Menjadi Manusia Paling Bahagia


Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan sallam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu istiqomah

Setiap manusia yang hidup pasti menginginkan kebahagiaan. Hanya saja, bagi muslim, kebahagiaan itu bukan saja berskala dunia, tapi juga sampai akhirat. Karena itulah, doa yang sering dilantunkan adalah:

رَبنَا آتنا فِي الدُّنْيَا حَسَنَة، وَفِي الْآخِرَة حَسَنَة، وقنا عَذَاب النَّار

“Ya Rabb kami! Berikanlah kebaikan untuk kami di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari api neraka” (QS. Al Baqarah 201).
            
Dalam hadits Nabi, salah satu kebahagiaan dunia digambarkan sebagai berikut:

مِنْ سَعَادَةِ الْمَرْءِ الْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ

“Termasuk kebahagiaan seseorang adalah tetangga yang baik, kendaraan yang menyenangkan dan tempat tinggal yang luas.” (HR. Ahmad). 

Dalam riwayat Imam Ahmad yang lain, ada tambahan : istri yang shalihah.

Sebuah gambaran kebahagian dunia yang komplet. Rumah luas, kendaraan nyaman, tetangga yang baik dan istri salehah. 

Namun, yang paling membahagiakan dari semua itu adalah kebahagiaan di akhirat. Yaitu ketika muslim mendapatkan syafaat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam.

Suatu hari, Abu Hurairah bertanya kepada Nabi, “Siapakah orang paling bahagia yang akan mendapatkan syafaatmu di akhirat?” Beliau menjawab:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ، أَوْ نَفْسِهِ

“Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah yang mengucapkan laa-ilaaha-illa-llaah, dengan tulus dari lubuk hatinya atau dari relung jiwanya” (HR. Bukhari).
            
Kalau berkaca dalam lembaran emas sejarah kehidupan sahabat Nabi, ketika mereka dihadapkan dengan dua kebahagiaan antara dunia dan akhirat, maka pasti mereka memilih kebahagiaan akhirat yang abadi.
            
Pada suatu hari, Darun Nadwah rumah kebanggaan yang biasa dijadikan tempat rapat pembesar Qurays di masa jahiliyah menjadi milik Hakim bin Hazzam. 

Anehnya, saat dirinya sudah memeluk Islam, rumah yang diidamkan banyak orang itu malah dijual kepada Mu`awiyah bin Abi Sufyan dengan harga seratus ribu dirham.

Melihat kejadian itu, Abdullah bin Zubair menegurnya, “Apakah Anda akan menjual kemuliaan (rumah) kehormatan Qurays?” Ia pun menjawab, “Telah berakhir kehormatan wahai keponakanku, (yang ada) hanyalah takwa. 

Dengan uang itu aku beli rumah di surga, aku bersaksi pada kalian bahwa uang itu akan dipersembahkan hanya untuk Allah (berjuang di jalan Allah).”

Luar biasa diksi yang keluar dari lisan orang beriman. Rumah terhormat sejati adalah rumah di surga. Semua hasil dari penjualan rumahnya, didedikasikan atau dikontribusikan hanya untuk Allah. 

Sebuah jenis kebahagiaan tingkat tinggi, yang hanya bisa dirasakan oleh siapa saja yang memiliki iman yang kuat dan tulus.

Kalimat Hakim bin Hazzam itu sangat singkat, jelas, padat, sekaligus memikat. Siapa yang tak bangga jika memiliki rumah kehormatan sekaligus rumah bersejarah kaum Qurays? 

Namun pandangan Hakim bin Hazzam, lain daripada yang lain. Baginya rumah sejati ialah ‘rumah surga.’ Dengan bahasa lain, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan di akhirat.

 Kesadaran akhirat mengantarkannya untuk bersikap tepat mengenai rumah. Ia memposisikan rumah di dunia –semegah apapun bentuk dan sejarahnya- sebagai tempat sementara. 

Yang ia inginkan lebih dari itu, yaitu rumah abadi yang ia dambakan di surga. Ia tak mau menukar kebahagiaan sejati dengan kebahagiaan yang bakal sirna. Tentu saja memang untuk mendapatkannya harus disertai perjuangan dan pengorbanan.

Kalau diberi pilihan, antara kebahagiaan dunia dan akhirat, tentu manusia akan ingin mendapatkan kedua-duanya. 

Namun, bagi mukmin sejati, kebahagiaan akhirat melebihi segala kebahagiaan. Jika dalam hidup ia juga mendapatkan kebahagiaan dunia, berarti itu adalah bonus dari Allah.

Dalam hadits Rasulullah  Shallallahu 'Alaihi Wassallam, sejak ditiupkan ruh dalam rahim ibu, manusia sudah dicatat mana yang akan menjadi ahlus sa’aadah (orang bahagia) dan ahlusy syaqaawahi (orang celaka). Tugas kita adalah berusaha yang terbaik untuk meraih kebahagiaan itu.

Perhatikan gambaran hadits Nabi  Shallallahu 'Alaihi Wassallam berikut ini:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ، وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً

“Tidak ada seorangpun dari kalian dan juga tidak satupun jiwa yang bernafas melainkan telah ditentukan tempatnya di surga atau di neraka dan melainkan sudah ditentukan jalan sengsaranya atau bahagianya.” (HR. Bukhari)

Mendengar jawaban itu, sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, dengan begitu apakah kita tidak pasrah saja menunggu sesuai dengan yang ditakdirkan?” Beliau menjawab, “(Bukan begitu). 

Tetapi siapa saja yang telah ditetapkan sebagai orang yang berbahagia, dia akan dimudahkan untuk beramal amalan orang yang berbahagia dan sebaliknya orang yang telah ditetapkan sebagai orang yang akan sengsara maka dia pasti akan dimudahkan beramal amalan orang yang sengsara.”

Oleh karena itu, jangan sampai kita salah dalam mempersepsikan kebahagiaan atau bahkan kurang tepat dalam memprioritaskan kebahagiaan. 

Manusia paling bahagia adalah yang akan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad  Shallallahu 'Alaihi Wassallam saat berada di akhirat.

Terima kasih atas kunjungannya semoga dapat menambah pengetahuan kita.

0 Response to "Menjadi Manusia Paling Bahagia"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak