Pentingnya Memahami Makna Aib Diri Sendiri Dan Orang Lain

Pentingnya Memahami Makna Aib diri sendiri dan orang lain

Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah.

Pengertian Aib 

Aib : malu; cela; noda; salah; keliru.

ditinjau dari segi bahasa, aib artinya cacat dan kekurangan. Sedangkan dalam bentuk jamaknya: uyub : ุงู„ุนูŠุจ Sesuatu yang memiliki aib, dalam bahasa arab, disebut ma`ib 

Menurut bahasa aib adalah cela atau kondisi seseorang yang dilihat dari sisi keburukan atau hal yang tidak baik tentang seseorang. 

Perbuatan membicarakan keburukan seseorang tanpa sepengetahuan saudaranya disebut perbuatan ghibah. 

Aib seorang muslim harus dijaga karena jika aib tersebut diketahui orang lain, akan menyebabkan orang tersebut menjadi malu berlebihan.  Bahayanya rasa malu tersebut akan menyebabkan psikologi seseorang menjadi sedikit rusak atau terganggu.

Jenis-jenis aib

Pertama, aib yang sifatnya khalqiyah

Aib ini, yaitu aib yang sifatnya qodrati dan bukan merupakan perbuatan maksiat. Seperti cacat di salah satu organ tubuh atau penyakit yang membuatnya malu jika diketahui oleh orang lain. 

Aib seperti ini adalah aurat yang harus dijaga, tidak boleh disebarkan atau dibicarakan, baik secara terang-terangan atau dengan gunjingan.

Karena perbuatan tersebut adalah dosa besar menurut mayoritas ulama, karena aib yang sifatnya penciptaan Allah yang manusia tidak memiliki kuasa menolaknya, maka menyebarkannya berarti menghina dan itu berarti menghina Penciptanya.

Kedua, aib berupa perbuatan maksiat

Aib ini menyangkut rendahnya akhlak seseorang, baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.

Sebagian dari ulama mazhab Hanafi menjelaskan aib dengan pengertian:

ู…َุง ูŠَุฎْู„ُูˆ ุนَู†ْู‡ُ ุฃَุตْู„ ุงู„ْูِุทْุฑَุฉِ ุงู„ุณَّู„ِูŠู…َุฉِ ู…ِู…َّุง ูŠُุนَุฏُّ ุจِู‡ِ ู†َุงู‚ِุตًุง

Suatu bagian yang tidak ada dari asal penciptaanya dan hal itu dianggap sebagai bentuk kekurangan. 

Sedangkan pengertian `aib menurut istilah batasannya berbeda-beda, tergantung dari objek yang mengalami cacat/kekurangan. 

Karena itu,'aib ini tidak bisa dipastikan dengan definisi tertentu. Imam an-Nawawi mengatakan, “Batasan aib berbeda-beda. 

Aib yang diakui dalam suatu barang dagangan, yang menyebabkan pembeli dibolehkan untuk khiyar memilih melanjutkan beli atau dikembalikan adalah setiap cacat/kekurangan yang mengurangi harga atau mengurangi keinginan seseorang untuk memilikinya atau cacat/kekurangan pada barang dagangan tersebut. Aib dalam kurban dan aqiqah adalah segala cacat/kekurangan yang mengurangi kadar dagingnya. 

Aib dalam pernikahan adalah segala cacat yang menyebabkan seseorang enggan untuk melakukan hubungan badan dan hilangnya keinginan untuk mendekati.

Macam-macam Aib Bila Ditinjau dari Sifatnya

Ditinjau dari jelas dan tidaknya, aib dibagi menjadi dua:

a. Aib yang dzahir, adalah aib yang bisa diketahui ketika objek diperhatikan. Misalnya, cacat pada kondisi fisik barang dagangan, dan seterusnya.

b. Aib tersembunyi, merupakan kebalikan dari aib dzahir. Aib ini tidak kelihatan ketika objek diperhatikan. Seperti aib yang tersimpan di dalam objek dan benda tertentu.

Macam-macam aib ditinjau dari objeknya

Ada beberapa rincian hukum aib terkait dengan objeknya. Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa aib ada enam macam. Sementara al-Qolyubi menyatakan bahwa aib ada delapan macam. 

Berikut beberapa jenis aib ditinjau dari objeknya:

1. Aib dalam barang dagangan

Ulama berselisih pendapat tentang batasan aib dalam barang dagangan (Hasyiyah Ibnu Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, 1415 H, jilid 5, hlm. 117):

Hanafiyah dan Hanabilah

Menurut dua mazhab ini, aib barang dagangan diakui jika aib tersebut menyebabkan kurangnya harga menurut umumnya pedagang.

→ Syafi`iyah

Aib yang diakui adalah aib yang umumnya tidak ada, yang mengurangi barang dagangan atau harganya, sampai pada tingkatan kekurangan yang menghilangkan tujuan yang benar (dalam berdagang). Baik sudah ada ketika akad atau baru muncul setelah akad namun belum ada serah terima barang.

→ Malikiyah

Aib yang diakui adalah adanya kekurangan dalam barang dagangan atau harganya, padahal umumnya tidak ada. (Ahmad ad-Dardir al-Maliki, as-Syarh as-Shaghir, 3/152. Dinukil dari al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf danUrusan Islam Kuwait, 31/83)

Kesimpulan pendapat terkuat dalam hal ini, bahwa batasan aib pada benda dikembalikan kepada pemahaman masyarakat. Selama masyarakat menganggap hal itu sebagai aib maka dianggap sebagai aib yang wajib untuk diterima.

2. Aib dalam transaksi

Yang dimaksud aib dalam transaksi adalah aib dalam tata cara transaksi atau aib yang terdapat pada alat yang digunakan untuk transaksi. Misalnya, cacat yang terdapat dalam uang yang digunakan untuk bertransaksi.

3. Aib dalam pembagian.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika salah satu diantara peserta pembagian mendapatkan adanya cacat dalam jatah bagiannya maka dia berhak mengembalikannya, sebagaimana dalam jual beli.

4.  Aib dalam binatang qurban dan aqiqah

Cacat hewan yang menyebabkan tidak sah untuk dijadikan hewan qurban ada empat: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.

Ini berdasarkan hadis dari Al Barra’ bin Azib radliallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil berisyarat dengan tangannya demikian (empat jari terbuka): 

“Ada empat cacat yang tidak boleh dalam hewan qurban: buta sebelah matanya dan jelas butanya, sakit dan jelas sakitnya, pincang dan jelas pincangnya, dan sangat kurus sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.” 

Al Barra’ mengatakan: Apapun ciri binatang yang tidak kamu sukai maka tinggalkanlah dan jangan haramkan untuk orang lain. (HR. An Nasa’i, Abu Daud dan dishahihkan Al Albani)

5. Aib dalam pernikahan

Empat imam mazhab sepakat bahwa diperbolehkan memisahkan antara suami-istri disebabkan adanya aib pada salah satu atau keduanya. 

Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang rincian dan batasan aib yang menyebabkan bolehnya suami istri dipisahkan. 

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas bahwasanya wanita tidak boleh dikembalikan ke walinya kecuali disebabkan empat aib: gila, lepra, kusta, dan cacat di farjinya… 

Sebagian syafi`iyah berpendapat bahwa wanita boleh dipulangkan disebabkan karena aib yang menyebabkan seseorang boleh mengembalikan budak wanita yang dia beli. 

Ibnul Qoyyim menguatkan pendapat ini dan beliau berdalil dengan qiyas terhadap jual beli, sebagaimana keterangan dalam zadul ma`ad. (as-Syaukani, Nail al-Authar, Idarah at-Tiba`ah al-Muniriyah, jilid 6, hlm. 211)

6. Aib dalam transaksi ijarah

Ijarah merupakan bentuk transaksi menyewa barang atau memperkerjakan orang lain selama waktu tertentu dengan upah tertentu. 

Cacat yang diakui dalam transaksi ijarah adalah semua cacat yang menyebabkan orang yang menyewa tidak mendapatkan manfaat dari barang yang disewa atau orang yang dia perkerjakan. 

Penyewa yang mendapatkan kondisi cacat semacam ini dibolehkan untuk membatalkan transaksi dan mendapatkan uangnya kembali.

7. Aib dalam hewan zakat

Ulama berselisih pendapat tentang hewan zakat yang sudah mencapai nishab namun mengalami cacat sebagian atau semua hewannya. 

Apakah hewan ini boleh diambil zakatnya ataukah tidak. Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi`iyah, dan pendapat yang kuat dalam mazhab Hambali berpendapat bahwa hewan zakat yang telah mencapai nishab.Apabila semuanya mengalami aib maka kewajiban zakatnya tetap diambil, meskipun hewannya cacat. 

Hanya saja dengan memperhatikan kondisi pertengahan. Artinya, diambil yang cacatnya tidak terlalu parah dan tidak juga yang paling bagus. 

Sementara pemilik hewan, tidak dibebani untuk membeli hewan sehat sebagai pengganti hewannya yang sakit. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 31/112)

Dampak Adanya Aib dalam Transaksi

Para ulama sepakat bahwa jika ditemukan aib dalam suatu transaksi dengan kadar aib yang diakui secara syariat dan urf(landasan hukum) maka pihak yang merasa dirugikan dibolehkan untuk membatalkan transaksi, dengan ketentuan tertentu. (Al-Mausu`ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Kementerian Wakaf danUrusan Islam Kuwait, 31/87). 

Untuk mengetahui kadar aibnya, dikembalikan kepada ahli untuk masing-masing kasus. Dalilnya adalah firman Allah,

ูŠَุง ุฃَูŠُّู‡َุง ุงู„َّุฐِูŠู†َ ุขู…َู†ُูˆุง ู„ุงَ ุชَุฃْูƒُู„ُูˆุง ุฃَู…ْูˆَุงู„َูƒُู…ْ ุจَูŠْู†َูƒُู…ْ ุจِุงู„ْุจَุงุทِู„ ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْ ุชَูƒُูˆู†َ ุชِุฌَุงุฑَุฉً ุนَู†ْ ุชَุฑَุงุถٍ ู…ِู†ْูƒُู…ْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu ….” (QS. An-Nisa: 29)

Sebagaian ulama memberikan ketentuan terkait aib yang ada dalam transaksi. Untuk memudahkan, diambil contoh transaksi jual-beli.

a. Jika pembeli telah mengetahui adanya aib pada barang dagangan dan dia rela untuk tetap membeli barang tersebut maka transaksi sah dan dia tidak memiliki hak untuk mengembalikan barang.

b. Jika pembeli tidak mengetahui adanya aib ketika transaksi dan baru diketahui setelah transaksi maka akadnya sah namun tidak lazim. 

Artinya pembeli memiliki hak pilih untuk mengembalikan barang dan dia mendapatkan uangnya kembali atau dia tetap membeli barang tersebut dan meminta ganti rugi untuk menutupi cacat barangnya. 

Akan tetapi jika dia ridha dengan adanya aib tersebut maka transaksi sah dan penjual berhak mendapatkan uang yang dibayarkan. (Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Dar at-Tsaqafah al-Islamiyah, jilid 3, hal 117)

Menutup Aib Seorang Muslim

Kutipan Hadits: Menutup Aib Sesama Muslim

ู…َู†ْ ุณَุชَุฑَ ู…ُุณْู„ِู…ًุง ุณَุชَุฑَู‡ُ ุงู„ู„ู‡ُ ูŠَูˆْู…َ ุงู„ْู‚ِูŠَุงู…َุฉِ

“Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya kelak di hari kiamat.”(HR Bukhari & Muslim).

Masing-masing kita sebagai pribadi seorang muslim, dituntut untuk supaya menutup suatu Aib sesama muslim. 

Segala perbuatannya yang melanggar hukum agama atau hukum negara dan juga cela yang terdapat pada bagian tubuhnya, misalnya seorang gadis berlaku seorang dengan seorang laki-laki sehingga tertangkap basah.

Menutup aib orang lain adalah salah satu perilaku meniru akhlak Allah. Allah Subhanahu wata'ala senang terhadap orang yang mau menutup aib saudaranya dan Allah akan membalas dengan menutup aib orang itu di dunia dan diakhirat.

Imam as-Sindi mengatakan maksudnya bahwa Allah menutupi kekurangan dan aib hamba-hambanya. Allah menyukai sifat pemalu dari hamba tersebut berakhlak seperti akhlak Allah. 

Menutup aib atau kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan menjaga keselamatan orang itu dan menutupi aibnya didunia dan di akhirat.

Imam An-Nawawi mengatakan: “dalam halini terdapat fadhilah menolong orang muslim, menghilangkan kesusahan serta menutupi aibnya. Yang dimaksud menutup aib disini adalah aib yang bukan menyebabkan kerusakan. 

Sedangkan aib yang merupakan perbuatan maksiat, maka harus diperingatkan dan dirubahnya,serta tidak boleh menghindarkan melakukan hal itu.

Menyebarkan berita-berita yang buruk tentang orang-orang beriman, sama artinya dengan menyakiti hati mereka, menyikap cacat dan aib mereka. 

Sebagaimana ulama berpendapat bahwa menutupi dosa dan ingkar terhadap kemungkaran memiliki perbedaan yang sangat tipis dan samar. 

Karena itu maksiat tetap harus dilarang atau diserahkan kepada yang berwenang. Jika itu dianggap tidak mengakibatkan kerusakan.

Mencari-cari aib dan kekurangan orang lain akan menjadi jalan untuk melakukan dosa, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda: 

“Sesungguhnya jika engkau mencari-cari kesalahan manusia maka itu artinya engkau membinasakan mereka atau nyaris membinasakan mereka”.

Maknanya, jika engkau mencari-cari aib dan kesalahan saudaramu maka itu akan menyebabkan rasa malu mereka semakin berkurang, sehingga mereka semakin berani melakukan kesalahan-kesalahan serupa secara terang-terangan.

Menutup aib diri sendiri dan orang lain sangat penting

Sekarang ini  semakin mudahnya masyarakat dalam mengunakan layanan yang ada di media sosial, tak sedikit dari kenyataan tersebut diisi dengan hal-hal yang kurang baik. Salah satunya adalah dengan mengumbar aib diri atau bahkan malah aib orang lain.

Padahal agama telah memberi tuntunan bagi manusia untuk menjaga aibnya agar tidak menjadi konsumsi publik. 

Ini lah yang sangat disayangkan apabila seseorang yang aibnya tak ditampakkan ke publik, justru mulai menggunjing aib orang lain.  Pada akhirnya tak sedikit dari gunjingan tersebut membuat Allah menampakkan aibnya sendiri.

Namun sebaliknya, orang-orang yang dulunya memiliki aib, namun karena menjaga lisan dan sikapnya untuk menggunjing tentang aib orang lain, seiring dengan berjalannya waktu, maka aib dirinya justru akan dilupakan orang-orang.

Dalam hal ini, Allah telah berjanji  bagi orang yang menutup aib orang lain yang dikuatkan dalam hadist riwayat Tirmidzi, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassallam bersabda:

ูˆَู…َู†ْ ุณَุชَุฑَ ุนَู„َู‰ ู…ُุณْู„ِู…ٍ ูِูŠ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุณَุชَุฑَ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูِูŠ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ูˆَุงู„ْุขุฎِุฑَุฉِ

Artinya: "Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang Muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat".

Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, seseorang perlu mengenali aibnya sendiri terlebih dahulu. 

Namun, aib tersebut tidak boleh untuk diumbar sebab dikhawatirkan akan menimbulkan efek buruk bagi orang-orang sekitar.

Dengan mengetahui aib diri dimaksudkan untuk mengenali kapasitas diri sendiri. Menjadikan hal itu sebagai bahan evaluasi diri agar senantiasa terus bergerak menjadi hamba-hamba terbaik di hadapan Allah Subhanahu wata'ala. 

Menurut Imam Al-Ghazali ada empat cara bagi manusia untuk mengenali aibnya diantaranya :

1. Berkonsultasi kepada guru yang terpercaya baik laku dan kata (yang bisa dipercaya). 

Dengan bimbingan guru tersebut diharapakan dapat memberikan nasihat dan juga tuntunan agar diri kita tidak tersesat. 

2.Mencari seorang teman(yang dapat di percaya) yang jujur, yang memiliki bashiroh (mata hati yang tajam (berilmu) dan teguh pegangannya pada ajaran agama. Teman yang tepercaya ini juga bisa dijadikan referensi untuk dimintai masukan.

3. Berusaha mengetahui aib dari ucapan dan cacian musuh-musuhnya. 

4. Bergaul dengan masyarakat.

Setiap kali melihat perilaku yang tercela dari seseorang, maka dirinyapun akan segera menyadari bahwa dirinya sendiripun memiliki sifat tercela itu. 

Kemudian akan menuntut dirinya untuk segera meninggalkan, membenci dan menjauhi keburukan sifat tersebut. 

Seperti tengah berkaca dan membandingkan kenyataan sosial dengan yang dirasakan oleh diri sendiri.

Demikian kiranya pembahasan tentang Pentingnya memahami makna aib bagi diri sendiri maupun aib orang lain. semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kita. Terimakasih telah berkunjung.

0 Response to "Pentingnya Memahami Makna Aib Diri Sendiri Dan Orang Lain"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak