Moralitas Objektivistik dan Relativistik

Moralitas Objektivistik dan Relativistik : Perspektif Historis

Timbulnya perbedaan pandangan tentang sifat moral sebagaimana dikemukakan itu tak terlepas dari sejarah perkembangan intelektual Barat yang dibagi dalam tiga periode, yaitu zaman Abad Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern.

Sejarah ide dunia Barat dimulai sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 sM, dengan ahli pikirnya yang sangat terkenal, yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles.

Ketiga pemikir terbesar abad klasik tersebut berpandangan bahwa prinsip-prinsip moral itu bersifat Objektivistik, naturalistik, dan rasional. 

Maksudnya, meskipun bersifat obyektif sebagaimana yang telah dikemukakan, akan tetapi moral itu merupakan bagian dari kehidupan duniawi (natural) dan dapat dipahami melalui proses penalaran atau penggunaan akal budi (rasional). 

Sokrates yang meninggal pada tahun 399 sM, meskipun tidak meninggalkan karya tulis, ia mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat mutlak.

Untuk mempunyai pengetahuan yang obyektif tentang kebenaran itu merupakan sesuatu yang sangat mungkin bagi manusia, melalui penalaran atau akal budi.

Plato, pencipta istilah ide, mengatakan bahwa ide itu memiliki eksistensi yang nyata dan obyektif. 

Pendapat ini sekaligus untuk menyanggah kaum Sofisme yang mengatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu pengetahuan dan juga moral yang bersifat obyektif, sedangkan dunia itu sendiri terus-menerus berubah.

Menurut Plato, pengetahuan maupun moral yang bersifat obyektif itu sangat mungkin, meskipun tidak di dunia fisik. Ia mengemukakan adanya dunia dunia, yaitu dunia fisik dan dunia ide. 

Dunia fisik itu terus berubah, sementara dunia ide atau dunia cita itu adalah dunia yang abadi. Lagi pula, dunia ide itu lebih tinggi dari pada dunia fisik, sebab dunia ide tidak rusak dan tidak berubah, tidak seperti halnya dunia fisik. 

Bagi realisme Plato, dunia ide itu merupakan realitas yang sesungguhnya dan lebih nyata dibanding dengan dunia inderawi. 

Untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran atau realitas yang lain tidak mungkin dicapai melalui pengalaman indera yang sifatnya terbatas. 

Hanya melalui akal budi atau penalaran, sebagai kekuatan khas yang hanya dimiliki manusia, seseorang akan mampu memahami dunia ide itu.

Sebagaimana halnya Plato, Aristoteles  adalah seorang penganut realisme yang metafisik, namun terdapat perbedaan penting diantara keduanya.

Menurut Aristoteles, materi lebih pokok dibanding dengan bentuk. Dalam bukunya yang berjudul The Nicomachean Ethics dikemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang ingin kita raih dan untuk meraihnya itu melalui kegiatan-kegiatan yang kita lakukan. 

Lagi pula, kebenaran itu sifatnya bertingkat-tingkat, dalam arti bahwa  ada jenis kebenaran yang lebih baik dari kebenaran-kebenaran lainnya. 

Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian tidak berarti bahwa kebenaran itu sifatnya relatif ? 

Pertanyaan lain yang dikemukakan, adakah kebenaran yang ingin kita raih demi kebenaran yang lebih tinggi ? Sekiranya ada, maka kebenaran tertinggi itulah yang merupakan kebenaran mutlak. 

Untuk itu, manusia perlu mempunyai pengetahuan tentang kebenaran itu guna menjadi acuan dalam perilaku hidupnya. 

Menurut Aristoteles, kebenaran yang mutlak itu adalah kebahagiaan dan berperilaku baik. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang tuntas dan merupakan tujuan akhir. 

Kita mencapai sesuatu itu demi kebahagiaan, bukan mencapai kebahagiaan demi sesuatu yang lain. Konsepsi Aristoteles tentang moralitas tersebut lebih duniawi, lebih empiris, atau lebih aktual dibanding konsepsi Plato.

Menurut Aristoteles, hidup secara baik merupakan aktualisasi fungsi-fungsi moral yang khas insani. Dalam dunia intelektual, moralitas itu tampil dalam proses pencarian kebenaran.

Abad Pertengahan berlangsug selama seribu tahun, sejak runtuhnya Romawi pada abad ke-5 hingga Renaisans di abad ke-15, sering disebut sebagai abad kepercayaan. 

Sepanjang zaman itu, sejarah pemikiran Barat dipengaruhi oleh kepercayaan yang kokoh akan kebenaran wahyu Kristiani. 

Dalam masa seribu tahun lamanya, persoalan-persoalan moralitas dan bahkan realitas alam ditempatkan dalam suatu kerangka pikir yang lebih didasarkan pada kepercayaan dibanding penalaran.

Jawaban-jawaban atas persoalan moral yang lebih bersumber dari kepercayaan itu dipandang sebagai jawaban yang mutlak dan obyektif. 

Alam pikiran abad pertengahan dibangun atas dasar asimilasi antara kepercayaan dan penalaran, antara doktrin Kristiani dengan doktrin-doktrin rasional dan sekuler dari para filsuf abad klasik.

Agustinus, pemikir abad pertengahan yang karya-karyanya dipandang memiliki otoritas yang hampir sebanding dengan kitab suci, berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan obyektif dapat dicapai  melalui mistik tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung. 

Pandanganpandangan Agustinus menjadi paradigma berfikir abad pertengahan hingga munculnya madzhab pikir Thomisme. 

Thomas Aquinas adalah filsuf besar kedua di abad pertengahan, yang antara lain berpandangan bahwa manusia dan alam, moralitas dan keselamatan, iman dan penalaran , itu semua berada dalam kesatuan Ilahi. 

Secara garis besar, konsepsi moral abad pertengahan berbeda dengan konsepsi abad klasik. Agustinus dan Thomas

Aquinas mendasarkan pandangan moralnya yang bersifat spiritualistik dan terarah pada dunia kelak. Sedangkan pandangan moral Plato dan Aristoteles bersifat naturalistik, sekuler, rasional, dan terpusat pada dunia kini. 

Namun demikian antara abad klasik dan abad pertengahan terdapat persamaan, yaitu sama-sama berpandangan akan adanya standar moral yang obyektif. 

Dengan demikain perbedaannya terletak pada persoalan epistemologi, yakni sumber pengetahuan atau cara memperoleh pengetahuan tentang kebenaran obyektif tersebut.

Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15, yang disusul dengan bangkitnya ajaran, pandangan, dan budaya baru yang serba sekuler, yang dikenal sebagai zaman Renaisans (dari bahasa Prancis yang berarti “kelahiran kembali”). 

Dalam zaman ini, manusia seakan-akan dilahirkan kembali dari tidur yang panjang dan statis di abad pertengahan. 

Zaman Renaisans ini telah menandai jatuhnya otoritas Gereja dalam bidang spiritual dan intelektual yang telah berlangsung lima belas abad. 

Zaman Renaisans yang berlangsung pada abad ke-15 dan ke-16 telah menandai peralihan abad pertengahan ke abad modern. 

Dengan semangat sekuler dan corak yang sangat antroposentris, akal budi atau rasionalitas lebih diunggulkan dari pada iman.

Selanjutnya pada abad ke-18, Eropa merupakan zaman “fajar-budi” atau zaman “pencerahan”, atau lazim disebut dalam bahasa Jerman sebagai zaman Aufklarung.

Zaman fajar-budi sangat optimis dengan mengira bahwa berkat rasio, semua persoalan dapat dipecahkan. 

Hal ini tentu saja berimplikasi pada persoalan moral,  dimana moralitas modern kemudian lebih mendasarkan pada pertimbanganpertimbangan rasional.

Abad pencerahan merupakan suatu masa yang ditandai dengan berbagai kemajuan dan perubahan yang revolusioner. 

Abad ini mempersembahkan lahirnya ilmu pengetahuan modern, penemuan-penemuan baru di bidang sains yang mencapai puncaknya di tangan Isaac Newton yang termasyhur dengan hukum gravitasi-nya. 

Dengan temuannya itu Newton seakan telah memecahkan rahasia alam semesta dan sekaligus telah meruntuhkan mitos dan pandangan dunia Barat yang dipercayai sepanjang abad pertengahan tentang alam semesta. 

Sedangkan sebelumnya, Galileo Galilei  telah dipaksa untuk mengingkari penemuannya yang telah menggugurkan mitos yang telah lama dipercayai bahwa bumi sebagai pusat alam semesta.

Sains modern memiliki karakteristik yang sangat mendasar, yaitu pertama, landasan metafisiknya bersifat naturalistik. 

Berbagai fenomena yang menjadi obyek penelitian dipandang sebagai produk dari berbagai proses kekuatan alam belaka, tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual maupun supra natural. 

Pandangan naturalistik sains modern ini membedakannya dengan pemikiran-pemikiran abad pertengahan yang bersifat spiritualistik. 

Namun pandangan naturalistik ini juga merupakan ciri utama pemikiran abad klasik. Kedua, terkait dengan sifatnya yang naturalistik adalah sifat empiris. Teori-teori sainstifik senantiasa bertopang pada pengalaman empiris yang didukung oleh data. 

Sebagaimana ciri yang pertama, ciri kedua ini membedakannya dengan pemikiran abad pertengahan yang mendasarkan pada kepercayaan (wahyu), namun ciri ini juga dimilki oleh pemikiran abad klasik.

Ketiga, sifat rasionalitas atau mengandalkan pada kekuatan akal budi, yang hal ini juga menjadi ciri pemikiran abad klasik. 

Akan tetapi, meskipun sama-sama bersifat rasional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara rasionalitas abad modern dan rasionalitas abad klasik. 

Bagi alam pikiran abad klasik, akal budi atau rasionalitas merupakan kekuatan rohani manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia. 

Kemampuan akal budi itu tidak terbatas pada pengalaman-pengalaman inderawi, melainkan juga mampu menangkap kebenaran universal. Kebenaran rasional merupakan kebenaran yang mutlak, obyektif, dan pasti. 

Hal itu berbeda dengan sains modern yang secara terang-terangan menolak kemungkinan diperolehnya kebenaran yang obyektif dan pasti. Lagi pula, kebenaran rasional ditempatkan di bawah kebenaran empiris.

Kebenaran relatif dari sebuah hipotesis keilmuan yang didasarkan pada kerangka teoritik dan kerangka berpikir rasional dapat dan biasa digugurkan oleh temuantemuan data empiris. 

Demikian pula setiap teori, hukum, atau dalil-dalil keilmuan senantiasa bersifat tentatif (sementara, dapat berubah) dan dapat dikoreksi oleh temuan-temuan baru. 

Jadi kebenaran empiris yang ditempatkan di atas kebenaran rasional itupun merupakan kebenaran yang probabilistik dan relativistik. 

Dengan demikian sains modern memberikan peranan yang terbatas kepada akal budi dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang dunia. 

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sains modern didasarkan pada paradigma yang bersifat naturalistik, rasional-empiris, dan relativistik.

Paradigma sains modern tersebut berimplikasi dan berpengaruh terhadap pemikiran moralitas, sehingga persoalan moral tidak jarang disikapi oleh pemikiran modern dengan pendekatan naturalistik, rasional empiris, dan relativistik. 

Dengan pendekatan naturalistik, persoalan moral dipandang sebagai persoalan duniawi, terkait dengan kebutuhan hidup kini dan lain sebagainya. 

Dengan pendekatan rasional empiris, persoalan moral disikapi dengan lebih mengedepankan pertimbangan rasional, untung-rugi, dengan menunjuk berbagai kenyataan empiris, realitas sosial dan lain sebagainya. 

Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, maka persoalan moralpun menjadi bersifat relativistik. 

Baik dan buruk menjadi sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti tergantung pada konteksnya, situasinya, latar belakangnya, pertimbangan yang digunakan, bahkan tidak mengherankan jika  tegantung pada masing-masing individu. 

Berdasar uraian tersebut, maka kelemahan yang paling nyata dari pemikiran moralitas modern adalah tidak adanya kepastian moral, tidak jelasnya standar moral, atau dapat juga berupa kaburnya nilai-nilai moral.

Demikian kirannya tentang Moralitas Objektivistik dan Relativistik. semoga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita. Terima kasih atas kunjungannya.

0 Response to "Moralitas Objektivistik dan Relativistik "

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak