KONDISI SPIRITUAL DALAM TASAWUF



 Ψ¨ِΨ³ْΩ…ِ Ψ§Ω„Ω„ّΩ‡ِ Ψ§Ω„Ψ±َّΨ­ْΩ…َΩ†ِ Ψ§Ω„Ψ±َّΨ­ِيْΩ…ِ
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah hingga hari akhir.

Ahwal adalah keadaan-keadaan spiritual yang menguasai qalbu dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Istilah ahwal dalam tasawuf digunakan untuk menunjukkan keadaan spiritual. 

Al-hal merupakan sebuah kondisi yang melekat dalam qalbu, merupakan efek dari peningkatan maqomat seseorang. 

Secara teoritis memang bisa dipahami, bahwa seorang hamba kapan pun ia mendekat kepada Allah dengan cara berbuat kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah akan memancarkan cahaya dalam qalbu hamba tersebut. 

Yang termasuk kepada al-ahwal menurut As-Sarraj (2008: 88) yaitu 

  1. muraqabah,
  2.  qurbah, 
  3. mahabbah, 
  4. khauf, 
  5. roja, 
  6. syauq, 
  7. uns, 
  8. thuma’ninah, 
  9. musyahadah, dan 
  10. yaqin.

1. Muraqabah

Salah satu asma Allah yang baik (asmaul husna) yaitu ar-raqib (Yang Maha Mengawasi). Di dalam Al-qur’an Allah menjelaskan: 

“Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu” (QS. Al-Ahzab: 52). 

Dalam ayat lain Allah menjelaskan: 

“Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala yang ghaib” (QS. At-taubah: 78).

Apa yang dimaksud muraqabah dalam pandangan sufi? Yang dimaksud muraqabah bagi seorang hamba yaitu: 

“Suatu pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah swt yang ada dalam hati nuraninya selalu melihat dan Maha Mengetahui” (As-Sarraj, 2009: 112). 

“Muraqabah yaitu seseorang melihat Allah dengan mata hatinya dan meyakini sedalam-dalamnya bahwa Allah itu ialah Tuhan yang menciptakan kita” (Jaho, 2002: 2). 

Allah ialah satu-satunya Tuhan yang harus kita sembah dan satu-satunya tempat memohon. Itulah Tuhan yang Maha Mengetahui segala keadaan diri kita, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. 

Kita harus sadar bahwa Allah senantiasa melihat dan memperhatikan seluruh gerak gerik kita, baik ketika kita melakukan ketaatan kepada-Nya, atau ketika sedang berbuat maksiat terhadap-Nya. 

Baik di tengah keramaian maupun sedang sendirian. Kita semuanya berada dalam pengawasan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah sendiri, yang artinya:

Dia mengetahui yang tersembunyi dan yang nyata. Dia Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. Sama saja (di sisi Allah), siapa di antara kamu yang merahasiakan perkataan atau menyatakannya, dan siapa yang bersembunyi pada malam hari atau yang kelihatan pada siang hari (QS. Ar-Ra'ad [13]: 9-10).

2. Qurbah (Kedekatan)

Allah itu Maha Dekat dan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher. Hal ini sesuai dengan firman-Nya: 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat” (QS. Al-Baqarah: 186). 

Dalam ayat lain Allah menjelaskan:

 “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi leher” (QS. Qaf: 16). 

Namun begitu, tidak semua orang merasa dekat dengan Allah. Untuk dapat mencapai kedekatan dengan Allah perlu ada upaya yang dilakukan oleh seseorang.

Apa sebenarnya yang dimaksud al-qurbah menurut pandangan para sufi?

Kondisi spiritual qurbah bagi seorang hamba yaitu menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah subhanahu wa ta’ala dengannya. 

Dengan demikian, ia akan melakukan pendekatan diri kepada-Nya dengan ketaatan-ketaatan dan seluruh perhatiannya selalu terpusatkan di hadapan Allah dengan selalu mengingat-Nya dalam segala kondisinya, baik secara lahiriah maupun secara rahasia hati (As-Sarraj, 2009:116).

3. Mahabbah (Rasa Cinta)

Mahabbah yaitu suatu kondisi spiritual rasa cinta seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara orang-orang yang beriman kepada Allah ada orang yang memiliki rasa cinta yang mendalam kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 

Hal ini didasarkan pada firman Allah yang ada dalam Al-qur’an:

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya” (QS. Al-maidah: 54). 

Dalam ayat yang lain dijelaskan pula: 

“Mereka mencintai (sesembahan selain Allah) sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih berat cintanya kepada Allah” (QS. Al-Baqarah:125).

Yang dimaksud mahabbah bagi seorang hamba yaitu:

 “Melihat dengan kedua matanya terhadap nikmat yang Allah karuniakan kepadanya. Dan dengan hati nuraninya ia melihat kedekatan Allah dengannya, segala perlindungan, penjagaan,
dan perhatian-Nya yang dilimpahkan kepadanya”. 

Dengan keimanan dan hakikat keyakinannya ia melihat perlindungan (inayah), petunjuk (hidayah), dan cinta-Nya yang dicurahkan kepadanya, dimana seluruhnya sudah ditetapkan terlebih dahulu sejak zaman azali (As-Sarraj, 2009, hal.116). 

Orang-orang yang memiliki kondisi spiritual mahabbah ini dibedakan menjadi tiga tingkatan sebagai berikut:

Mahabbah (cinta)nya orang-orang awam. Mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah Azza wa Jalla kepada mereka. 

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wassallam: 

“Hati manusia diciptakan sesuai dengan kodratnya untuk cenderung mencintai kepada orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci kepada orang yang berbuat jahat kepadanya”.

Kondisi spiritual mahabbah ini memerlukan syarat, sebagaimana yang pernah ditanyakan kepada Samnun rahimahullah. Ia mengatakan, 

“Mahabbah adalah jernihnya cinta dengan disertai mengingat-Nya yang terus menerus, karena orang yang mencintai sesuatu ia pasti akan banyak mengingatnya”. 

Pernah pula ditanyakan kepada Sahl bin Abdullah, lalu ia menjawab,“Mahabbah adalah kecocokan hati dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan senatiasa cocok dengan-Nya, serta mengikuti Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam dengan senantiasa mencintai yang sangat mendalam untuk selalu mengingat Allah dan menemukan manisnya bermunajat kepada Allah Azza wa Jalla”. 

Pernah juga ditanyakan kepada sebagian syekh Sufi, kemudian ia menjawab, “Mahabbah ialah cinta yang merasuk ke dalam hati untuk selalu memuji kepada yang dicintai, lebih mengutamakan taat kepada-Nya dan selalu cocok dengan-Nya”.

Kondisi spiritual mahabbah kedua adalah cinta yang muncul karena hati yang selalu melihat pada Keagungan dan Kebesaran Allah, Ilmu dan Kekuasaan-Nya, dimana Dia Maha Kaya yang tidak membutuhkan apa pun. 

Kondisi spiritual mahabbah yang kedua ini adalah cintanya orang-orang yang jujur (ash-Shiddiqin) dan orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran yang hakiki (al-Muhaqqiqin). 

Adapun syarat dan sifatnya sebagaimana pernah dikatakan oleh An-Nuri bahwa mahabbah pada tingakatan ini adalah menghancurkan tutup penghalang dan menyingkap rahasia-rahasia. 

Pernah dikatakan pula oleh Ibrahim Al-Khawwas bahwa mahabbah ialah menghapus segala keinginan dan menghanguskan seluruh sifat dan kebutuhan. 

Sejalan dengan itu, Abu Sa’id Al-Kharraz pernah mengatakan, “Berbahagialah orang yang meneguk segelas cinta-Nya, merasakan kenikmatan bermunajat kepada Dzat Yang Maha Agung dan didekatkan kepada-Nya dengan kelezatan untuk mencintai-Nya, sehingga hatinya penuh dengan cinta-Nya, terasa
dekat dengan-Nya penuh kesenangan dan mencintai-Nya dengan penuh kerinduan, sehingga tak ada yang dapat menentramkan hatinya dan tak ada yang bisa dicintai selain Dia”.

Adapun kondisi spiritual mahabbah ketiga adalah cintanya orang-orang yang benar-benar jujur (as-shiddiqin) dan orang-orang arif (al-arifin). 

Dimana rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui keqadiman Cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apa pun. Dengan demikian, mereka harus mencintai Allah tanpa sebab dan alasan apa pun.

4. Khauf (Rasa Takut)

Khauf yaitu rasa takut kepada Allah swt sebagai akibat dari kedekatannya dengan Allah. Di antara orang yang sudah mencapai kondisi spiritual khauf (rasa takut) kepada Allah subhanahu wa ta'ala itu ada yang rasa takutnya menguasai hatinya karena ia melihat kedekatan Allah dengannya, ada pula di antara mereka yang hatinya dikuasai rasa cinta (mahabbah). 

Hal itu terjadi sesuai dengan pembenaran (tashdiq), hakikat keyakinannya, dan rasa takut (khasyyah) yang diberikan Allah dalam hati hamba-Nya.

Kondisi spiritual ini terjadi karena dibukakan bermacam-macam keghaiban. Jika dalam kedekatan dengan Tuhannya hatinya menyaksikan Kebesaran, Keagungan, dan Kekuasaan Tuhan, maka hal itu akan mengakibatkan ia takut, malu, dan gemetar. 

Jika dalam kedekatan dengan Tuhannya hatinya menyaksikan kelembutan Tuhannya, Keqadiman kasih sayang-Nya, kebaikan yang telah diberikan kepadanya dan cinta-Nya, maka hal ini akan mengakibatkan rasa cinta, kerinduan, kegelisahan, cinta yang membara dan bosan untuk tetap hidup. 

Ini semua terjadi karena Ilmu, Kehendak, dan Kekuasaan-Nya. Itulah Kekuasaan Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Mengetahui (As-Sarraj, 2009, hal.117).

5. Roja (Rasa Pengharapan)

Rasyidi menjelaskan bahwa roja yaitu suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia Allah yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh.

Oleh karena Allah itu Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, maka bagi hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Allah, jiwanya penuh harapan mendapat ampunan, merasa lapang, penuh gairah, menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena ia yakin bahwa hal itu akan terjadi. 

Dalam pandangan sufi, roja merupakan salah satu tingkatan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk memperoleh derajat tertinggi di sisi Allah, tetapi tidak semua sikap roja bisa dikatakan maqam. 

Baru dikatakan maqam apabila sikap itu telah mendarah daging dan menyatu dalam jiwa. Kalau sikap itu hanya sementara saja dan pada suatu saat menghilang, maka yang demikian itu dikatakan hal (Isma’il, 2008: 994).

Lebih lanjut, Rasyidi dalam sumber yang sama menjelaskan bahwa menurut Abu Nashr As-Sarraj, sebagian sufi memandang bahwa khauf dan roja merupakan sayapnya amal, tidak akan terbang amal itu kecuali dengan keduanya. 

As-Sarraj juga membagi roja menjadi tiga bagian. Pertama, roja bersama Allah (fillah). Kedua, roja
dalam luasnya rahmat Allah, dan ketiga, roja di dalam pahala Allah. 

Menurut Imam al-Qusyairi, roja adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Karena itu, harapan berlaku bagi sesuatu yang mungkin terjadi.

Hati seseorang akan menjadi hidup oleh harapan-harapan, sekaligus bisa menghilangkan beban pikiran. Orang yang punya harapan akan bekerja keras untuk mencapai apa yang diinginkan.

6. Syauq (Kerinduan)

Syauq yaitu suatu kerinduan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Di dalam tasawuf istilah syauq digunakan untuk mengekspresikan meluapnya keinginan hati untuk bertemu dengan Kekasih, atau kerinduan yang mendalam kepada Kekasih, yakni Allah Azza wa Jalla. 

Salahudin menjelaskan, bahwa syauq adalah kerinduan untuk melihat Kekasih, kerinduan untuk
dekat dengan Kekasih, kerinduan untuk bersatu dengan Kekasih, dan kerinduan yang mendalam untuk meningkatkan kerinduan itu sendiri kepada Kekasih. 

Lebih lanjut, Salahudin mengemukakan beberapa pendapat para sufi tentang syauq. 

Menurut Al-Qusyairi, syauq adalah gairah hati yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. 

Ibnu Athaillah pernah ditanya: “Manakah yang lebih utama, syauq atau mahabbah?”. Ia menjawab: Mahabbah, karena syauq terlahir dari mahabbah. 

Abu Utsman Al-Hariri berkata: Syauq adalah buah cinta; seseorang yang mencintai Allah, selalu ingin bersatu dengan-Nya (Isma’il, 2008, 1201).

7. Uns (Keakraban atau Keintiman)

Uns yaitu suatu keadaan spitual seorang sufi yang merasa intim atau akrab dengan Tuhannya, karena telah merasakan kedekatannya dengan-Nya. 

Uns adalah keadaan spiritual ketika qalbu dipenuhi rasa cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah. 

Bahri mengutip beberapa pendapat para sufi tentang apa yang dimaksud dengan uns. 

Menurut Abu Sa’id Al-Kharraz, uns adalah perbincangan ruh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. 

Dzunnun Al-Misri memandang uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. 

Menurut Suhrawardi, uns diperoleh seseorang dengan sebab ketaatan kepada Tuhan, senantiasa selalu berdzikir kepada-Nya, membaca firman-Nya, dan melakukan serangkaian kedekatan-kedekatan kepada-Nya.

Sedangkan Al-Ghazali memandang uns, bersama-sama dengan khauf dan syauq merupakan bekas dari mahabbah. Bekas ini tentu akan sangat bergantung kepada seberapa dalam rasa cintanya kepada Allah. 

Uns menurut Al-Ghazali adalah hati yang terhibur dan senang ketika menyaksikan keindahan, bahkan jika yang dominan pada hatinya menyaksikan Dzat Yang Ghaib akan membuatnya serasa lebih nikmat.

Jika seorang hamba telah dominan dalam keintiman bersama Allah, maka tidak ada lagi dalam keinginannya kecuali berada dalam kesunyian dan menyendiri. 

Oleh karena itu, ketika Ibrahim ibn A’dham turun dari gunung, seseorang bertanya, “dari
mana engkau datang?”. 

Ia menjawab, dari keintiman bersama Allah. Begitulah keintiman bersama Allah yang melahirkan keindahan, kelembutan, dan belas kasih, sehingga membuat sang hamba menjauh dari selain Allah (Isma’il, 2008: 1378).

8. Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah salah satu kondisi spiritual sebagai anugerah Tuhan yang diperoleh oleh seorang sufi yang sedang melakukan pendakian spiritual menuju Tuhan. 

Thuma’ninah berarti tenang dan tenteram. Orang yang memperoleh kondisi jiwa ini tidak lagi dihinggapi rasa was-was dan khawatir. 

Tidak ada lagi yang dapat mengganggu perasaan dan pikirannya, karena sudah berhasil mencapai kesucian jiwa yang paling tinggi. 

Dia sudah dapat berkomunikasi dengan Allah subhanahu wa ta'ala, karenanya ia merasa sangat senang dan bahagia.

Menurut Al-Jauziyah bahwa thuma’ninah adalah salah satu kondisi spiritual berupa ketenteraman hati yang dialami seseorang terhadap sesuatu, sehingga ia tidak lagi dihinggapi kecemasan dan kegelisahan. 

Thuma’ninah merupakan ketenangan yang dikuatkan dengan rasa aman yang sesungguhnya (Isma’il, 2008: 1354).

9. Musyahadah

Musyahadah secara bahasa artinya saling menyaksikan. Menurut istilah sufi musyahadah adalah pengetahuan langsung tentang hakikat Tuhan. 

Maksudnya, bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. 

Menurut para sufi, menyaksikan Tuhan terjadi dengan berbagai cara.

Sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum tarekat menyaksikan Tuhan dalam segala sesuatu. 

Sebagian lagi menyaksikan Tuhan sebelum, sesudah atau bersama segala sesuatu. Sebagian selain menyaksikan Tuhan sendiri dengan mata hatinya.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa pendapat para ahli tentang musyahadah, yaitu: 

Al-Maliki mengatakan bahwa musyahadah ialah keghaiban yang ditemukan oleh hati dengan keghaiban yang tidak dijadikan sebagai sesuatu yang terlihat dan tidak pula penghayatan nurani (wajd). 

Menurut Abu Said Al-Kharraj dalam sumber yang sama mengatakan bahwa barangsiapa menyaksikan Allah dengan hatinya, maka segala sesuatu selain Dia akan menjauh dan lenyap. 

Semua akan hilang ketika ada Keagungan Allah, sehingga yang tersisa dalam hatinya hanyalah Allah Azza wa Jalla (As-Sarraj, 2009: 141).

Rosyidi menjelaskan bahwa musyahadah itu bisa tercapai dengan melalui mujahadah (kesungguhan) dalam beramal. 

Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Imam Al-Qusyairi bahwa “Barangsiapa yang menghiasi lahirnya dengan mujahadah, niscaya Allah memperbaiki “sirr” (rahasia batin) hatinya dengan “musyahadah”. Maksudnya, merasakan kehadiran Allah dalam rasa hatinya.

10. Yaqin

Di dalam tasawuf istilah yaqin mengacu kepada ketetapan hati kepada Allah berdasar ilmu yang tidak berubah, tidak bisa dipalingkan, tidak bisa dibolak-balik, dan tidak lenyap ketika ada goncangan dan keraguan. 

Keyakinan ini tercermin, misalnya dari diri pribadi Imam Ali ibn Abi Thalib sebagaimana yang dikemukakan oleh Salahudin, bahwa ia pernah menyatakan:

“Bahkan jika selubung antara yang tampak dan tidak tampak diangkat, keyakinanku tak akan bertambah”. 

Rasulullah bersabda: 
“Keyakinan akan membawa hamba Allah kepada setiap keadaan yang
luhur dan setiap tempat pemberhentian yang menakjubkan”. 

Dalam Hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan: “Jika seseorang mempunyai keyakinan yang kuat, ia
pasti dapat berjalan di atas air”. 

Imam Ja’far ash-Shodiq berkata: “Seseorang yang keyakinannya kuat dapat dikenali dari kenyataan bahwa ia mendapati dirinya terlepas dari segala kemampuan dan kekuatan selain yang telah diberikan Allah kepadanya, dan dari tindakannya selalu menjunjung perintah Allah dan beribadah, bbaik secara lahiriah maupun batiniah. 

Baginya, keadaan memiliki dan tidak memiliki, bertambah dan berkurang, pujian dan cacian, kejayaan dan kehinaan semuanya sama, sebab ia menganggap semuanya berada pada tingkat yang sama. Bahkan, kadang penderitaan (bala) lebih nikmat baginya daripada kelapangan (Isma’il, 2008: 1483).

Keyakinan, percaya mutlak kepada kearifan Tuhan adalah keadaan tertinggi yang diharapkan pengembara atau penempuh jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah (salik), dan orang yang telah mencapainya tidak perlu lagi penyingkapan misteri-misteri ghaib. 

Keyakinan memenuhi hati dengan cahaya yang membebaskan hati dari kabut kegelisahan dan keraguan yang menyebabkan berhembusnya angin kebahagiaan dalam hati manusia. 

Dan hal itu merupakan kondisi spiritual yang dicapai dan dialami orang-orang yang melewati jalan ma’rifatullah.

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Tasawuf merupakan suatu suatu ilmu yang mempelajari tentang:
  • cara-cara membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati, 
  • mengisinya dengan sifat- sifat terpuji melalui mujahadah dan riyadhah, 
Sehingga merasakan kedekatan dengan Allah dalam hatinya dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya, bahkan dapat melihat Allah dengan mata hatinya, 

Sehingga dapat tampil sebagai sosok pribadi yang berbudi luhur dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Orang yang menjalani tasawuf disebut sufi. Sufi adalah orang mulia, karena ruh-ruh mereka terbebaskan dari pencemaran manusiawi, tersucikan dari noda jasmani.

0 Response to "KONDISI SPIRITUAL DALAM TASAWUF"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak