Menahan Laju Uang Merah

BNI46
Belanda membawa dan mencetak mata uang sendiri ketika berupaya kembali menjajah Indonesia. Mata uang terlarang bagi kaum nasionalis di masa revolusi.

Sekalipun sudah angkat kaki karena kalah melawan Jepang, Belanda berpikir bakal kembali menguasai Indonesia. Segala persiapan dilakukan termasuk mencetak mata uang Hindia Belanda yang baru. Uang kertas tersebut dicetak pada 1943 dalam sembilan pecahan dari 50 sen hingga 500 gulden/rupiah.

“Pada saat itu pemerintah telah memperkirakan De Javasche Bank (DJB) sulit untuk langsung berfungsi setibanya mereka di wilayah Hindia Belanda,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia (BI) dalam situs resminya. 

Dalam uang tersebut tercantum nilai gulden dalam bahasa Belanda dan nilai rupiah dalam bahasa Indonesia.

Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia, tim peneliti BI mengatakan, penggunaan kata “rupiah” pada uang NICA merupakan upaya Belanda untuk menarik hati rakyat Indonesia. Dengan beredarnya uang NICA, perang mata uang terjadi di Indonesia.

Harapan itu terwujud. Pendudukan Jepang berakhir. Meski Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, Belanda tetap kembali ke wilayah bekas koloninya dengan membonceng Sekutu. 

Tak hanya membawa tentara sipil (NICA), Belanda juga membawa uang NICA. Masyarakat menyebutnya “uang merah” karena pecahan 50 sen dan 10 rupiah yang banyak digunakan, berwarna merah.

Para petinggi NICA seperti Charles van der Plas dan van Mook semula berpikir mengedarkan uang NICA berisiko tinggi bagi rencana menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Namun, para pemimpin di Belanda pada 30 September 1945 memutuskan menarik mata uang rupiah Jepang dan menggantinya dengan uang NICA.

“Akhirnya, ada semacam persetujuan dari van Mook untuk mengedarkan mata uang NICA di luar Jawa dengan kurs penukaran 3 sen uang NICA untuk setiap 1 rupiah uang Jepang.

Sedangkan peredaran uang NICA di Jawa dilakukan kemudian,” kata sejarawan Mohammad Iskandar dalam “’Oeang Republik’ dalam Kancah Revolusi” pada Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1, Agustus 2004.

Indonesia bereaksi terhadap peredaran uang NICA tersebut. “Uang ini kita anggap tidak laku; janganlah diterima, supaya jangan timbul inflasi di sini,” demikian maklumat pemerintah Indonesia pada 2 Oktober 1945 dalam arsip Sekretariat Negara RI No.48 koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

Ditodong senjata

Peredaran uang NICA berjalan mulus kecuali di Jawa dan Sumatra. Muncul perlawanan dari rakyat yang mematuhi maklumat pemerintah Indonesia.

Pada 3 Oktober 1945, para pelajar sekolah menengah di Yogyakarta keluar-masuk kampung untuk menyita mata uang NICA. Dua hari kemudian, kaum buruh mengadakan rapat raksasa untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung Republik Indonesia. 

Di Jakarta, banyak pedagang pribumi menolak menjual barang kepada orang Belanda dan enggan dibayar dengan uang NICA. Begitu pula di Semarang. Penolakan juga dinyatakan kaum Republikan di Bandung. Tidak jarang arena jual beli berubah menjadi arena perkelahian (Berita Indonesia, 7 Oktober 1945).

Pihak Sekutu turun tangan mengatasi perang mata uang tersebut. Pada 6 Oktober 1945, Brigjen Bethell selaku komandan penanggung jawab Sekutu menyatakan bahwa hanya uang rupiah Jepang yang berlaku sebagai alat tukar. Namun, sikap Sekutu tak konsisten. Memasuki tahun 1946, kebijakan Sekutu cenderung menguntungkan Belanda.

Belanda pun tetap bersiasat memperluas peredaran uang NICA. NICA memperoleh akses ke kantorkantor pusat bank Jepang di Jakarta pada 10 Oktober 1945. Bank-bank Jepang ditutup. DJB dihidupkan kembali dan bertugas sebagai bank sirkulasi.

Pada 6 Maret 1946, uang NICA emisi 2 Maret 1943 beredar resmi. Pada bulan berikutnya, DJB membuka kembali kantor-kantor cabangnya di kota yang diduduki NICA. Di daerahdaerah pendudukan, uang NICA menjadi alat pembayaran sah.

Pada tahun 1946, DJB mengeluarkan uang kertas DJB emisi darurat 1946, terbit dalam pecahan 5, 10 dan 25 gulden/rupiah. 

“Ketiga pecahan ini terus beredar di wilayah Indonesia hingga nantinya ditarik dari peredaran sehubungan dengan kebijakan Gunting Sjafruddin pada 1950,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia. 

Banyaknya mata uang yang beredar membingungkan rakyat kecil. Di Makassar misalnya, seperti dicatat Pramoedya Ananta Toer, dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1, rakyat hanya mau menerima uang rupiah cetakan Jepang. 

Tetapi para pedagang kadang dipaksa dengan todongan senjata untuk menerima uang NICA. Menggunakan uang NICA pun sama nahasnya. Pejuang atau Tentara Republik akan mencap siapa saja yang menyimpan uang NICA sebagai matamata Belanda.

Perang mata uang

Pada 15 Maret 1946, pihak Republik mengeluarkan maklumat yang melarang penduduk mengedarkan uang NICA. “Barang siapa menyimpan atau mengedarkan mata uang NICA akan mendapat hukuman berat” (majalah Pantja Raya, 1 April 1946). 

Tak pelak, kehadiran uang NICA menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Setelah Bank Nasional Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, beberapa mata uang seperti uang DJB, uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang pemerintah pendudukan Jepang ditarik dari peredaran. Setiap penduduk hanya diperbolehkan memegang uang maksimal 50 rupiah Jepang untuk kebutuhan sehari-hari.

Kemudian, Menteri Keuangan berdasarkan surat keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946 menetapkan berlakunya Oeang Republik Indonesia (ORI). Pada 30 Oktober 1946 pukul 00.00, ORI menjadi mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia. Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api. Kawalan ketat mengiringi pengiriman itu guna menghindari perampokan di tengah jalan.

Kehadiran ORI menandai babak baru perang mata uang. ORI mulai memasuki daerah-daerah pendudukan melawan uang NICA. Rakyat menyambut antusias. Umpamanya, tukang becak di Jakarta lebih memilih dibayar ORI senilai 20 sen ketimbang 1 rupiah uang NICA. Di Pasar Tanah Abang, harga ayam potong harganya f2 uang NICA tetapi para pedagang pribumi malah menawarkan dagangannya senilai Rp 50 ORI.

NICA tak tinggal diam, pada 15 Juli 1947, setelah hampir semua uang NICA beredar, DJB mulai mencetak uang kertasnya sendiri (post-war banknotes). Melalui Ordonansi 20 November 1947 keluarlah uang kertas pemerintah Belanda dengan tanggal emisi Batavia/ Djakarta, Desember 1947, dengan pecahan 10 sen dan 25 sen. “Uang kertas pemerintah ini lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia serta dicantumkan kata ‘INDONESIA’ sebagai penerbit uang,” tulis Unit Khusus Museum Bank Indonesia. 

Kenyataan pahit 

Persaingan uang NICA dengan uang ORI terus berlangsung. Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta menjelang akhir 1949, Menteri Negara/Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengkubuwono menetapkan baik ORI dan uang NICA berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. 

“Kebijakan itu diambil karena pada hakikatnya pemerintah RI sangat kekurangan uang,” tulis Darsono dkk. dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia.

Semula pemerintah Belanda meminta agar uang NICA dijadikan sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah selama perundingan Konferensi Meja Bundar. 

Sultan menolak dan menawarkan usulan nan jitu. Dia mempersilakan pihak Belanda melakukan survei guna mengetahui respon masyarakat Indonesia terhadap kedua mata uang tersebut.

Pihak Belanda harus menerima kenyataan pahit. Survei membuktikan bahwa masyarakat memilih menggunakan ORI sebagai alat pembayaran yang sah. Uang NICA tak sanggup menyumpal warga Republik Indonesia yang ingin merdeka dan berdaulat.

0 Response to " Menahan Laju Uang Merah"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak