Pernikahan Menutup Aib Menurut Hukum Islam

Pernikahan Menutup Aib Menurut Hukum Islam
Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan, dapat mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. 

Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah, sementara pembekalan untuk memasuki perkawinan belum siap, dianjurkan berpuasa.

Dengan berpuasa, diharapkan dapat membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu perzinahan.

Perkawinan adalah suatu akad yang mengandung diperbolehkannya wathi‟ (hubungan badan) dengan lafadz nikah atau tazwij atau terjemahannya.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian adalah yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. 

Untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan meterial.

Sedangkan Aib dalam pernikahan adalah segala keadaan yang menghilangkan tujuan utama nikah. Dan dipahami bersama bahwa tujuan utama diantaranya adalah mut‟ah (kenikmatan), khidmah (pelayanan), dan injab (tidak mandul).

Tiga hal ini adalah tujuan yang paling utama, jika ada keadaan yang menghalangi tiga hal diatas maka itu termasuk cacat. 

Oleh karena itu, jika seorang istri menjumpai suaminya ternyata mandul atau suami mendapati istrinya mandul maka ini termasuk aib. 

Atau suami baru tahu kalau istrinya tuli atau bisu, atau suami baru tahu ternyata istrinya buta maka itu juga aib, karena pasangan yang buta akan mengurangi dua tujuan nikah, mut‟an (kenikmatan) dan khidmah (pelayanan).

Di dalam Islam suatu aib yang terdapat dalam diri seorang muslim harus di tutupi, sekecil apapun aib tersebut. Seperti yang tertera dalam Qur‟an Surat al-Hujarat ayat 12 :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: 
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan),karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Hujarat :12)

Pada dasarnya pernikahan yang dilakukan karena kemaksiatan baik itu dari laki-laki maupun perempuan yang melakukan kemaksiatan itu hukumnya haram sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3:

اَلزَّانِيْ لَا يَنْكِحُ اِلَّا زَانِيَةً اَوْ مُشْرِكَةً ۖوَّالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَآ اِلَّا زَانٍ اَوْ مُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: 
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”

Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya. 

Berdasarkan hal diatas, beberapa ulama berpendapat bahwa laki-laki yang berzina tidak menikah kecuali dengan perempuan pezina pula, mereka menganggap bahwa ini merupakan pesan illahi yang wajib dilaksanakan. 

Karena banyak ditemukan laki-laki yang berbuat zina banyak menikahi perempuan yang suci dan baik, begitupun sebaliknya wanita pezina menikah dengan laki-laki baik.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal bahwa tidak sah akad nikah seorang laki-laki yang baik dan suci jika menikahi pelacur hingga perempuan itu bertaubat kepada Allah. Apabila ia telah bertaubat maka hukum akadnya tetap sah. Begitupun sebaliknya. 

Perzinahan termasuk didalam kategori aib bagi orang yang melakukannya, yaitu termasuk didalam kategori aib Fi‟li atau aib yang timbul karena suatu kemaksiatan.

Adapun aib yang ada pada seseorang bisa dibagi menjadi dua kategori:

1. Aib yang sifatnya khalqiyah

Yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain.

Aib seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan.

Karena perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya.

2. Aib Fi'li 

Yaitu berupa perbuatan maksiat, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.  Larangan bagi umatNya untuk membuka ataupun mencari-cari aib orang lain. 

Tapi lain halnya dengan aib dalam suatu pernikahan, anjuran untuk mengatakan sejujurnya bagi pasangan yang hendak menikah sangat ditekankan oleh Allah, berkata jujur dan apa adanya, dan apabila kedua belah pihak telah mengetahui aib tersebut, calon istri ataupun suami tersebut memiliki hak pilih (Khiyar), sesuai dengan hadist berikut :

عَنْ عَمْرُو ابْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ (رواه الترميذى والنسائي)

Artinya:
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Dalil yang dijadikan dasar disyariatkan (kebolehan) khiyar Syarat adalah hadis yang diriwayatkan imam al-Bukhari, Musllim, Nasa’i dan Abu Dawud:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتِ الْبَرَكَةُ مِنْ بَيْعِهِمَا. قَالَ أَبُو دَاوُدَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا أَوْ يَخْتَارَ. (رواه أبو داود)

 “Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyikan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.” (HR. Al-Bukhari-Muslim dan imam ahli hadis lainnya)

Dari penjelasan diatas, selagi calon suami bisa menerima aib dari istri tersebut maka terdapat khiyar bagi calon suami apakah ia bisa menerimanya atau menolaknya, apabila ia menerima maka tidak terdapat larangan ataupun pembatalan (bagi yang telah menikah) atas pernikahannya tersebut dengan cacatan tidak mengungkit, atau menyinggung, menyakiti hati sang istri dikemudian harinya. 

Aib dalam pernikahan harus dibuka bertujuan untuk agar tidak ada penyesalan dikemudian hari, seburuk apapun keadaan (besarnya aib) dalam diri kita harus diketahui baik aib tersebut dari wanita ataupun laki-laki yang hendak menikah, tidak ada tipu daya didalamnya seperti hadis nabi berikut :

 مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Artinya “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.”

Dengan berkata jujur dalam suatu peminangan, pasangan calon suami istri ini dapat mempertimbangkan pilihan nya apakah ia bisa menerima atau tidak pasangannya tersebut karena itu sangat dianjurkan seseorang yang ingin menikah harus melihat terlebih dahulu wanita yang ingin dipinangnya, sesuai dengan hadist berikut :

عن موسى ابن عبد اهلل عن ايب محيدة قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليو و سلم اذاخطب احدكم امرأة فال جناح عليو ان ينظر منها اذا كان امنا ينظر اليها للخطبة و ان كانت ال تعلم (رواه امحد)

Artinya: Dari Musa Bin Abdullah di ceritakan dari Humaid ra Sesungguhnya Rosulullah bersabda: jika salah seorang si antara kamu meminang seorang perempuan maka tidaklah dosa melihatnya, apabila melihatnya itu semata-mata karena untuk meminang meskipun perempuan yang dilihat itu tidak tahu. (HR. Ahmad).

Di dalam suatu pernikahan juga terdapat suatu anjuran yaitu melihat seseorang dari segi Kafa‟ah (kesepadanan), dengan adanya suatu aib diantara laki-laki atau perempuan yang akan menikah. 

Maka terdapat tingkat sekufu‟ di antar mereka, aib merupakan suatu cacat dalam pernikahan, Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut faskh. 

Karena orang cacat dianggap tidak sekufu‟ dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta atau lepra.

Sebagai kriteria kafa‟ah, segi ini hanya diakui oleh ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi‟i ada juga yang mengakuinya. 

Sementara dalam Mazhab Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut tidak menghalangi kufu‟nya seseorang. 

Walaupun cacat tersebut dapat menghalangi kesekufu‟an seseorang, namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan.

Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria kafa‟ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak menerima. 

Akan tetapi jika terjadi kasus penipuan atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan untuk menuntut faskh

Keabsahan pernikahan karena menutup aib Fi’li (akibat kemaksiatan).

Dua aib khusus pada laki-laki yaitu: jub (terkebiri) dan „anah (impotensi).

Tiga aib khusus pada wanita yaitu: „itq, qarn dan al-„afl. Diriwayatkan dari Abu Hafsh, bahwa al-„afl itu seperti buih dalam vagina (kemaluan wanita) yang menghalangi kenikmatan bersenggama. Dan ini adalah aib yang nyata.

Pembatalan nikah dikhususkan dengan aib-aib ini, karena mengahalangi kenikmatan yang dituju dari pernikahan. 

Sebab, lepra dan belang dapat membangkitkan rasa jijik dalam diri, sehingga menghalangi untuk mendekatinya dan dikhawatirkan dapat menulari diri sendiri dan keturunan.

Jika salah seorang dari suami isteri gila, lepra atau belang, maka yang lainnya berhak membatalkan pernikahan. Tetapi jika ia rela setelah mengetahui aib tersebut, maka tidak ada pembatalan untuknya. 

Jika wanita membatalkan, maka ia tidak berhak mengambil sesuatu dari mahar yang seharusnya menjadi haknya. Jika ia membatalkannya sebelum persetubuhan, maka maharnya gugur, dan jika pembatalan dilakukan sesudahnya, maka maharnya tidak hilang (tidak gugur)

Abu Bakar dan Abu Hafsh berkata: „Jika salah satu dari keduanya tidak dapat menahan air seni atau kotorannya, maka yang lainnya berhak khiyar.

Khiyar adalah pilihan dalam suatu pernikahan, pilihan tersebut merupakan pilihan yang ditentukan oleh suami atau istri saja setelah mengetahui keadaan masing-masing (aib), setelah mengetahui semuanya maka terdapat khiyar didalamnya.

Dari perjelasan diatas jelas bahwa orang yang mempunyai aib baik wanita ataupun laki-laki boleh menikah dengan orang yang tidak mempunyai aib, selagi aib tersebut diketahui oleh masing-masing pihak, dan kedunya pun ridho untuk menerima keadaan tersebut, maka tidak ada halangan keduanya untuk menikah ataupun membatalkan pernikahannya (fasakh)

Dari kajian Pernikahan Karena Menutup Aib Menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Di dalam Hukum Islam terdapat larangan Pernikahan karena menutup aib Fi‟li (aib dari kemaksiatan), karena Allah telah menegaskan didalam Al-Qur'an bahwa pezina laki-laki harus menikah dengan wanita pezina pula, begitupun sebaliknya.

Dikarenakan banyak laki-laki pezina menikahi wanita baik lagi suci, dan begitupun dengan wanita pezina yang menikah dengan laki-laki suci.

2. Bila mana terdapat unsur penipuan di antara keduanya baik lakilaki maupun dari pihak perempuan maka pernikahannya tidak sah, tetapi Hukum Islam memberikan suatu Khiyar (pilihan) terhadap calon suami atau istri yang menerima kejujuran dari pasangannya, mengetahui seluruh aib yang ada sebelum atau sesudah terjadi pernikahan tersebut. 

Apabila setelah mengetahui aib itu ternyata ia Ikhlas menerima nya maka tidak ada larangan jelas atau Fasak didalam pernikahan tersebut

Kepada masyarakat sebaiknya menghindari pernikahan semacam ini walaupun tidak ada larangan pasti untuk melaksanakannya, baik laki-laki maupun perempuan, karena kita tidak mengetahui pasti aib tersebut apakah cepat hilang, atau malah menimbulkan masalah dikemudian harinya. 

Tetapi apabila ditemukan seperti ini terjadi, dan siap menerimanya maka terimalah dengan ikhlas dengan penuh kerelaan, jangan sampai mengungkit yang telah terjadi, saling menjaga perasaan satu sama lainnya. 

0 Response to "Pernikahan Menutup Aib Menurut Hukum Islam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak