Metode Madzab Fikih Imam Malik

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah.

Sejarah perkembangan Ilmu fikih dan berdirinya madzhab-madzhab dalam Islam tidak bisa dipisahkan denga peran para ulama-ulama Mujtahid pada saat itu. 

Salah satu ulama yang sangat berperan itu adalah Imam Malik. perannya dalam pengembangan ilmu fiqih sangat penting, terutama dalam konteks implementasi hadits dalam kerangka ilmu fiqih.

 Kemampuan dan penguasaan Imam Malik terhadap hadits memang diakui oleh para guru, sahabatnya dan orang-orang setelahnya. 

Dalam makalah singkat ini dipaparkan secara singkat tentang profil Imam Malik, dasar dan metode ijtihadnya, pengaruh sosial, politik dan kultur terhadap pemikiran fikihnya dan karya-karyanya.

Profil Imam Malik

Imam Malik adalah Imam yang kedua dari Imam-Imam empat madzhab yang dikenal dalam Islam karena pengikutnya yang banyak. 

Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi’ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah. Beliau wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Khalifah Harun al-Rasyid.

Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbahi al-Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits. 

Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. 

Ibunya bernama Siti al-‘Aliyah binti Syuraik bin Abdullah Rahman bin Suraik al Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.

Pada usia belasan tahun Imam Malik mulai menuntut ilmu fiqh dan hadis. Ketika berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa. 

Beliau berguru pada ulama terkenal diantaranya Nafi’, Sa’id al-Maqburi, Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu al-Munkadir, az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, dan sederet ulama-ulama besar lainya.

Imam Malik hafal al-Qur’an dan Hadis-hadis Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. Ingatanya sangat kuat dan sudah menjadi adat kebiasaanya apabila beliau mendengar Hadis-hadis dari para gurunya terus dikumpulkan dengan bilangan Hadis-hadis yang penah beliau pelajari. 

Imam Malik mempelajari bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu Hadis, al-Rad‘ala ahlial-ahwa fatwa-fatwa dari para sahabat-sahabat dan ilmu fiqh Ahl al-Ra’yu (pikir).

Imam Malik adalah seseorang yang sangat aktif dalam mencari ilmu. Beliau sering mengadakan pertemuan dengan para ahli Hadis dan ulama. 

Imam Malik dianggap sebagai seorang pemimpin dalam ilmu Hadis. Sandaran-sandaran yang dibawa oleh beliau termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar karena beliau sangat berhati-hati dalam mengambil hadis-hadis Rasulullah. Beliau yang dipercaya adil dan kuat ingatanya, cermat serta halus dalam memilih pembawa hadis.

Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu, di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam antara lain golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para pendidik ahli hukum Islam. 

Imam Malik belajar ilmu agama pada ulama Madinah yaitu Imam Abdurrahman bin Hurmuz, dan juga belajar ilmu hadits pada Nafi Maulana bin Umar (wafat tahun 117 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri dalam ilmu fikih beliau belajar pada Rabiah bin Abdirrakhman yang terkenal dengan Rabiatur Ra’yi (wafat tahun 136 H).

Banyak murid-murid Imam Malik yang pernah belajar sama beliau , ada dari Khurasan, Iraq,Sham, tapi paling banyak di Madinah, Mesir, Shinal Ifriqiyah, dan Negara Magrib. 

Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu Talhah, Ayyub bin Abu Taminah as-Sakhtiyani, Ayyub bin Habibal-Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim, Isma’il Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan al-Imam al-Shafi’i.

Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia dengan pikiran cerdas, pemberani, dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. 

Kedalaman ilmu menjadikan beliau amat tegas dalam menentukan hukum syar’i. Hal ini tampak pada sikapnya yang menentang sistem pengangkatan khalifah yang tidak dipilih secara Islam. Sebagai konsekuensi dari sikapnya, hal ini terlihat dalam beberapa peristiwa antara lain:

1. Sewaktu salah seorang pembesar khalifah Abbasyiah meminta sumpah setia (bai’at) pada penduduk Madinah untuk taat pada khalifah, Imam Malik memfatwakan bahwa tidak ada paksaan untuk bai’at, akibatnya Imam Malik dihukum. 

Demikian juga ketika ia menyatakan bahwa kawin mut’ah hukumnya haram maka ia dihukum oleh aparat Khalifah Abbasiyah;


2. Ketika khalifah Harun ar-Rasyid berziarah ke Makam Nabi SAW di Madinah, Khalifah meminta Imam Malik untuk berkunjung kepadanya dalam urusan agama, tetapi Imam Malik menolak. 

Imam Malik ketika itu mengatakan: “Kalau khalifah Harun al-Rasyid memerlukan saya, maka khalifah harus datang kerumah saya”. Akhirnya Khalifah mau datang ke rumah Imam Malik. 

Dalam sumber lain diceritakan ketika Harun al-Rasyid menunaikan haji, dia meminta Imam Malik untuk membawa kitab al Muwatha’ untuk dibaca didepanya. Namun Imam Malik menolak permintaan itu.

Dampak Sosiologis, Politik dan Kultural Terhadap Pemikiran Fikih Imam Malik bin Anas.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam, yaitu faktor personal mujtahid, faktor lingkungan sosial, serta faktor politik dan kehendak penguasa. 

Oleh karena itu, perlu pengkajian terhadap ketiga hal tersebut untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di masa Imam Malik.

Dalam lingkup lingkungan sosial, Imam Malik tumbuh dari keluarga yang ayahnya pernah mempelajari hadits-hadits dan berprofesi sebagai pembuat panah. 

Kemudian menghafal al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw serta belajar fikih. Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah kecuali haji. 

Kota Madinah merupakan kota yang mendukung perkembangannya, karena di kota inilah Rasulullah tinggal selama beberapa tahun. 

Selain itu, permasalahan di Madinah ringan dan sederhana sehingga permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dapat diselesaikan dengan hadits.

Imam Malik hidup di periode Tabi’in dan Tabi’-tabi’in (imam-imam mazhab) kurang lebih abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriyah. Para sejarawan menyebut periode ini masa keemasan fikih Islam. 

Daerah kekuasaan Islam juga semakin meluas yang dijumpai berbagai macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing.

Pada periode ini ada tiga pembagian geografis yang besar untuk kegiatan ijtihad, yaitu Irak, Hijaz dan, Suriah. Selain itu, pada periode ini umat Islam telah berpecah belah menjadi tiga kelompok, yaitu 

Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur. Tiga kelompok ini berpegang teguh, merasa bangga kepada pendapat masing-masing dan berusaha mempertahankannya. 

Golongan jumhur sendiri dalam menetapkan hukum terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahlul hadits dan ahlul ra’yi.

Dasar dan Metode Ijtihad Imam Malik

Dasar Ijtihad atau Sistematika sumber Istinbāţh Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik.

Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber (al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) adalah Atsar Ahli Madinah, Mashlahah al-Mursalah (istishlâh), Qaul Shahâbi (Fatwa sahabat), Khabar Ahad, al-Istihsân, Sadd Al-Dzarâi, Istishâb, Syaru man Qablanâ (Syariat sebelum Islam).

Sebagaimana qadhi’ iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai berikut: “sesungguhnya manhaj Imam dar al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-Sunnah (kategori as-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-Qiyas, al-Mashlahah al-Mursalah, Sadd adz-Dzara’i, al-‘Urf dan al-‘Adat”.

Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan diuraikan metode-metode atau dasar-dasar yang digunakan Imam Malik dalam berijtihad :

Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.

Sunnah rasul yang beliau pandang sah.

Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.

Qiyas, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.

Seperti halnya para Ulama mujtahid yang lain Imam Malik juga sepakat menjadikan empat sumber dalil utama dalam hokum Islam trsebut di atas. Namun beliau berbeda dengan ulama yang lain dalam penggunaan metode-metode berikut ini :

Itsar Ahli Madinah

Ijma ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma ahlul Madinah yang asalnya dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, bukan dari hasil ijtihad ahlul Madinah, 

Seperti tentang ukuran kadar mudd, sho , dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. 

Ijma semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma ahlul madiinah tersebut adalah ijma ahlul madiinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Sedangkan amalan-amalan ahli Madinah di kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah oleh Imam Malik. 

Di kalangan mazhab Maliki sendiri, ijmaahlil Madiinah lebih diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab ijma ahlil Madinah merupakan pemberitaan oleh jamaah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perorangan. Ijma Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu

1. Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.

2. Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah bagi Imam Maliki.

3. Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. 

Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki. 

Hal ini pula yang dilakukan Imam As-Syafii, muridnya. d. Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Ijma ahlil Madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Malik

Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah)

Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalahadalah “Sesuatu yang di anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”.

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa: 

1. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist. 2. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal. 

Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan dengan tujuan syara’ secara umum.

Kehujaan Maslahah Mursalah Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk syara’. 

Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’ (mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan .

Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya. 

Tetapi Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai metode ijtihad. Kelompok yang menggunakan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu memenuhi syarat yang cukup ketat. 

Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat Khusus yang harus di penuhi yaitu: 

Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan bukan maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. 

Contohnya, menjatuhkan talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan. Sesuatu yang dianggap maslahah itu hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. 

Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

Fatwa Sahabat

Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. 

Ini berarti, yang dimaksudkan dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfuyang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas.

Juga adakalanya Imam Malik menggunakan fatwa tabiin besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum. 

Fatwa sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk dijadikan hujjah, begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. 

Di kalangan mutaakkhirin mazhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai hujjah.

Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang inkonsisten. 

Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari padakhabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Istihsaan

Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara imam empat mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. 

Adapun As-Syafii dan Ahmad tidak menggunakan istihsan sebagai sumber hukum. Bahkan as-Syafii mendebat keras siapapun yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum.

Sad al-Dzarâi Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzarai sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada halal, maka hukumnya halal.

Istishâb

Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. 

Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau. Artinya ia masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. 

Contohnya seseorang yang sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai mendirikan shalat. 

Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan atau tidak. Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti mengembalikan kepada asal hukum; yaitu adanya wudhu. 

Jika asalnya memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal, yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut dengan istishaab.

Syaru Man Qablanâ Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah syaru man qoblanaa syarun lanaasebagai dasar hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian. 

Lebih lanjut menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat nabi Muhammad, maka hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. 

Contoh yang paling sering kita dengar adalah ayat tentang puasa di surat al-Baqarah ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata telah diwajibkan pula kepada para ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Kemudian bila di dalam al-Quran ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh, maka hukum syaru man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi. 

Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode ijtihad yang digunakan oleh Imam Malik.

Karya-karya Imam Malik

1.Al-Muwatta’.
2 Kitab ‘Aqdiyah;
3 Kitab Nujum, Hisâb Madâr al-Zaman, Manâzil al-Qamar;
4 Kitab Manâsik;
5 Kitab Tafsîr li Garîb al-Qur’ân;
6 Ahkâm al-Qur’ân;
7 Al-Mudawanah al-Kubrâ;
8 Tafsîr al-Qur’ân;
9 Kitâb Masa’ Islam;
10 Risâlah ibn Matruf Gassan;
11 Risâlah ila al-Lais,
12 Risâlah ila ibn Wahb.

Tidak banyak karya beliau yang sampai kepada kita, setidaknya hanya ada dua karya tersebut yang sampai kepada kita yakni, al-Muwatta’ dan al-Mudawwanah al- Kubra. 

Kitab ini sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi dengan judul Audhaz al-Masalik ila Muwatta’ Malik, dan Muhammad ibn ‘Abd al-Baqi al-Zarqanidengan judul Syarh al-Zarqani ‘al-Muwatta’ al- Imam Malik, dan Jalal al-Din’Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi’i yang berjudul Tanwir al-Hawalik Syarh’al-Muwatta’ Malik.

Al-Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Karya Imam Malik yang ini merupakan kitab hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya terkumpul hadis-hadis dalam tema-tema fikih yang dibahas Imam Malik, seperti praktek atau amalan penduduk Madinah, pendapat tabi’in yangia temui, dan pendapat sahabat serta tabi’in yang tidak sempat ditemuinya.


Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. 

Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah al-Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. 

Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa al-Mahdi (775-785 M). 

Imam Malik memang sangat menekankan para perawi harus teruji. Pada mulanya, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. 

Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain al- Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.

Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. 

Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

0 Response to "Metode Madzab Fikih Imam Malik"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak