Perlindungan Aset Budaya Daerah dan ”Aturan” Internasional

 

Keanekaragaman kebudayaan daerah di Indonesia adalah aset yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakatnya, tetapi sudah menjadi ”milik” bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 

Perlindungan Aset Budaya

Perlindungan aset dan kekayaan kebudayaan-kebudayaan masyarakat daerah di Indonesia, apabila menghadapi klaim pihak, bangsa dan komunitas asing, memang tidak lepas pula dari tanggungjawab pemerintah pusat atau pemerintah Indonesia. 

Upaya-upaya perlindungan yang diberikan sesungguhnya bisa bermacam-macam sebagai usaha dan gerakan nasional di bidang kebudayaan.

Hanya saja tanggungjawab yang dimaksud tidak bisa pula dipisahkan dari beberapa ”aturan” internasional yang mengikat. 

Sejarah mencatat bahwa pemerintah Indonesia melalui berbagai kegiatannya telah berusaha mengangkat citra kebudayaan daerah dan nasional, misalnya dengan pendirian atau pembangunan Lembaga Museum Pemerintah (Museum Nasional, Museum Khusus, Museum Negeri Provinsi) yang sampai pada tahun 2001 sudah mencapai 32 museum (data masih memasukkan Dili) yang terletak di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan juga Papua. 

Lembaga museum itu dibawah koordinasi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Apabila kegiatan permuseuman itu ditambahkan pula dengan koordinasi Departemen-Departemen lain, Pemerintah Daerah dan Swasta, maka jumlah keseluruhannya mencapai 262 museum yang terletak di 26 provinsi (pembagian daerah provinsi yang lama). 

Melalui koordinasi Mendikbud atau saat ini Menbudpar (?) sampai tahun 2001 terdapat 10 Lembaga Balai Arkeologi, 10 Lembaga Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, 11 Lembaga Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 34 Lembaga Taman Budaya, 17 Lembaga Balai Bahasa, dan sampai tahun 1999 terdapat 28 UPT Perpustakaan. 

Sampai tahun 2000 tercatat pula 3.869 Lembaga/Organisasi Kebudayaan/Kesenian di 26 Provinsi baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta (Supardi, 2007).

Upaya pemerintah dalam bidang kebudayaan yang berkaitan dengan Kerjasama Kebudayaan (Cultural Agreement) dengan pihak negara-negara sahabat, yang sudah dilakukan dengan 37 negara dan sudah berlangsung sejak tahun 1955 sampai tahun 2000 (lihat lampiran

Indonesia juga telah membuka Perwakilan Bidang Kebudayaan di Luar Negeri (Atase Pendidikan dan Kebudayaan) di 13 negara, termasuk Perwakilan Indonesia di UNESCO Paris (lihat lampiran 2).

Adanya upaya dan langkah-langkah tersebut ”semestinya” sudah muncul suatu hubungan kebudayaan yang terjalin baik, saling menghormati dan menghargai. 

Berkaitan dengan adanya kerjasama kebudayaan dan sudah adanya Atase Kebudayaan (jaringan diplomatik), maka semestinya:

1. Tidak ada lagi aset dan kekayaan budaya daerah (tradisional) di Indonesia yang diklaim pihak/bangsa asing karena sudah adanya ”pasal antisipatif” terhadap hal itu dalam Cultural Agreement;

2. Sekiranya ”pasal antisipatif” belum ada maka sangat perlu untuk merevisi perjanjian kerjasama kebudayaan itu, dan merumuskan ulang tugas dan tanggung jawa Atase Kebudayaan Indonesia di berbagai negara sahabat;

3. Apabila terlanjur muncul klaim aset dan kekayaan budaya atau masalah dalam hubungan-hubungan kebudayaan lainnya, maka yang pertama-tama berkewajiban menangani langkah dan proses penyelesaiannya ialah pihak Atase Kebudayaan cq. 

Kantor Duta Besar Indonesia di luar negeri. Sebaiknya Atase Kebudayaan (cq. Kantor Duta Besar) tidak kalah cepat oleh pihak-pihak lain dalam mengantisipasi fenomena munculnya masalah dalam kerjasama dan hubungan kebudayaan antar bangsa/negara;

4. Apabila pihak Atase Kebudayaan pro-aktif mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah hubungan kebudayaan antar bangsa/negara yang muncul, maka secara langsung atau tidak langsung akan mereduksi terjadinya ”cercaan, demonstrasi, respon” yang tidak produktif di kalangan masyarakat di dalam negeri.

Mengaktifkan jaringan kelembagaan (institutional network) kebudayaan antar bangsa/negara yang sudah dibentuk atas dasar persetujuan sebagai lembaga solusi yang utama, juga menjadi penting agar tidak terjadi kesimpangsiuran penanganan dan/atau dalam merespon masalah-masalah klaim aset/kekayaan kebudayaan daerah-daerah Indonesia oleh pihak, negara bangsa lain. 

Dalam perkataan lain, secara substansial, terdapat sistem yang terpercaya, teruji, terkoordinasi dan handal dalam menyelesaikan persoalan hubungan dan kerjasama kebudayaan antar bangsa/negara, bukan menampakkan suatu kesemrawutan penanganan yang seringkali meluas ke masalah-masalah lain dan lebih memperkeruh suasana.

Upaya-upaya pemerintah dalam melindungi produk. aset dan kekayaaan kebudayaan lokal (daerah atau tradisional) memang masih mengecewakan banyak warga masyarakat. 

Hal itu antara lain dapat dilihat pada hasil jajak pendapat harian Kompas yang melibatkan 866 responden dan dilakukan di 10 kota pada 26-27 Agustus 2009. 

Hasilnya menunjukkan 95 persen dari jumlah responden tersebut yang berpendapat bahwa pemerintah perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal dengan cara mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional. 

Sebenarnya, mereka bukan hanya kecewa terhadap upaya perlindungan budaya tetapi juga 

  1. Tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam melestarikan berbagai produk budaya lokal seperti tarian, pakaian, musik dan lagu, ramuan tradisional, obyek-obyek wisata daerah yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan (68,7 %), 
  2. Tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengurus (”memperhatikan”) para pencipta dan pelaku kebudayaan lokal (66,5 %), dan 
  3. Tidak puas dengan upaya pemerintah dalam memberikan penghargaan terhadap budaya lokal (59,1 %).

Perlindungan terhadap aset dan kekayaan kebudayaan tidak hanya melalui kerjasama dan jaringan diplomatik (Atase Kebudayaan), tetapi juga adanya undang-undang yang berkaitan sebagai dasar dan pedoman kerjasama. 

Selain perda-perda yang sudah disinggung secara umum di atas, juga terdapat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang isinya antara lain berhubungan dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) atau biasa pula disebut HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual).

Selain Undang-Undang tentang Hak Cipta tersebut, beberapa aturan atau perundangan lainnya yang mengatur tentang pengaturan Hak (Kekayaan) Intelektual di Indonesia, yaitu:

  1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
  2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
  3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
  4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit terpadu;
  5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
  6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

”Aturan” Internasional

Dalam rangka kerjasama kebudayaan antar bangsa dan/atau negara serta hubungan internasional di bidang perlindungan hak-hak intelektual kebudayaan, Indonesia sebagai negara bangsa yang sangat menjunjung kemerdekaan, kebebasan berpikir, berekspresi dan mencintai perdamaian tidak pernah lalai untuk berpartisipasi.

Pemerintah Indonesia secara aktif telah ikut serta meratifikasi beberapa Konvensi Internasional yang bertalian dengan hak-hak intelektual budaya, antara lain: 

  1. TRIP’S (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), 
  2. PCT (Patent Cooperation Treaty) and Regulation Under the PCT, 
  3. Trademark Law Treaty, 
  4. Paris Convention for Protection of Industrial Property, 
  5. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, 
  6. WIPO (World Intelectual Property Organization), Copyrights Treaty.

Kepentingan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi berbagai aturan atau konvensi internasional tersebut sebenarnya tidak lepas dari sebagian tujuannya, yaitu melindungi aset dan kekayaan kebudayaan masyarakat daerah-daerah (masyarakat lokal atau tradisional) Indonesia dari klaim dan pemanfaatan yang tidak wajar oleh bangsa/negara lain.

Dilihat dari sisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pemerintah Indonesia bukan hanya mempunyai kepentingan, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memberi perlindungan, karena pemerintah (terutama pemerintah pusat) sebagai penguasa negara memiliki kewenangan dan peranan utama sebagaimana tercantum dalam undang-undang tersebut, yaitu:

  1. Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah dan benda budaya nasional lainnya;
  2. Negara memegang hak cipta atas Folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi dan karya seni;
  3. Untuk memperbanyak ciptaannya tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dulu mendapat izin dari instansi yang terkait dengan masalah tersebut;
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

Apakah dengan melakukan ratifikasi terhadap aturan/konvensi internasional, juga sudah adanya beberapa Undang-Undang terkait, perlindungan terhadap aset/kekayaaan budaya masyarakat daerah sudah betul-betul aman dari klaim pihak dan/atau bangsa negara lain? Realitasnya tidak demikian, karena masih muncul beberapa klaim pada beberapa tahun terakhir. 

Dalam perkataan lain, upaya ratifikasi, pembuatan undang-undang atau pendekatan hukum lainnya tidak bisa menjamin tidak munculnya klaim atas budaya daerah Indonesia oleh pihak asing. 

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan lain yang melengkapi pendekatan hukum, atau perlu diberlakukan beberapa pendekatan secara holistik, komprehensif dan sinergis. 

Sehubungan dengan hal itu, terdapat sekurang-kurangnya tiga pihak yang harus berperan dalam suatu sinergitas yang dinamis. 

Pertama, masyarakat pemangku kebudayaan daerah (masyarakat etnik) perlu memelihara dan mengembangkan potensi kulturalnya dengan tetap mempraktikkan berbagai aspek kebudayaan mereka. 

Apabila perlu, tanpa mereduksi nilai-nilainya, pengembangan kebudayaan itu disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk didalamnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Kedua, pemerintah daerah (kabupaten dan/atau provinsi) harus memberikan dukungan agar potensi kultural masyarakat tidak mengarah kepada kepunahan baik sebagai aset maupun nilai-nilai yang dikandungnya. 

Caranya antara lain memfasilitasi festival dan perlombaan budaya, promosi industri kebudayaan, mengayomi kelompok-kelompok pelaku budaya, pemberian penghargaan kepada budayawan yang berprestasi, dan lain sebagainya. 

Ketiga, pemerintah pusat wajib membangun pendekatan penyelesaian yang berpihak kepada rakyat atas klaim dan sengketa kebudayaan daerah (etnik) dengan pihak asing. 

Selain menyediakan aturan perundang-undangan yang memelihara, mengembangkan dan melindungi; mengikuti konvensi-konvensi internasional untuk pengembangan dan pemeliharaan aset dan nilai budaya, juga mengoptimalkan peran kantor perwakilan Indonesia di negara-negara sahabat sebagai ”agen” kebudayaan masyarakat bangsa Indonesia menghadapi dunia universal.

Hasil-hasil dan produk kebudayaan bisa dinikmati oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, juga dapat diperkaya dan dikembangkan, tetapi pemiliknya, yaitu mereka yang pertama kali menciptakan, semestinya tetap diberi pengakuan atas haknya. 

Hak milik kebudayaan tidak bisa diklaim oleh berbagai pihak. Membangun pendekatan penyelesaian terhadap klaim kebudayaan dalam era globalisasi dan teknologi canggih saat ini tampaknya perlu didahului oleh suatu penelitian yang mendalam.

Keanekaragaman kebudayaan daerah di Indonesia adalah aset yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakatnya, tetapi sudah menjadi ”milik” bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. 

Terbukti ketika ada klaim atau penggunaan yang tidak wajar terhadap sebuah aset kebudayaan daerah tertentu oleh pihak, bangsa dan negara lain, maka reaksi, yang muncul bukan hanya dari warga masyarakat daerahnya, tetapi disuarakan oleh hampir semua warga Indonesia tanpa menonjolkan daerah manapun asalnya. 

Keadaan demikian menunjukkan telah tumbuh dan berkembang suatu ”solidaritas ke-Indonesia-an” yang tinggi dalam menyikapi klaim-klaim seperti itu.

Terjadinya klaim oleh pihak, bangsa/negara asing terhadap aset atau kekayaan budaya daerah yang mengandung pengetahuan tradisional masyarakat daerah-daerah Indonesia adalah juga suatu fakta dalam beberapa tahun terakhir. Munculnya reaksi karena ada aksi dalam bentuk klaim pihak asing. 

Namun, apa yang terjadi di masyarakat dan, terutama, pada pemerintah Indonesia sebelum adanya aksi klaim aset kebudayaan? Jawabnya ialah meskipun suatu aset kekayaan budaya diciptakan atau dihasilkan oleh masyarakat daerah di Indonesia, namun banyak dari warga masyarakatnya sendiri kurang memberikan apresiasi, penghargaan atau mencintai aset kebudayaannya. 

Pihak pemerintah pun seringkali lalai dalam memberikan perlindungan yang cukup terhadap aset kebudayaan daerah. 

Celakanya justru pihak atau bangsa asing seringkali lebih menunjukkan apresiasi yang lebih tinggi, bahkan jika perlu untuk kepentingan ekonomi, misalnya, mengklaimnya sebagai budaya asli masyarakat mereka.

Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk melindungi hasil kekayaan kebudayaan daerah, semestinya lebih pro-aktif. 

Oleh karena itu, perlindungan kebudayaan daerah selain diupayakan melalui pembuatan dan diseminasi perundang-undangan, peraturan atau perangkat hukum lainnya, juga melakukan inventarisasi yang lengkap atas semua produk budaya masyarakat, mendorong perbaikan kinerja perwakilan (atase) kebudayaan Indonesia di berbagai negara.

Memperkaya makna kerjasama kebudayaan yang tidak hanya dalam bentuk pertukaran kebudayaan, pergelaran kesenian dan hasil-hasil kreativitas budaya, tetapi yang terpenting ialah meminta komitmen yang tinggi dari pihak bangsa/negara sahabat untuk tidak mengklaim aset dan kekayaan budaya asli berbagai masyarakat daerah Indonesia.

0 Response to "Perlindungan Aset Budaya Daerah dan ”Aturan” Internasional"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak