Hubungan Hikmah dengan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan sallam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu istiqomah

Hubungan Hikmah dengan Pendidikan Islam

Wujud bangunan keilmuan apapun, rasanya tidak terlepas dari kerangka epistemologinya. Kalau dalam dunia pendidikan ditemukan konsep-konsep yang anthroposentris dan jauh dari nilai-nilai etik transendental, maka tentu saja epistemologinya juga menempuh jalan yang profan semata-mata.

Dalam epistemologi Islam (filsafat pengetahuan Islam) mengambil titik tolak Islam sebagai subyek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak epistomologi Islam berpusat pula pada

Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain pihak, filsafat pengetahuan Islam berpusat pula pada manusia dalam arti manusia sebagai pelaku pencari (pengetahuan) kebenaran. Di sini manusia berfungsi sebagai subjek yang mencari kebenaran.

Pendapat tersebut berdasarkan alasan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan, sekaligus memberi interpretasinya. Dalam Islam, manusia memiliki pengetahuan, dan mencari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai suatu kemuliaan. 

Sebagaimana tertulis : “… Berdirilah kamu, maka berdirilah niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Al-Qur’an, Surat Mujadalah ayat 11).

Kemudian di dalam teori epistomologi itu sendiri, juga terdapat aliran yang mencoba menjawab pertanyaan bagaimana manusia mendapat pengetahuannya, yang meliputi :

a. Rasionalisme ialah aliran yang mengukakan, bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio, jiwa manusia.

b. Empirisme ialah aliran yang menyatakan, bahwa sumber pengetahuan manusia itu berasal dari pengalaman manusia, dari dunia luar yang ditangkap panca indranya.

c. Kritisme (Transendentalisme) ialah aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal, baik dari dunia luar, maupun dari jiwa atau pikiran manusia.

Wujud konkret yang dihasilkan oleh metode memperoleh pengetahuan dengan jalan-jalan di atas, terlihat di antaranya dalam teori psikologi dan pendidikan yang menganut cara berfikir “hitam putih” sebagaimana teori “stimulus response” dan “strategi rewards and punishments”.

Dengan demikian sumber pengetahuan tidak hanya kita dapatkan dari penangkapan indra kita dan akal kita, tapi juga intuisi, lebih dari itu sumber pengetahuan bukan hanya dari indra, akal, dan intuisi kita, tapi juga dari wahyu. Dengan bahasa lain, epistomologi ilmu agama, mengakui dalil aqliyah (indra, intuisi, akal) dan naqliyah (wahyu).

Hal ini terjadi dengan melihat mengenai sifat dan maksud pengetahuan dilihat dari segi pandangan Islam, dan untuk mempertunjukkan sifat fundamental dari saling hubungan dan saling ketergantungannya bersama. Dan konsep-konsep kunci ini harus menjadi unsur-unsur esensial dari sistem pendidikan Islam. 

Konsep-konsep itu adalah :

1. Konsep agama (din)

2. Konsep manusia (insan)

3. Konsep pengetahuan (ilm dan ma’rifah)

4. Konsep kearifan (hikmah)

5. Konsep keadilan (‘adl)

6. Konsep perbuatan yang benar (‘amal sebagai adab)

7. Konsep universitas (kulliyah-jam’iyyah).

Dari beberapa konsep ini, jelas bahwa konsep kearifan (hikmah) merupakan salah satu unsur esensial dari sistem pendidikan Islam.

Jadi dalam hal ini hubungan hikmah dengan pendidikan Islam dapat dimengerti sebagai upaya membangkitkan dan mengaktualkan inteleksi (secara potensial) yang terdapat dalam diri anak-anak kita. 

Juga dalam mendialogi akal. Manusia adalah untuk meyakinkan dan mencegah. Nasehat dalam mendialogi akal adalah untuk mempengaruhi dan menggerakkan. 

Dalam hal ini apabila dihubungkan dalam pendidikan islam, yang baik mendialogi akal dan hati sekaligus, sebab inilah Manhaj al-Qur’an dan Manhaj Rasulullah.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa al-Qur’an terdiri atas beragai tema, seperti keyakinan, ilmu pengetahuan, hukum, moral, sejarah dan sebagainya. 

Disamping itu juga memiliki pola-pola penyampaian yang sangat khas. Disinilah kita yang memainkan peran sebagai “guru sejati” perlu mengolah tema-tema tersebut agar bisa

dicerna anak-anak kita dan menjadikannya memiliki integritas spiritual

intelektual dan moral. Tema-tema sejarah para nabi (‘Alaihumus Salam)

dan Rasulullah Saw adalah tema-tema yang sungguh menarik dan mudah dicerna bagi anak-anak. Tema-tema ini penuh ilustrasi yang memudahkan untuk dicerna, sebaliknya juga mengandung dimensi keimanan intelektual dan moral yang sangat tinggi.

Kemuliaan tugas mengajar ini telah mencapai puncaknya dengan dimasukkannya tugas itu oleh Allah Subhanahu wata'ala, kedalam tugas-tugas yang dibebankan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam 

“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Allah Suhanahu Wata'ala mengisyaratkan bahwa tugas rasulullah saw yang paling penting ialah mengajar al-kitab dan al-hikmah kepada manusia dan meyuciian mereka, yakni mengembangkan dan mebersihkan jiwa mereka. 

Di dalam pendidikan islam. Hal tersebut juga diperlukan oleh seorang guru, yaitu ta’limul kitab wal hikmah. Hikmah dalam konteks ini, dapat dimengerti sebagai upaya membangkitkan dan mengaktualkan inteeksi (secara potensial) yang terdapat dalam diri anak-anak kita.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan berbagai tugas pendidikan yang utama, yaitu:

a. Penyucian : yakni pengembangan, pembersihan dan pengangkatan jiwa kepada penciptanya, penjauhannya dari kejatahan dan penjagaannya agar tetap berada pada fitrahnya.

b. Pengajaran, yakni pengalihan berbagai pengetahuan dan akidah kepada akal dan hati kaum muslimin, agar mereka merealisasikan dalam tingkah laku dan kehidupan.

Kembali pada hikmah itu sendiri yaitu sebagai upaya membangkitkan dan mengaktualkan yang terdapat dalam diri anak-anak, maka dalam pendidikan Islam agar pengajar dewasa ini dapat menjalankan tugasnya seperti yang diembankan Allah kepada para Rasul dan pengikut mereka.

 Maka guru harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Hendaknya tujuan, tingkah laku dan pola pikir guru bersifat Rabbani.

b. Hendaknya guru seorang yang ikhlas.

c. Hendaknya guru bersabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada anak-anak.

d. Hendaknya guru jujur dalam menyampaikan apa yang diserukannya.

e. Hendaknya guru senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan membiasakan untuk terus mengkajinya.

f. Hendaknya guru mampu menggunakan berbagai metode mengajar

g. Hendaknya guru mampu mengelola siswa

h. Hendaknya guru mempelajari kehidupan psikis para pelajar

i. Hendaknya guru tanggap berbagai kondisi

j. Hendaknya guru bersikap adil.

Dengan memiliki sifat-sifat tersebut adalah diharapkan untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman hingga dapat menelankan anak didik dalam mencari nilai-nilai hidup dan mengembangkan kepribadiannya, serta pengetahuannya menurut ajaran agama Islam

Jelasnya, pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai sosok teladan peserta didiknya. Keteladanan tersebut bukan saja terbatas hanya pada sikap dan perilaku (akhlak al-karimah), tetapi juga mencakup kemampuan untuk membimbing dan memotivasi peserta didiknya, selain itu juga pendidik harus memiliki kemampuan intelektual yang baik.

0 Response to "Hubungan Hikmah dengan Pendidikan Islam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak