Pintu masuk kemaksiatan

Pintu masuk kemaksiatan

Maksiat masuk ke dalam diri seorang hamba melalui empat pintu yang disebutkan di atas. Dalam bagian ini akan dijelaskan satu persatu empat hal tersebut secara rinci.

1. Pandangan mata

Pandangan mata adalah dorongan yang muncul pertama kali ketika seseorang melihat sesuatu. Bila dorongan itu jelek, berarti itu adalah dorongan syahwat. Menjaga pandangan merupakan benteng bagi kemaluan. Sengaja mengumbar pandangan sama artinya dengan membiarkan diri terseret menuju sumber kebinasaan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Jangan engkau menyusuli pandangan dengan pandangan. Untukmu hanya (pandangan) yang pertama, sedangkan yang kedua bukan untukmu.” (HR. Tirmidzi).

Kalau Anda kebetulan melihat perempuan, pandanglah sepintas saja. Jangan diulang lagi karena pandangan yang kedua bukan hak Anda.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Pandangan mata adalah panah berbisa di antara panah-panah iblis. Untuk orang yang memejamkan matanya dari perempuan, Allah mewariskan dalam hatinya iman (keindahan) sampai hari pertemuan dengan-Nya."

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Tundukkanlah pandanganmu dan jagalah kehormatanmu."

Sabdanya lagi, “Hendaknya kalian menghindari duduk-duduk di pinggir jalan.” 

Mereka bertanya, “Rasulullah, itu adalah tempat duduk kami, lalu kami mesti di mana?” 

Rasulullah menjawab, “Jika kalian masih melakukan itu, berikan kepada jalan itu haknya.”

Mereka bertanya, “Apa hak bagi jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, tidak mengganggu, dan menjawab salam.” (HR. Bukhari).

Pandangan mata merupakan awal petaka buruk yang menimpa manusia. Pandangan dapat menumbuhkan perasaan, lalu perasaan akan melahirkan pikiran. 

Setelah itu, tumbuhlah syahwat, yakni syahwat untuk melampiaskan keinginan. Selanjutnya, terjadilah perbuatan. Selama tak ada yang menghalangi, perbuatan itu bisa terjadi berulang-ulang hingga terakumulasi menjadi penyakit.

Dalam hal ini dikatakan, “Sabar dalam menahan pandangan lebih ringan akibatnya daripada sabar terhadap rasa pedih sesudahnya (sesudah membiarkan pandangan lepas).”

Dikatakan oleh seorang penyair:

“Segala kejadian mulainya dari pandangan kobaran api berawal dari percikan bara tak terbilang pandangan mata yang menembus hati pemiliknya bagai anak panah melesat dari busurnya pandangan mata akan berhenti pada rasa dan imajinasi mudah cara mengatakan, tak berbahaya suaranya tiada sambutan menyenangkan, ia kembali membawa bencana.”

Penyakit dari pandangan mata adalah munculnya kecemasan. Ia membawa percikan api yang kemudian berkobar membakar. Bila seseorang tak sanggup menahannya dan tak kuasa memikulnya, akan jatuhlah siksa yang besar. 

Anda akan melihat sesuatu yang membuat Anda tak sabar dan tak kuasa menyaksikannya, yakni terjebak dalam bahaya pandangan mata.

Banyak orang melayangkan pandangan, lalu tak bisa lepas dari sesuatu yang ia pandang. Ia terpaku di situ, kaku bagai mati. Pandangan mata itu bisa melukai hati, lalu disusul dengan luka-luka berikutnya, dan berikutnya. 

Kesudahannya, seseorang tak sanggup lagi melepaskan diri dari belitan luka akibat pandangan yang diumbar berulang-ulang.

Kata seorang penyair:

“Selalu saja pandangan demi pandangan susul-menyusul memburu kesan dari segala nan indah dan manis kau sangka itulah penawar pedihmu padahal sebenarnya justru penoreh luka di atas luka kau bunuh matamu dengan pandangan dan air mata maka hatimu juga akan tercabik-terkoyak.”

2. Gambaran yang Terlintas di Hati

Gambaran yang terlintas di dalam hati lebih sukar dihilangkan. Itu merupakan awal dari kebaikan atau kejahatan, sebab dari situlah munculnya hasrat, angan-angan, dan kemauan keras. 

Barangsiapa mampu mengekang gambaran yang terlintas di hati dan pikirannya, berarti ia berhasil menguasai diri dari amarah dan hawa nafsu.

Sebaliknya yang terjadi bila seseorang dikuasai atau dikalahkan oleh bayangan di dalam hati dan pikiran. Hawa nafsunya akan mendominasi sehingga dia mudah terjerat dalam maksiat dan kekejian.

Lebih-lebih kalau bayangan itu terlintas berulang-ulang di dalam hati hingga akhirnya menjadi angan-angan sesat dan obsesi yang menyimpang. 

Allah berfirman, “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat perhitungannya.” (OS. An-Nur: 39).

Orang yang paling buruk kemauannya dan paling hina jiwanya adalah orang yang merelakan hakikat kebenaran digantikan oleh angan-angan yang keliru, kemudian bahkan diberi tempat di dalam hatinya. Semua itu menjadi makanan pokok bagi jiwa yang kosong, yang merasa puas dengan kehadiran khayalan hampa, dusta hakiki, dan obsesi semu.

Perbuatan seperti itu sangat berbahaya bagi manusia karena bisa melahirkan kelemahan, kemalasan, kepasifan, kecemasan, dan penyesalan.

Bila seseorang gemar berangan-angan, berarti dia telah kehilangan kesadaran akan hakikat dalam jasmaninya. Angan-angan menancap dengan kuat di dalam hatinya, dan ini membuka peluang bagi kesinambungan fantasi-fantasi semu yang tak mendatangkan kebaikan apa pun. Dia tak ubahnya bagai orang lapar dan dahaga yang mengangankan makanan dan minuman, tetapi tak mampu meraihnya.

Mengumbar dan memanjakan angan-angan menunjukkan hinanya jiwa seseorang. Hanya dengan kemuliaan, kecerdasan, kesucian, dan keagungan jiwalah semua  fantasi menyimpang bisa dienyahkan.

Gambaran positif yang terlintas di dalam hati berkisar pada empat pokok, yaitu:

1. Gambaran yang berkisar pada manfaat dunia,

2. Gambaran untuk menangkal hal-hal yang merugikan dunia,

3. Gambaran tentang kemaslahatan akhirat,

4. Gambaran untuk menangkal segala yang merugikan akhirat.

Seorang hamba haruslah membatasi bayangan yang melintas di hati dan pikirannya pada empat pokok di atas saja. Jika keempat pokok itu memungkinkan untuk digabungkan maka tak perlu ada yang ditinggalkan. 

Namun, bila keempat-empatnya saling berebut untuk menunjukkan eksistensinya, sebaiknya ia mendahulukan yang terpenting, yaitu yang dikhawatirkan akan hilang. Berikutnya baru yang kurang penting, yang tidak dikhawatirkan hilang.

Selanjutnya masih ada dua lagi: Pertama, yang penting dan tidak hilang. Kedua, yang tidak penting dan hilang. Masing-masing dari keduanya minta didahulukan. Kalau mendahulukan yang penting, dikhawatirkan yang kurang penting berkurang, bahkan boleh jadi hilang. Kalau mendahulukan yang tidak penting, hilanglah fokus bagi yang penting.

Kemudian, dipertimbangkanlah dua hal yang tak mungkin digabungkan antara keduanya, di mana yang satu tidak akan menghasilkan, kecuali dengan menghilangkan yang lain.

Di sinilah dituntut adanya kemantapan penggunaan akal, kecerdasan, dan pengetahuan. Dari sinilah orang bisa meningkat dan sukses. Banyak orang yang mengagungkan logika dan pengetahuannya, tetapi lebih mengutamakan yang tak penting dan bisa berkurang, dan bukan mengagungkan yang penting dan yang tak bisa berkurang. Anda tidak akan menemukan seseorang yang selamat dari hal itu. Ironisnya, banyak manusia yang terjebak dalam sikap demikian. Sungguh, mereka itulah golongan yang merugi.

Untuk memperkuat kaidah-kaidah dalam pasal ini, yaitu kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh manusia, kita perlu mengembalikan segala sesuatu kepada agama dan takdir-Nya. Ke sana pulalah semua makhluk berikut seluruh persoalannya akan kembali. 

Dalam hal ini, bila ada dua kemaslahatan yang dihadapi, agama mengutamakan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi. Tak apa bila kemaslahatan yang kecil hilang, asalkan kerusakan yang lebih besar terhindarkan. Singkat kata, rumus yang dipakai adalah: mengabaikan satu kemaslahatan untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar, dan memilih satu kerusakan untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar.

Perenungan akal dan logika tidak akan mampu mencapai kebenaran mutlak. Itu sebabnya syariat Islam diturunkan, dan hanya dengan mengikuti syariat itulah kemaslahatan dunia dan akhirat bisa ditegakkan. 

Adapun perenungan yang paling tinggi dan paling bermanfaat ialah perenungan tentang Allah dan tentang akhirat. Penghayatan tentang Allah ini ada berbagai macam:

Pertama, merenungkan ayat-ayat-Nya dan segala hal yang berkaitan dengan hal itu, dan berusaha memahami maksud beserta tujuannya. Allah menurunkan ayat-ayat-Nya bukan untuk sekadar dibaca, sebab membaca hanyalah jalan menuju pengamalan. 

Sebagian kaum salaf berkata, “Allah menurunkan al-Our'an untuk diamalkan, jadi tingkatkanlah bacaan menjadi amal.”

Kedua, merenungkan fenomena ayat-ayat Allah yang bisa disaksikan. Lalu mengambil pelajaran dan petunjuk tentang norma-norma, sifat-sifat, hikmah dan kebijaksanaan, serta kebaikan dan kemurahan-Nya. 

Allah menganjurkan agar hamba-Nya berpikir dan bertafakur tentang ayat-ayat-Nya dan merenungkan sebab-akibat dengan segala keterkaitannya. Allah mencela orang-orang yang melupakan hal itu.

Ketiga, memikirkan dan merenungkan nikmat-Nya, ihsin-Nya, kebaikan-Nya, anugerah-Nya dalam berbagai nikmat yang diberikan kepada makhluk-Nya, keluasan-Nya, maghfirah-Nya, dan kebesaran-Nya.

Tiga hal tersebut direnungkan dengan hati, yaitu dengan makrifat tentang Allah. Dengan demikian, manusia bisa mencintai-Nya, takut kepada-Nya, berharap hanya kepada-Nya, dan selalu berdzikir untuk menuju makrifat yang sebenarnya.

Keempat, introspeksi diri, yaitu memikirkan cacat-cacat perbuatan yang pernah dilakukan. Ini besar sekali manfaatnya karena bisa membukakan pintu kebaikan. 

Di antara efeknya adalah menghancurkan jiwa ammirah sehingga tumbuh jiwa muthma' innah, yakni jiwa yang tenang, yang bangkit dan menjadi pegangan bagi seseorang. Hati pun menjadi hidup.

Semua perkataan atau pikiran yang muncul terkontrol dan terkendali, sementara anggota badannya senantiasa bergerak untuk kebaikan.

Kelima, wajib bagi akal pikiran untuk terus bergerak sesuai putaran waktu demi aktualisasi fungsinya dan menghimpun seluruh keinginan. Orang yang tahu waktu adalah “anak sang waktu." 

Bila ia menyia-nyiakan waktu, hilang pulalah kemaslahatan atau segala upaya kebaikannya. Semua kebaikan berjalan dalam putaran waktu. Bila hilang, ia tak mungkin lagi dikejar.

Imam Syafi'i menceritakan, “Aku telah berkawan dengan golongan sufi dan tidak menemukan manfaat yang berarti dari mereka selain dua kalimat. Pertama:

“Waktu itu bagaikan pedang. Bila engkau tak bisa menggunakannya, waktulah yang akan menggilas-mu. Sedangkan kalimat yang kedua: “Bila jiwa tidak kau sibukkan dengan kebenaran, dialah yang akan menyibukkan dirimu dengan kebatilan.”

Waktu yang dimiliki manusia adalah usianya.

Usia bisa menjadi bekal untuk meraih hidup kekal dalam kenikmatan yang bersifat konstan, atau mungkin menjadi bekal meraih hidup yang pendek dalam siksa yang pedih. Usia berjalan lebih cepat daripada awan. Waktu yang diperhitungkan oleh Allah atas diri manusia adalah hidup dan umurnya.

Di luar itu tidak dihitung sebagai hidupnya. Dalam usianya ini, manusia hidup bagaikan binatang. Bila ia cuma menghabiskan waktu dalam kealpaan, angan-angan batil, dan berlalai-lalai, maka mati lebih baik daripada hidup yang demikian.

Seorang hamba yang sedang mendirikan shalat harus fokus dengan shalatnya. Demikian pula pemanfaatan usianya, seluruhnya harus ia lakukan karena Allah.

Sekarang kita kembali pada gambaran yang terlintas dalam hati dan pikiran, yakni yang merupakan bisikan setan atau angan-angan batil. Ini merupakan perangkap yang setingkat dengan angan-angan orang mabuk. 

Sesuatu yang terlintas sebagai fantasi saja sebenarnya tidak berbahaya. Tetapi, meladeninya “berbicara” hingga mendatangkan kebatilan, itulah yang berbahaya. Apa yang terlintas di hati pada dasarnya sama dengan sesuatu yang lewat di jalanan.

Kalau dibiarkan, ia akan berlalu. Namun, kalau dipanggil dan diajak bercanda, ia akan menundukkan dan memperdayai. Hal itu sangat mudah masuk ke dalam jiwa yang kosong dan rusak. Sebaliknya, sulit memasuki jiwa yang mulia dan tegar.

Allah membekali manusia dengan dua jiwa, yaitu jiwa ammirah dan jiwa muthma' innah. Yang pertama adalah jiwa yang cenderung kepada perbuatan yang tidak baik, dan satunya lagi adalah jiwa yang tenang, penuh keimanan, lagi cenderung pada kebaikan.

Apa yang ringan bagi jiwa yang satu adalah berat bagi yang lain. Yang terasa nyaman bagi yang satu justru terasa pedih bagi yang lain. Jiwa ammirah dan jiwa muthma' innah selalu bertolak belakang.

Sulit bagi jiwa ammirah untuk beramal demi Allah dan ridha-Nya semata. Mengutamakan ridha dan mengalahkan nafsu dipandang berat, ridha-Nya dianggap tak bermanfaat. 

Sebaliknya, bagi jiwa muthma' innah tidak ada amal yang dirasa terlalu berat, asalkan diperuntukkan bagi Allah semata.

Adapun amal yang didorong oleh hawa nafsu adalah hal yang paling membahayakan pelakunya tak ada yang lebih berbahaya daripada itu.

Dilihat posisinya, malaikat berada di sebelah kanan hati, sedangkan setan bersemayam di sebelah kirinya. Perang antara keduanya berlangsung terus-menerus tanpa gencatan senjata, sepanjang nyawa masih melekat di badan. Semua kebatilan akan bergabung dengan setan dan jiwa ammirah, sedangkan semua kebenaran menyertai malaikat dan jiwa muthma' innah. 

Barangsiapa bersabar, tabah, waspada, dan bertakwa maka baginya pahala di dunia dan akhirat. Allah telah menetapkan hukum yang tak pernah berubah, berupa pahala bagi orang-orang yang bertakwa.

Hati bisa diibaratkan papan kosong. Kesan-kesan di sekitar kitalah yang mengukir pahatan di permukaannya. Maka, patutkah seorang yang berakal menyimpan hati yang berukir dusta, tipu daya, dan angan-angan batil? Dalam keadaan demikian, mana mungkin hikmah, ilmu, dan petunjuk bisa diukir di situ?

Hikmah, ilmu, dan petunjuk adalah kebenaran hakiki. Mana mungkin mengukir ilmu yang sarat manfaat di papan yang telah dipenuhi coretan-coretan tiada guna? 

Ketahuilah, bila hati telah penuh sesak dengan fantasi buruk, pasti ia tak bisa berbagi tempat dengan gambaran yang baik dan berguna. Gambaran yang berguna hanya mau singgah di tempat yang kosong dari lukisan-lukisan batil.

Ini banyak dialami oleh tokoh-tokoh ilmu suluk atau tarekat. Mereka membangun tarekat dengan menekan dan memasung gambaran yang terlintas di dalam hati. Mereka tidak memperbolehkan satu gambaran pun masuk ke dalam hati. 

Dengan begitu, hati menjadi kosong, lalu tersingkaplah hijab sehingga mereka mampu melihat realitas hakikat yang agung.

Mereka menyimpan sesuatu sehingga yang lainnya harus menyingkir dari hati. Mereka mengosongkan hati dari bayangan-bayangan semu sehingga hati itu tetap kosong dan setan mendapatinya dalam keadaan kosong pula. 

Bila sudah demikian, berlomba-lombalah kebatilan untuk mengotorinya, dan setan berusaha mengalahkan kejernihan hati itu melalui berbagai keadaan yang mereka alami. Kemudian mereka, para penempuh tarekat itu, melawan gangguan-gangguan tersebut dengan ilmu dan petunjuk.

Apabila hati tak menyimpan gambaran apa pun, setan akan menemukannya dalam keadaan kosong, lalu berusaha mengisinya penuh-penuh dengan sesuatu yang sesuai dengan minat pemiliknya. 

Bila seseorang tidak memenuhi hatinya dengan gambaran-gambaran yang luhur, setan akan memadatinya dengan hasrat-hasrat yang buruk dan tiada guna.

Untuk menghadapi itu, langkah yang paling tepat dan menguntungkan adalah berusaha sekuat tenaga untuk menguasai hati agar hanya menghendaki sesuatu yang dikehendaki, diperintahkan, dan diridhai Allah. Di sisi lain, perenungan dan penghayatan tentang Allah ini juga mendatangkan ujian berat. 

Kesibukan hati terhadap makrifat (pengetahuan) tentang Allah secara terinci, tentang hakikat semua perintah-Nya, bertawashshul dengan makhluk, benda, keadaan, hal, dan sebagainya sebagai sarana pelaksanaannya, bisa membuka peluang bagi setan untuk menyusup ke dalam suatu gambaran untuk menyesatkan. 

Setan-setan itu, dengan cara teramat halus, menggiring seseorang menjauh dari ajaran yang benar. Slogan yang dibisikkan adalah agar manusia mengabaikan gambaran-gambaran duniawi berdasarkan kehendak setan.

Maka, sikap yang lebih baik adalah menjaga hati agar tidak kosong dari kesan, angan-angan, dan obsesi. Kesempurnaan yang sempurna adalah saat hati dipenuhi angan-angan, gambaran, kehendak, dan pikiran yang mengarah pada pencarian keridhaan Allah, lalu memikirkan jalan (tarekat) menuju kesempurnaan tersebut. 

Manusia yang paling sempurna adalah yang paling banyak memiliki obsesi, sering berkontemplasi, dan pikirannya hanya tertuju pada usaha untuk meraih kesempurnaan. 

Kekurangsempurnaan lebih banyak disebabkan oleh kesan, bayangan, pikiran, serta kehendak yang berkaitan dengan nasib diri dan hawa nafsunya di mana pun berada. Wallahu a'lam.

Adalah Umar bin Khaththab radhiyallahu Anhu, sahabat yang selalu dilingkupi berbagai gambaran tentang hal-hal yang membawanya pada keridhaan Allah. Dia menempuh jalan itu dalam pelaksanaan shalat. 

Maka ia tetap teguh mendirikan shalat kendati sedang berada di tengah pertempuran sengit, sebab ia menganggap shalat adalah jihad, demikian pula ibadah-ibadah lainnya.

Masalah ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh seorang yang jujur dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Saat melebur ke dalam suatu ibadah, ibadah-ibadah lain mengikutinya. Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya.

3. Ucapan

Ucapan adalah sesuatu yang tersimpan, yang tak dikeluarkan kecuali karena suatu kepentingan.

Sebuah ucapan seharusnya tidak dikeluarkan dengan sia-sia. Sebaiknya seseorang tidak mengucapkan sesuatu, kecuali bila menguntungkan atau bermanfaat bagi agamanya. Kalau suatu perkataan hendak dilontarkan, dia melihat dulu apakah ada untungnya atau tidak. Bila ternyata tidak, tak perlu dia mengucapkan sesuatu dengan sia-sia.

Kalau Anda ingin mendapatkan dalil atau petunjuk tentang apa yang ada di hati, carilah di lidah. Indera inilah yang akan memberitahu Anda tentang kebaikan atau keburukan sesuatu yang ada di dalam hati itu.

Yahya bin Mu'adz berkata, “Hati itu serupa dengan wadah. Lidah yang akan mencecap atau mengambil apa yang ada di dalam hati untuk Anda.

Terkadang manis, tak jarang asam, sering pula tawar, asin, dan sebagainya. Kemudian akan tercecap oleh Anda rasa hatinya sebagai hasil yang dikais oleh lidah, sebagaimana Anda mencicip makanan di wadah dengan lidah. 

Karena itu, Anda mendapatkan ilmu dengan hakikatnya. Begitulah hubungan antara hati seseorang dengan lidahnya sendiri.”

Hadis yang dibawa Anas (marfi') berikut ini menggambarkan hal di atas, “Tidak akan lurus iman seseorang hingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya hingga lurus pula lidahnya.” (HR. Ahmad).

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah tentang sesuatu yang menyebabkan orang terjerumus ke dalam neraka. Beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi).

Mu'adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah tentang amal apa yang dapat memasukkan manusia ke surga dan menjauhkannya dari neraka. 

Beliau memberitahu pokoknya, tiangnya, dan puncaknya, kemudian berkata, “Bagaimana jika kuberitahukan kepadamu cara memperoleh itu semua?” Mu'adz menjawab,

“Tentu, Rasulullah.” Beliau pun memegang mulutnya lalu berkata, “Peganglah (tahanlah) ini baik-baik.”

Mu'adz pun bertanya, “Apakah kita akan dihukum karena apa yang kita ucapkan?” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

“Aku bersumpah, bukankah mereka itu ditelungkupkan wajahnya (dijerembabkan) ke dalam neraka hanya karena lidah mereka?” (HR. Tirmidzi).

Banyak manusia mudah menjaga diri dari makanan haram, perbuatan kejam, zina, pencurian, minuman keras, memandang perempuan, dan lain-lain, tetapi sulit menjaga lidahnya. Ada orang yang mendapat anugerah petunjuk tentang agama, kezuhudan, dan ibadah, tetapi tak mampu menahan bicaranya sehingga kata-katanya mendatangkan amarah Allah. 

Kondisi ini sebenarnya sungguh tak masuk akal. Derajat pelakunya akan turun secara drastis, sejauh jarak antara timur dan barat, gara-gara satu perkataan saja.

Banyak pula orang yang mampu menjaga diri dari perbuatan keji, mesum, zalim, dan jahat. Akan tetapi, lidahnya berputar-putar menggunjingkan kejelekan orang yang masih hidup dan yang sudah mati. Ia seperti tak peduli dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. 

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim dari Jundub bin Abdillah, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam melukiskan sebuah ucapan yang membawa pada kesalahan. Sabda beliau, “Berkatalah seorang lelaki, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni orang itu (si Fulan).” Lalu dalam hadis gudsi, Allah menegur, “Maka berfirmanlah Allah Yang Mahamulia, “Barangsiapa bersumpah atas-Ku, mengurangi atas-Ku (mendiskreditkan Aku), Aku tidak (akan) mengampuni si Fulan. Aku sebenarnya telah mengampuninya, tetapi satu perkataan itu justru telah menyesatkan amalnya.” (HR. Muslim).

Dalam kitab ash-Shahihain, dari hadis riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya hamba itu berbicara sepatah dari perkataan yang diridhai Allah. Ia tidak menemukan atau menjumpai keadaan di mana Allah tidak akan meninggikan derajat karena kata-kata itu. Dan sesungguhnya hamba itu mengucapkan sepatah kata yang dimurkai Allah. Ia tidak menjumpai padanya suatu keadaan (akal) yang tidak menjerumuskannya ke dalam Jahanam.” (HR. Muslim).

Dalam Sunan at-Tirmidzi, dari hadis yang di-informasikan Bilal bin Harits dari Rasulullah, Nabi

Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu perkataan yang diridhai Allah. Ia tidak menyangka bahwa perkataannya itu akan sampai kepada sesuatupun. Maka Allah menulis (menetapkan) dengan satu perkataan yang diridhai-Nya hingga Hari Kiamat. Dan sesungguhnya orang itu tidak menyangka bahwa perkataannya itu akan sampai kepada sesuatu, maka Allah menulis (menetapkan) dengan satu kata itu hingga hari perjumpaan dengan-Nya.”

Anas meriwayatkan bahwa seorang sahabat telah wafat, lalu seorang lelaki berkata, “Bergembiralah dengan surga!” Mendengar itu Rasulullah bersabda,

“Dari mana engkau tahu? Barangkali ia pernah mengucapkan sesuatu yang tak ada artinya, atau kikir dengan apa yang sebenarnya tidak berkurang darinya.”

Seorang anak lelaki mati syahid dalam Perang Uhud. Di atas perutnya ditemukan sebongkah batu, konon untuk mengganjal perutnya agar tahan lapar.

Ibunya menghapus debu di wajahnya seraya berkata, “Beristirahatlah dengan tenang. Berbahagialah anakku, surga menjadi milikmu.” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya, “Dari mana engkau tahu? Barangkali ia pernah mengucapkan suatu perkataan yang tak ada artinya dan mencegah sesuatu yang sebenarnya tidak merugikan atau membahayakan.”

Dalam ash-Shahihain, hadis dari Abu Hurairah (marfi”), Rasulullah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaklah ia mengucapkan hal-hal baik atau diam saja.” (HR. Bukhari).

Imam Tirmidzi menyebutkan sebuah hadis dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, “Termasuk tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan yang tidak bermanfaat."(HR. Tirmidzi).

Sufyan bin Abdillah ats-Tsagafi menutur kanbahwa ia bertanya, “Rasulullah, beritahukan kepadaku sesuatu tentang Islam, yang tidak akan kutanyakan lagi kepada seseorang sepeninggal Anda.” 

Beliau menjawab, “Katakanlah, 'Aku beriman kepada Allah' lalu bersikaplah istiqamah.” Dia bertanya lagi, “Rasulullah, apa yang harus kukhawatirkan tentang diriku?”

Beliau memegang lisan beliau sendiri lalu bersabda, “Ini.” (HR. Tirmidzi).

Ummu Habibah, istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, “Semua perkataan anak Adam (manusia) menjadi tanggung jawabnya (sendiri), kecuali amar makruf nahi mungkar dan zikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain dikatakan, “Saat datang pada seorang hamba, semua anggota badan bergantung kepada lidah. Mereka berkata kepada lidah, “Bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya kami hanya mengikutimu. 

Bila engkau lurus, lurus jugalah kami, dan bila engkau bengkok, bengkok pulalah kami.”

Para ulama salaf mengatakan bahwa masing-masing orang telah meng-hisab dirinya sendiri berdasarkan perkataannya. 

Satu hari panas, satu hari dingin. Banyak arwah orang alim yang datang dalam mimpi, ketika ditanyai tentang keadaannya, mereka menjawab, “Aku dihentikan gara-gara satu perkataan yang pernah kuucapkan, yaitu, 

“Sungguh, manusia sangat membutuhkan hujjah.' Dengan perkataanku itu, aku dihujat, “Dari mana engkau tahu tentang kemaslahatan umat-Ku?”

Seorang sahabat pernah menghardik budaknya yang masih gadis, “Bawa kemari hidangan itu!”

Belakangan sahabat tersebut menuturkan, “Aku memohon ampun kepada Allah. Aku telah menyakiti hatinya dan menakutinya. Kalimat itu keluar tak terkendali dari mulutku, padahal sebenarnya tidak kumaksudkan untuk menyakiti atau menakuti gadis itu sebagaimana ia sangka."

Organ tubuh yang paling mudah bergerak adalah lidah. Karena itu, lidah pulalah yang paling berbahaya.

Para ulama salaf dan khalaf berselisih pendapat, apakah semua yang diucapkan itu dicatat dalam buku amal secara keseluruhan, ataukah hanya yang baik atau yang buruk. Ada yang mengatakan, semua ucapan manusia akan dimintai pertanggungjawaban.

Dengan kata lain, ia mendatangkan konsekuensi hukuman, kecuali bagi yang bersedia tunduk dan patuh kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Suatu ketika, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu Anhu memegang lidahnya lalu berkata, “Inilah yang mendatangkan kebinasaan kepadaku. Perkataan adalah penawan. Bila perkataan itu keluar dari mulutmu, engkau menjadi tawanannya.” Dalam hal ini, Allah melukiskan setiap orang yang berkata-kata dengan firman-Nya:

“Tiada suatu ucapanmu yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaf: 18).

Lidah menyimpan dua penyakit besar. Kalau Seseorang selamat dari yang satu, ia belum terbebas dari yang lain, yaitu cacat karena berbicara dan cacat karena berdiam diri. Bisa jadi, satu dari keduanya lebih besar dosanya daripada yang lain. 

Orang yang berdiam diri dan acuh tak acuh terhadap kebenaran bisa diibaratkan setan yang bisu. Artinya, dia bermaksiat kepada Allah dan menipu, termasuk menipu dirinya sendiri, karena tidak melakukan nahi mungkar. Di lain pihak, orang yang berkata-kata secara batil adalah laksana setan yang berkoar-koar dan mengobrak-abrik syariat Allah.

Penyimpangan paling banyak terjadi pada manusia ketika dia berbicara dan ketika dia diam.

Mereka yang ada di tengah-tengah ini berarti berada di ash-shirath al-mustaqim. Mereka inilah yang mampu menjaga lidahnya dari kebatilan. Perkataan yang mereka ucapkan hanya yang bermanfaat untuk akhirat. 

Pada diri mereka tidak akan ditemukan perkataan yang tak membawa manfaat, lebih-lebih yang berakibat tidak baik bagi akhiratnya.

Ada manusia yang pada Hari Kiamat datang dengan kebaikan-kebaikan sebesar gunung, lalu ia dapati lidahnya menghancurleburkan seluruh kebaikan itu. Ada pula yang datang dengan kejelekan sebesar gunung, lalu ia dapati lidahnya menghapuskan semua kejelekan itu karena banyak berdzikir kepada Allah.

4. Langkah

Setiap manusia harus menjaga diri agar tidak melangkahkan kakinya, kecuali menuju hal-hal yang membawa pahala. Kalau menurut perhitungannya langkahnya tidak mendatangkan pahala, berarti

duduk lebih baik daripada berjalan. Di samping itu, ia boleh melangkahkan kaki untuk perbuatan yang mubah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Jadi kalau dihubungkan dengan pasal di atas, ada dua bahaya yang mengancam setiap manusia.

Jika ia keliru menentukan langkah maka akibatnya adalah keburukan. Langkah kaki dan ucapan lidah punya kaitan erat, seperti dicerminkan dalam firman Allah:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS.Al-furqan: 63).

Allah menggambarkan sifat mukmin sebagai “orang-orang yang istiqamah dengan perkataan dan langkah mereka.” Allah memandang pandangan dan langkah sebagai satu kesatuan. “Dia mengetahui penyelewengan mata dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (OS. Al-Ghafir: 19).

Pengertian ini senada dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

“Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan.” (HR.Tirmidzi).

Dalam kitab ash-Shahihain diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak halal darah seorang Islam, kecuali karena tiga perkara: seorang lajang yang berzina, orang yang meninggalkan shalat, dan orang yang keluar dari jamaah.” (HR. Bukhari).

Rasulullah mengawali kriterianya berdasarkan kejadian yang paling sering terjadi. Zina lebih sering terjadi daripada pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi daripada kemurtadan. Kekejian dalam kehidupan ini bukan tidak mungkin meningkat dari yang besar menuju ke yang lebih besar lagi. Adapun kejahatan zina itu bertentangan dengan kebaikan secara umum.

Bila seorang perempuan berzina, berarti ia mencorengkan aib kepada keluarga dan saudara-saudaranya, sebab mereka akan dihinakan oleh lingkungannya. Kalau perempuan pezina itu hamil lalu menghabisi bayinya, berarti ia menghimpun dua kejahatan: berzina dan membunuh. 

Satu penghimpunan dua dosa besar sekaligus! Kalau seorang perempuan mengandung janin hasil perzinaan, sedangkan dia punya suami, lalu dimasukkannya anak itu ke dalam nasab keluarganya, berarti ia telah memalsukan nasab seorang asing ke dalam nasab keluarganya. Dan masih banyak lagi akibat yang ditimbulkan dari zina.

Bagi seorang lelaki, perbuatan zina bisa mengakibatkan pencampuran nasab atau marga. Juga merusak perempuan yang seharusnya dilindungi, sebab menjerumuskannya pada kehancuran dan kerusakan. Sungguh, dosa besar ini mengakibatkan kerusakan dunia dan agama. Maka teramat layak bila lelaki seperti itu menanggung siksa pedih di Alam Barzakh dan dibakar api neraka.

Singkatnya, banyak kezaliman yang diakibatkan oleh zina. Antara lain, hal-hal terlarang menjadi dihalalkan, haq (kebenaran) menjadi hilang, dan berbagai kejahatan mengikuti secara otomatis.

Lebih lanjut, zina akan menjerumuskan seseorang pada kekufuran, memendekkan umur, dan membuat wajah pelakunya tampak kusam sehingga menimbulkan rasa benci. Zina menggerogoti hati sehingga rusak, sakit, lagi sulit menyongsong maut.

Zina mendatangkan resah, sedih, sekaligus takut. Zina menjauhkan pelakunya dari sifat suci malaikat, dan mendekatkannya pada watak setan. Tiada kejahatan yang lebih besar setelah pembunuhan, kecuali zina.

Maka, sangat adil bila diputuskan hukuman mati atas kejahatan tersebut, dan ditetapkan sebagai perbuatan yang paling keji.

Bagi seorang lelaki, mendengar berita bahwa istrinya tewas terbunuh terasa lebih ringan daripada mendengar bahwa sang istri berzina. Sa'ad bin Ubadah berkata, “Sekiranya aku melihat seorang lelaki bersama istriku, pasti kusabet dia dengan pedang tanpa ampun!” Sewaktu perkataan ini sampai ke telinga Rasulullah, beliau bersabda, “Merasa herankah kalian dengan kecemburuan Sa'ad? Aku lebih cemburu daripada Sa'ad, dan Allah lebih cemburu dari-pada aku. Karena kecemburuan Allah pulalah maka Allah mengharamkan zina yang tampak dan yang tak tampak." (HR. Bukhari).

Dalam ash-Shahihain disebutkan, “Sesungguhnya Allah Maha Pencemburu, orang mukmin (harus) juga pencemburu. Kecemburuan Allah terhadap seorang mukmin adalah apabila mereka melakukan apa yang diharamkan Allah atas diri mereka.”

Lebih lanjut ash-Shahihain menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam sebuah khutbah pada waktu shalat khusuf, “Wahai umat Muhammad, demi Allah, sesungguhnya tiada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah bila hamba lelaki-Nya berzina atau hamba perempuan-Nya berzina. Wahai umat Muhammad, demi Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, pasti kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.”

Kemudian beliau mengangkat tangan seraya berkata, “Ya Allah, sudahkah hamba sampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam sabda di atas, dosa besar disebutkan secara khusus. Ada hikmah yang agung bagi yang mau merenungkan khutbah Rasulullah tersebut.

Zina merupakan fenomena kerusakan, sekaligus pertanda dekatnya Hari Kiamat, seperti yang diterangkan dalam ash-Shahihain dari Anas bin Malik. Ia berkata, “Aku akan mengatakan kepada kalian suatu perkataan, yang tiada seorang pun akan mengatakan kepada kalian sesudahku. 

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Salah satu tanda Hari Kiamat adalah ilmu pengetahuan diangkat (dari bumi), kejahilan semakin nyata, minuman keras ditenggak, perzinaan dilakukan secara terang-terangan, dan jumlah lelaki berkurang sehingga nilai seorang lelaki setara dengan nilai lima puluh orang perempuan.

Sunnatullah telah ditetapkan atas makhluk bahwa pada saat perzinaan berlangsung, murkalah Allah.

Murka-Nya sangat keras sehingga membekaskan pengaruh di bumi berupa siksa atau hukuman.

Abdullah bin Mas'ud berkata, “Tiada tampak perzinaan dan riba di suatu tempat, kecuali Allah memerintahkan untuk dibinasakan.”

Seorang pendeta Israil bermimpi bahwa anaknya mengerling kepada seorang perempuan. Maka dicengkeramnya si anak seraya memperingatkan,

“Jangan melampaui batas, anakku!” Tiba-tiba pendeta itu jatuh dari pembaringan sehingga patahlah tulang punggungnya, dan dia menjatuhkan istrinya pula.

Dikatakan kepadanya, “Begitulah Allah murka kepadamu (karena engkau hanya memperingatkan, bukan mencegah secara nyata). Tidak ada satu kebaikan pun pada bangsamu.”

0 Response to "Pintu masuk kemaksiatan"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak