Data Klaim Negara Lain Atas Aset Budaya Indonesia


Klaim yang dilakukan pihak asing tidak terlepas dari kelemahan masyarakat Indonesia dalam menjaga dan melestarikan kearifan budaya lokal. 

Padahal, hanya dengan cara demikian, masyarakat Indonesia dapat mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

Pengiat Komunitas Kuliner Nusantara, Arie Paringkesit menuturkan ada tiga alasan mengapa bangsa Indonesia lemah dalam menjaga dan melestarian kearifan budaya lokal. 

Tiga alasan inilah yang perlu jadi introspeksi masyarakat Indonesia.

  • Pertama, masyarakat Indonesia belum menjadikan usaha menjaga dan melestarikan sebagai sebuah kebutuhan. 
  • Kedua, informasi terkait kearifan budaya lokal belumlah menyebar luas. 
  • Terakhir, rasa ingin tahu yang kurang. 
Misalnya saja semur, kita ini hanya sekedar makan, tapi tidak tahu asal muasal dari semur. Kalau tahu, tentu beda kasusnya.

Karena itu, sebagai penggiat komunitas Kuliner Nusantara, pihaknya memiliki peran untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. 

Dengan demikian, masyarakat akan teredukasi dengan baik soal kekayaan budaya yang dimiliki.

Ya itu tadi, kalau mau memperjuangkan sesuatu harus tahu asal usulnya. Jadi, kalau berjuang tapi tidak tahu ya percuma," katanya.

Meski demikian, ungkap Arie, peran semua pihak, terutama pemerintah dan masyarakat, untuk bekerja sama. 

Tanpa keterlibatan semua pihak, sudah dipastikan hasilnya. "Ini tugas semua pihak," pungkas dia.

Indonesia dikenal sebagai negara bangsa yang masyarakatnya terdiri atas banyak suku bangsa dan sub-suku bangsa. 

Mereka berdomisili di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang membentang dari barat ke timur, yaitu dari Sabang sampai Merauke dan dari utara sampai ke selatan, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. 

Keadaan demikian, diperkaya oleh kondisi geografisnya yang terdiri atas pulau- pulau besar dan kecil yang dipersambungkan oleh laut dan dibatasi oleh lautan dalam satu kesatuan wilayah, menjadikan masyarakat dan kebudayaan Indonesia bersifat majemuk (heterogen) serta kaya makna dan nilai. 

Kebudayaan-kebudayaan daerah yang sangat bervariasi itu secara keseluruhan adalah milik sah masyarakatnya, dan merupakan suatu kekayaan bersama bangsa Indonesia yang tidak terukur harganya. 

Oleh karena itu, harus dikembangkan, dipelihara, dilestarikan dan dilindungi dari ancaman pihak-pihak yang berniat mem”bahaya”kannya. 

Dalam kaitan itu, kekayaaan budaya masyarakat daerah yang sangat bervariasi itu juga harus dilindungi dari berbagai upaya pihak-pihak asing untuk mengklaim sebagai miliknya.

Pengembangan, pemeliharaan, pelestarian dan perlindungan kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, dalam zaman globalisasi saat

ini, merupakan suatu tugas yang berat. Persoalannya ialah kebudayaan-kebudayaan daerah itu sendiri hidup dan berkembang secara dinamis dalam suatu suasana masyarakat pemangkunya yang juga berubah dalam hidup dan kehidupannya. 

Suatu proses perubahan kebudayaan bisa terjadi karena dilandasi oleh keinginan, bahkan kebutuhan, masyarakatnya, dimana perubahan itu adalah sesuatu yang memang direncanakan (planned change), misalnya melalui program-program pembangunan kebudayaan. 

Perubahan kebudayaan yang direncanakan, baik melalui tangan masyarakat pemangkunya, pihak pemerintah, pihak-pihak lain seperti pemerhati, pegiat dan/atau ”perekayasa kreatif” kebudayaan
mungkin saja berdampak minimal terhadap eksistensi kebudayaan tersebut. 

Disebut demikian karena perilaku mereka terhadap aset kebudayaan adalah untuk memperkaya nilainya, sekaligus mengembangkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakatnya.

Pada suatu proses perubahan kebudayaan yang tidak direncanakan (unplanned change), misalnya melalui klaim kepemilikan suatu aset kebudayaan oleh masyarakat dan pihak lain, apalagi oleh
pemerintah di negara asing, tentu sangat berbahaya terhadap eksistensi kebudayaan tersebut. 

Dalam perspektif kebudayaan, klaim kepemilikan aset budaya tersebut adalah suatu tindakan mencabut kebudayaan tertentu dari wadahnya, yakni masyarakatnya. 

Perilaku itu dapat pula diartikan sebagai proses mereduksi nilai-nilai dan kekayaan intrinsik yang melekat pada aset kebudayaan tersebut. 

Klaim aset kebudayaan masyarakat suatu negara oleh pihak dan/atau negara lain juga memunculkan masalah yang sarat problematik, karena hal itu tidak hanya menyangkut persoalan ”keaslian” kebudayaan, tetapi juga masalah politik diplomasi dan hubungan luar negeri serta masalah hukum.

Klaim aset kebudayaan Indonesia oleh pihak-pihak atau negara (pemerintah) asing semakin meningkat jumlahnya pada beberapa tahun terakhir. 

Sebagaimana diungkapkan oleh media massa dan piranti media elektronik, klaim-klaim yang ada tidak hanya dilakukan oleh pihak pelaku bisnis asing, tetapi juga oleh beberapa negara asing. 

Adanya klaim demikian itu tentu saja memunculkan ”kekecewaan” bagi beberapa kelompok warga masyarakat dan bangsa Indonesia. 

Disamping itu juga menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya peranan pemerintah dalam upaya untuk melindungi aset-aset kebudayaan masyarakatnya.

Bagaimana pemerintah merespon klaim-klaim oleh pihak/negara asing terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia?

Pengkajian tentang pengembangan dan perlindungan kebudayaan daerah yang mencakup didalamnya, antara lain pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional dan sumber daya hayati, menjadi sangat relevan sebagai salah satu contoh dari upaya para akademisi untuk memahami masalah-masalah pengembangan dan perlindungan yang dimaksud. 

Sehubungan dengan hal itu, tulisan yang bersumber dari hasil kajian (studi literatur) ini bertujuan mendalami tentang sebagian persoalan kebudayaan daerah di Indonesia khususnya yang meyangkut
pengetahuan tradisional maupun ekspresi folklore dari sisi hak kekayaan intelektual di Indonesia. 

Hal itu dilakukan sebagai upaya mengamati pengembangan budaya masyarakat dan melindungi kekayaan budaya masyarakat Indonesia yang beraneka ragam yang merupakan aset penting bagi kelangsungan dan kemakmuran bangsa.

Pengembangan dan perlindungan kekayaan budaya Indonesia sesungguhnya menjadi tanggungjawab semua warga negara dan bangsa Indonesia. 

Hanya saja peranan dan tingkatan tanggungjawab berbagai komponen masyarakat bangsa tidak sama. 

Ada tanggung jawab yang muncul dari masyarakat pemangku (sumber) suatu aset budaya tradisional, ada tanggung jawab para pegiat dan pelaku ekspresi suatu aset budaya, juga ada peranan dan tanggung jawab dari pemerintah. 

Peranan perlindungan dan respon pemerintah Indonesia tersebut menjadi pokok bahasan dalam karya tulis ini.

Aset Budaya Indonesia dalam Klaim

Aset-aset kebudayaan masyarakat daerah di Indonesia yang diklaim oleh negara (pemerintah) dan pihak asing ternyata jumlahnya cukup banyak, antara lain: batik, naskah kuno, bahan kuliner (masakan), lagu, tari, alat musik, desain dan produk tanaman, dan waktu pengklaimannya juga sudah berlangsung lama. 

Dalam suatu rubrik informasi (Republika, 25 Agustus 2009) disebutkan bahwa Malaysia merasa bahwa Tari Barongan (di Indonesia disebut Tari Reog Ponorogo) sudah dikenal umum oleh masyarakat di Nusantara sebelum adanya negara Indonesia. 

Oleh karena itu, Malaysia merasa tidak dalam posisi mengklaim Tari Reog Ponorogo, tetapi melestarikan tarian masyarakat

Malaysia yang memang mirip, yang disebut Tari Barongan. Negara-negara dan pihak-pihak yang mengklaim aset budaya Indonesia ternyata bukan hanya Malaysia, tetapi juga Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, Amerika, dan lainnya. 

Selain negara atau pemerintah asing, pengklaim aset budaya Indonesia juga ada dari perusahaan-perusahaan tertentu kelas dunia. 

Data klaim negara lain atas aset budaya Indonesia dapat dilihat Jenis Aset Budaya dan Daerah Negara /Perusahaan Pengklaim

1 Batik, Jawa Pengklaim Adidas
2 Naskah kuno, Riau Pengklaim Malaysia
3 Naskah kuno, Sumbar Pengklaim Malaysia
4 Naskah kuno, Sulsel Pengklaim Malaysia
5 Naskah kuno, Sultra Pengklaim Malaysia
6 Rendang, Sumbar Pengklaim Oknum WN Malaysia
7 Sambal Bajak, Jateng Pengklaim Oknum WN Belanda
8 Sambal Petai, Riau Pengklaim Oknum WN Belanda
9 Sambal Nanas, Riau Pengklaim Oknum WN Belanda
10 Tempe, Jawa Pengklaim Bbrp Perusahaan Asing
11 Lagu Rasa Sayang-Sayange, Maluku Pengklaim Malaysia
12 Tari Reog, Ponorogo Pengklaim Malaysia
13 Lagu Soleram, Riau Pengklaim Malaysia
14 Lagu Injit-Injit Semut, Jambi Pengklaim Malaysia
15 Alat Musik Gamelan, Jawa Malaysia
16 Tari Kuda Lumping, Jatim Pengklaim Malaysia
17 Tari Piring, Sumbar Pengklaim Malaysia
18 Lagu Kakak Tua, Maluku Pengklaim Malaysia
19 Lagu Anak Kambing Saya, Nusa Tenggara Pengklaim Malaysia
20 Kursi Taman Ornamen Ukir Khas Jepara Pengklaim Oknum WN Perancis
21 Figura Ornamen Khas Jepara Pengklaim Oknum WN Inggris
22 Motif Batik Parang, Yogyakarta Pengklaim Malaysia
23 Desain Kerajinan Perak Desa Suwarti, Bali Pengklaim Oknum WN Amerika
24 Produk Berbahan Rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia Shiseido Co Ltd, Pengklaim Jepang
25 Badik Tumbuk Lada Pengklaim Malaysia
26 Kopi Gayo, Aceh Tengah, Aceh Pengklaim Perusahaan multinasional (MNC) Belanda
27 Kopi Toraja, Sulsel Pengklaim Perusahaan Jepang
28 Musik Indang Sungai Garinggiang, Sumbar Pengklaim Malaysia
29 Kain Ulos, Batak, Sumut Pengklaim Malaysia
30 Alat Musik Angklung Pengklaim Malaysia
31 Lagu Jali-Jali Pengklaim Malaysia
32 Tari Pendet, Bali Pengklaim Malaysia

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa pemerintah Malaysia merupakan pihak yang paling banyak mengklaim aset budaya Indonesia.

Seiring dengan semakin berkembangnya hubungan antar negara bangsa, bertambah canggihnya teknologi “adopsi” serta terbukanya atau terlibatnya hampir semua negara bangsa dalam mengisi
era globalisasi dengan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial dan budaya yang batas-batas sistemnya semakin tipis, maka di masa depan, tindakan-tindakan klaim pihak dan/atau bangsa/negara asing terhadap aset kekayaan budaya masyarakat daerah-daerah Indonesia sebagai milik, karya cipta, atau hak budaya mereka mungkin akan muncul lebih banyak lagi. 

Semuanya cenderung mengarah kepada sistem masyarakat kapitalis yang beranggapan semua jenis sumber daya (resources) adalah modal dasar yang dapat direkayasa untuk meningkatkan kesejahteraan
dan kualitas hidup dan kehidupan yang lebih baik.

Fenomena global tersebut pada satu sisi adalah peluang besar bagi bangsa Indonesia menunjukkan kreativitasnya untuk memperkenalkan dan mempermaklumkan produk-produk kebudayaannya, namun pada sisi lain apabila masyarakatnya sendiri tidak peduli dan kurang menghargai dan mencintai aset kebudayaannya sendiri, maka tidak mustahil pada saat-saat tertentu justru bangsa lain dengan kejelian dan kreativitasnya akan memanfaatkannya, bahkan mengklaim sebagai “hak budaya” mereka.

Jadi antisipasi yang harus dikedepankan terhadap fenomena globalisasi kultural itu ialah kita harus bangga, respek, menghargai, mencintai dengan sepenuh hati terhadap kekayaan dan produk-produk kebudayaan masyarakat kita sendiri, dengan demikian pada gilirannya bangsa dan pihak lain akan ikut serta bersimpati, mengagumi dan memberikan penghargaan terhadap aset-aset budaya tersebut. 

Globalisasi dalam aspek dan maknanya yang bagaimana pun hendaknya ditempatkan sebagai motivator bagi kemajuan kehidupan suatu bangsa, bagi kehidupan manusia dan kebudayaanya, termasuk bangsa dan manusia Indonesia.

Masyarakat Daerah dan Klaim Kebudayaan Terjadinya klaim oleh pihak asing atas aset, kekayaan, atau
produk kebudayaan masyarakat daerah-daerah di Indonesia, secara umum disebabkan oleh belum adanya aturan dan hukum yang mengatur kepemilikan yang jelas, secara normatif atas aset dan kekayaan budaya

Sebagai contoh, alat musik angklung. Sebagaimana ditulis oleh Lazuardi (2009). 

Angklung “telah dibawa ke Tanah Melayu (Malaysia) pada dekade 1930-an. ....menjadi alat musik yang disukai dan diterima di Malaysia. 

Apa sekarang angklung juga masih diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia? Rasanya tidak. 

Sementara di Malaysia, ternyata angklung sudah menjadi salah satu alat musik tradisional yang masuk dalam kurikulum pendidikan nasional.

Tak heran kalau alat musik satu ini sudah dikenal secara merata nyaris di seluruh penjuru Malaysia. 

Apakah mereka salah karena apresiasi begitu besar terhadap angklung, sampai terkesan menganggap angklung sebagai bagian dari budaya sendiri? 

Agak mengherankan juga kalau masyarakat Indonesia malah terusik ketika warga negara lain lebih melestarikan musik warisan budaya masa lalu ini.

Sementara di negeri sendiri, apresiasi terhadap alat musik tradisional yang satu ini malah perlahan-lahan semakin memudar. 

Surut bersama sang waktu. Jangan salahkan jika negara lain yang lebih menghargai kemudian tampil lebih hebat di berbagai festival tingkat dunia”.tersebut. 

Masyarakat daerah (lokal, tradisional) sebagai pemilik bermacam-macam aset budaya sudah terbiasa dengan sistem kepemilikan komunal dan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, sehingga kepemilikannya tidak dipersoalkan oleh mereka. 

Hal ini berarti sistem kepemilikan kebudayaan tradisional bersifat alamiah saja. 

Faktor-faktor yang lebih diperhatikan dalam kebudayaan tradisional ialah siapa di antara warganya yang memiliki kewenangan dalam mengekspresikan aset kebudayaannya dalam suatu momen (acara atau upacara) tertentu. 

Jadi dalam masyarakat tradisional atau masyarakat daerah sistem perlindungan terhadap aset budaya dilakukan melalui tindak ekspresif yang memiliki makna lebih dari sekedar upacara, tetapi menyangkut keseluruhan sistem pandangan hidup mereka. 

Oleh karena itu pula suatu ancaman terhadap aset kebudayaannya dinilai sama dengan ancaman terhadap hidup dan kehidupannya.

Dapat dikatakan bahwa peranan dan tanggungjawab masyarakat daerah atau masyarakat tradisional terhadap kebudayaannya memang hanya bersifat ”lokal” dan terbatas di lingkungan wilayah kebudayaannya. 

Bagaimana jika aset kebudayaan tersebut ”diklaim” oleh pihak lain di luar komunitasnya? Fakta menunjukkan bahwa selama ini tidak pernah ada klaim, tetapi yang terjadi ialah produk budaya suatu masyarakat daerah atau suatu suku bangsa diekspresikan atau dipertunjukkan dalam acara pagelaran tertentu oleh komunitas lain dan hal itu merupakan sesuatu yang biasa. 

Jadi tidak menjadi soal jika Tari Piring yang berasal dari Sumatera Barat misalnya, ditarikan oleh
tim kesenian di/dari Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya, lagu Anging Mammiri dari Makassar didendangkan oleh seorang penyanyi Bali.

Artinya, saling meminjam aset-aset budaya di antara kelompok-kelompok msyarakat suku bangsa di Indonesia sesuatu yang bisa dan biasa saja terjadi, meskipun sebuah tarian dipertunjukan atau sebuah
lagu dinyanyikan dalam acara yang berkaitan dengan bisnis, pembukaan showroom ataupun pertemuan saudagar.

Saling meminjam aset budaya di antara suku bangsa, kelompok dan komunitas masyarakat dalam suatu negara dan bangsa dianggap sesuatu yang biasa karena tidak menyentuh persoalan yang berhubungan dengan ”hak cipta”, tetapi hanya ”hak pakai” atau ”hak pinjam”.

Bahkan, dengan adanya tindakan saling pinjam-meminjam aset dan kekayaan budaya di suatu masyarakat sebangsa justru merupakan suatu proses memperkenalkan secara lebih luas aset dan kekayaan budaya tersebut, sehingga bisa menjadi ”pintu masuk” untuk mendalami lebih jauh unsur-unsur lain dari kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Dalam proses demikian sesuatu yang muncul adalah upaya untuk mengerti, memahami, memberi pengakuan, serta memberi penghargaan terhadap aset budaya masyarakat tertentu dan jauh dari maksud-maksud merusak, mendiskreditkan dan mengklaim sebagai hak milik. 

Keadaan demikian itu biasa terjadi karena pada proses tersebut tidak ada nuansa politik yang menjurus kepada penguasaan, tidak ada hak kedaulatan bangsa dan negara yang dilanggar, tidak muncul tindakan represif yang mencoba melecehkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Keadaannya akan berbeda apabila suatu aset kekayaan budaya atau pengetahuan tradisional dari suatu masyarakat bangsa diklaim oleh bangsa atau pihak asing lain. 

Kendatipun alasannya membantu mempromosikan suatu jenis kekayaan budaya, mensosialisasikan aset
budaya itu kepada khalayak dunia, atau hanya meminjamnya sebagai suatu pergelaran pada pembukaan seminar, workshop, atau pertemuan lain yang sejenis, 

Namun karena dalam pergelaran tersebut terdapat unsur pelanggaran ”hak cipta” dari penciptanya, hukum, undang-undang dan peraturan negara lainnya, mungkin juga Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), maka tetap menjadi persoalan atau dipersoalkan.

0 Response to " Data Klaim Negara Lain Atas Aset Budaya Indonesia"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak