak jorok Tinja kering, meskipun dibersihkan dan digosok sampai mengkilap, statusnya tetap najis, karena tinja seluruhnya najis, dan bahkan sumber najis. Sehingga treatment apa pun tidak akan mengubahnya menjadi suci.

Harta haram seluruhnya kotoran, dan ini sumber kotoran. Jika dicampur dengan harta yang halal, justru mengotori harta yang halal itu. Karena itulah, zakat dari harta haram tidak diterima.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah dari harta ghulul.” (HR. Muslim 224, Nasai 139, dan yang lainnya)

Catatan: Apa itu Ghulul?

Dalam Islam, menguasai hak milik umum untuk kepentingan pribadi, baik penguasaan sementara atau selamanya (seperti korupsi), disebut dengan ghulul (harta khianat).

Syaikh Sulaiman al-Bujairami ulama Syafiiyah menyatakan, Dalam Islam, menguasai hak milik umum untuk kepentingan pribadi, baik penguasaan sementara atau selamanya (seperti korupsi), disebut dengan ghulul (harta khianat).

Syaikh Sulaiman al-Bujairami ulama Syafiiyah menyatakan,“Ghulul secara makna bahasa artinya khianat. Namun, istilah ini lebih dikenal untuk menyebut orang yang mengambil harta ghanimah sebelum dibagi.” (Hasyiyah al-Bujairami, 4/394)

Karena Allah Hanya Menerima Amal yang Baik Allah hanya menerima amal yang baik. Demikian pula, Allah hanya akan menerima sedekah maupun zakat dari hasil yang halal.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan Dia tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Ahmad 8348 dan Muslim 2393)

Dalam masalah sedekah, Nabi shallallahu “alaihi wa sallam menegaskan bahwa Allah hanya akan menerima dari hasil yang baik. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bersedekah dengan sebiji kurma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik, Allah tidak menerima, kecuali dari yang halal

lagi baik, maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, kemudian Allah menjaga dan memeliharanya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.” (Muttafag 'alaih)

Najis itu seharusnya dibuang agar tidak mengotori yang lain.

Demikian pula, harta haram seharusnya dibuang agar tidak mengganggu harta yang lain.

Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,

“Harta haram semuanya kotor sehingga tidak bisa dibersihkan. Yang wajib dilakukan terhadap harta haram adalah mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, jika memungkinkan untuk mengetahui siapa pemiliknya. Jika tidak, wajib mengeluarkan semua harta haram itu dari wilayah kepemilikannnya, dalam rangka membebaskan diri dari harta haram, dan bukan diniatkan untuk bersedekah. Ini yang disepakati di antara semua ulama dari berbagai mazhab.” (al-Mausu'ah al-Fighiyah, 23/249)

Demikian, Allahu a'lam.

0 Response to "Pemahaman yang Menyesatkan"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak