Perlindungan Aset Kebudayaan Daerah di Indonesia

 

Perlindungan suatu aset kekayaan kebudayaan tradisional dari suatu kelompok masyarakat daerah di Indonesia secara umum belum menjadi sesuatu yang diprioritaskan oleh pemeritah, baik pemeritah pusat maupun pemerintah daerah, kecuali pemerintah daerah Bali.

Kondisi tanpa perlindungan yang cukup dan memadai dilihat dari segi masih minimnya peraturan undang-undang. 

Secara sosiologis hal itu mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain. 

Pertama, aset kebudayaan daerah yang sifatnya tradisional dianggap sebagai suatu hal biasa, menyangkut keadaan dan keberadaannya, juga cara memperlakukannya yang sangat umum oleh/bagi masyarakat pemangkunya, sehingga tidak ada pihak-pihak tertentu dalam masyarakatnya yang merasa perlu memberikan perlindungan secara khusus. 

Kedua, aset kebudayaan tradisional suatu daerah memerlukan perlindungan hanya jika disalahgunakan dalam mengekpresikannya.

Misalnya, musik pengiring ritual suatu upacara agama, justru digunakan sebagai musik menerima tamu. Adapun penambahan atau pengurangan yang bersifat ilustratif tanpa mengurangi makna substantif biasanya hanya dianggap variasi kreatif budaya dan tidak perlu dipermasalahkan.

Ketiga, tidak adanya kebiasaan mengklaim dari pihak masyarakat budaya tertentu pada aset budaya tradisional masyarakat daerah lainnya justru menunjang relasi antar kebudayaan yang harmoni dalam keunikannya masing-masing. 

Kondisi ini sebenarnya didukung oleh adanya fenomena sosio-kultural dan fakta historis yang diketahui secara umum tentang keberadaan suatu aset budaya tradisional di suatu daerah.

Lazimnya aset budaya tradisional suatu daerah sangat dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan masyarakatnya, serta kondisi lingkungan kehidupan suatu kelompok masyarakat bertempat tinggal. 

Aset budaya tradisional masyarakat nelayan pasti muncul sebagai kreasi masyarakat perairan, bukan dari masyarakat pedalaman atau masyarakat pegunungan. Demikian pula sebaliknya.

Belum memadainya perlindungan aset kebudayaan tradisional oleh pemerintah bukan berarti tidak ada upaya ke arah itu. 

Makna perlindungan terhadap aset kebudayaan tradisional suatu kelompok masyarakat di daerah sebenarnya mengacu pada segala usaha yang ditujukan untuk memelihara dan melestarikannya, sehingga aset budaya tradisional tidak mengalami degradasi nilai-nilai sebagai suatu identitas bagi masyarakat pendukungnya. 

Tindakan perlindungan bisa bervariasi, mulai dengan dikeluarkannya undang-undang tentang kebudayaan daerah, peraturan pemerintah, peraturan daerah, kegiatan promosi, misi kebudayaan, pergelaran aset/hasil kebudayaan, diskusi/seminar/ simposium, pendidikan kebudayaan, dan lain sebagainya. ”Tugas” atau peranan perlindungan demikian itu menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Peranan Pemerintah Daerah dan Pusat

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai suatu sistem pemerintahan yang memberikan keleluasaan yang luas kepada daerah (khususnya pemerintah kabupaten) untuk merekstrurisasi urusan-urusan yang berada dalam kewenangannya, merujuk pada kesesuaian dengan kepentingan masyarakat dan daerahnya serta dalam menyelenggarakan sistem pemerintahannya, sudah berjalan beberapa tahun. 

Terkait dengan itu, biasanya urusan yang bersentuhan langsung dengan sumber daya ekonomi akan mendapat perhatian utama dibandingkan dengan urusan lainnya, sehingga kantor kedinasan yang mengelolanya pun biasanya tersendiri, misalnya Dinas Pendapatan, Dinas Pajak, Dinas Pasar dan Dinas Pertambangan. 

Hal itu berbeda dengan urusan kebudayaan,meskipun sebenarnya urusan kebudayaan itu termasuk sumber daya yang tidak habis-habisnya, namun karena dianggap ”kurang penting” maka digabungkan dengan beberapa urusan lainnya, muncul lah misalnya Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Pendidikan.

Di setiap daerah dapat dipastikan adanya produk atau hasil kreasi budaya, seperti seni batik, seni musik, seni ukir, seni anyam, seni tari, seni tempah, upaya dokumentasi dan penggalian sejarah, pengembangan arsitektur, kreativitas dalam aspek kuliner dan lain-lain, sebagai manifestasi cipta, rasa dan karsa masyarakatnya sehingga bisa disebut sebagai aset kebudayaan daerah. 

Ada aset budaya daerah yang karena cara dan teknik pengerjaannya apik, cermat, halus dan rapi sehingga dinilai berkualitas, juga karena keunikan dan kekhasannya yang sulit ditemukan padanannya menyebabkan mendapat penghargaan tinggi, diminati oleh banyak orang, bahkan dijadikan sebagai sasaran studi atau riset para peneliti dan ilmuwan. 

Tidak mustahil aset kebudayaan tradisonal daerah yang menarik tersebut dapat pula mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab untuk menirunya dan, jika perlu, menetapkan klaim hak atasnya.

Bervariasinya produk dan aset kebudayaan masyarakat di suatu daerah tidak serta merta mendorong pemerintah daerah untuk membuat sistem pengelolaan yang cukup memadai. 

Terdapat produk budaya daerah yang hanya menjadi urusan masyarakat pendukungnya sendiri, mulai dari proses penciptaan, pelestarian sampai perlindungan terhadapnya. 

Sementara pihak pemerintah daerah dan lainnya kadang-kadang hanya menjadi penikmat hasil budaya masyarakatnya pada momen-momen tertentu, misalnya pada acara-acara memperingati hari kemerdekaan, pada upacara-upacara adat, agama dan kepercayaan.

Keadaan tersebut berbeda dengan pemerintah daerah Bali dan Yogyakarta, misalnya, yang sejak lama memberikan perhatian yang besar pada aset budaya masyarakatnya, sementara beberapa daerah lainnya dapat dikatakan baru saja memperhatikan aset kebudayaan masyarakatnya pada beberapa tahun terakhir. 

Pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 66 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali (disingkat Perda Desa Adat) telah menetapkan bahwa Desa Adat merupakan kesatuan hukum masyarakat Hukum Adat yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan. 

Bertolak dari kedudukan gandanya itu kemudian dirumuskan fungsi kulturalnya, antara lain (Dharmayuda, 2001):

  1. Membantu pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa/Pemerintahan Kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan;
  2. Melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam desa adat;
  3. Memberikan kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan;
  4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan Kebudayaan Nasional pada umumnya dan Kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/musyawarah untuk mufakat;
  5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaa desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat.

Berbagai macam latar belakang menjadi dasar dan pertimbangan diterbitkannya Perda Desa Adat di Bali (Surpha, 2002).

Pertama, sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan. 

Dalam Permendagri itu, yang tiada lain adalah penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat hukum, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang ketahanan nasional.

Dengan alasan dan/atau pertimbangan bahwa Permendagri tersebut tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan dan kemanjuan zaman, kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997, tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat. 

Kedua, pembinaan desa adat dianggap penting secara sosio-historis karena adat istiadat masyarakatnya yang tiada lain merupakan cerminan kebudayaan mereka telah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad dan telah memberikan sumbangan yang sangat berharga kepada kelangsungan kehidupan masyarakat, perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional, daerah dan desa. 

Ketiga, aspek-aspek kebudayaan berupa adat-istiadat, kebiasaan masyarakat dan lembaga adat diakui keberadaannya dan diakui oleh masyarakat luas dan tumbuh berkembang di daerah-daerah, berkualifikasi sebagai nilai-nilai dan ciri-ciri budaya serta kepribadian bangsa yang perlu diberdayakan, dibina dan dilestarikan.

Intensifnya upaya pemerintah dan masyarakat Bali dalam mengelola kebudayaannya sebenarnya terletak pada hubungan yang sangat erat antara aspek-aspek kebudayaan mereka dengan agama Hindu yang mereka anut. 

Agama dan aspek-aspek kebudayaan menyatu dalam hidup dan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, sehingga menampakkan suatu sistem pengelolaan kebudayaan yang sinergis dan berkelanjutan. 

Eratnya kaitan antara agama dan budaya Bali seperti itu tidak dijumpai di masyarakat daerah lainnya di Indonesia. 

Bahkan sebaliknya, di beberapa daerah yang masyarakatnya biasa dikenal sebagai ”masyarakat beragama” seringkali justru mempertontonkan semacam rivalitas antara praktik keyakinan agamanya dengan perilaku kebudayaan masyarakatnya. 

Kalaupun bukan rivalitas antara keduanya yang terjadi, paling tidak semangat sinergitas antara ajaran agama yang dipeluknya dengan kebudayaan yang dikembangkan itu tidak ada.

Selain pemeritah Bali, Pemerintah Provinsi Lampung telah pula memiliki Perda yang berkaitan dengan kebudayaannya. 

Hal itu dapat dilihat pada Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung. 

Perda ini disusun dengan pertimbangan, juga tujuan dan sasarannya, antara lain bahwa ”kebudayaan Lampung, sebagai bagian dari Kebudayaan Bangsa Indonesia dan merupakan aset nasional, keberadaannya perlu dijaga, diberdayakan, dibina, dilestarikan dan dikembangkan sehingga dapat berperan dalam upaya menciptakan masyarakat Lampung yang memiliki jati diri, berakhlak mulia, berperadaban dan mempertinggi pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa secara maksimal ....”. 

Disebutkan pula bahwa ”masyarakat adat Lampung terdiri dari Ruwa Jurai yaitu Jurai Adat Pepadun dan Jurai Adat Sabatin, memiliki falsafah hidup Piil Pasenggiri , Bejuluk Beuadok, Nemui Nyima Nengah Nyappur, dan Sakai Sambayan (Italic oleh pen.).

Dalam perda tersebut secara tegas disebutkan bahwa tugas pemeliharaan yang mencakup upaya-upaya perlindungan, pengembangan, pemberdayaan dan pemanfaatan aspek-aspek budaya (bahasa dan aksara, berbagai macam kesenian, kepurbakalaan dan kesejarahan, pakaian daerah, upacara-upacara, dan lain-lain) adalah tugas Pemerintah Daerah. 

Sementara itu masyarakat mempunyai kewajiban pula untuk turut serta memelihara, membina dan mengembangkan seluruh aspek kebudayaan Lampung. 

Peran serta masyarakat meliputi upaya-upaya, seperti inventarisasi aktivitas adat, seni dan budaya daerah, inventarisasi aset kekayaan budaya, peningkatan kegiatan budaya daerah, sosialisasi dan publikasi nilai-nilai budaya daerah, dan memfasilitasi pengembangan kualitas SDM ”kebudayaan” daerah. 

Kemudian, perlindungan terhadap kebudayaan Lampung dilakukan melalui usaha dan/atau kegiatan pendidikan, penelitian, pengembangan, pembinaan dan kodifikasi.

Perda kebudayaan Lampung yang memuat klausul ”perlindungan” dan baru dibuat pada tahun 2008, setelah beberapa tahun muncul klaim aset kebudayaan oleh pihak atau negara bangsa lain. 

Berbeda dengan Perda Kebudayaan Lampung tersebut maka Perda Desa Adat Bali, Nomor 66 Tahun 1986, belum mencantumkan adanya kata ”perlindungan” secara langsung. 

Meskipun demikian, sesuatu yang telah menjadi fakta historis dan sosiologis ialah upaya perlindungan (melalui langkah pemeliharaan, pembinaan dan pelestarian) kebudayaan Bali secara holistik atau serba mencakup tampak lebih intensif dibandingkan dengan upaya perlindungan aset dan kekayaan kebudayaan-kebudayaan daerah lainnya. 

Beberapa daerah seperti Jawa Barat dengan Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Kebudayaan di Jawa Barat baru mengilhami pemerintah Kota Bogor dan Kota Bandung untuk menyiapkan Perda Cagar Budaya. 

Juga, Walikota Semarang dengan Keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor 646/50/1992 tentang Konservasi Bangunan- Bangunan Kuno dan Bersejarah serta Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tetang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kota Lama Semarang belum sepenuhnya diaplikasikan sebagai ”alat” perlindungan bagi peninggalan aset kekayaan budaya lama (tradisional) masyarakatnya.

Sebagai kata akhir bagian ini, dapat dikemukakan bahwa peranan pemerintah daerah dalam mengelola dan melindungi aset dan kekayaan budaya masyarakat daerahnya semestinya bersifat ”substantif” sebagaimana pada kasus Bali. 

Ini berarti pengelolaan disertai dengan pemahaman mendalam tentang kedudukan dan fungsi pokok dari kebudayaan dalam lingkup kehidupan yang lebih luas dari masyarakatnya. 

Keberhasilan pengelolaannya juga banyak ditentukan oleh sikap masyarakatnya terhadap kedudukan dan fungsi dari kebudayaannya dalam hubungan dengan agama dan kepercayaan mereka. 

Apabila peranan pemerintah daerah (kasus Bali) dalam upaya mengelola aset kebudayaan masyarakatnya bersifat ”substantif”, maka peranan pengelolaan oleh pemerintah pusat mungkin nampak bersifat ”koordinatif” saja. 

Keadaan ini disebabkan oleh keterbatasan pemerintah pusat untuk mengerti dan memahami secara mendalam makna dan fungsi kontekstual dari suatu kebudayaan daerah.

0 Response to "Perlindungan Aset Kebudayaan Daerah di Indonesia"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak