Etika Salam

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.
salam
Pengertian Etika Salam

Dalam kehidupan bermasyarakat manusia disebut sebagai makhluk sosial, dikatakan demikin karena, antara yang satu dengan yang lainya saling membutuhkan baik berupa banuaan maupu sumbangsih yang lainya.

Sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala surat al-Hujurat ayat 10:

اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ اِخۡوَةٌ فَاَصۡلِحُوۡا بَيۡنَ اَخَوَيۡكُمۡ ‌ۚ‌وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُوۡنَ

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.

Dalam bermasyarakat pastinya tidak lepas dari interaksi sosial, dalam melakukan hubungan interaksi soial diperlukan etika (aturan) yang ada dalam masyarakat tersebut. 

Tujuan dan maksud dari etika untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tenteram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi pada umumnya.

Terma “etika” berasal dari kata bahasa Yunani ethos. Secara etimologis, etika bermakna watak, susila, adat. 

Sedangkan secara terminologis, dapat diartikan: 

1. menjelaskan arti baik atau buruk, 

2. menerangkan apa yang seharusnya dilakukan, 

3. menunjukkan tujuan dan jalan yang harus dituju dan 

4. menunjukkan apa yang harus dilakukan.

Dalam kamus besar Indonesia menjelaskan pengertian etika dan membaginya menjadi tiga macam, yakni:

a. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan dan masyarakat.
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)

Etika merupakan sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. 

Menurut Magnis Suseno”, etika merupakan sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran”

Bertens mendefinisikan etika sebagai “Ilmu pengetahuan tentang filsafat moral yang tidak membahas fakta, tetapi lebih cenderung pada nilai, bukan tentang karakter tetapi tentang ide perilaku manusia”.

Menurut pakar para ahli, “etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antar
sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk”.

Yang dimaksud etika ialah melatih diri melakukan akhlak-akhlak yang baik. Sedangkan etika dalam Islam berasal dari bahasa Arab Akhlaq Islamiyah (adab atau akhlak Islamiyah). 

Adab atau akhlak Islamiyah merupakan etika dan moral yang dianjurkan di dalam ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah, dengan mengikuti semua teladan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, yang di dalam aqidah Islamiyah dinyatakan sebagai manusia paling sempurna akhlaknya.

Berdasarkan definisi-definisi yang dipaparkan tersebut dapat dipahami bahwa etika merupakan seperangkat nilai, hasil gagasan manusia mengenai tata aturan yang berkaitan dengan perilaku manusia dan menjadi layak, wajar, sehingga dapat diterima suatu komunitas atau golongan pada ruang dan waktu tertentu. 

Etika dipandang penting eksistensinya demi keberlansungan tatanan sosial untuk mencapai ketentraman dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat.

Tata nilai etika memiliki kekuatan mengikat bagi komunitas yang
dimaksud, sehingga apabila ada yang melanggarnya, maka dianggap sebagai orang yang tidak taat dan tidak tahu etika, serta termasuk kategori individu atau kelompok masyarakat yang melawan.

Dalam konteks keilmuan, fokus dan objek pembahasan etika adalah gagasan-gagasan ideal terkait dengan perilaku yang layak berdasarkan kepantasan bagi manusia sesuai wilayah geografis, etnis, budaya dan terbatas pada ruang dan waktu.

Adapun akhlak dan etika secara konseptual memiliki makna yang berbeda, namun dari segi praktis memiliki prinsip-prinsip yang sama, yakni sama-sama berkaitan dengan nilai perbuatan manusia. 

Seseorang yang berperilaku baik seringkali disebut sebagai orang yang berakhlak, beretika dan bermoral.

Sebaliknya, orang yang perilakunya buruk tentu disebut sebagai orang yang tidak berakhlak, tidak tahu etika ataupun orang yang tidak bermoral. 

Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung pada sifat positif atau negative dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk individual dalam komunitas sosialnya. 

Dan dalam perspektif agama, perbuatan manusia di dunia ini hanya ada dua pilihan
yakni baik dan benar.

Secara formal, perbedaan antara etika, akhlak dan moral dapat dijelaskan sebagaimana berikut:

1. Etika bertolak ukur pada akal fikiran atau rasio.
2. Etika bersifat pemikiran filosofis yang berbeda pada tataran konsep atau teoritis.
3. Pada tataran lokalitatif, etika bersifat lokalitas dan temporer sesuai konsensus, dengan demikian biasa disebut etiket (etiqqueta), etika praktis atau dikenal juga dengan adab atau tatakrama atau tatasusila.
4. Etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
5. Moral tolak ukurnya adalah norma-norma yang berlaku pada masyarakat dan berada pada tataran realitas praktis serta muncul dalam tingkah laku yang berkembang dalam masyarakat.
6. Moral biasa diungkapkan dengan istilah moralitas yang digunakan untuk menilai suatu perbuatan.
7. Akhlak berada pada tataran aplikatif dari suatu tindakan manusia dan bersifat umum, namun lebih mengacu pada barometer ajaran agama.

Jadi, etika Islam (termasuk salah satu dari berbagai etika religious yang ada) hal ini tidak lain adalah akhlak itu sendiri

Secara substansial, istilah etika, moral dan akhlak adalah identik (hampir sama). Karena sama-sama mengacu kepada manusia baik dari aspek perilaku ataupun pemikiran. 

Bagi manusia, perilaku yang dimaksud adalah pada tataran ideal. Tanpa adanya perbedaan etnis, agama, geografis, bahasa dan lain sebagainya. 

Secara fungsional, peranan etika, moral dan akhlak adalah sangat urgen dalam pembentukan karakter individu dan masyarakat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Telah dijelaskan juga bahwa aspek sumber etika berdasarkan pendapat akal fikiran atau rasio, moral dan akhlak yang berdasarkan pada nilai-nilai agama  (al-Qur’an dan hadis). 

Dengan demikian, maka etiket, moral maupun tatasusila sangat dibutuhkan sebagai dasar implementasi dalam rangka menjabarkan dan mengoperasikan ketentuan-ketentuan akhlak yang tercantum di dalam al-Qur’an dan hadis. 

Sebaliknya, akhlak secara prinsip dijadikan sebagai landasan utama dalam memberikan batasan-batasan umum dan universal dalam menjabarkan nilai-nilai etis, moral dan susila, sehingga terciptanya humanis dilingkungan masyarakat.

Kata “al-Salam” dalam kamus bahasa arab berarti kedamaian, ketenraman dalam al-Qur’an memiliki lebih dari satu arti, diturunkan dengan bahasa Arab dan kemukjizatan bahasa (al-I’jaz al-Balagah) al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan. 

Kata al-Salam juga termasuk al-asma’ al-husna (nama-nama Allah yang baik) yang berarti sejahtera atau keselamatan, yaitu Allah memberi kesejahteraan dan keselamatan kepada seluruh makhlukNya, tanpa memandang agama dan warna kulitnya, karena semuanya memperoleh hak yang sama dalam
keselamatan.

Kata “al-Salima” mengandung banyak arti, sesuai dengan perbedaan bentuk huruf-hurufnya. Sallama berarti mengucapkan salam penghormatan kepada orang lain, makna lain berarti tunduk dan patuh, menyelamatkan.

Kata “salam” berasal dari Bahasa Arab mengandung arti selamat, kedamaian, keamanan, juga penghormatan. Allah Subhanahu wa ta'ala disebut al-salam adalah zat yang maha pemberi keselamatan. 

Segala keselamatan dan kebaikan yang dialami atau terjadi pada diri kita berasal dari Allah. Jadi pengertian etika salam merupakan tata cara memberi penghormatan kepada sesama muslim


Lafadh Salam

Bagi orang yang hendak mengucapkan salam, diantara lafadhnya yaitu: lafadh yang paling afdhal (utama) adalah:
 السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

“Semoga keselamatan, rahmat Allah dan barakah-Nya selalu diberikan bagimu.”

Meskipun ada juga yang menggunkan lafadh lain yang semisalnya itu pun diperbolehkan seperti:

اَسَّلآمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهْ

“Semoga keselamatan, rahmat Allah yang maha agung dan barakah-Nya selalu diberikan bagimu juga”.


Jawaban dari salam yang tersebut dijawab seperti:
وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 

“Dan sebaliknya semoga keselamatan, rahmat Allah serta barakah-Nya selalu diberikan bagimu juga”.

Sedangkan jawaban salam yang kedua dijawab dengan jawaban:

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ تَعَالَى وَبَرَكَاتُهْ 

 “Dan sebaliknya semoga keselamatan, rahmat Allah yang maha agung serta barakah-Nya selalu diberikan bagimu”.

Di saat seseorang mengucapkan: “Assalamu’alaikum, (salam sejahtera semoga Allah limpahkan padamu) maka jawabnya adalah:“Wa’alaikumus salam warahmatullah”. (dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat-Nya). 

Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan:“Assalamu’alaikum warahmatullah”, (salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat-Nya) maka jawabnya:"Wa’alaikum warahmatullah wabarakatuh ". (dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat dan keberkahan-Nya). 

Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan: "Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh",(salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat dan barakah-Nya). 

Maka jawabnya adalah:"Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh\ wamagfiratuh wa ridwanuh".(dan salam sejahtera juga semoga Allah limpahkan kepadamu, beserta rahmat-Nya, barakah-Nya, pengampunan-Nya dan keridhaanNya)

Salam diucapkan dengan kata ganti jama’ (banyak), meskipun yang diberi salam adalah seorang diri. Jawaban Wa’alaikum al-Salam warahmatullah wabarakatuh (semoga kesejahteraan, rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpah kepadamu juga). 

Huruf Wawu didepan dalam lafadh Wa’alaikum merupakan Wawu „Ataf (kata sambung).

Beberapa Ulama’ diantaranya Imam Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya al-Hawi, Imam Abu Sa’ad al-Mutawalli dalam kitab Salah al-Jum’ah dan yang lainnya menyebutkan bahwa salam yang “Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh” demikian merupakan salam yang afdal.

Lafadh salam diatas berdasarka hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Imran bin al-Husain ra :

جَاءَ رَجُلٌ  إَلَى النَّبِيِّ  صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ءَشْرٌ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَجَلَسَ فَقَالَ عِسْرُوْنَ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ثُمَّ جَلَسَ فَقَالَ ثَلاَثُون
(رَوَاهُ اَنُوْدَاُوْ)
“Bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'aaihi aassallam dan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, maka beliau menjawab salam tersebutmkemudian orang itu duduk. 

Dan Nabi Muhammad Shalallahu 'aaihi aassallam pun bersabda, “Sepuluh pahala”. Kemudian datang orang yang lain dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum warahmatullah”. 

Maka beliau menjawab salam orang tersebut kemudian orang itupun duduk. Beliau Pun bersabda: “Dua puluh pahala”. 

Setelah itu datang pula orang yang lain lagi dengan mengucapkan, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Beliau menjawab salam orang tersebut,kemudian orang tersebut duduk dan Nabi bersabda, “Tiga puluh pahala”.(H.R. Abu Dawud)

Adapun tambahan ucapan “Wa maghfiratuh waridwanuh” dalam kitab Zad al-Ma’ad itu dasarnya lemah.

Dan juga menurut imam Nawawi dalam kitab Adzkar Nawawi tambahan ucapan “Wa maghfiratuh atau waridwanuh” itu hadisnya kurang kuat (dha‟if) 

Karena salah satu perawinya Abu Marhum Abdurrahim bin Maimun dan dia tidak bisa di jadikan hujjah, dalam hadis tersebut salah satu perawi yang bernama Sahl bin Mu‟adz kedudukannya seperti Abu Marhum, dan salah satu perawinya yang bernama Sa‟ad bin Abi Maryam tidak men-jazem-kan riwayat yang dia bawakan, bahkan dia berkata “Aku mengira bahwa aku mendengar Nafi‟ bin Yazid…” itu semua yang menjadikan hadis ini berkedudukan sebagai hadis dha‟if (lemah).  

Jadi, salam cukup diakhiri dengan “Wabarakatuh” kata tersebut telah mencakup makna-makna keberkahan.

Menurut Imam Malik dalam kitabnya al-Muwata’ menyebutkan riwayat bahwa seorang lelaki mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas ra, dengan ucapan “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”, kemudian menambahkan ucapan lain juga, maka Ibnu Abbas ra berkata, “Sesungguhnya ucapan salam berakhir pada keberkahan (barakatuh).”

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dapat dipetik pelajaran hadis (fiqh al-Hadis) diantaranya:

1. Sesungguhnya pahala salam akan bertambah sesuai dengan salam yang diucapkan.

2. Untuk mereka yang mengucapkan “Assalamu’alaikum”, dia akan mendapatkan pahala hingga sepuluh kali lipat.

3. Bagi mereka yang mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullah, dia akan mendapatkan pahala dua kali lipat hingga dua puluh kali lipat.

4. Sedangkan untuk mereka yang mengucapkan “Assalamu’alaikum

Warahmatullah Wabarakatuh”, dia akan mendapatkan pahala tiga kali lipat hingga tiga puluh kali lipat.

5. Nilai amal diukur dengan bobot kualitas maupun kuantitasnya.

Demikian Pengertian etika salam semoga bisa menambah pengetahuan dan wawasan kita. Terima kasih atas kunjungannya.


0 Response to "Etika Salam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak