Meluruskan Niat Mencari Ilmu

 
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah hingga hari akhir.

Langkah awal dalam menuntut ilmu adalah dengan adanya niat yang baik. Niat seperti itulah yang akan mengarahkan seseorang kepada ilmu yang bermanfaat, bukan yang sekadar memberikan pemahaman namun akhirnya tidak berguna baik bagi dirinya ataupun bagi orang lain.

Sungguh apabila dengan menuntut ilmu engkau bermaksud bersaing, membanggakan diri, mengungguli teman-teman, menarik perhatian manusia dan mengumpulkan harta benda dunia, maka engkau sedang bergerak meruntuhkan agamamu, membinasakan dirimu sendiri dan menjual akhiratmu dengan dibayar dunia, maka transaksimu merugi, perdaganganmu bangkrut, pengajarmu adalah penolong kedurhakaanmu serta partnermu dalam kerugianmu.

Ia seperti orang yang menjual pedang kepada begal sebagaimana Baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَعَانَ عَلٰى مَعْصِيَةٍ وَ لَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كَانَ شَرِيْكًا لَهُ فِيْهَا

“Siapapun yang menolong kedurhakaan walau dengan sepotong kalimat maka ia adalah partner baginya dalam kedurhakaan itu”

Imam Al-Ghazali mengingatkan penuntut ilmu tentang niatnya. Niat sangat menentukan sebagaimana disabdakan Baginda Nabi MuhammadShalallahu 'alaihi wa sallam

اِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ اِنَّمَا لِكُلِّ امْرِءٍ مَا نَوَى

“Sungguh amal itu dengan niat dan sungguh setiap manusia akan mendapatkan apa yang diniatkannya”

Pada bagian pertama disinggung contoh niat yang perlu dihindari :

  1. Bersaing
  2. Berbangga diri
  3. Mengungguli yang lain
  4. Menarik perhatian orang
  5. Mengumpulkan harta benda dunia

Mereka yang menuntut ilmu dengan niat tersebut, akan dipandang sedang :

  1. Menghancurkan agama
  2. Membinasakan diri sendiri
  3. Menjual akhirat dengan dibayar dunia

Dalam hadits diriwayatkan :

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يُكَاثِرَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُصَرِّفَ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Siapapun yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang bodoh atau untuk bersaing dengan para ulama atau untuk menarik perhatian manusia, maka ia akan mendiami tempatnya di neraka” (HR At-Tirmidzi)

Pada hadits lain diungkapkan :

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ تَعَالٰى لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرْضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Siapapun yang belajar ilmu yang dengannya dicari ridha Allah Ta’ala, (tapi) ia tidak mempelajarinya melainkan karena ingin memperoleh harta benda dunia, maka ia tidak akan menemukan wangi surga pada hari kiamat” (HR Abu Dawud)

Kemudian Imam Al-Ghazali melanjutkan :

وَ اِنْ كَانَتْ نِيَّتُكَ وَ قَصْدُكَ بَيْنَكَ وَ بَيْنَ اللهِ تَعَالٰى مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ الْهِدَايَةَ دُوْنَ مُجَرَّدِ الرِوَايَةِ فَاَبْشِرْ فَاِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَبْسُطُ لَكَ اَجْنِحَتَهَا اِذَا مَشَيْتَ وَ حِيْتَانَ الْبَحْرِ تَسْتَغْفِرُ لَكَ اِذَا سَعَيْتَ

Dan bila niat dan maksudmu antara dirimu dan Allah dari menuntut ilmu adalah hidayah bukan sekedar meriwayatkan, maka berbahagialah sebab sungguh malaikat merentangkan sayap-sayapnya bagimu ketika kamu pergi (menuntut ilmu) dan ikan-ikan di lautan memohonkan ampun bagimu ketika kamu pergi (menuntut ilmu).

Imam Al-Ghazali mengambarkan seorang penuntut ilmu benar dan baik niatnya sebagai orang yang berniat mendapatkan hidayah (petunjuk). 

Mereka yang memiliki niat yang benar ini di antaranya akan mendapatkan anugerah dibantu dan dilindungi para malaikat karena ridha. 

Orang yang berilmu akan dido’akan ikan di lautan bahkan oleh makhluk di langit dan di bumi agar mendapatkan ampunan. Hal ini diriwayatkan dalam hadits :

اِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَصْنَعُ

“Sungguh para malaikat pasti meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha terhadap pekerjaannya” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

يَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَا فِي السَّمٰوَاتِ وَ الْأَرْضِ

Makhluk di langit dan di bumi memohonkan ampun bagi orang yang berilmu (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Bila dilihat dari niat dan tujuannya, penuntut ilmu dikategorikan menjadi tiga golongan:

1. Penuntut ilmu yang bertujuan hanya karena Allah dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Ia adalah orang yang selamat dari siksa Allah dan berhak menyandang predikat istimewa.

2. Orang yang menuntut ilmu agar ilmu yang akan diperoleh dapat menjadi penopang kehidupan duniawi, memperoleh kemuliaan atau kedudukan terhormat, meskipun ia sadar bahwa tujuan itu adalah salah. 

Golongan ini masih dimungkinkan celaka, jika tidak segera kembali ke jalan yang benar dan membenahi kesalahan yang telah dilakukan .

3. Penuntut ilmu yang bertujuan menjadikan ilmu sebagai sarana untuk memperbanyak kekayaan, bermegah-megahan dengan pangkat, dan meraih popularitas dengan banyaknya pengikut. 

Penuntut ilmu yang mempunyai niat dan tujuan seperti ini adalah orang yang telah dikuasai oleh setan, bahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasalam menyebutnya sebagai orang yang harus lebih diwaspadai dari pada setan. 

Ia adalah calon intelektual yang jahat dan tidak beradab yang akan menyesatkan semua lapisan masyarakat. 

Ia adalah orang yang disebut oleh Allah sebagai orang yang tersesat dan merugi dengan apa yang diperbuat, sementara ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang baik. 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا ، الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (الكهف: ١٠٣ـ١٠٤)  

Artinya: “Katakanlah: ‘Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’” (QS. Al-Kahfi: 103-104).

Niat dan tujuan seperti ini merupakan kesalahan dalam memahami konsep menuntut ilmu. Konsep ini adalah konsep materialisme yang memisahkan aspek ukhrawi dan aspek duniawi dalam menuntut ilmu. 

Konsep ini akan mengakibatkan kekacauan ilmu. Kekacauan ilmu terjadi karena informasi-informasi yang salah dipelajari kemudian diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Kesalahan dalam memahami konsep menuntut ilmu ini adalah sumber dari terpuruknya penyelenggaraan pendidikan kita, sehingga sukses menuntut ilmu ditafsirkan terlalu sempit, dan pragmatis. 

Belajar adalah semata-mata demi mendapatkan ijazah dan jabatan terhormat. Pendidikan difungsikan sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, nilai prestasi dan kebanggaan pribadi dan golongan. 

Inilah kekacauan ilmu dan kebingungan intelektual (intelectual confusing) yang selanjutnya melahirkan ketiadaan adab.

Akibat kesalahan konsep ini pula, nilai-nilai ilmu sama sekali tidak lagi ada harganya. Pendidikan mulai SD hingga perguruan tinggi, hanya dijadikan batu loncatan untuk meraih nilai prestasi dan gelar.

Kemudian  akan digunakan untuk memperoleh pekerjaan yang layak, kedudukan terhormat, atau pengikut yang banyak, dengan mengesampingkan nilai ilmu yang ada dalam sekolah-sekolah itu. 

Akhirnya sebagian besar lulusan sekolah-sekolah itu hanya memiliki gelar kependidikan yang tinggi, sementara nilai intelektual mereka nihil.

Apapun tujuan dalam menuntut ilmu akan dihasilkan. Tujuan yang hanya bersifat duniawi juga dapat dihasilkan, namun tidak akan didapatkan bagian di akhirat. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ (الشورى:٢٠)

Artinya: “Dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (QS. Asy-Syura: 20).

Tanda Ikhlas dalam menuntut ilmu

Keikhlasan dalam menuntut ilmu akan memberikan pengaruh kepada pribadi orang tersebut yang dapat dirasakan oleh orang yang berada di sekitarnya. Di antara tanda-tanda ikhlas dalam menuntut ilmu adalah sebagai berikut :

1. Membuahkan ilmu yang bermanfaat

Tanda paling jelas yang menunjukkan bahwa seseorang memiliki niat yang benar dalam menuntut ilmu adalah ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ

“Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah utus diriku dengan membawa keduanya sebagaimana permisalan hujan lebat yang membasahi bumi. Diantara tanah yang diguyur air hujan, ada tanah yang subur, yang menyerap air sehingga dapat menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang lebat” (HR. Bukhari)

Seperti itulah permisalan ilmu yang bermanfaat bagi seorang hamba. Ilmu tersebut akan memberikan manfaat kepada pemiliknya khususnya, dengan membuat hatinya semakin lembut, jiwanya semakin tunduk kepada Rabb-nya, lisan dan pandangannya semakin terjaga, dan seterusnya. 

Tidak hanya itu, manfaat ilmunya juga meluas kepada orang-orang di sekitarnya dengan akhlaknya yang semakin mulia serta ilmu yang telah ia raih ia ajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya.

Inilah tanda yang pertama yang menjadi poros bagi tanda-tanda lainnya, ilmu tersebut bermanfaat bagi dirinya.

2. Mengamalkan ilmu

Ilmu dicari untuk diamalkan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala akan bertanya kepada semua orang yang telah belajar, apa yang telah mereka amalkan dari ilmu yang ia miliki?

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ … وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki hamba di hari kiamat sampai ia ditanya,(salah satunya) tentang ilmunya, apa yang sudah dia amalkan?” (HR. Tirmidzi, beliau nilai hasan shahih. Dan dinliai shahih oleh Al Albani)

Ketika seseorang memiliki niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu, maka ia akan mengerti bahwa ilmu yang ia cari bukanlah tujuan akhir, tetapi bekal dia untuk beramal sehingga ia akan berusaha mengamalkan setiap ilmu yang ia miliki. Adapun orang yang niatnya rusak, maka mengamalkan ilmu bukanlah tujuan yang hendak ia capai. 

Oleh  karena itu, Al Khatib Al Baghdadi rahimahullah mengatakan, “Seseorang tidak dianggap berilmu selama ia tidak mengamalkan ilmunya” (Iqtidhaa-ul ‘Ilmi Al ‘Amal hal. 18, dinukil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, hal. 45)

3. Terus memperbaiki niat

Orang yang merasa telah ikhlas dalam menuntut ilmu merupakan ciri tidak ikhlasnya ia dalam menuntut ilmu. Orang yang ikhlas justru terus memperbaiki dirinya dan meluruskan niatnya dalam setiap amalannya dan tidak merasa dirinya telah ikhlas. 

Sebagaimana yang dikatakan ‘Amr, “Barangsiapa yang mengatakan dirinya adalah orang yang berilmu, maka dia adalah orang yang bodoh”. Ibnu Rajab mengatakan, “Orang yang jujur akan merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan dan takut mengalami su-ul khatimah” (lihat Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 30-31)

4. Semakin tunduk dan takut kepada Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang yang berilmu” (QS. Fathir : 28)

Pada ayat di atas Allah menyebutkan bahwa orang yang takut kepada-Nya adalah orang yang berilmu. Oleh karena itu, semakin bertambah ilmu seseorang, semakin tunduk ia kepada Rabb-nya. 

Sebagian ulama mengatakan, “Siapa yang takut kepada Allah maka dia adalah orang yang berilmu. Dan siapa yang bermaksiat kepada Allah maka dia adalah orang yang bodoh” (dinukil dari Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf hal. 26).

Ini adalah buah dari ilmu yang bermanfaat, ilmu yang dicari semata-mata karena mengharap wajah-Nya. Seseorang yang telah berilmu tentang Allah, maka ia akan mengetahui keagungan dan kebesaran Rabb-nya sehingga ia akan semakin takut dan tunduk kepada-Nya serta selalu merasa diawasi oleh-Nya.

5. Membenci pujian dan ketenaran

Senang dipuji dan cinta ketenaran adalah awal malapetaka pada diri seorang penuntut ilmu. Tidakkah kita ingat kisah tiga orang yang pertama kali diseret ke dalam neraka? Rasulullah menyebutkan salah satu diantara mereka,

وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Seseorang yang menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Lalu ia didatangkan dan dipaparkan kepadanya segala nikmat yang telah ia raih, lantas ia mengakuinya. Lalu ia ditanya, “Apa yang sudah kamu lakukan terhadap nikmat tersebut?”. Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu juga mengajarkannya, aku juga membaca Al Qur’an karena-Mu”. Lalu dikatakan padanya, “Kamu dusta! Kamu itu menuntut ilmu supaya dijuluki sebagai orang yang berilmu! Kamu juga membaca Al Qur’an karena ingin dikenal sebagai qari! Dan kamu pun telah mendapatkannya!”. Lalu orang tadi diseret di atas wajahnya lalu dilempar ke neraka” (HR. Muslim)

6. Semakin tawadhu’ di hadapan manusia

Bagai ilmu padi, ilmu yang bermanfaat yang dicari semata-mata mengharap wajah Allah Ta’ala akan membuat pemiliknya semakin tawadhu’ di hadapan orang lain, tidak merasa lebih hebat dibandingkan orang lain. 

Ibnu Rajab mengatakan, “Di antara tanda orang yang memiliki ilmu yang bermanfaat adalah ia tidak memandang dirinya memiliki status atau kedudukan khusus. Hatinya membenci rekomendasi dan sanjungan orang. Ia juga tidak takabbur di hadapan orang lain” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 31)

Sebuah nasihat indah dari Imam Al Ghazali rahimahullah teruntuk kita semua. Beliau mengatakan, “Betapa banyak malam yang telah kau hidupkan dengan mengulang-ngulang ilmu dan membaca berbagai macam buku, dan kau halangi dirimu dari tidur? Aku tidak tahu apa yang memotivasimu untuk berbuat demikian. 

Jika niatmu adalah karena dunia, karena mencari harta dan mengumpulkan bagian-bagian dunia, atau berbangga-bangga dengan teman sepantaranmu, maka celakalah dan celakalah dirimu! Tapi jika niatmu adalah menghidupkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, membina akhlakmu, dan mematahkan jiwa yang suka mengajak kepada keburukan, maka beruntunglah dan beruntunglah engkau!” (Ihya ‘Ulumuddin, hal. 105-106, dinukil dari Adabu Thalibil ‘Ilmi, hal. 35)

Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan kepada kaum muslimin umumnya. Hanya kepada Allah-lah kita semua memohon keikhlasan dalam setiap ucapan dan amalan.

Ya Allah, jadikanlah seluruh amalan kami sebagai amalan yang shalih, dan jadikanlah amalan kami tersebut ikhlas mengharap wajah-Mu semata, dan janganlah Engkau jadikan sedikitpun bagian untuk selain diri-Mu dalam amalan kami tersebut. Sesungguhnya Engkau Maha mendengar seruan hamba-Mu

0 Response to "Meluruskan Niat Mencari Ilmu"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak