Islam Mengajarkan untuk Tidak Mencari-cari Kesalahan

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan meminta ampunan-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan-keburukan jiwa kita, dan kejelekan-kejelekan perbuatan kita. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiamat.

Jangan suka mencari keburukan orang lain jika tidak ingin keburukan sendiri menjadi tontonan, mencari-cari kesalahan orang lain disebut dengan istilah "tajassasu" (tajassus). 

Perbuatan ini hampir sama dengan berburuk sangka. Keduanya tergolong sifat tercela yang amat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur’an: 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.(QS. Al-Hujurat: 12)

Salah satu kebiasaan buruk manusia yang tak ada habisnya adalah mencari kesalahan orang lain. Tak ada yang membayarnya, namun masih banyak yang rela memata-matai tiap kesalahan orang lain.

Bukankah yang seperti itu hanya akan mengahabiskan energi dan waktu yang kita miliki? Dan bahkan Allah memisalkan orang yang bersikap seperti itu laksana manusia yang memakan daging saudaranya yang sudah mati.

Jangankan memakan, membayangkan saja sudah sangat menjijikkan sekali. Kalaupun demikian, masih sudikah kita mencari-cari kesalahan orang lain? Dalam QS Al Hujurat ayat 12 yang telah disebutkan diatas:

Larangan yang ada dalam ayat di atas juga dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا 

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Berhati-hatilah kalian terhadap prasangka (buruk), karena prasangka (buruk) itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara” (HR. Bukhori).

Dari hadits di atas dapat diketahui bahwa persaudaraan Islam yang hakiki tidaklah akan terwujud dengan keberadaan prasangka (buruk), tahassus, tajassus, hasad, saling menjauhi, dan saling membenci. Persaudaraan akan terwujud dengan meninggalkan semua bentuk akhlak tercela tersebut.

Dalam hadis lain:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: صَعِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيعٍ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ، وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ "، قَالَ: وَنَظَرَ ابْنُ عُمَرَ يَوْمًا إِلَى الْبَيْتِ أَوْ إِلَى الْكَعْبَةِ، فَقَالَ: مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik di atas mimbar lalu menyeru dengan suara yang kencang dan bersabda : “Wahai sekalian orang yang telah berislam dengan lisannya namun belum masuk keimanan dalam hatinya. Janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, jangan mencelanya, dan jangan mencari-cari aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap aibnya itu meskipun di rumahnya sendiri”. Naafi’ berkata : Pada suatu hari Ibnu ‘Umar memandang Ka’bah, lalu berkata : “Alangkah agung engkau dan alangkah agung kehormatanmu (wahai Ka’bah). Namun, kehormatan seorang muslim lebih agung di sisi Allah daripada engkau” (HR. At-Tirmidziy no. 2032; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy, 2/391, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H)

Dalam hadis Lain :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَال: لَمَّا نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْكَعْبَةَ، فَقَالَ:  مَرْحَبًا بِكِ مِنْ بَيْتٍ مَا أَعْظَمَكِ، وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَلَلْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ 

Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memandang Ka’bah, beliau bersabda : “Selamat datang wahai Ka’bah, betapa agungnya engkau dan betapa agung kehormatanmu. Akan tetapi orang mukmin lebih agung di sisi Allah daripadamu” (HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan, no. 4014; shahih).

Dalam Hadis lain :

عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

Dari Abu Barzah Al-Aslamiy, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai sekalian manusia yang telah beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin, dan jangan kalian mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap kejelekannya meskipun di rumahnya sendiri” (HR. Abu Daawud no. 4880; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 3/197; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H)

Perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : (مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ) ‘siapa saja yang telah beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya’ menunjukkan siapa saja yang mengghibah dan mencari-cari aib saudaranya yang muslim, maka imannya itu kurang dan terjangkit sebagian virus nifak. Oleh karenanya Allah ta’ala berfirman :

قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu…” (QS. Al-Hujuraat : 14).

Bagi seseorang yang sudah terbiasa dengan kejelakan tersebut, Rasulullah memberikan tips yang baik agar kita dapat keluar dari kebiasaan buruk tersebut. 

Asalkan disertai kemauan yang kuat, yang insya Allah kebiasan buruk tersebut bisa diganti dengan amal saleh yang lebih menguntungkan. Rasulullah bersabda:

من نظر في عيب نفسه اشتغل عن عيب غيره

“Barang siapa yang melihat aib sendiri maka ia akan terpalingkan dari aib orang lain.”

Hadis tersebut mengajarkan kita salah satu jurus jitu untuk tidak senang mencari kesalahan orang lain adalah dengan sibuk mengevaluasi diri sendiri.

Efek yang disebabkan oleh kesenangan mencari kesalahan orang lain adalah bermusuhan dan mencari pasukan pembelanya. 

Keadaan menjadi tidak aman sebab seseorang diantaranya sering membuka aib orang lain, sehingga orang lain pun percaya dan menjauhinya. Padahal belum tentu juga si penyebar aib tersebut lebih baik dari pada orang lainnya.

Alangkah lebih indahnya jika hidup bersosial dengan baik tanpa unsur mencari kesalahan orang lain demi panjat sosial. 

Sibuk dengan megoreksi kesalahan sendiri dan memperbaikinya jauh lebih bijak daripada mencari kesalahan orang laindan menyebarkanya.

Bukannkah Allah akan membantu menutupi kesalahan dan ain seseorang ketika seseoramh tersebut mampu men utupi kesalahan dan aib saudaranya? Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi menyebutkan:

منْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ فِي الدُّنْيَا يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Barangsiapa yang meringankan (menghilangkan) kesulitan seorang muslim kesulitan-kesulitan duniawi, maka Allah akan meringankan (menghilangkan) baginya kesulitan di akhirat kelak. Barangsiapa yang memberikan kemudahan bagi orang yang mengalami kesulitan di dunia, maka Allah akan memudahkan baginya kemudahan (urusan) di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selalu ia menolong saudaranya.”

Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, seseorang perlu mengenali aibnya sendiri terlebih dahulu. Namun, aib tersebut tidak boleh diumbar sebab dikhawatirkan akan menimbulkan efek buruk bagi orang-orang sekitar.

Mengetahui aib diri dimaksudkan untuk mengenali kapasitas diri. Menjadikan hal itu bahan evaluasi untuk terus bergerak menjadi hamba-hamba terbaik di hadapan Allah Subahanahu Wa Ta 'ala. 

Beliau mencatat setidaknya ada empat cara bagi manusia untuk mengenali aibnya.

1. Berkonsultasi kepada guru yang terpercaya baik laku dan kata. Guru tersebut dapat memberikan nasihat dan juga tuntunan agar diri kita tak tersesat. 

2. Mencari seorang teman yang jujur, yang memiliki bashiroh (mata hati yang tajam (berilmu) dan teguh pegangannya pada ajaran agama. Teman tepercaya ini juga bisa dijadikan referensi untuk dimintai masukan.

3. Berusaha mengetahui aib dari ucapan dan cacian musuh-musuhnya. 

4. Bergaul dengan masyarakat.

Setiap kali ia melihat perilaku tercela yang ada pada diri seseorang, maka ia akan segera menuduh dirinya sendiri juga memiliki sifat tercela itu. 

Kemudian dia menuntut akan dirinya untuk segera meninggalkan, membenci dan menjauhi keburukan sifat tersebut. 

Seperti tengah berkaca dan membandingkan realitas sosial dengan yang dirasakan oleh diri sendiri. Harapan kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang tampak dari aib itu. 

Dengan demikian kita semestinya menutup aib tersebut sehingga Allah Subhanahu wa ta'ala akan memberi jaminan bahwa aib kita akan ditutup pula baik di dunia maupun di akhirat. Semoga bermanfaat. Terima Kasih atas Kunjungannya.

0 Response to " Islam Mengajarkan untuk Tidak Mencari-cari Kesalahan"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak