Memahami Makna Jiwa (Nafs)

Memahami Makna Jiwa (Nafs)
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu dirahmati dan Istiqomah.

Di dalam al-Qur’an, nama istilah dari manusia disebut antara lain dengan al-basyar, al-ins, al-insan, al-unas, al-nafs, Bani Adam, nafs, al-‘aql, alqalb, al-ruh, dan al-fitrah. 

Dari keseluruhan istilah di atas, manusia adalah satu keseluruhan yang utuh, namun dalam tampilannya selalu menyodorkan sisi tertentu, seperti: jismiyyah (fisik), nafsiyyah (psikis), dan ruhaniyyah (spiritual, transendental). 

Masing-masing dari sisi ini menampilkan karakteristiknya yang kelak dalam ilmu psikologi Islam modern pembagian ini dimasukkan ke dalam tiga aspek pembentuk totalitas manusia.

Pendapat para filsuf  mengatakan manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu wujud tubuh jasmani (substansi material) dan wujud dalam (unsur imaterial) yaitu jiwa, atau roh.

Menurut al-Ghazali, bahwa hanya di dalam jiwa tercipta kemampuan psikis dan rohani manusia. Oleh karenanya, dari segenap unsur pembentuk yang ada, yang menjadi esensi dari segenap unsur manusia itu adalah jiwanya (nafs).

Makna Jiwa (Nafs)

Nafs (نفس) berasal dari bahasa Arab yang berarti jiwa atau soul. Jiwa bisa disebut juga sebagai nyawa, spirit, atau watak.

Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (unsur imaterial), namun saat ini terjadi pergeseran makna di mana jiwa juga mencakup fisiknya.

Dalam perkataan Arab, istilah nafs (jiwa) mempunyai banyak sinonim, antara lain hakikat manusia, roh, akal, berhubungan dengan badan, aliran darah, udara yang dihembuskan (nafas), dan sesuatu yang lembut. 

Jadi secara bahasa, ia berarti hal yang lembut, memiliki peranan penting dalam tubuh dan tidak bisa diindra.

Menurut al-Ghazali, jiwa hakekatnya suatu identitas yang tetap yang merupakan subjek yang mengetahui, berdiri sendiri (tidak bertempat), dan bersifat tetap.

Ini menunjukkan inti dari manusia bukanlah fisiknya atau fungsi fisiknya, melainkan unsur imaterialnya. 

Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri.

Maka bagi al-Ghazali, seluruh anggota badan, baik zahir maupun batin (dalam dan luar), hanyalah atribut saja yang mana ketika badan mati seluruh anggota badan, baik zahir maupun batin akan ikut mati tanpa diikuti kematian atau kehancuran jiwa (nafs).

Peran Hati dan Akal Kaitanya dengan Kejiwaan Manusia

Kaitanya dengan kejiwaan, manusia dipengaruhi oleh dimensi psikis yang memiliki nilai dan kadar kemanusiaan yang bersumber pada dimensi jiwanya (nafs). 

Artinya walaupun manusia terdiri dari unsur material (badan) dan imaterial (jiwa, roh, akal, dan hati) namun sejatinya unsur material manusia hanyalah materi dasar yang mati, karena kehidupannya tergantung kepada adanya unsur yang lain, yaitu nafs atau ruh.

Kalau menelaah pada konsep nafs dalam al-Qur’an, dapat kita pahami bahwa nafs adalah sisi psikis yang memiliki kekuatan ganda, yaitu al-ghadabiyyah dan al-syahwaniyyah.

Prinsip kerja dari kedua daya ini adalah berusaha untuk mengejar kenikmatan dan mengumbar dorongan-dorongan agresif dan seksual, sehingga manusia yang hanya menuruti kedua daya ini tak ubahnya seperti binatang dalam hal kaidah hidup yang dia kejar, bahkan lebih hina.

Oleh karena itu, dorongan ini dinamakan al-nafs al-hayawaniyyah yang apabila tidak terkendali akan mengantarkan manusia bergaya hidup hedonis (kesenangan), seks bebas, materialistik, dan lainlain. 

Gaya hidup seperti inilah yang dicela al-Qur’an bahwa ketika hawa nafsu menguasai manusia akan selalu mengarahkan kepada keburukan dan bencana. 

Namun apabila jiwanya mampu mengendalikan kedua daya ini, maka kedua daya tadi akan berfungsi sebagai daya pelindung dan daya kehidupan, serta mendorong pemiliknya untuk memunculkan sisi kemanusiannya, menikmati hidup, dan berbuat kebaikan. 

Hal ini hanya akan terjadi apabila jiwa manusia mengedepankan sisi akal dan sisi hati atas nafsunya (hawa nafsu).

Akal dan hati merupakan dua unsur yang menentukan kadar dan nilai kejiwaan manusia, sebagai karakteristik manusia dan memberikan ciri khas dalam dimensi nafs.

Sebagai dimensi psikis, akal dan hati juga memberikan ciri khas kepada dimensi al-nafs, al-ruh, dan al-fitrah. 

Sebagai permisalan, makhluk yang hanya dikendalikan oleh nafs dalam hal ini nafsu- maka ia adalah binatang. Sementara makhluk yang hanya dipengaruhi oleh al-ruh dan al-fitrah adalah malaikat. 

Sedangkan manusia adalah gabungan fungsi dan kadar kebinatangan dan kemalaikatan yang memiliki warna kemanusiaan karena dirangkai dengan dimensi akal dan hati dalam susunan komposisi psikis manusia.

Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan, bahwa badan adalah kendaraan bagi qalb dengan bekal atau bahan bakarnya adalah yang didapat selama kehidupan di dunia, yaitu ilmu yang bermanfaat yang akan menghasilkan amal saleh. 

Karena badan adalah alat yang bisa rusak, maka menjadi kewajiban qalb untuk menjaga badan dengan tiga cara, yaitu dengan makan, dengan menjaganya dari sebab-sebab kehancuran badan, dan dengan pengetahuan. 

Dalam masalah makan, diciptakanlah bagi qalb dua tentara, yaitu batin dan zahir. Yang batin berupa syahwat, dan yang zahir adalah tangan dan anggota badan yang dibutuhkan saat makan. 

Dalam menjaga dari sebab kerusakan diciptakan pula dua tentara, yaitu batin dan zahir. Yang batin ialah sifat marah, sementara yang zahir adalah tangan dan kaki yang mengikuti kemauan sifat marah. 

Maka dalam hal ini seluruh anggota badan laksana senjata bagi qalb (jiwa). Selain itu juga diciptakan unsur pengetahuan dalam menjaga badan dari kehancuran, pertama: batin, yaitu pengetahuan daya indrawi (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba) dan zahir, yaitu alat panca indra.

Dalam penjelasan selanjutnya di dalam kitab Kimiya’ al-Sa’adah, al-Ghazali menggambarkan bahwa manusia (nafs) ibarat sebuah gambaran kota pemerintahan. 

  • Di mana qalb sebagai raja, 
  • Badan laksana seluruh wilayah, 
  • Akal sebagai perdana menteri, 
  • Syahwat sebagai gubernur wilayah, 
  • Amarah adalah musuh, 
  • Sedangkan anggota badan baik zahir dan batin ibarat para tentara raja. 
Menjadi kewajiban raja untuk berkolaborasi dan bermusyawarah dengan perdana menteri karena perdana menteri inilah yang mempunyai daya nalar pikir guna mewujudkan keadaan negara yang baik terutama dalam mengontrol gubernur dan mengawasi para musuh. 

Jikalau demikian yang terjadi, niscaya jiwa seseorang akan baik, namun kalau raja lengah, perdana menteripun tak kuasa untuk mengendalikan para musuh sehingga seluruhnya di bawah kendali musuh, maka kekacauan pada jiwa akan terjadi. 

Begitu pula gambaran tentang jiwa seseorang, fakultas qalb dan ‘aql harus mampu mengontrol syahwat dan amarah, sehingga seluruh anggota badan akan mengarah pada kebaikan.

Kalau qalb tidak berfungsi, maka ‘aql akan lemah, sehingga syahwat dan amarah lebih menguasai jiwa seseorang. Akibatnya jiwa lebih diwarnai oleh nafsu syahwat dan amarah yang akan mengarah kepada keburukan.

Dari seluruh penjelasan di atas, bisa diambil maknanya bahwa dalam jiwa manusia seakan-akan selalu terjadi dorongan tarik-menarik antara akal dan nafsu syahwat manusia. 

Akal selalu mengarah kepada kebaikan, sedangkan nafsu syahwat (hawa nafsu) selalu mengarah kepada perilaku keburukan. 

Sejatinya, syahwat dan amarah kalau bisa dikendalikan akan menjadi baik karena di situlah penyeimbang kehidupan. Namun kedua daya ini cenderung selalu berlebihan dan selalu mengarah kepada keburukan. 

Selanjutnya, apakah akal yang diutamakan atau nafsu syahwatnya yang dikedepankan, masih dipengaruhi lagi oleh keadaan hatinya waktu itu, karena hati (qalb) juga berpikir dan yang memutuskan. 

Namun dalam kejadian sehari-hari, walaupun tiap manusia sudah diberikan akal dan hati yang sama, nyatanya tidak serta merta kedua dimensi psikis ini selalu mampu mengendalikan nafsu dan syahwat manusia. 

Namun tak bisa dinafikan pula, bahwa perbuatan manusia terlebih dahulu dipengaruhi oleh faktor pengetahuan terhadapnya. Dan ini termaktub dalam hubungan antara konsep akal dan hati menurut al-Ghazali.

Demikian pembahasan mengenai memahami makna dari Jiwa (Nafs). Semoga dapat menambah pengetahuan kita. Terima kasih atas kunjunganya.

0 Response to "Memahami Makna Jiwa (Nafs)"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak