Mengenal Apa itu Insan Kamil

Bismillâhirrahmânirrahîm. Puji dan syukur kepada Allah subhânahu wata’âla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya, 

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.

SEJARAH INSAN KAMIL 

Eksistensi manusia sepanjang zaman terus dan selalu menarik untuk dikaji, tidak hanya dalam bidang ilmu filsafat, psikologi, atau tasawuf, kajian tentang manusia selalu berkembang mengikuti pertumbuhan dan perkembangan ilmu. 

Ali berpendapat bahwa “kajian tentang manusia merupakan suatu misteri yang tidak pernah tuntas”.[1] Semua bidang ilmu akan menjadikan manusia sebagai objek material. 

Kedalaman dimensi esoterik seorang sufi, melahirkan konsep insan kamil (the perfect man atau mansuia sempurna). Insan kamil berasal dari bahasa Arab, yaitu tersusun dari dua kata: insan dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil memiliki arti yang sempurna. 

Dengan demikian, insan kamil artinya manusia yang sempurna.[2] insan kamil (manusia sempurna) menurut Islam tidak mungkin di luar hakekatnya.[3] Jadi insan kamil dapat diartikan manusia sempurna yang perbuatannya sesuai dengan hakikatnya. 

Insan kamil memiliki arti manusia yang suci, bersih, bebas dosa, sempurna. Lebih lengkapnya yaitu manusia yang egonya mencapai titik intensitas tertinggi, yakni ketika ego (lonsep tentang diri atau prinsip) mampu menahan pemikiran secara penuh, bahkan ketika mengadakan kontak langsung dengan yang mengikat ego (ego mutlak atau Tuhan).[4] 

Jika dilihat secara sosio-historis (sejarah), teoritisasi insan kamil menunjukkan bahwa konsep tersebut terkonstruk melalui proses-proses dalektik dengan realitas konkret. Historisitas konsep insan kamil memunculkan spekulasi bahwa teoritisasi dan epistemifisikasinya dilatari oleh „proyek mistifikasi dan sakralisasi‟ terhadap master sufi. 

Di era modern historisitas teoritisasi konsep insan kamil termasuk bagian dari objek studi Islamolog-Islamolog Barat. Untuk melacak jejak arkeologisnya, H.H Schader, Louis Massiognon, T. Andrai, R.A Nickholson, H.S Nyberg dll, telah berusaha menggali lapisan-lapisan geologis sejarahnya. 

Dengan menggunakan teori borrowing and influence, mereka sampai pada satu kesimpulan bahwa konsep insan kamil tak lain merupakan adopsi dari tradisi genostik Iran kuno tentang doktrin kosmologis "insan awal" konsep ini kemudian merasuk dalam doktrin manichaisme dengan mengambil bentuk mistik. 

Para orientalis juga sepakat bahwa mistisime Islam tidak secara langsung mengadopsi konsep insan awal dari tradisi Iran kuno dalam bentuk mitologis (kajian tentang mitos), melainkan melalui jalur budaya helenisme (paham orang awam) setelah mengalami proses teoritisasi filosofis; proses harmonisasi dengan pandangan metafisik tentang nous (AQL) dan logos (kalimat).[5] 

Pengertian Insan Kamil 

Beberapa pengertian insan kamil (manusia sempurna) atau manusia unggul, juga dikemukakan oleh banyak tokoh, tidak hanya ada dalam kelimuan Islam namun tokoh Barat dan agama-agama selain Islam juga memiliki kriteria atau konsep tersendiri dalam memahami manusia sempurna. 

Berikut menurut pemikiran tokoh-tokoh, antara lain: 

Pandangan Plato dalam memahami manusia sempurna sebagai manusia yang lebih dapat mencintai kebijaksanaan dari pada hal lainnya meskipun dia sendiri bukan termasuk orang yang bijaksana. 

Kebijaksanaan dan pengetahuan adalah milik dari kebenaran dan ide, bukan milik sesuatu yang dapat diindra, fenomena formal, dan semua itu berada dalam naungannya. 

Melalui pengetahuan, kebenaran yang sesungguhnya terbebas dari segala sesuatu yang bisa mempengaruhinya dengan bergantinya berbagai generasi dan perusakanperusakan.[6] 

Manusia yang dijelaskan ini adalah manusia yang merupakan esensi jiwa yang akhirnya akan mencapai kedekatan dan menempati eksistensi yang sebenarnya. 

Dengan mengetahui ide dan kebenaran akan membawa manusia memiliki pendekatan yang tinggi untuk mencapai esensi manusia tersebut.

Sedangkan menurut Aristoteles kesempurnaan manusia itu terletak pada kehidupan manusia secara nyata yang dilandasi oleh aspek intelektualitasnya (teoritis) yaitu kehidupan intelektual.[7] 

Jadi dalam pandangan filosof terdahulu ini dapat dikatakan bahwa kesempurnaan manusia hanya diukur oleh kecerdasan intelektual dan kearifan dalam berprilaku bijaksana dalam kehidupan nyata. 

Tokoh Nusantara juga memiliki pandangan terhadap konsep insan kamil salah satunya yaitu Mbah Maridjan. Konsep insan kamil Mbah Maridjan disebut juga dengan manusia sejati. 

Menurut Mbah Maridjan, manusia dapat selamat dan tidak tersesat apabila mengenal jati dirinya. Ia mengetakan bahwa 

“weruh marang pangeran iku atages wis weruh marang awake dewe, lamun during weruh awake dewe, tangeh lamun weruh marang pangeran”, 

Yang berarti “kalo orang mengaku mengenal Tuhan, berarti ia sudah mengenal dirinya sendiri, jikalau itu belum mengetahui siapa dirinya sendiri, mustahil dapat mengenal Tuhan”. 

Menurut Mbah Maridjan, cara untuk mengenal Tuhan adalah dengan „ngombe roso‟ atau yang ia sering sebut dengan „sabawa rasa‟. 

Konsep sabawa rasa ini diartikan sebagai sikap yang mau dan berani menghayati dirinya sendiri sebagai hamba secara total. Konsep tersebut adalah sikap kesatria seorang yang harus disadari dan dimiliki. 

Jika belum dapat mengenal diri sendiri maka seseorang itu tidak boleh mengaku menjadi manusia sejati (insan kamil), yaitu hamba Allah yang shaleh. 

Itulah yang diasebut "ngelmu sangkan paran dumadi"; yaitu tiga unsur falsafah; urip iki soko sopo? (hidup itu dari siapa), urip iki pungkasane piye ? (hidup itu tujuannya kemana?) dan urip iki arep ngopo? (hidup itu mau apa?).

Menurutnya apabila seseorang telah menempuh tiga jalan sabawa rasa tersebut maka seseorang itu akan menyadari bahwa hubungan hamba dengan Tuhan tidak ubahnya hubungan yang satu (manunggaling kawula gusti), 

Seperti hubungan antara suami istri, yaitu menyatu secara "datan ginggang sarambut" (hubungan yang mesra cinta dan kasih), kemudian hubungan ini meningkat seperti hubungan „kaki-nini‟ atau gunung jaladri (gunung dan laut). 

Kaki gunung adalah "lambang lingga" dan „nini jaladri" adalah yoni (kekuatan). Tatkala "lingganyoni" menyatu, maka peristiwa "manunggaling kawula gusti", atau pencapaian seseorang menjadi manusia sejati.[8] 

Insan kamil dalam pandangan Muhamad Nafis Al-Banjari adalah seseorang yang telah mencapai ma‟rifat (mengetahui Allah dari dekat) dalam hal tauhid (af‟al (perbuatan), asma (nama), shifat (sifat), dan zat) serta sebagai hasil akhir dalam martabat tanazul (martabat terakhir yaitu alam mitsal, alam ajsad, dan alam insan).[ 9] 

Menurut Nafis insan kamil terdiri dari beberapa tingkatan, Nafis juga mengatakan bahwa insan kamil merupakan pemberian Allah kepada hamba yang diterima secara lansung.[10] menurutnya tingkat tertinggi dari insan kamil adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam namun dalam kitabnya ad-durunan-nafis tidak dijelaskan mengenai Nabi Muhammad sebagai tingkat tertinggi insan kamil.

Pemikiran Sayyed Hossein Nasr tentang manusia ideal adalah pada dasarnya terdapat tiga aspek atau bagian pada manusia yaitu, tubuh, pikiran (mind), dan jiwa (spirit). Ketiganya harus diintegrasikan sesuai levelnya agar tercapainya keseimbangan dan kesempurnaan pada diri manusia. 

Upaya mengintegrasikan ketiga bagian diri manusia tersebut sangat penting, karena sesungguhnya masing-masingnya tidak berdiri sendiri, dan bergantung satu sama lainya untuk kesempurnaanya.[11] Yang harus diperhatikan dalam integrasi ini adalah the spirit dan intellect. 

Karena the spirit yang mampu mengintegrasikan spikis, dan intellect mengintegrasikan pikiran. Kekuatan yang penting integrasi adalah memperhatikan hubungan anatara realitas bawah dnegan realitas tertinggi (Tuhan). 

Insan kamil dalam pemikiran Ibn Arabi tidak terlepas dari konsep wahdatul wujudnya (bersatunya Tuhan dengan manusia). Dalam teorinya ini insan kamil adalah duplikasi Tuhan (nuskhah al-haqq), yaitu Nur Muhammad yang merupakan tempat penjelmaan (tajalli) asma, dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai khalifah di muka bumi.[12] 

Sedangkan menurut Nurdin ar-Raniri insan kamil baginya adalah hakikat Muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari proses tajalli (penampakan atau perwujudan) satu dzat yang lain (Allah dengan Nur Muhammad) hakikat Muhammad itu menhimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh kenyataan alam ini merupakan wadah bagi asma dan dzat Allah.[13]

Insan kamil merupakan miniatur dan realitas keTuhanan dalam tajalli-Nya (penampakan) pada jagat raya. Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan, jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal). 

Tubuhnya mencerminkan arasy (mahluk tertinggi), pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan, hatinya berhubungan dengan bayt al-ma‟mur (kabah penduduk langit atau atap tertinggi), kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat, daya ingatnya dengan saturnus (zuhal= nama lain palnet saturnus), daya inteleknya dengan yupiter (al-musytari), dan lain-lain.[14] 

Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabka karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli (penampakan atau perwujudan) secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah al-muhammadiyah).

Baginya, yang dinamakan insan kamil adalah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya adalah karena dia merupakan manifestasi (perwujudan) sempurna dari citra (tujuan pokok atau gambaran) 

Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sedangkan kesempurnaan dari segi pengetahuannya adalah karena telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yaitu menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat (mengetahui Allah dari dekat). [15] 

Jadi semua manusia menurut Ibnu Arabi merupakan citra (gambaran) Tuhan, tetapi itu hanya secara potensial. Insan kamil adalah suatu citranya yang aktual, pada dirinyalah termanifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, akan tetapi citra itu tidak sempurna sebelum ia menyadari sepenuhnya kesatuan esensialnya dengan Tuhan. 

Maka, setiap insan kamil adalah seorang sufi, karena hanya dalam tasawuf kesadaran seperti itu dapat diperoleh.

Konsep insan kamil dalam filsafatnya Muhammad Iqbal merupakan sintesis dari pandangan filsafat barat dan filsafat timur dengan suatu pemahaman baru, insan kamil menurut Iqbal adalah sang mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kearifan. Sifat-sifat luhur tersebut merupakan wujud tertinggi yang tergambar ada pada akhlak nabawy (akhlak mulia). 

Konsepsi Iqbal tentang insan kamil tidak datang atau bersumber dari paham tentang Nur Muhammad (cahaya Muhammad), akan tetapi yang melatar belakangi pemikiran Iqbal adalah doktrinya tentang ego (prinsip/individualitas) yang utuh, mandiri dan bebas dengan potensi yang baik, yang ada pada dirinya, sehingga secara bertahap dapat mencapai tingkat kesempurnaan.[16] Pandangan insan kamil Iqbal terlihat sangat realistis dibandingkan dengan para filsuf terdahulu. 

Nietzsche juga mengemukakan tentang insan kamil namun dengan sebutan ubermensch atau manusia unggul atau manusia atas. 

Ubermensch adalah cara  manusia memberikan penilaian terhadap dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan melihat kesebrang dunia. 

Ubermensch adalah bentuk manusia yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai ubermensch adalah manusia yang mengatakan "ya" pada segala hal dan siap mengahadapi tantangan, dan mempunya sikap yang mengafirmasikan hidupnya, tanpa itu ubermensch tidak mungkin akan tercipta[17] . 

Jadi ubermesch adalah manusia yang tidak pernah menyangkal dan tidak akan gentar dalam menghadapi setiap kesulitan dalam hidunya.

Nietzsche juga menanamkan kepada setiap diri manusia bahwa manusia harus memiliki tujuan hidup, yaitu untuk berkuasa. Satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan keberanian dan kesiapan untuk dikorbankan. 

Nietzsche telah mengatakan nama Tuhan baru, yaitu manusia unggul dengan segala karakteristiknya[18]. Unsur-unsur yang harus berada pada diri manusia unggul adalah energi, intelek, dan kebanggaan atas diri.

Kong Fu Tse menyebutkan level tertinggi manusia itu superiorman atau manusia budiman. Ada empat aspek yang menjadi inti dari manusia budiman adalah kemanusiaan, pribadi ideal, pola yang benar, dan memerintah dengan sikap moral yang baik. 

Kata kebijakan yang digagas oleh Konfusius adalah: “orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapannya, akan tetapi hebat dalam tindakan. Kebanggaan kita yang paling bersar adalah bukan tidak pernah gagal, namun bangkit kembali setiap kali terjatuh”. 

Manusia budiman adalah manusia yang banyak berbuat dan sedikit dalam berbicara, sehingga tidak putus asa dikala mendapatkan kegagalan[19].

Insan kamil dalam pandangan Ahmad Tafsir hendaklah yang harus dibicarakan terlebih dahulu yaitu hakikat manusia. 

Pertama, manusia itu mempunyai unsur material (jasmani). 

Kedua, menurutnya manusia mempunyai tiga antena, yaitu: 

(1)indera; indera harus dilatih agar mampu memperoleh pengetahuan tingkat tinggi, 

(2)akal; akal juga harus dilatih, jangan dirusak. Akal dapat dilatih dengan selalu berfikir agar menghasilkan pemikiran yang logis ketika menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, 

(3)hati; hati juga harus dilatih, namun dalam kenyataannya, sekarang ada kekurangan seimbangan antara ketiga antena tersebut. 

Ketiga, manusia adalah ciptaan Allah, ia tidaklah muncul dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri.20 Jadi menurut Ahmad Tafsir merujuk pada Islam, insan kamil adalah manusia yang tidak mungkin keluar dari hakikatnya. 

Dalam pemikiran Al-Ghazali insan kamil disebut manusia yang unggul. Menurutnya manusia merupakan individu yang terdiri dari unsur, hati, hati nurani, ruh, nafsu, syahwat dan akal. 

Dari semua unsur itu dapat membentuk status manusia sebagai individu yang beruntung atau merugi, yang taqwa atau fujur, jiwa yang muthmainnah (jiwa yang mendapatkan ketenangan), lawwamah (jiwa yang masih cacat cela), atau ammarah (jiwa yang menghendaki hawa nafsu kehidupan).

 Status ini sangat bergantung pada kemampuan diri dalam mengelola unsur-unsur jiwa tersebut agar dapat berjalan secara seimbang agar menjadi manusia yang ma‟rifatullah (puncak kesadaran yang menentukan perjalanan hidup selanjutnya). Dan semua perjalanan melatih unsur-unsur jiwa tadi menurut Al-Ghazali dapat dipelajari hanya dengan ilmu tasawuf.[21]

Jadilah Bermanfaat Sallam Bahagia Sukses Dunia Akhirat. Aamiin.

Dartar Pustaka:

[1] Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 12. 
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), h. 51. 
[3] Ahmad Tafsir, Et All, Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pt Al-Ma‟arif, 2000), h. 41.
[4] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dan Islam, Terj. Didi Komedi, (Yogyakarta: Lzuardi, 2002), h. 167.
[5] Fitria Ulfa, Implikasi Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi Terhadap Pembentukan Karakter Pendidikan Islam Modern, Respository, (Uin Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017), h. 28. 
[6] Sayyed Mohsen Mihri, Sang Manusia Sempurna, Antara Filsafat Isalam Dan Hindu, Terj., (Jakarta: Penerbit Teraju, 2004), h. 25.
[7] Zuhri Istifaa Ilah Agus Purnomo Ali, Manusia Sempurna Dalam Pandangan Confisius Dan Al-Ghazali, Respository: Uin Sunan Kalijaga, (Yogyakarta, 2009), h. 5.
[8] M. Baharuddin, Manusia Sejati Dalam Falsafah Mbah Maridjan Dan Abdul Karim AlJilli ( Studi Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti Dan Insan Kamil), Analisis, Vol. XIII, No. 1, Juni 2013. h. 235. 
[9] Rodiah, Insan Kamil Dalam Pemikiran Muhammad Nafis Al-Banjari Dan AbdushShamad Al-Falimbani Dalam Kitab Ad-Durr An-Nafis Dan Siyar As-Salikin, Studia Insania, Vol.3, No. 2, April 2015, h. 102. 
[10] Ibid., Rodiah, h. 103.
[11] Moh, Asror Yusuf, Konsep Manusia Ideal Sayyed Hossein Nasr Dan Relevansinya Dengan Pengembangan Karakter Masyarakat Modern Indonesia, Didaktika Religia, Vol. 4, No. 1, 2016, h. 142. 
[12] Abu Al-„Ala „Afifi, At-Tasawuf Ats-Tsaurah Ar-Ruhiyah Fi Al-Islam Dar Al-Ma‟arif, Terj. Filsafat Mistis Ibn Arabi, Shahir Mawi Dan Nandi Rahman, (Gaya Media Pratama, 1989), h. 118.
[13] Damaw Raharjo (Ed.), Insan Kamil Konsep Manusia Menurut Islam, (Grafiti Pers, 1986), h. 105. 
[14] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi Oleh Al-Jilli, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997), h. 55.
[17] Mukhamad Fathoni, Hakikat Manusia Dan Pengetahuan, (Oku Timur: 2012), h. 8. 
[18] Abidin Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 115.
[19] Ibid., Mukhamad Fathoni, h. 12 
[20] A. Rusdiana, Pemikiran Ahmad Tafsir Tentang Manajemen Pembentukan Insan Kamil, At-Tarbawi, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2017, h. 111
[21] Abdul Kodir, Konsep Manusia Unggul: Dalam Perspektif Tasawuf Al-Ghazali, I‟tibar, Vol.7, No. 13, November 2019, h. 10

0 Response to "Mengenal Apa itu Insan Kamil "

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak