MAKNA KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN

pemimpin
Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan sallam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu istiqomah.

Pengertian kepemimpinan

Kata pemimpin adalah kata yang menunjukkan subyek dari kata memimpin, yang diartikan dengan memegang tangan seseorang sambil berjalan, mengetuai atau mengepalai rapat atau perkumpulan, memandu, memenangkan paling banyak, semisal pertandingan atau perlombaan, melatih, mendidik, dan mengajari. 

Dari semua makna tersebut, secara kebahasaan, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah ketua, kepala atau pemandu. Kepemimpinan adalah hasil kerja memimpin, membimbing, memandu, atau cara seseorang memimpin.

Dari makna bahasa tersebut diatas, muncul pengertian bahwa kepemimpinan adalah keadaan seseorang yang memimpin orang lain dengan cara memberikan petunjuk, bimbingan atau perintah agar orang tersebut dapat atau mampu mengerjakan sesuatu yang menjadi cita-cita bersama.

Kata Pemimpin yang mana asal katanya berasal dari kata Pimpin, dalam bahasa Arab memiliki arti al-Imam, al-Amir, Khalifah dan al-Rais. kemudian dalam bahasa Inggris3 berarti Lead 

Dalam bahasa Indonesia pemimpin sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. 

Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. 

Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama pimpin. Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda. 

Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. 

Sebagaimana diketahui bahwa istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin". 

Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan,khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. 

Kata pemimpin yang di dalam al-Qur’`an menggunakan kata khalifah, disebutkan sebanyak 127 kali, dalam 12 kata kejadian. Maknanya berkisar pada kata kerja “menggantikan”, “meninggalkan”, atau kata benda “pengganti”, atau pewaris. 

Secara terminologis, kata ini mengandung setidaknya dua makna ganda. Di satu pihak, khalifah diartikan sebagai kepala negara dalam pemerintah dan kerajaan Islam masa lalu, yang dalam kontek kerajaan pengertiannya sama dengan sultan. 

Di lain pihak, khalifah juga berarti dua macam. Pertama, diwujudkan dalam jabatan sultan atau kepala negara. Kedua, fungsi manusia itu sendiri di muka bumi sebagai ciptaan Allah Subhanahu wata'ala yang sempurna.

Istilah khalifah, di ungkapkan dalam Q.S. al-Baqarah (2):30 sebagai penegasan Allah Subhanahu wata'ala tentang penciptaan manusia untuk menjadi pemimpin. Bentuk plural (jamak) term khalifah tersebut adalah khalaif sebagaimana dalam Q.S. Fathir/ 35: 39, 

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ فِى الْاَرْضِۗ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهٗۗ وَلَا يَزِيْدُ الْكٰفِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ اِلَّا مَقْتًا ۚوَلَا يَزِيْدُ الْكٰفِرِيْنَ كُفْرُهُمْ اِلَّا خَسَارًا

Artinya :
Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi. Barangsiapa kafir, maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kemurkaan di sisi Tuhan mereka. Dan kekafiran orang-orang kafir itu hanya akan menambah kerugian mereka belaka.

Istilah khalifah dan khalaif bermakna pokok “mengganti”, dalam pengertian penggantian kedudukan kepemimpinan sebagaimana dalam Q.S. al-A’raf (7): 142;

 وَوٰعَدْنَا مُوْسٰى ثَلٰثِيْنَ لَيْلَةً وَّاَتْمَمْنٰهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهٖٓ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً ۚوَقَالَ مُوْسٰى لِاَخِيْهِ هٰرُوْنَ اخْلُفْنِيْ فِيْ قَوْمِيْ وَاَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيْلَ الْمُفْسِدِيْنَ

Artinya:
Dan Kami telah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat) tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan Musa berkata kepada saudaranya (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Musa dan Harun dalam ayat di atas adalah Nabi Allah ubhanahu wata'ala  dalam kedudukannya sebagai pemimpin agama, sehingga dapat dipahami bahwa khalifah adalah pemimpin ritual dan kepala pemerintahan umat islam yang mendapat petunjuk dari-Nya dalam menjalankan kepemimpinannya. 

Itulah sebabnya, pengganti Nabi shalallahu 'alaihi wassallam setelah wafat dalam mengurusi agama dan negara, disebut “Khulafa’ al-Rasyidin”. Selanjutnya, term Imamah ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah/ 2: 124:

 وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”

Khalifah adalah penguasa tertinggi. Bentuk jamaknya khalaif dan khulafa. Pada dasarnya khilafah merupakan sesuatu yang dicadangkan agar seseorang menjadi pelanjut atas seseorang. 

Atas dasar ini, maka orang yang menjadi pelanjut Rasulullah dalam melaksanakan hukum syara’ disebut khalifah.

Istilah imamah dalam ayat tersebut berasal dari kata imam yang pada mulanya berarti “pemimpin shalat”, tetapi dengan merujuk pada ayat yang telah dikutip, dipahami bahwa istilah imamah adalah dimaknai dengan “pemimpin agama” karena Ibrahim yang ditunjuk oleh ayat tadi adalah seorang nabi dan rasul yang darinya bersumber agama-agama tauhid untuk seluruh umat manusia. 

Secara terminologis, Istilah imamah dalam konteks Sunni dan Syiah berbeda pengertiannya. Dalam dunia sunni, imamah adalah lembaga pemerintahan keagamaan dan kenegaraan yang pemimpinnya di sebut khalifah, dan yang diakui adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. 

Sedangkan dalam Syiah, imamah bukan saja dalam konotasi lembaga pemerintah keagamaan dan kenegaraan tetapi mencakup segala aspek, termasuk dalam aspek nubuwwah (risalah kenabian), dan yang di akui hanya

Ali, juga keturunan Nabi shalallahu 'alaihi wassallam dari jalur Fathimah al-Zahrah, sehingga posisi Ali dan keturunannya dalam kepemimpinan sama dengan posisi yang di perankan oleh Nabi shalallahu 'alaihi wassallam.

Sehubungan dengan pengertian ini, ulama` asal Pakistan Abul A`la Al- Maududi telah mengarang sebuah buku yang berjudul al-khilafah wa al-Mulk. Menurutnya, istilah khilafah berasal dari akar kata yang sama dengan khalifah, yang berarti pemerintahan atau kepemimpinan.

Tugas dan Fungsi Kepemimpinan

Tugas kepemimpinan (leadership function), pada dasarnya meliputi dua bidang utama, yaitu pencapaian tujuan bersama dan kekompakan orang yang dipimpinnya.

Tugas yang berhubungan dengan pekerjaan di sebut releationship function. Tugas yang berhubungan dengan kekompakan disebut solidarity function.

Tugas kepemimpinan yang berhubungan dengan kelompok yaitu: 
  • memulai (initiating), 
  • mengatur (regulating), 
  • mendukung (supporting)
  • memberitahu (informating), 
  • menilai (evaluating), 
  • menyimpulkan (sumrizing).

Fungsi kepemimpinan adalah fungsi pembinaan, pengarahan dan penglibatan setiap pihak yang ada dalam lingkup kepemimpinan tersebut, guna memudahkan mencapai tujuan bersama. 

Dalam hal ini, memimpin menjadi penting untuk melakukan dua hal yang menjadi fungsi utamanya, yaitu: 

1. Berhubungan dengan tugas atau memecahkan masalah,
2. memelihara kelompok atau tatanan sosial, 

Yaitu dengan tindakan yang bisa menjamin berbagai perselisihan dan memastikan bahwa individu merasa dihargai oleh kelompok. 

Berbagai perselisihan dan memastikan bahwa individu merasa dihargai oleh kelompok. Sebagai tindak lanjut, fungsi kepemimpinan dibagi dalam delapan fungsi , yaitu sebagai: 
1. Penengah, 
2. Penganjur, 
3. Pemenuh tujuan, 
4. Katalisator, 
5. Pemberi jaminan, 
6. Yang mewakili,
7. pembangkit semangat, dan 
8. pemuji.

Terdapat beberapa indikator sederhana untuk mengukur sikap pemimpin yang konsem pada fungsi kepemimpinannya, yaitu: 

  • Menciptakan visi dan rasa komunikasi, 
  • Membantu mengembangkan komitmen dari pada sekedar memenuhinya, 
  • Menginspirasi kepercayaan, mengintegrasikan pandangan yang berlainan, 
  • Mendukung pembicaraan yang cakap melalui dialog, 
  • Membantu menggunakan pengaruh merek, 
  • Menfasilitasi, 
  • Memberi semangat pada yang lain, 
  • Menopang tim, dan 
  • Bertindak sebagai  contoh.

Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa mencari sosok pemimpin ideal memang bukan pekerjaan mudah atau tidak begitu instan, tetapi merupakan pekerjaaan yang harus diseriusi secara kontinyu 

Dalam bingkai pembinaan yang harus berjalan baik, sehingga stok kepemimpinan tidak pernah langka atau tidak tersedia. 

Pemimpin yang lahir dari sebuah proses pembinaan yang baik, tentu jauh lebih baik daripada pemimpin yang lahir secara instan karena popularitas, kedekatan maupun faktor keturunan dan lain sebagainya. 

Dalam mencari pemimpin, rekam jejak diri (track record) merupakan kunci pembuka untuk mengetahui kepribadian seorang pemimpin, 

Sebagaimana sikap keberagamannya, kiprahnya, kinerjanya dan atau bahkan kehidupan sehari-harinya bersama keluarga, masyarakat dan sebagainya, 

Yang akan dijadikan parameter untuk mengukur mengukur kelayakan seseorang menjadi pemimpin dalam sebuah level kepemimpinan tertinggi dalam tataran berbangsa atau bernegara.

Seorang kepala negara sekelas Umar bin Khattab begitu sangat selektif dalam memilih atau mengangkat pejabat atau pemimpin pada level yang lebih rendah yang akan membantunya dalam menunaikan tanggung jawab kepemimpinannya secara kolektif. 

Beliau hanya akan mengangkat pejabat yang dikenal kebaikannya secara umum. Bahkan Umar pernah marah kepada sahabat yang mengangkat pejabat dari orang yang tidak dikenalnya secara baik. 

Umar bertanya memastikan pengenalannya terhadap seseorang yang diangkatnya: “Sudahkah kamu bepergian (melakukan safar) bersamanya? Sudahkah kamu bersilaturahim kerumahnya?, sudahkah kamu berbisnis dengannya?” 

Dan sederetan pertanyaan lain yang kira-kira bisa membuka keadaan sebenarnya dari sosok calon pejabat yang akan dilantiknya tersebut.

Dalam konsep Islam, melahirkan kepemimpinan merupakan wilayah kerja pengabdian yang harus diberi perhatian besar karena fungsi kepemimpinan dalam Islam berdasarkan ‘siyasah syar’iyyah’ adalah hirasah al-din (memelihara ajaran agama) dan siyasah al-dunya (merancang strategi untuk kemaslahatan duniawi). 

Maka membangun kebaikan dalam sebuah masyarakat atau bangsa harus diawali dengan mempersiapkan para pemimpin yang baik dalam seluruh levelnya yang akan memelihara kebaikan dan menyebarkan kemaslahatan tersebut di tengah-tengah masyarakat mereka.

Beban kolektif yang ditanggung oleh sebuah komunitas Islam adalah kewajiban untuk melahirkan sosok pemimpin yang berfungsi untuk merealisasikan hirasah al-din (penjagaan agama) dan Siyasah al-dunya (strategi keduniaan), 

Sehingga kehadiran pemimpin yang agamawan sekaligus negarawan sebagaimana disebutkan pada dua ayat al-Qur’an, yaitu dalam Q.S. al-Anbiya (21): 73, dan Q.S. al-Sajadah (32): 24. 

Kedua ayat tersebut menuntut adanya kepemimpinan yang mampu membawa masyarakat dan bangsa mencapai negeri yang makmur yang senantiasa dalam kemakmuran dan ampunan Allah (baldatun tayyiban wa rabbun ghafur), sebagaimana yang dipahami dari Q.S. Saba: (34): 15.

Hakikat dan Urgensi Kepemimpinan dalam al-Qur’an

Secara umum, hakikat kepemimpinan dalam al-Qur’an pada tiga klasifikasi, yaitu; 

1. Ayat-ayat yang menunjuk pada kepemimpinan agama. 

Ayat-ayat pada kelompok ini dibagi kembali berdasarkan tema pembicaraan dan frekuensi keberulangannya. 

2. Ayat-ayat yang menunjuk pada kepemimpinan keluarga

Ini pun akan dibagi kembali berdasarkan tema dan frekuensi keberulangannya. 

3. Ayat-ayat yang menunjuk pada kepemimpinan Sosial kemasyarakatan, 

Ini juga  akan dibagi berdasarkan tema pembicaraan dan frekensi keberulangannya 

Pemimpin agama

Agama atau din di maknai dengan: pembalasan (Q.S al-Fatihah (1): 4), agama Islam secara khusus (Q.S Ali ‘Imran (3): 83) dan agama secara umum (QS al-Kafirun (109): 6).

1. Memelihara Keberlangsungan Agama

Tanggung jawab memelihara keberlangsungan agama ini dapat di amati dari penyampaian perjanjian Allah Subhanahu wata'ala kepada Nabi-Nya tentang keharusan ia membenarkan Nabi atau utusan-Nya yang telah didatangkan sebelum mereka. 

Hal ini sebagaimana di nukil pada Q.S Ali ‘Imran (3): 81). Ayat tersebut menjelaskan bahwa para Nabi berjanji kepada Allah Subhanahu wata'ala bahwa bila mana datang seorang Nabi atau Rasul kepada mereka, mereka akan beriman kepadanya dan menolongnya. Hal tersebut di sebabkan oleh misi yang dibawanya adalah sama, yaitu menyampaikan agama Allah

2. Memelihara Beribadah Kepada Tuhan

Seruan pertama yang di kumandangkan oleh setiap Nabi dan Rasul adalah; “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.”

Seruan di atas merupakan misi, Nabi Nuh menyeru kaumnya, begitu juga Nabi Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Syuaib, dan nabi-nabi yang lain pun di utus untuk itu, namun mereka semua didustakan oleh kaum mereka.

Perintah ibadah ini harus terus di dengungkan hingga menyentuh manusia yang menghuni Bumi terpencil sekali pun atau hingga penyeruannya menemui ajal mereka.

Allah telah menyampaikan perintah itu hingga kepada Nabi pilihan-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam., Sebagaimana dalam surah al-Hijr ayat 99 :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُ 

Artinya:
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.”

Penulis kitab Tafsir al-Sa’labi menulis bahwa yang di maksud dengan kalimat; “sampai datang kepadamu yang diyakini” pada ayat di atas adalah “al-ajal”. 

Sementara Quraish Shihab menyatakan bahwa kata (الیقین) al-yaqin pada ayat tersebut dipahami oleh beberapa ulama dalam arti kemenangan, namun sebagian besar mengartikannya dengan “kematian”.

3. Membacakan dan Mengajarkan Ayat-Ayat Tuhan 

Setiap Nabi datang kepada kaumnya dengan membawa misi dari Allah Subhanahu wata'ala. Misi ini terangkum dalam ayat-ayat Allah yang harus di emban oleh setiap nabi dengan cara membacakan ayat-ayat tersebut kepada kaumnya. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam surah al-Jumuah ayat 2 :

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّٖنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

Artinya:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (Al-Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”

Menurut Mustafa al-Maraghy, ayat tersebut adalah penjelasan tentang tujuan di utusnya seorang Nabi, yang secara global berupa tugas membacakan kepada umatnya ayat-ayat dari AllahSubhanahu wata'ala. Yang berisi petunjuk dan bimbingan agar mereka memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. 

Ibnu ‘Asyur menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan bahwa: Kata “fi” pada kalimat (الآمین في) fil amin yakni bahwa beliau senantiasa berada bersama mereka, tidak pernah meninggalkan mereka, dan bukan orang asing yang tiba-tiba muncul di antara mereka. 

Keterangan Ibnu Asyur ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam memimpin mereka dengan membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu wata'ala kepada mereka di berbagai tsempat dan keadaaan berhadapan dalam sebuah rentang waktu yang cukup panjang. 

4. Menegakkan Syari’at Agama

Menurut Yusuf Qardawi, syariat adalah sesuatu yang di tetapkan Allah Subhanahu wata'ala kepada hamba-Nya berupa tuntutan agama, atau sesuatu yang diperintahkan Allah Subhanahu wata'ala. 

Berkaitan dengan masalah-masalah agama seperti shalat, puasa, haji, zakat dan berbagai perbuatan baik dan buruk. 

Jadi yang dmaksudkan dengan tanggung jawab syariat disini adalah menegakkan syariat agama secara baik, sempurna serta berkesinambungan. 

Pemimpin Keluarga

Al-Qur’an menukilkan kisah para Nabi dan keluarganya dengan semua Nabi dan keluarganya denga beberapa tekanan penyampaian. 

Ada yang dikisahkan dengan menekankan pada dukungan dan sokongan keluarga atas misi sang Nabi, ada pula yang dikisahkan dengan menekankan pada pembangkangan keluarga atas misi yang di emban sang Nabi. 

Konsep kepemimpinan Nabi terhadap keluarganya adalah sebagai berikut:

1. Menanamkan nilai agama pada keluarga 
2. Membekali keluarga dengan budi pekerti mulia
3. Menumbuhkan kecintaan pada kebaikan
4. Mempersiapkan generasi yang kuat mental spritual

Nabi Sebagai Pemimpin Masyarakat

Al-Qur’an menjelaskan bahwa proses perkembangbiakan manusia dari laki-laki dan perempuan telah menjadi sebuah keniscayaan bagi manusia untuk berlanjutnya kehidupan kemanusiaan. 

Perjalanan panjang kehidupan manusia selalu disertai dengan usaha untuk saling kenal mengenal, selanjutnya terjalin ikatan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, semuanya dalam bingkai saling mengenal. 

Urgensi kepemimpinan untuk mengorganisasi kebutuhan akan keteraturan dan ketertiban dalam suatu masyarakat adalah sebuah keniscayaan dan tidak mungkin diabaikan. 

Ini dapat dibuktikan dengan realitas bahwa tanpa kepemimpinan, suatu organisasi atau kelompok akan menjadi semacam kumpulan orang-orang yang hidup tak beraturan, serupa dengan kumpulan alat-alat mesin (spare part) yang tidak teratur, berantakan dan kacau balau.

Dalam setiap komunitas, bahkan komunitas binatang sekalipun, selalu ada semacam naluri untuk menghadirkan pemimpin di tengah-tengah mereka, demikian tentunya dengan komunitas manusia. 

Persoalan pada komunitas manusia kemudian menjadi lebih rumit karena ada pengkondisian untuk saling berbuat pengaruh dalam sebuah suksesi kepemimpinan, sehingga ketenangan antar kelompok biasanya menjadi sulit dihindari, bahkan tidak jarang kemudian menjadi semacam permusuhan berkepanjangan dan diwariskan kepada generasi mereka.

Karena begitu pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam sebuah komunitas, maka dengan sendirinya, menjadi penting pula bagi setiap pemimpin untuk menyadari pentingnya peningkatan kapasitas diri agar kebutuhan terhadap keberadaannya relevan dengan kebutuhan kepemimpinan itu sendiri.

Modalitas utama yang harus dimiliki oleh seseorang pemimpin agar biasa mempertegas eksistensinya adalah: ability (kemampuan), capability (kesanggupan), personality (kepribadian), dan acceptability (penerimaan).

Jika seseorang mempunyai sebuah kekuasaan bersumber dari dirinya sendiri tentu menjadi sangat mandiri dibandingkan ketika seseorang memperoleh kekuasaan (power) akibat keputusan lembaga atau lingkungan. 

Untuk memahami kekuasaan pemimpin (power of the power) perlu dilihat adanya perbedaan sumber kekuasaan tersebut.

Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan pemimpin dengan kekuasaan kepemimpinan yang digenggamnya, akan memiliki keleluasaan dalam mengatur, menata dan mengarahkan orang yang dipimpinnya agar secara bersama-sama bekerja keras mewujudkan cita-cita bersama.

Demikian kiranya Makna Kepemimpinan dalam Ayat-ayat Al-Qur'an. Semoga dapat menambah pengetahuan kita. Terima kasih atas kunjungannya.

0 Response to " MAKNA KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak