Definisi Hati, Ruh, Nafsu dan Akal dalam Islam

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.

Definisi Hati, Ruh, Nafsu dan Akal dalam Islam
Definisi Hati

Kata qolbu(hati) banyak disebut didalam Al-Qur’an dan hadis. Namun apakah yang dimaksud qolbu itu adalah qolbu yang ada di dada (jantung). 

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Yang disebut qolbu dalam Al-Qur’an dan hadis bukan jantung yang di dada. Qolbu ini adalah unsur yang tidak terindra, bersifat spiritual dan memiliki hubungan yang erat antara jantung, otak, sistem indra dan sistem syaraf manusia. 

Sekalipun hubungannya sangat erat, namun bentuknya belum diketahui pasti. Untuk mengetahui hal ini mari kita lihat ayat dan hadis berikut. 

Ayat dan hadis yang menunjukan bahwa hati terletak di jantgung :

Kejadian ini terekam dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

عَنْ أَنَسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ ، فَأَخَذَهُ ، فَصَرَعَهُ ، فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً ، فَقَالَ : هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ ، ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ ، ثُمَّ لأَمَهُ وَأَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ ، وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ يَعْنِي ظِئْرَهُ ، فَقَالُوا : إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ ، فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ قَالَ أَنَسٌ : فَكُنْتُ أَرَى أَثَرَ الْمَخِيطِ فِي صَدْرِهِ.

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam. didatangi malaikat Jibril saat beliau sedang bermain bersama anak- anak. Kemudian Jibril mengambilnya, membaringkannya, membelah hatinya, lalu mengeluarkan segumpal darah darinya seraya berkata “Ini bagian setan darimu, kemudian mencucinya dengan air zam- zam dalam bejana yang terbuat dari emas. Setelah itu menjahitnya dan mengembalikan ke tempat semula. Anak-anak berlarian mendatangi ibu susuannya, mereka berkata “Muhammad telah dibunuh”. Lalu mendatang Muhammad dalam keadaan berwajah pucat (karena ketakutan). Anas berkata aku melihat bekas jahitan tersebut di dada beliau.

Allah berfirman, 

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ

"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada".(Surat Al-Hajj Ayat 46)

Firman Allah, yang ada di dalam dada, menjadi penegas bahwa makna hati yang dimaksud ayat ini bukan majazi tetapi jantung.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

        أَلآ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah kalbu (jantung).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sabda Nabi “segumpal daging” menegaskan bahwa hati yang dimaksud adalah qolbu yang terindra bukan qolbu dalam pengertian majazi Sementara Rasulullah tidak mungkin bicara atas dasar hawa nafsu. Apa yang disampaikannya adalah wahyu dari tuhan.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : لاَ تَحَاسَدُوْا ، وَلاَ تَنَاجَشُوْا ، وَلاَ تَبَاغَضُوْا ، وَلاَ تَدَابَرُوْا ، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا ، اَلْـمُسْلِمُ أَخُوْ الْـمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ ، وَلاَ يَخْذُلُهُ ، وَلاَ يَحْقِرُهُ ، اَلتَّقْوَى هٰهُنَا ، وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْـمُسْلِمَ ، كُلُّ الْـمُسْلِمِ عَلَى الْـمُسْلِمِ حَرَامٌ ، دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian jangan saling mendengki, jangan saling najasy, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi ! Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sedang ditawar orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allâh yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka ia tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, dan menghinakannya. Takwa itu disini –beliau memberi isyarat ke dadanya tiga kali-. Cukuplah keburukan bagi seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap orang Muslim, haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya atas muslim lainnya.”

Isyarat Rasulullah yang menunjuk ke dada ketika beliau menjelaskan dimana letak takwa. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda”… dan janganlah kalian saling mendengki! Takwa itu ada di sini ( beliau menunjukan ke dadanya tiga kali.

Itulah dalil-dalil yang menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hati adalah jantung dan jantung itu memiliki hubungan yang tidak terlihat dengan kehendak dan perbuatan manusia

Definisi Ruh

Mari kita perhatikan Firman Allah Ta’ala:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS.Al-Isra: 85).

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa apa dan bagaimana hakikat ruh itu merupakan ilmu yang Allah Ta’ala tidak ajarkan kepada hamba-Nya. 

Akan tetapi ilmu tentang ruh tidak tertutup sama sekali dari seorang hamba, artinya kita bisa mengetahui tentang ruh dengan pengetahuan yang sedikit.

Kita harus memahami bahwa bagaimanapun kita berusaha mencari kita tidak akan mengetahui hakikat ruh. Karena ruh adalah bagian dari kita, maka kita akan mencoba mencari tahu sedikit ilmu yang mungkin bisa kita dapatkan tentang ruh.

Ruh tercipta sebelum jasad kita, bahkan sejak awal penciptaan manusia pertama Nabi Adam ‘alaihissalam, ruh telah diciptakan, kemudian Allah Ta’ala mengambil persaksian dari ruh akan ketuhanannya, bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb (Tuhan) kita.

Kemudian jasad kita tercipta pada Rahim ibu kita, pada umur 4 bulan atau 120 hari ruh yang telah diciptakan terlebih dahulu ditiupkan ke dalam jasad tubuh jasmani kita, sehingga kita mulai menjadi manusia yang hidup dan telah memiliki dua sifat kemanusian yaitu jasmani dan ruhani pada diri seorang anak manusia.

Kemudian Ruh akan terpisah dari jasad pada saat kematian, kemudian kembali menyatu di alam kubur ketika ditanya oleh dua malaikat, dan menyatu secara sempurna ketika kita dibangkitkan di hari kiamat untuk menjalani kehidupan akhirat.

Alam dunia kehidupan jasad yang dominan, alam kubur kehidupan ruh yang dominan dan di akhirat merupakan tempat bersatunya ruh dan jasad secara sempurna.

Apakah ruh mengikuti bentuk jasad?

Syaikh Sholeh Alu Syaikh menjawab tentang hal itu, beliau berkata,”Ruh berbentuk seperti jasad, apabila ruh dipisahkan dari jasad maka bentuk keduanya sama.

Jasad adalah tubuh jasmani kita, ruh adalah makhluk selain jasmani yang hanya Allah yang tahu hakikatnya, adapun bentuk keduanya adalah sama.

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpinya maka dia telah melihat bentukku yang asli, karena setan tidak bisa menampakan dirinya seperti rupaku”.

Seseorang yang melihat Nabi di dalam mimpinya, dia sedang melihat ruh Nabi, karena jasad Beliau telah dikubur. Seseorang yang melihat ruhnya, dia melihat ruh itu serupa dengan bentuk jasadnya ketika beliau masih hidup, pada saat ruh dan jasad bersatu pada diri Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Rupa ruh serupa dengan jasad, jasad seseorang sama dengan bentuk ruhnya, dan hal itu dikarenakan oleh keadaan ruh ketika ditiupkan ke dalam jasad, maka ruh berbentuk mengikuti bentuk jasad jasmani yang ditempatinya. Dan hanya Allah Ta’ala yang mengetahui hakekat segala sesuatu”. (Syarah At Thahawiyah, hal.187).

Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah ruh dan al-nafs, ditemukan juga istilah al-qalb dan al-'aql. Empat istilah ini tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat ibarat kacang dengan kulit arinya.

Para ulama di atas hampir semua sepakat bahwa pengertian ruh adalah sama dengan nafs (kecuali Abu Hudhail). Hanya saja, ketika mereka berusaha mengupas lebih dalam lagi tentang peran, macam-macam, fungsi ruh dan tujuan penciptaan ruh bagi kehidupan manusia terkesan berbeda. 

Meskipun perbedaan tersebut amat tipis sekali karena kesemuaan pembahasan diatas saling berkaitan satu dengan yang lainnya yang terkadang pada proses dan fase tertentu mereka mendefinisikannya sama.

Terlepas dari pro dan kontra berbagai pendapat mengenai ruh dan hal-hal yang terkait dengannya, satu hal yang pasti, bahwa kebenaran tentang hakekat dari ruh itu sendiri tetap menjadi rahasia Allah semata dan Ia hanya membukakan sedikit celah pintu bagi manusia untuk mencoba membuka dan menyingkapnya secara utuh.

Definisi Nafsu

Bahwa yang dimaksud dengan Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya. Terkadang dimutlakkan penyebutan hawa dengan makna cinta dan kecondongan, maka termasuk di dalamnya kecondongan kepada kebenaran dan selainnya

Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya (ke dalam Neraka)” 

Orang yang memperturutkan hawa nafsu, hakikatnya mencari kenikmatan semu dan kepuasan nafsu sesaat di dunia, tanpa berpikir panjang akibatnya, walaupun harus rela kehilangan kenikmatan yang hakiki di dunia dan Akherat.

Apabila nafsu itu tenang di bawah perintah dan kegoncangan berpisah daripadanya disebabkan menentang nafsu-syahwat maka disebut dengan nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang).

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya. 

Sebab, kalaulah tidak ada nafsu makan, minum dan nikah, tentulah manusia akan mati dan punah, karena tidak makan, minum dan menikah. 

Hawa nafsu mendorong manusia meraih perkara yang diinginkannya, sedangkan marah mencegahnya dari perkara yang mengganggunya dalam kehidupannya. 

Maka tidak selayaknya hawa nafsu dicela atau dipuji secara mutlak tanpa pengecualian. Sebagaimana marah tidak boleh dicela atau dipuji secara mutlak pula.

Ketika sikap yang sering terjadi pada orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan amarah tidak bisa berhenti sampai pada batas mengambil manfaat saja (darinya), karena itulah (banyak) disebutkan nafsu, syahwat dan amarah dalam konteks yang tercela. 

Karena dominannya bahaya yang ditimbulkannya (dan) jarang orang yang mampu bersikap tengah-tengah dalam hal itu (mengatur nafsu, syahwat, dan amarahnya) 

Bisa pula digunakan secara khusus untuk makna kecintaan terhadap kebenaran dan tunduk (kepada Allah) dengan mengamalkannya

Makna yang dikenal luas didalam penggunaan kata hawa nafsu secara mutlak, tanpa terikat dalam kondisi tertentu adalah kecondonggan kepada sesuatu yang menyelesihi kebenaran

Asalnya hawa nafsu itu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang disukainya, lalu jika condongnya kepada sesuatu yang sesuai dengan syari’at, maka terpuji, namun sebaliknya, jika kecondongannya  kepada sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, maka tercela.

Sedangkan jika disebutkan hawa nafsu secara mutlaq tanpa terikat dalam kondisi tertentu atau disebutkan tentang celaan terhadap hawa nafsu, maka yang dimaksudkan dalam konteks itu adalah hawa nafsu yang tercela.

Dalam menjalani kehidupan, hawa nafsu yang terpuji ibarat teman perjalanan bagi Anda, sedangkan hawa nafsu yang tercela adalah musuh Anda.

Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam,

أَعْدَى عَدُوَّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْكَ

Artinya: “Paling berat musuhmu adalah nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu.” (HR. Al Baihaqi dari hadits Ibnu Abbas)(Mu‟jamul hadis: 408)

Allah Ta‟ala berfirman :

يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفْسُ ٱلْمُطْمَئِنَّة .ٱرْجِعِىٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً

Artinya: “Hai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhainya.” (QS. Al-Fajar: 27-28).

Nafsu ini dapat digambarkan kembalinya kepada Allah Ta‟ala. Sesungguhnya dia itu menjauh dari Allah dan dia adalah tentara syaitan.

Dan apabila tidak sempurna ketenangannya, tetapi dia menjadi pendorong bagi nafsu-syahwat dan penentang atasnya, maka disebut nafsu Lawaamah karena dia mencaci pemiliknya. Ketika ia lalai dalam beribadah kepada Tuhannya.

Allah Ta‟ala berfirman:

وَلَآ اُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

Artinya:“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali(dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 2).

Kalau nafsu itu meninggalkan tantangan, tunduk dan taat kepada tuntutan nafsu-syahwat dan dorongan-dorongan syaitan, maka dinamakan nafsu amarah (yang mendorong) kepada kejahatan. 

Allah Ta‟ala berfirman:

۞ وَمَآ اُبَرِّئُ نَفْسِيْۚ اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ اِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيْۗ اِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS.Yusuf: 53)

Hawa Nafsu Meliputi Dua Hal : Syubhat dan Syahwat

Mengikuti hawa nafsu yang tercela, bisa dalam masalah beragama (penyakit syubhat) atau dalam masalah syahwat dunia (penyakit syahwat), atau dalam kedua penyakit tersebut sekaligus.

Jika terkait dengan hawa nafsu jenis syubhat, maka bisa sampai menjerumuskan seseorang ke dalam status ahli bid’ah dan dinamakan ahlul ahwa`. Dan kebiasaan salaf menamai ahli bid’ah dengan nama ahlul ahwa`.

Adapun hawa nafsu jenis syahwat, maka terbagi dua, yaitu dalam perkara yang mubah, seperti makan, minum, dan pakaian dan bisa juga dalam perkara yang diharamkan, seperti zina, khamr, dan pelakunya dinamakan dengan fajir, fasiq, atau pelaku maksiat.

Seluruh maksiat tumbuh dari sikap mendahulukan hawa nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya

Dan demikian pula bid’ah, sesungguhnya bid’ah hanyalah muncul dari sikap mendahulukan hawa nafsu di atas syari’at, oleh karena itu mereka disebut dengan ahlul ahwa`. 

Demikian pula kemaksiatan, sesungguhnya maksiat hanyalah terjadi karena sikap mendahulukan hawa nafsu di atas kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada apa yang Dia cintai

Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama (syubhat) Lebih Parah dibandingkan Dalam Urusan Syahwat

Definisi Akal

Bahwa akal itu kadang-kadang dikatakan secara umum dan dimaksud dengannya adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakekathakekat perkara. Maka akal adalah ibarat dari sifat ilmu yangtempatnya adalah hati.

Bahwa akal kadang-kadang dikatakan secara umum dan dimaksudkan dengannya adalah yang mengetahui ilmu-ilmu yaitu: hati ya‟ni: hati yang halus.

Dan kita mengetahui bahwa setiap orang alim, maka ia mempunyai wujud (ada) dalam dirinya, dan ilmu itu sifat padanya, dan sifat itu bukan yang disifati. 

Dan akal itu kadang-kadang dikatakan dan dimaksudkan adalah sifat orang alim itu, dan kadang-kadang

dikatakan secara umum dan dimaksudkan dengannya adalah tempat memperoleh ilmu yakni: yang mengetahui. Dan itulah yang dimaksud dengan hadits Rasululkah halallahu 'alaihi wassallam:

أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْعَقْلُ فَقَالَ لَهُ : أَقْبِلْ فَأَقْبَلَ . ثُمَّ قَالَ لَهُ : أَدْبِرْ فَأَدْبَرَ . فَقَالَ : وَعِزَّتِي مَا خَلَقْت خَلْقًا أَكْرَمَ عَلَيَّ مِنْك فَبِك آخُذُ وَبِك أُعْطِي (رواه الأصبهاني)

“Makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah akal. Allah selanjutnya berkata kepada akal, Mendekatlah! Dan akalpun mendekat. Selanjutnya Allah berkata, kembalilah dan akalpun kembali. Akhirnya Allah berkata, Demi kekuasaan dan kemuliaan-Ku, aku tidak menciptakan satu ciptaan pun yang lebih aku cintai daripada engkau. Dengan engkaulah Aku mengambil, dan dengan engkaulah Aku memberi.” (HR Al-Ashbihany)

Hadis ini menunjukkan hubungan antara akal dengan hukum-hukum ilahi atau syariat. Hubungan keduanya serupa dengan jiwa dan tubuh serta saling ketergantungan antar keduanya. Kemudian yang perlu disadari bahwa semua kehidupan manusia pada dasarnya adalah sebuah kegiatan yang didasarkan pada akal dan pemahaman.

Di dalam ukuran-ukuran ini kesadaran manusia terwujud. Manusia harus menyadari bahwa sebagai makhluk yang berbicara dan berpikir ia memiliki dua kekuatan, ilmu pengetahuan dan perbuatan. Setiap kekuatan ini memiliki taraf-taraf kesempurnaan dan ketidaksempurnaannya masing-masing

Demikian sedikit pembahasan mengenai Definisi Hati, Ruh, Nafsu dan Akal dalam Islam. Semoga dapat menambah wawasan kita. Tedrima kasih telah berkunjung 

0 Response to "Definisi Hati, Ruh, Nafsu dan Akal dalam Islam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak