Manusia- Manusia Bermental Budak

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

Manusia- Manusia Bermental Budak

Sungguh yang menjadi penghalang terbesar dakwah Nabi Musa dan Nabi Harun bukanlah Fir’aun dan para pengikutnya. 

Yang menjadi penghalang terbesar justru adalah kaumnya sendiri, Bani Israel yang diperjuangkan beliau agar terbebas dari penjajahan dan penindasan Fir’aun.

Siang malam Nabi Musa berusaha menghilangkan beban penderitaan mereka akibat tekanan Fir’aun dan antek-anteknya, bukannya mereka berterima kasih, mendukung dan memberi apresiasi terhadap usaha itu. Malah mereka sakiti, caci maki dan menyusun makar untuk Nabi Musa.

Mereka meremehkan bahkan mengejek usaha Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari penindasan dengan mengatakan, 

“Wahai Musa, percuma saja perjuanganmu untuk memerdekakan kami, sama saja, sebelum kamu ada dan setelah bertahun-tahun berjuang, tidak ada memperlihatkan hasil. Kami tetap saja tertindas kok. Tidak usahlah kamu sok-sok-an jadi pahlawan.”

Pernyataan yang luar biasa aneh bila ditangkap dengan mantiq yang sehat. Bukannya mendukung dan ikut berjuang, malah yang mereka lakukan menggembosi perjuangan Nabi Musa.

Allah mengisahkan hal itu dalam Al Qur’an:

(قَالُوۤا۟ أُوذِینَا مِن قَبۡلِ أَن تَأۡتِیَنَا وَمِنۢ بَعۡدِ مَا جِئۡتَنَاۚ قَالَ عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن یُهۡلِكَ عَدُوَّكُمۡ وَیَسۡتَخۡلِفَكُمۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ فَیَنظُرَ كَیۡفَ تَعۡمَلُونَ)

Mereka (kaum Musa) berkata, ”Kami telah ditindas (oleh Fir‘aun) sebelum engkau datang kepada kami dan setelah engkau datang.” (Musa) menjawab, “Mudah-mudahan Tuhanmu membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi; maka Dia akan melihat bagaimana perbuatanmu.” [Surah Al-A’raf 129]

Begitulah jiwa manusia-manusia bermental budak. 

Ada orang yang memperjuangkan nasib mereka dan anak cucu mereka agar kekayaan alamnya tidak dirampas bangsa lain,

Agar hidup mereka bisa lebih terhormat, tidak menjadi babu di negeri sendiri, harga barang terjangkau, pendidikan layak bisa dinikmati, pelayanan kesehatan yang pantas dapat dirasakan, hukum tegak untuk siapapun, diskriminasi keadilan bisa dihabiskan, dan perbaikan merata dalam segala lini kehidupan.

Orang semacam itu bukannya mereka dukung dan bela. Justru mereka ikut-ikutan membully, menyalahkan, melabeli sebagai teroris, radikal, mabuk kekuasaan, dan berbagaimacam label jahat lainnya.

Mereka menjadi perpanjangan tangan bagi penguasa zalim untuk melanggengkan kekuasaannya, padahal mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kenyamanan dalam kehinaan dan penderitaan.

Tidaklah heran bila Sayyid Quthb mengatakan: 

“Bila kemerdekaan mengucur dari langit bagaikan hujan, manusia bermental budak dan pecundang akan mencari payung untuk menangkisnya. 

Bila kebebasan diberikan kepada mereka dengan gratis mereka akan mencari tuan baru untuk dijilat dan menghambakan diri”.

Nilai manusia tergantung kualitas akalnya.

Generasi Bermental Budak

Kemanapun seorang anak pergi, sejauh apapun ia melangkah, maka keluarga adalah tempat terbaik untuk berkumpul. 

Namun, apa jadinya jika justru sebaliknya? Padahal keluarga adalah pondasi awal untuk membangun generasi, lingkungan sosial pertama bagi seorang anak untuk menjejakkan sejarah. 

Mengapa ada perbedaan positif dan negatif dalam memaknai keluarga? 

Tentu perbedaan ini tidak lepas dari komponen keluarga dalam membingkai makna tersebut. 

Terkadang ada pro dan kontra bahkan untuk generasi penerusnya sendiri. Apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan justru terkadang tak sebanding dengan hasilnya. 

Hidup memang penuh paradoks.

“Belajar yang rajin yah, Nak. Kelak besar kamu jadi orang cerdas dan dapat pekerjaan yang baik, sehingga kamu bisa meringankan beban dan membalas jasa-jasa orangtua,” 

Demikian sebagian orang tua memberikan nasehat dan motivasi kepada putra-putrinya.

Memang tidak bisa dipungkiri, kebanyakan orang tua atau keluarga di Indonesia memotivasi anak-anaknya untuk rajin belajar agar dapat pekerjaan dan jabatan yang baik. 

Dulu kita sangat akrab dengan pertanyaan, “Apa cita-citamu, Nak?” 

Jawabannya pasti mengarah pada jenis profesi; polisi, insinyur, dokter hingga presiden. Ada poin penting yang terlewatkan.

Kita kadang lupa, bahwa seorang anak adalah aset terbesar yang tak ternilai harganya, bukan hanya sebatas dunia tapi juga akhirat. 

Berawal dari jiwa yang lemah atau karena mata yang telah digelapkan dunia. 

Membuat kita keliru dalam membangun visi-misi keluarga.

Nampaknya kita patut bertanya, apakah motivasi tentang jabatan, pekerjaan, dan status sosial di masyarakat masih relevan? 

Tidak saja karena zaman yang terus melaju, tetapi juga karena fakta yang menunjukkan tidak sedikitnya orang yang mengatakan dirinya berilmu justru bermental inlander atau budak. 

Akankah kita mencetak generasi yang sama?

Keahlian, kepandaian, dan ilmu yang dimiliki bukan lagi hidupnya diabdikan untuk Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, ummat dan bangsa, tetapi untuk kepuasan diri sendiri. 

Mereka mengabdi demi mencapai kenyamanan hidup meski dengan mengorbankan kepentingan umat, rakyat, bangsa, dan agama. 

Apalagi di zaman sekarang, jabatan dan profesi bukan lagi suatu hal yang sulit didapatkan. 

Bak buih dilautan, generasi yang dihidupkan dalam sistem kejahilian seakan menjadi budak-budak yang tak bertuan dan tak punya aturan. 

Akal serta fitrah yang melekat seakan menghilang tak berjejak.

Ada sebuah pesan dari Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

 “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu, pendusta dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah dianggap berdusta. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dipandang sebagai pengkhianat. Pada saat itu ruwaibidhah berbicara.”

Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dimaksud dengan ruwaibidhah?” Rasulullah menjawab, “Orang bodoh yang ikut campur dalam urusan masyarakat luas” (HR Ibnu Majah). 

Hadis tersebut adalah salah satu nasihat Rasulullah mengenai akhir zaman. 

Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memperkenalkan suatu istilah, yakni ruwaibidhah. 

Itu merujuk pada orang-orang yang berbicara atas nama orang banyak, tetapi bukan untuk orang banyak itu. 

Ruwaibidhah juga berarti orang yang berbicara atas nama umat, tetapi tujuannya bukan untuk umat itu. 

Ruwaibidhah adalah mereka yang berbicara atas nama rakyat dan bangsa, tetapi kerjanya bukan untuk bangsa dan rakyat itu.

Berkaca dari permasalahan yang terjadi, maka sudah seharusnya dilakukan upaya-upaya yang dapat membangun negara kita dengan mengoptimalisasikan peran setiap generasi. 

Akan menjadi awalan yang buruk, jika para orangtua tidak mau tampil menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Padahal orangtua adalah figur pertama dalam membimbing dan memberikan keteladanan (uswah) yang baik (transfer of values), sehingga tidak jarang orang mengatakan bahwa anak adalah potret orangtuanya, segala sikap dan perilakunya menggambarkan suasana lingkungan keluarganya.

Sebagai muslim tentu visi hidup kita tidak terbatas pada dunia belaka. Ada visi akhirat yang menembus kefanaan dunia. 

Al-Qur’an telah membimbing kita akan hal ini;

يَـٰٓأَيُّہَاٱلَّذِينَءَامَنُواْقُوٓاْأَنفُسَكُمۡوَأَهۡلِيكُمۡنَارً۬اوَقُودُهَاٱلنَّاسُوَٱلۡحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)

Tidak dapat dipungkiri keluarga memiliki peranan sangat penting. Sebab, berawal dari sebuah keluargalah generasi itu terbentuk, baik atau buruknya.

Maka setiap keluarga seharusnya membangun visi-misi bersandarkan pada Al-Quran dan Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih.

Realita yang terjadi hari ini, generasi nyaris diperbudak oleh tekhnologi.

Hadirnya generasi yang bermental budak, korup, dan pola pikir yang tidak produktif lainnya. Maka revolusi mental perlu di awali dari lingkungan keluarga.

Kata Bung Karno Presiden pertama negara kita, dalam pidatonya yang khas menggelegar dan bergemuruh, bahwa membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa. 

Membangun jiwa yang merdeka, melepaskan diri dari perbudakan, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan kompetitif.

Membangun jiwa berarti membangun akhlak mulia. Membangun akhlak mulia sama halnya dengan membersihkan hati dan ruh. 

Maka membangun jiwa dalam keluarga tentunya menanamkan pendidikan akhlak. 

Maka terdapat konsep pembentukan pribadi seorang muslim yaitu konsep tarbiyah islamiyah.

Konsep pendidikan seperti ini harus tertancap dengan kuat, bahkan sepanjang hayat terus terbawa, kemanapun ia berada.

Hari ini kita hidup di zaman modern, sering kita kenal sebagai generasi milenial dimana generasi bertumpu pada gadget.

Perangkat yang selayaknya menjadi alat bantu dalam beraktivitas kini justru menjadi sesuatu yang selalu kita prioritaskan di atas aktivitas lainnya. 

Jika dibiarkan, fenomena ini dapat mengubah generasi masa depan menjadi budak teknologi dimana teknologi seharusnya dapat menjadi sarana untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesuksesan.

Kita tak perlu heran ketika hari ini Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial untuk perekonomian Korea Selatan. Mengapa? 

Karena remaja kita berada dalam persentase 3 besar menderita Korean Wave atau demam korea, yang sangat identik dengan dunia hiburan. Salah satu paling diminati adalah music pop (k-pop), film hingga budaya. 

Bahkan dengan bangganya mereka menjadi konsumen skincare, kosmetik, pakaian hingga makanan yang tidak jelas halal-haramnya. Generasi muda telah menjadi budak semua itu. 

Padahal generasi muda adalah tonggak perubahan, tonggak pembangunan dalam sebuah bangsa. 

Hal ini menunjukkan bahwa akan ada transformasi budaya, apa yang berikutnya terjadi? Akan terjadi pergeseran nilai dari agama kita.

Terjadi penyimpangan syariat dan krisis akhlak. Ini karena kurangnya pengetahaun orangtua atau kurang kuatnya pondasi dalam keluarga. 

Tentu peristiwa di atas menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam proses pendidikan dalam keluarga.

Hampir tiap saat kita disuguhkn berita kriminal. 

Seorang anak SD yang bunuh diri ditinggal pacarnya, seorang ibu rela menganiaya anaknya karena tak sabar dalam proses mendidik anaknya, seorang anak yang rela membunuh orangtuanya demi harta. Na’udzubillahiminzalik. 

Lahirnya generasi bermental budak, membuat kita harus lebih aware bahwa pentingnya pondasi utama yang lahir dalam keluarga.

Memiliki keluarga bahagia adalah impian semua orang. Tapi, tidak semua orang tahu bagaimana cara mewujudkannya. 

Sebagian sibuk membuat standar tersendiri tentang keluarga bahagia yang harus diraih hingga akhirnya mereka justru lupa menikmati perjalanannya dan semakin jauh dari tujuan bahagia yang hakiki, berjumpa di surga.

Namun perjumpaan dengan keluarga di surga tidak semudah itu untuk diwujudkan. 

Banyak diantara kita yang menginginkan perkumpulan di surga, namun lupa dengan rambu-rambunya. 

Dalam berbagai riwayat dikisahkan bahwa beberapa keturunan Nabi, beberapa di antaranya tidak dapat berkumpul karena tidak mengikuti perintah Rabbul ‘izzati. 

Namun tidakkah kita ingin, ketika malaikat menjemput, kita mendapatkan kesudahan yang baik? 

Seperti yang dikisahkan dalam QS. Ar-Ra’d: 22-24;

“Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), yaitu Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak-cucu mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), ‘salaamun alaikum bimaa shabartum (keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). ‘Maka, alangkah baiknya tempat kesudahan itu”

Seperti sebuah festival, siapa yang berhasil melalui fase dunia maka mereka akan diperjumpakan dengan keluarganya bak reuni di tempat terbaik.

Allah subhanahu wata’ala juga berjanji kepada hamba-Nya bila setiap keluarga nantinya akan saling tarik menarik untuk masuk ke surga-Nya. 

Termasuk juga ketakwaan dari anak yang beriman akan menjadi amalan orang tuanya di akhirat nanti.

Maka mari kita berlomba memenangkan sebuah festival menarik untuk bekal di surga nanti, menarik keluarga kita disana sebanyak-banyaknya, dengan meciptakan generasi yang saleh-salehah. Mengapa? 

Karena setelah proses di dunia selesai, buah terbesar dari kesabaran mendidik generasi, kelak akan mengangkat derajat orang tua mereka. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ – رواه مسلم والترمذيّ وأبو داود والنسائيّ وابن حبّان عن أبي هريرة  

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan doa anak yang shalih” (HR. Riwayat Muslim).

Hadits serupa diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dengan redaksi sebagai berikut:

إِذَا مَاتَ العبدُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُه إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ – رواه البخاريّ في الأدب المفرد

(Jika seseorang meninggal dunia, maka (pahala) amalannya terputus kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfa’at, atau anak shaleh yang mau mendo’akannya). Hadits diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad

Keluarga yang kita miliki hari ini, tak lain adalah titipan Allah, maka tebarkanlah cinta dalam rumah kita. 

Cinta yang lahir dari sebuah keluarga, melahirkan generasi yang kuat. Seperti ranting pohon, berada di tempat yang berbeda, tapi mereka tetap memiliki akar yang satu. Jika akarnya kuat, maka rantingnyapun akan kuat, kokoh ditempatnya masing-masing. 

Maka mari kita hadirkan cinta dalam rumah kita, where there is family, there is love. Semoga kita semua termasuk orang yang mendapat kesempurnaan nikmat di dunia dan akhirat. Aamiin.

Jadilah Bermanfaat Sallam Bahagia Sukses Dunia Akhirat aamiin.

0 Response to "Manusia- Manusia Bermental Budak"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak