Mengatasi Sakit Hati

Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm. Puji dan syukur kepada Allah subhรขnahu wata’รขla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.

Bagaimana mengatasi sakit hati?

Sakit hati ini sebetulnya terlalu luas lingkupnya. Dalam jawaban ini, lingkup dari sakit hati akan saya perkecil pada topik cinta dan hubungan asmara.

Pendekatan saya terhadap jatuh cinta dan sakit hati itu mungkin sebuah fusi dari pesimise, skeptisisme, nihilisme, stoisisme, dan juga sinisme. 

Fusi ini mungkin unik, dan saya harap sudut pandang saya bisa menjadi referensi yang baik bagi Anda yang membaca.

Tuan Schopenhauer adalah seorang filsuf pesimisme Jerman. Sebagai seorang pesimis, pandangannya sebetulnya cukup dark dan terkesan menyeramkan. 

Macam tak ada semangat hidup. Tapi buat saya, sebetulnya konsep pesimisme itu adalah salah satu pendekatan yang baik dalam menjalani hidup. Bahkan lebih dari satu lingkup cinta saja.

Pleasure is the absence of pain. Happiness is the endurance towards pain.

Maka dari itu bagi Schopenhauer, pain is absolute. Akan selalu ada rasa sakit.

Di dunia ini, kalau Anda perhatikan baik-baik, sebetulnya yang mutlak hanyalah penderitaan. Semua orang menderita. Orang kaya pun menderita. Orang miskin juga menderita.

Bedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan hanyalah ilusi sesaat. Kesenangan adalah ketika Anda melakukan hobi, berkumpul dengan keluarga, dan bahkan jatuh cinta. 

Tapi kalau itu semua hilang, apa yang datang? Benar. Kesedihan, penderitaan, duka.

Itu kenapa, kebahagiaan tidak sama dengan kesenangan.

Kebahagiaan dalam konsep pesimisme (dalam perspektif saya), justru adalah ketahanan terhadap rasa sakit.

Betul, kita bisa melihat banyak sekali orang miskin yang berbahagia. Mereka yang sakit kronis juga banyak yang berbahagia. 

Coba Anda perhatikan, apakah kebahagiaan dan kedamaian itu bersumber dari pleasure alias kesenangan? 

Tidak. Saya beberapa kali merawat orang sakit, dan mereka yang berbahagia itu biasanya mereka yang sudah menerima rasa sakit sebagai sesuatu yang mutlak, dan juga mereka yang sudah terbiasa dengan rasa sakit.

Semua itu harus kita jalani dengan suatu Wille zum Leben, atau kehendak untuk hidup.

Teman-teman yang beragama Buddha mungkin akan cenderung setuju dengan bagian pertama ini.

Dalam bukunya Fathers and Sons, Irvan Turgenev lewat tokoh dari Chapter 20 bernama Vasily Bazarov banyak sekali mengungkapkan pemikiran-pemikiran nihilis.

Pada perspektif saya—yang masih sempit, nihilisme mengajarkan kita bahwa dunia ini sebetulnya tak ubahnya sensasi dan sudut pandang kita lewat berbagai indra. Artinya hidup ini tak ada tujuannya, tak ada nilai-nilai baik dan buruknya.

Sensasi nihilisme awal ini biasanya dirasakan manusia biasa ketika mereka dalam fase mempertanyakan kebenaran agamanya. 

Saya sendiri menyaksikan ini terjadi kepada kebanyakan orang. Tujuan hidup tiba-tiba menjadi hilang, kebenaran dipertanyakan, dan lama-kelamaan pertanyaan ini bila tak segera terjawab maka mereka akan hidup tanpa adanya arah yang jelas.

Sense of purposelessness, istilahnya.

Mereka yang anarkis, nantinya bisa bergeser ke Machiavelianisme, suatu pemahaman yang kurang atau tidak memperhatikan standar moral. 

Mereka yang menjadi Machiavelianis akan menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya, sebab toh dunia ini tak ada. Dunia ini tak penting. Toh nanti kita semua akan mati.

Everything is but an illusion! Semuanya sebetulnya hanyalah ilusi.

Coba Anda lihat benda-benda di sekitar Anda. Bagaimana Anda tahu kalau benda-benda itu ada? 

Benda itu ada hanya karena Anda melihat pantulan cahayanya. Benda itu terasa di kulit Anda, karena rangsangan yang diterima dan dikirimkan ke otak. 

Musik terdengar, juga karena rangsangan audio yang masuk ke telinga Anda. Apakah mereka ada? Apakah mereka sekedar ilusi?

Seorang nihilis akan berhenti bertanya, dan menjalani hidup sesuai prinsip masing-masing sampai akhirnya mereka akan lenyap. Hidup segan, mati tak mau, kalau mau meminjam peribahasa lama.

Mereka yang menolak dan membakar karya-karya Nietzsche hanya karena karyanya banyak dikutip oleh para penyamun berlabel Nazi, buat saya adalah orang-orang arogan yang tidak menghargai literatur.

Friedrich Nietzsche adalah seorang nihilis, tapi kalau saya sendiri kurang setuju. Dalam berbagai karyanya, Nietzche justru saya nilai sebagai orang yang berusaha mencari cara untuk tetap menghidupi hidup dengan baik terlepas dari kondisi dunia yang nihil[1] . Di mata saya, Nietzsche malah lebih dekat ke stoisisme.

Amor Fati[2] adalah sebuah konsep penting yang menyelamatkan saya, hasil karya Tuan Nietzsche sendiri. 

Amor Fati, dalam Bahasa Latin artinya adalah love of one's fate, atau rasa cinta pada takdir diri sendiri. Kalau mau disingkat: penerimaan.

Tanpa sadar, sebetulnya Amor Fati banyak sekali dipraktekkan oleh banyak suku di Nusantara. Dari kacamata saya, yang paling mencolok ialah orang Jawa dan orang Sunda.

Wรฉs, ditrimo aรฉ rรฉk.

Never seek to erase anything of your past. The good and the bad. The mistaken and the wise. Accept it all with strength and all-embracing gratitude that borders on the kind of enthusiastic affection.

Lebih lanjut, ada konsep kedua dari Nietszche yang berlabelkan Wille zur Macht, atau kehendak untuk mengatasi rintangan.

Kita tak selayaknya menyerah dalam menghadapi rintangan. Apalagi bila rintangan ini adalah satu-satunya opsi dalam melanjutkan hidup. 

Tak seharusnya kita menyerah bila sedang tenggelam. Tak seharusnya kita memejamkan mata bila jatuh dari ketinggian. Tak seharusnya pula kita mengalungkan simpul gantung, bila kita patah hati.

Dalam mengatasi sakit hati, coping mechanism saya awalnya tidak sehat. Minum alkohol agar mabuk dan cepat tidur. Merokok dengan nikotin tinggi agar dapat sensasi rileks. Bahkan untuk tidur tadi, saya juga menyalahgunakan berbagai obat (bukan label merah) untuk bisa tidur.

Dewasa ini, coping mechanism saya berubah menjadi kata-kata yang saya tebalkan di atas.

Pain is absolute. Rasa sakit itu absolut, akan selalu ada. Sangat arogan bagi manusia untuk berharap tidak merasakan rasa sakit.

Pleasure is the absence of pain. Happiness is the endurance towards pain. Kebahagiaan tidak sama dengan kesenangan. Jangan pernah berharap kalau kesenangan akan menyembuhkan rasa sakit. 

Hanya kebahagiaan yang bisa menyembuhkan rasa sakit. Tapi kebahagiaan ini bukanlah kesenangan, melainkan suatu daya tahan terhadap rasa sakit.

Wille zum Leben. Kematian bukanlah opsi dari masalah apapun. Hidup harus terus berlanjut. Kemauan dan kehendak besar untuk hidup harus tetap dipelihara dalam diri sendiri.

Wille zur Macht. Hidup saja tak cukup. Sekedar melanjutkan saja juga bahkan tak cukup. Melanjutkan hidup harus disertai dengan kehendak untuk mengatasi rintangan. Jalanan kota mengingatkan Anda pada orang yang menyakiti Anda? Lewati! Kalahkan rintangan diri tersebut.

Everything is but an illusion. Cinta dan sakit hati itu hanyalah tipuan kimiawi di otak Anda. Bukan sesuatu yang harus Anda benci dan Anda buang jauh-jauh. Jatuh cintalah, sebagai bagian dari Wille zum Leben dan juga Wille zur Macht.

Amor Fati. Jangan pernah menyesali apapun yang terjadi di masa lalu. Dan jangan pernah pula menolak takdir yang sudah di-bestowed upon us. Justru cintailah garis takdir Anda.

Konsep ini buat saya pribadi sempurna. Biar saya jelaskan.

Percaya bahwa rasa sakit itu absolut, tidak serta merta membuat saya menjadi pribadi yang hidup segan mati tak mau. Soalnya saya punya Amor Fati.

Kesenangan dan segala hal memang ilusi. Tapi mereka juga bagian dari takdir dan kehidupan saya. Saya punya Wille zum Leben dan Wille zur Macht. Tidak akan saya sengaja-sengaja menghindari kesenangan. Tapi saya sadar, itu semua sifatnya fana dan sementara. Pulang dari liburan juga kita akan kembali lagi ke kesibukan dunia yang mayoritas berisikan rasa sakit.

Saya tidak benci dengan rasa sakit, saya justru mencintai rasa sakit saya!

Kalau mau diambil kesimpulan yang konkret mengenai langkah-langkah apa saja yang harus Anda ambil dalam mengatasi rasa sakit, begini kalau dari saya:

Terimalah kalau penderitaan itu absolut. Pain is absolute!

Terimalah kalau kesenangan itu hanyalah sesuatu yang berlangsung sesaat. Tidak akan menyembuhkan Anda. Healing tidak akan menyembuhkan Anda. Menerima rasa sakit itu ada dan absolut adalah langkah awal. Pleasure is the absence of pain!

Terimalah kalau kebahagiaan itu datang bilamana Anda terbiasa dan menerima rasa sakit. Happiness is the endurance towards pain!

Terimalah kalau segala hal itu hanyalah rangsangan dan tipuan kimiawi di otak Anda. Everything is but an illusion

Tetap jalani hidup, sebab kematian bukanlah opsi. Wille zum Leben!

Perbaiki diri Anda. Perbaiki kondisi hidup Anda. Fokuslah mengatasi berbagai rintangan yang sekarang ada dalam diri Anda, dan juga kehidupan Anda. Wille zur Macht!

Terakhir, tapi malah yang terpenting, cintailah rasa sakit Anda dan seluruh bagian dari hidup dan garis takdir Anda. Amor Fati!

Menerima, hidup, dan mencintai adalah kunci utama dari mengatasi rasa sakit. Bukan healing ke Puncak atau Batu dan berharap ketika kembali ke kota keadaan akan jauh lebih baik.

Semoga bermanfaat.

Wer rastet, der rostet

Catatan Kaki

[1] Nihilism - Wikipedia

[2] Amor fati - Wikipedia

0 Response to "Mengatasi Sakit Hati"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak